Takdir Cinta Kita

Takdir Cinta Kita

Part 1 : Perjodohan

Pagi ini langit terlihat sangat cerah, secerah senyuman seorang gadis yang sedang bersantai di bawah pohon rindang di samping kantin kampus bersama kedua temannya. Sesekali mereka mengobrol ringan tentang tugas kuliah mereka dan sesekali membahas rencana setelah lulus nanti.

"Aku tebak, nanti setelah lulus yang nikah dulu itu Jihan. Soalnya Jihan kan udah ngebet, iya kan Syifa?" seru salah satu temannya, yang bernama Adiba.

"Enak aja, Syifa tuh yang udah punya incaran. Mas Hasbi kan Syif?" timpal teman satunya lagi, Jihan.

"Hii sok tahu..." jawab gadis yang memiliki lesung pipi itu.

Namanya Asyifa Humaira, orang terdekatnya sering memanggilnya Syifa. Usianya sekarang genap 21 tahun, dia mahasiswi semester 5 salah satu kampus swasta berbasis agama di kota T.

Karakternya yang ceria, ramah dan mudah akrab dengan siapa saja menjadikan dia mempunyai banyak teman, walau demikian, dia lebih dekat dengan kedua teman dekatnya dibanding dengan teman-temannya yang lain.

Syifa tinggal bersama keluarganya di salah satu perkampungan yang lumayan jauh dari kampusnya. Latar belakang keluarganya bukan lah dari orang berada, Syifa berasal dari keluarga yang sederhana. Ayahnya bekerja sebagai wiraswasta, kalau sang ibunda selain menjadi ibu rumah tangga beliau sering mengajari anak-anak tetangga belajar mengaji.

Syifa mempunyai dua adik, yang pertama masih menuntut ilmu di MA (Madrasah Aliyah), sedangkan yang kedua masih duduk di bangku MTs (Madrasah Tsanawiyah).

Syifa juga masih mempunyai kakek, dulu kakeknya Syifa seorang petani. Meski hanya seorang petani kakeknya mempunyai banyak teman dan relasi orang-orang sukses. Salah satunya kakek Nizar, sahabat terbaik dari sekolah dasar hingga Sekolah Menengah Atas.

...----------------...

Sembari menikmati angin yang sepoi-sepoi di bawah pohon rindang itu, Syifa memejamkan matanya sejenak. Dia teringat dengan pembicaraan kakek dan kedua orang tuanya beberapa hari yang lalu...

"Cucuku, Asyifa Humaira. Ada yang ingin kakek bicarakan denganmu, duduklah di samping orang tuamu"

"Syifa, kek? Hm..baik kek"

Mereka sedang duduk di ruang keluarga yang biasa dipakai untuk bersantai dan menonton TV.

"Tahun ini kamu genap berusia 21 tahun, yang artinya sudah cukup umur untuk mengetahui maksud keinginan kakek. Kamu masih ingat kakek Nizar?" tanya sang kakek dengan tatapan serius.

"Masih kek, beliau sahabat baiknya kakek, kan?"

"Alhamdulillah kalau kamu masih ingat. Sebelum beliau meninggal dunia, dia menitipkan satu wasiat pada kakekmu ini. Yaitu ingin menjodohkan cucunya, umurnya berbeda delapan tahun dari kamu"

Syifa menyimak dengan seksama kata demi kata yang diucapkan oleh kakeknya, begitu juga dengan kedua orang tuanya.

"Maksud kakek ingin meminta bantuan Syifa untuk mencarikan jodoh cucunya kakek Nizar?" tanya Syifa lugu.

Sontak kakek dan kedua orang tuanya pun terkekeh karena kepolosan dari Syifa.

"Haha.. bukan itu maksud kakek, ndo. Hm, kakek Nizar ingin menjodohkan cucunya dengan kamu"

'Astaghfirullah, ngga salah denger ini? Menjodohkan aku dan cucunya kakek Nizar?'

Syifa terperangah mendengarnya, lewat isyarat mata Syifa meminta bantuan penjelasan dari abah dan umminya.

"Maaf sebelumnya abi, mungkin ini terlalu mendadak bagi Syifa. Kalau boleh Salwa tahu, apa perjodohan ini harus dilaksanakan secepatnya?" tutur ummi Salwa yang merupakan ibu kandung dari Syifa mencoba meminta penjelasan dari ayah mertuanya.

"Bisa dibilang bukan mendadak. Hanya saja, aku dan Musthofa baru mengatakan hal ini pada kalian. Kakek dan abahmu sudah lebih dulu bertemu dengan cucunya Nizar" menjeda sejenak perkataanya.

"Dia seorang pria yang mapan, berkharisma, bertanggung jawab dan memiliki kepribadian yang baik. Jadi kemungkinan dia tidak akan menunda perjodohan ini" lanjut sang kakek sembari menyeruput teh hangat buatan sang cucu.

"Ngapunten, abi. Bagaimana dengan Syifa yang masih kuliah?" tanya ummi Salwa lagi, beliau paham betul kalau putrinya syok dengan pembicaraan kakeknya.

"Apa yang harus dipermasalahkan, Salwa? Syifa masih bisa melanjutkan kuliahnya. Pria itu juga tidak akan melarangnya, karena dia seorang dosen juga business man"

"Tapi Syifa tidak mengenalnya" lirihnya yang khawatir akan menyinggung perasaan sang kakek kalau langsung menolaknya.

"Dalam agama Islam jodoh merupakan rahasia, takdir Allah yang tidak diketahui manusia sama sekali. Manusia tidak akan pernah tahu siapa jodoh yang akan mendampingi selama hidup hingga kehidupan akhirat kelak. Tetapi setiap umat muslim perlu meyakini bahwa Allah adalah penentu takdir terbaik untuk setiap hamba-Nya" kini abah Musthofa mulai membuka suara.

"Islam melarang menikahkan dengan paksa, baik gadis atau janda dengan pria yang tidak disenanginya. Akad nikah tanpa kerelaan wanita tidaklah sah. Ia berhak menuntut dibatalkannya perkawinan yang dilakukan oleh walinya dengan paksa tersebut" jelas beliau pada putrinya juga ayahnya.

"Ta'aruf sangat dianjurkan dalam Islam, ketimbang seorang laki-laki dan perempuan menjalin pacaran sebelum ke pelaminan. Jika berpacaran dikhawatirkan mereka yang bukan mahrom melakukan zina. Pada prinsipnya, tujuan ta'aruf yaitu mencari jodoh yang sesuai, sekufu, dan diridai Allah Swt. Tidak boleh ada niatan mencoba-coba dalam hal perjodohan" abah Musthofa mengakhiri pernyataan darinya.

"Menyambung dari penjelasan abah, di sini ummi mau bertanya pada Syifa. Apakah kamu sudah mempunyai pria pilihan sendiri atau sedang menyukai seseorang?"

Syifa menggeleng dengan tatapan sedih.

"Tidak ada ummi"

Kedua orang tua dan kakeknya bernafas lega mendengar jawaban dari Syifa. Lalu sang kakek memberikan foto seseorang pada cucunya itu. Dengan ragu-ragu Syifa menerimanya.

Untuk sekilas, Syifa tertegun ketika mengamati foto tersebut.

'Subhanallah..ini kah orangnya? Apa kakek tidak salah memberikan foto?' dia bertanya pada diri sendiri.

"Namanya Muhammad Fadlan Ganendra, dia lulusan universitas luar negeri. Dia bekerja sebagai dosen dan akan mewarisi rumah sakit Ganendra milik kakek Nizar" terang kakek Ali saat Syifa masih memegang foto itu.

"Bagaimana ndo?" tanya abahnya.

"Hmm.. itu, kalau boleh Syifa mau istikharah dulu abah, kakek"

"Tentu, tentu saja boleh" jawab kakek bahagia.

"Insyaa Allah minggu depan dia mau silaturrahmi ke sini bersama keluarganya" tutur kakeknya lagi.

......................

"Syif, Syifa. Tidur ya ini bocah?"

Suara Jihan menyadarkan Syifa yang dari tadi memejamkan matanya.

"Eh, ya kenapa?" tanya Syifa kaget.

"Kamu lagi ngga enak badan ya?" tanya Adiba yang melihat sahabatnya lebih banyak diam hari ini.

"Engga ko, Diba. Hm..Kalian masih mau disini? Aku ke ruangan dulu ya..” ujar Syifa melihat kedua temannya yang masih memakan cemilan.

"Aku juga mau udahan nih, ngga tahu tuh kalau Jihan"

"Hihh Adiba selalu saja aku yang kena batunya.."

"Kalian belum bayar ke ibu kantin kan? Sana bayar dulu gihh.."

"Diba..aku nebeng dulu ya hihi besok aku yang traktir" Jihan meringis menunjukkan gigi kelincinya.

"Kebiasaan kamu dehh...tungguin ya jangan ditinggal!" berjalan memasuki kantin yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat mereka duduk.

Sembari menunggu Adiba membayar ke ibu kantin, Syifa melihat layar handphonenya yang berdering.

Dari : Ummi

"Ndo, ingat pulangnya jangan terlalu sore. Keluarganya kakek Nizar mau silaturrahim nanti malam"

......................

Syifa menghela nafas panjang setelah menerima pesan dari uminya. Ketika hendak membalas, Jihan mengejutkan Syifa dengan kehadiran seseorang.

"Syif! Mas Hasbi tuhh..cowo idaman kamu. Eh..eh dia kesini" menepuk pundak Syifa kegirangan.

"Duhh, jangan heboh gitu dong...sakit nih" mengusap pundaknya.

"Hehe maaf Syif, habis excited banget.."

Hasbi, mahasiswa yang banyak menarik perhatian mahasiswi-mahasiswi di kampus. Selain berprestasi, dia juga sosok yang agamis, akhlaqnya baik, aktif dalam ekstrakurikuler keagamaan dan suara merdunya ketika melantunkan qosidah juga ayat-ayat suci Al Qur'an di acara-acara kampus membuat para mahasiswi terpesona dan mengaguminya.

"Assalamu'alaikum" tegur Yusuf, temannya Hasbi.

"Wa'alaikumussalam" jawab Syifa dan Jihan bersamaan.

"Han, dicariin nih sama ketua " sahut Yusuf.

"Eh iya kenapa Mas Hasbi?"

"Tentang persiapan acara minggu depan sudah sampai mana? Sudah disiapkan semuanya?" tanya Hasbi pada Jihan, namun mencuri pandang ke arah Syifa.

"Oh itu, udah beres mas. Paling dua kali latihan lagi juga temen-temen dari ekskul rebana udah siap"

"Ya sudah kalau begitu tolong di koordinasikan dengan baik ya Han, saya pamit dulu"

"Mas, ini kenalin Syifa, dia satu prodi sama aku" ujar Jihan cekikikan menggoda temannya.

"Jihan!" pekik Syifa mencubit pelan lengan Jihan, kemudian tersenyum kaku tanpa melihat wajah Hasbi.

Hasbi membalas senyuman Syifa, suasana canggung menyelimuti keduanya.

"Yuk gais, kita balik ke ruangan" ujar Adiba yang sudah berdiri di samping Syifa.

"Emm yuk Diba, Jihan..." ajak Syifa kembali menunduk ketika mengetahui Hasbi melihat ke arahnya, lalu langsung menarik lengan Adiba dan Jihan bersamaan.

"Ehh..ehh Syif bentaran, Mas Hasbi duluan ya, Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumussalam" jawab Hasbi dan Yusuf.

"Dihh kenapa itu bocah?" kata Yusuf merasa aneh dengan tingkah Syifa.

"Sudah, kita harus ke aula" ajak Hasbi berjalan meninggalkan Yusuf.

...~Skip Mengikuti Perkuliahan~...

...----------------...

Sebelum pulang ke rumah, Syifa mengecek handphone yang sedari perkuliahan di mode senyap. Dan benar saja, banyak panggilan tidak terjawab dari abah dan umminya, dia melupakan pesan yang dikirimkan padanya.

Syifa pun bergegas pulang ke rumah, di tengah jalan dia mampir ke mini market untuk membelikan adik-adiknya es krim dan snack sesuai janjinya pada mereka kemarin.

* Mini Market

"Tasya sama Zaki emang bener-bener deh, kesini sendiri aja ngga mau" gumamnya.

Ketika Syifa hendak mengambil yogurt kesukaanya yang hanya tinggal satu, tidak sengaja tangannya bersentuhan dengan tangan seseorang.

"Astaghfirullah" spontan langsung menarik tangannya.

Dia merasa tidak enak hati kalau barusan bersentuhan dengan tangan seorang pria. Syifa diam terpaku.

Perlahan dia menoleh ke samping dan terkejut dibuatnya. Seorang pria yang cukup tinggi, mungkin tinggi badannya sekitar 183 cm, memakai setelan kemeja dengan bagian lengan yang di lipat sampai ke siku, berdiri tepat di sampingnya.

Syifa langsung tertunduk ketika pria itu menoleh ke arahnya.

'Ya Allah, maafin Syifa ngga sengaja'

Sekilas Syifa melihat wajah pria itu, rahangnya yang tegas, hidungnya yang mancung, tatapan matanya yang tajam.

'seperti pernah lihat, tapi dimana ya?' tuturnya bermonolog dalam hati.

"Jadi ambil atau tidak?" tanya pria itu.

"Aa..silahkan ambil saja" jawabnya gugup.

'astaghfirullah malunya, jaga pandangan Syifa'

Saat Syifa memalingkan wajahnya, pria itu langsung pergi tanpa mengucapkan sepatah kata. Kesan yang ditinggalkan hanyalah ekspresi wajahnya yang dingin.

"Alhamdulillah akhirnya pergi juga..." ucapnya merasa lega.

Ketika hendak berjalan menuju kasir, tidak sengaja Syifa menginjak sesuatu.

"Apa nih di bawah kaki?" berjongkok untuk mengambilnya.

"Kalung? Punya siapa ya? Jangan-jangan punya orang tadi.."

Ya, karena hanya ada dia dan pria tadi yang masuk ke minimarket itu. Niat hati mau mengejar pria itu, sampai dikira hendak kabur oleh kasir minimarket. Ternyata orangnya sudah tidak ada.

Lalu dia pun berinisiatif untuk menyimpannya di dalam dompet, siapa tahu suatu hari tidak sengaja bertemu dan bisa mengembalikan ke pemiliknya, pikirnya saat itu.

...~ Skip perjalanan pulang ke rumah ~...

...-----------------...

.........

Sampainya di rumah, Syifa melihat kakek dan abah sedang menunggunya di teras rumah dengan raut wajah cemas dan gelisah.

"Assalamu'alaikum" menyalami tangan abah dan kakek.

"Wa'alaikumussalam, kenapa baru pulang Syifa?" tanya kakek khawatir.

"Emm..itu kek, tadi Syifa ta'ziah ke rumah salah satu dosen yang meninggal, sama temen-temen kampus" jelasnya sedikit gugup.

"Harusnya kamu kasih kabar nak, jadi kita tidak khawatir. Di telfon juga tidak di angkat?" imbuh abah yang mulai menunjukkan wajah gelisah.

"Iya abah, kakek maaf, lain kali Syifa ngga akan mengulangi lagi" jawabnya tersenyum.

Setiap Syifa pulang terlambat, keluarganya pasti merasa sangat khawatir dan cemas. Hanya saja setiap kali dia bertanya tidak ada siapapun di rumah itu yang mmemberitahu penyebab mereka seperti itu padanya.

Namun suatu hari, Syifa pernah mendengar dari adik ayahnya, yang biasa ia panggil om Andi, beliau memberitahu kalau penyebab kakek dan orang tuanya seperti itu, karena dulu ketika Syifa masih kelas 2 di sekolah dasar, Syifa kecelakaan dan mengalami cidera yang cukup serius di kepala.

Dilihatnya ayah dan sang kakek seperti sedang berdiskusi lewat isyarat mata.

"Ekhem! Tapi kamu ingat kan, ndo?"

"Nggih kek, keluarganya kakek Nizar mau silaturrahmi kesini" jawab Syifa polos.

"Alhamdulillah..kalau begitu kamu bersiap ya, Ndo"

"Ya sudah kakek, abah, Syifa masuk dulu ya"

......................

Syifa bernafas lega, bersyukur tidak jadi kena marah, akan tetapi moodnya sedikit buruk mengingat kata perjodohan. Dia menaruh kantong kresek bawaanya di meja makan. Dilihatnya ibunda tercinta sedang memasak di dapur, Syifa mendekati untuk mencium tangan sang ibunda.

"Baru pulang sayang?" tanya beliau melanjutkan aktivitas memasaknya.

"Iya ummi, tadi Syifa ta'ziah dulu"

"Innalillahi wa innailaihi roojiun, siapa yang meninggal nak?"

"Pak Jinan, dosen mata kuliah statistik mi"

"Semoga almarhum husnul khotimah Ya Rabb..aamiin"

"Aamiin. Sesungguhnya setiap yang bernyawa akan merasakan yang namanya kematian"

"Tasya sama Zaki kemana ummi? Rasanya sepi sekali tanpa kehadiran mereka" tuturnya mencari keberadaan adik-adiknya.

"Tadi mereka disuruh kakek menjemput om Andi dan tante Dini ini, kebetulan ummi juga nitip jajanan untuk jamuan nanti malam jadi kemungkinan tantemu kerepotan"

"Hmm begitu ya mi..Syifa mandi dulu ya umi sayang"

"Iya, jangan lupa sholat ashar, ndo"

...----------------...

Hari pun semakin sore, tampak sinar jingga bersinar cerah menciptakan suasana senja kala itu menjadi sangat indah.

Sebelum adzan maghrib berkumandang di masjid maupun di musholla, adik dari ayahnya, Om Andi datang bersama istri juga kedua adik Syifa.

"Kak, kenapa pakai gamis ini sih? Jelek ih, ganti pakai gamis yang udah aku siapin" ujar Tasya, adik perempuan Syifa menarik tangan kakaknya ke kamar.

"Nanti deh, kakak mau sholat dulu. Lagipula ini juga bagus, Sya..."

"Sst..kakak, ini dikirimin langsung sama calon suami loh" celetuk Zaki, adik Syifa yang paling tampan sendiri.

"Hufft..baiklah tuan putri Tasya dan pangeran Zaki"

"Udah gih sana pada sholat, udah adzan tuh"

......................

Selepas pulang dari masjid dekat rumah, abah, kakek, om Andi dan Zaki melihat dua mobil berhenti di halaman rumah. Sepertinya tamu yang mereka tunggu sudah datang, mereka langsung menyambutnya dengan hangat.

Kakek memeluk salah satu tamu itu layaknya orang yang sudah lama baru berjumpa, hingga tidak terasa menitihkan air mata kerinduan dan bahagia.

Ummi, Tasya dan tante Dini menyambut mereka di ruang tamu. Syifa yang bersembunyi di ruang keluarga mengintip dari balik tirai, melihat kakeknya begitu bahagia sampai tidak ingin duduk jauh-jauh dari seorang pria muda yang memakai setelan jas.

"Mas, itu yang di samping kakek ya?" bisik Tasya pada Zaki.

"Iya dek, ganteng banget ya. Mas Zaki pengin juga wajahnya ganteng begitu"

"Haha mimpi lahh itu"

......................

* Ruang Tamu

"Masyaa Allah, nak, kakek sangat senang mendengar kabar kalau kamu mau datang kemari" memuji pria muda di sampingnya.

Pria itu hanya tersenyum tipis menanggapinya.

"Jadi, beberapa hari setelah datang ke kota ini. Fadlan menghubungi saya dan tantenya, berniat untuk langsung melamar putri dari abang Musthofa" jelas paman Romi yang merupakan adik kandung dari ayahnya Fadlan.

Fadlan Ganendra, lelaki yang disebut-sebut cucu dari dokter Nizar, sahabat dari kakeknya Syifa. Sudah sangat lama sekitar 12 tahun yang lalu, dari kepindahannya yang mendadak bersama keluarganya ke kota P. Dan hari ini dia baru saja datang ke kampung ini lagi, tempat yang menyimpan banyak kenangan dirinya dengan calon tunangannya.

...****************...

~ Flashback

Syifa kecil yang saat itu masih berusia satu tahun, terlihat sangat nyaman ketika berada dalam gendongan seorang anak laki-laki yang usianya berbeda delapan tahun dengannya. Dia sering mengajak Syifa kecil bermain setiap hari, karena kebetulan keluarga anak laki-laki itu baru datang berkunjung ke kampung ini, mereka ikut singgah di rumah nenek Syifa yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan rumah orang tua Syifa kala itu.

Seiring bertambahnya usia, mereka terlihat semakin akrab dan sering menghabiskan waktu bersama. Terkadang Syifa diajak menginap bersama keluarga anak laki-laki itu, juga sebaliknya, anak laki-laki itu yang lebih sering menginap di rumah orang tua Syifa.

Syifa kecil termasuk anak yang ceria dan mudah bergaul, dia juga mempunyai banyak teman seumurannya. Banyak orang yang mengira, kalau Syifa dan anak laki-laki yang sebentar lagi menginjak usia remaja itu kakak beradik.

Bagaimana tidak? Syifa kecil sangat manja padanya, meskipun awalnya anak laki-laki itu kurang menyukai Syifa, menganggapnya anak kecil yang cengeng dan berisik. Akan tetapi, lama-kelamaan dia justru sangat menyayangi Syifa kecil seperti adiknya sendiri.

"Kak, pasti rasanya senang ya kalau punya kakak lelaki, seperti teman-temannya Syifa ada yang melindungi" ujarnya murung yang saat itu berusia lima tahun.

"Jangan sedih dek, kan ada kakak" hibur anak laki-laki itu memeluk Syifa.

"Hmm tapi kata mereka, kita bukan kakak adik. Terus Syifa maunya jadi pengantin sama kakak kalau udah besar nanti"

"Hehe menikah itu untuk orang dewasa, mereka harus saling mencintai dek. Kita kan saudara, jadi kakak akan berusaha menjadi kakak terbaikmu, oke?"

"Hmm ngga mau. Berarti kakak menikahnya sama orang lain terus punya anak gitu? Sama aja Syifa di tinggal dong"

"Ngga sayang, kakak akan selalu ada buat kamu"

"Oke, kakak boleh menikah sama orang lain, tapi janji yaa. Jangan tinggalin Syifa"

"Iya sayang" mencubit pelan pipi Syifa.

'bocah satu ini, ada-ada saja' gumamnya menatap Syifa yang cemberut.

......................

Saat itu Syifa sedang bermain dengan teman seumurannya. Lalu ada salah satu teman berlari menghampirinya.

"Syif, kakak kesayanganmu direbut orang tau" dengan logat anak kecil yang berusia 5 tahun.

"Maksutnya kamu apa?"

"Tadi aku sama Naura lihat kakak kamu di sana, sama kak Gita yang cantik. Terus kak Gita pegang-pegang tangan kakak kamu"

"Hm! Kamu bohong ya?"

"Iya, Linda sama aku lihat. Coba aja kamu kesana, kalau kata saudara aku, laki-laki sama perempuan kaya gitu artinya mereka pacaran"

Selepas pulang ke rumah, Syifa jadi murung tidak seceria biasanya. Malam harinya anak laki-laki itu berkunjung ke rumahnya, dia hendak menemani Syifa belajar dan bermain seperti biasa.

"Dek, coba ini bacanya apa?"

"Syifa ngantuk. Mau tidur" melengos pergi masuk kamar.

"Katanya adek mau sekolah, kenapa begitu?" pungkasnya mengetahui kalau Syifa sedang ngambek.

Anak laki-laki itu hanya menggelengkan kepala melihat tingkah gadis kecil yang sudah seperti adiknya.

"Betul nih udah ngantuk? Kemarin katanya mau jadi anak yang pinter, tapi kenapa sekarang adek ngga mau belajar? " tanyanya menghampiri Syifa yang berbaring di kasurnya.

"Kamu kenapa dek? Seharian ini kamu jadi pendiem, ada yang nakal ya?" mengkhawatirkan kondisi Syifa.

"Iya ada! Kak Fadlan yang nakal!" mulai menangis.

Ya, anak laki-laki itu Fadlan yang pada saat itu sudah menginjak usia remaja.

"Aku? Ehh kakak nakal kenapa dek?" wajahnya sedikit panik melihat adik kesayangannya menangis.

"Hiksss kata Naura sama Linda, kakak mau direbut sama kak Gita. Nan-ti Syifa sama siapa? Aku ngga punya kakak lagi" ucapnya disela-sela isak tangisnya.

"Astaghfirullah dek. Kakak cuma berteman sama Gita, lagipula tadi sedang mengerjakan tugas dari sekolah" jelasnya membelai puncak kepala Syifa.

"Bohong! Kak Fadlan bohong ya? Katanya Naura, kakak sama kak Gita pacaran, berarti kakak mau menikah sama kak Gita? Syifa ngga suka! Syifa benci kakak!" beranjak dan menatap wajah Fadlan.

'Ya Allah ini anak masih polos sekali, gimana harus jelasinnya' batin Fadlan saat itu.

"Engga dek. Kak Fadlan akan selalu jadi kakak kamu. Kakak ngga akan ninggalin Syifa. Jangan nangis lagi oke? Kakak minta maaf" menarik Syifa kecil ke dalam pelukannya.

"Hikss hikss janji ya ka? Jangan sama kak Gita"

"Iya janji. Kakak kan sayang kamu" mengecup pipi Syifa.

'i-ini ngga mungkin kan aku suka dengan Syifa? Dia hanya anak kecil, Fadlan! Ayolah'

......................

Kala itu keluarga dari Fadlan, terpaksa harus pindah ke kota lain, dikarenakan umminya Fadlan yang sakit kanker stadium tiga sehingga harus di bawa berobat ke kota besar bahkan direncanakan menjalani pengobatan di luar negeri.

Tentu saja kabar kepindahan keluarga Fadlan yang mendadak, membuat Syifa sangat sedih dan merasa sangat kesepian. Berselang dua tahun, ternyata ibunda dari Fadlan meninggal dunia.

Beberapa bulan kemudian, ayahanda tercinta pun menyusul kepergian sang ibunda. Fadlan yang masih remaja tentu sangat terguncang hatinya, tidak ada lagi keluarga yang memberinya kehangatan dan kasih sayang.

Hanya ada kakek dan pamannya, yang mengirim Fadlan ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya, tentunya setelah Fadlan lulus dari pesantren sesuai pesan dari umminya.

...----------------...

Selama kakek Nizar berada di luar negeri, beliau lost contact dengan kakek Ali. Meskipun begitu beliau masih selalu ingat dengan sahabat terbaiknya kakek Ali (kakeknya Syifa). Silaturrahmi kembali terjalin di antara keduanya, beberapa tahun belakangan ini setelah kakek Nizar pulang ke Indonesia.

Dua bulan sebelum kakek Nizar meninggal, beliau menitipkan satu keinginan pada sahabatnya itu.

..........

* Rumah Sakit

"Aku bingung dengan cucuku, umurnya sudah hampir 29 tahun, tetapi belum juga punya kekasih. Aku kenalkan dengan anak pengusaha tidak mau, dengan anak pak kyai tempat dia mondok dulu juga tidak mau"

"Haha...mungkin dia masih ingin berkarir sepertimu" jawab kakeknya Syifa sambil menemani sahabatnya menonton TV di ruang rawat inap President Suite.

"Sudah tua begini, cucu belum juga menikah. Aku khawatir cucuku tidak normal"

"Hushh, jangan berprasangka yang buruk pada cucu sendiri"

"Entahlah Al. Dia persis seperti Fadil" ujarnya menatap layar TV di ruangan itu.

"Tunggu, cucumu Asyifa, umur berapa dia sekarang?" tanyanya memanggil cucu kakek Ali dengan panggilan kesayangan.

"Syifa? Dia belum genap 20 tahun. Kuliahnya saja baru semester 3"

"Kita jodohkan saja bagaimana?" celetuk beliau tiba-tiba.

"Uhukk..uhukk..apa aku tidak salah dengar?" tanya kakek Ali tersedak saat minum teh.

"Ya, kita jodohkan mereka. Tidak ada salahnya bukan?"

"I-itu..kamu serius? Cucuku hanya gadis dari kampung, bukan keturunan orang kaya seperti keluargamu" jelas kakek Ali merasa tidak percaya diri mengingat latar belakang keluarganya.

"Kamu ini bicara apa? Cucumu juga cucuku, keluargaku juga keluargamu. Aku yakin cucuku pasti tidak akan menolak. Toh sampai saat ini cucuku masih menyimpan foto masa kecilnya dengan Asyifa di dompet dan di kamarnya"

Kakek Ali tidak menyangka kalau cucu dari temannya masih ingat dengan cucunya, Asyifa Humaira. Padahal sudah belasan tahun mereka tidak bertemu, bahkan mungkin Syifa tidak mengingat cucu sahabatnya, karena suatu insiden.

"Benarkah? Apa aku tidak salah dengar ini?"

"Ya Al. Kenapa tidak dari dulu terpikir olehku untuk menjodohkan mereka ya? Padahal tanda-tandanya sudah jelas, kalau cucuku itu sebenarnya tertarik dengan cucumu sejak dia remaja. Aku akan sangat bahagia kalau melihat mereka bersama lagi" senyuman terlihat jelas di wajah kakek Nizar.

"Baiklah Zar, aku mendukung keputusanmu. Semoga Allah juga meridhoi perjodohan ini. Yang terpenting sekarang kamu kembali sehat dulu"

"Tapi sahabatku, kalau umurku tidak panjang. Aku titipkan keinginanku padamu, persatukan mereka dalam sebuah ikatan pernikahan..supaya persaudaraan kita juga tidak terputus"

Kakek Ali tercekat mendengar ucapan dari sahabatnya. Dia berfikir kalau sahabatnya memberikan tanda-tanda bahwa usianya sudah tidak lama lagi.

Firasat kakek Ali benar, satu bulan kemudian, kakek Nizar meninggal dunia. Sebelumnya, kakek Nizar kembali di rawat ke rumah sakit pusat yang terletak di kota P.

Beberapa kali kakek Ali dan ayahnya Syifa pergi untuk menjenguk, sampai mereka bisa bertemu kembali dengan cucu kesayangan kakek Nizar, Fadlan yang saat itu berprofesi sebagai seorang dosen di salah satu Universitas di kota P.

~ Flashback End

...****************...

...M. Fadlan Ganendra & Asyifa Humaira...

...Jihan Salsabila & Adiba Zahrotul Maula...

...M. Hasbi Al Farizi...

...M. Zaki Muzani...

...Tasya Fakhirah...

*Gambar hanya pemanis saja ya kakak-kakak ☺️❤️

Terpopuler

Comments

Anita Jenius

Anita Jenius

wiihh panjang banget per bab nya

2024-05-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!