NovelToon NovelToon

Takdir Cinta Kita

Part 1 : Perjodohan

Pagi ini langit terlihat sangat cerah, secerah senyuman seorang gadis yang sedang bersantai di bawah pohon rindang di samping kantin kampus bersama kedua temannya. Sesekali mereka mengobrol ringan tentang tugas kuliah mereka dan sesekali membahas rencana setelah lulus nanti.

"Aku tebak, nanti setelah lulus yang nikah dulu itu Jihan. Soalnya Jihan kan udah ngebet, iya kan Syifa?" seru salah satu temannya, yang bernama Adiba.

"Enak aja, Syifa tuh yang udah punya incaran. Mas Hasbi kan Syif?" timpal teman satunya lagi, Jihan.

"Astaghfirullah, kagum bukan berarti suka ya" jawab gadis yang memiliki lesung pipi itu.

Namanya Asyifa Humaira, orang terdekatnya sering memanggilnya Syifa. Tahun ini usianya genap 21 tahun, dia seorang mahasiswi semester 5 salah satu kampus swasta berbasis agama di kota T.

Pribadinya yang ceria dan humble menjadikannya punya banyak teman, walau demikian, dia lebih sering bersama dengan kedua teman dekatnya dibanding dengan teman-temannya yang lain.

Syifa dan keluarganya tinggal di salah satu perkampungan yang jaraknya lumayan jauh dari kampusnya. Latar belakang keluarganya bukan lah dari masyarakat menengah atas, melainkan Syifa berasal dari keluarga yang sederhana. Ayahnya seorang wirausaha, sedangkan sang ibunda hanya ibu rumah tangga.

Syifa mempunyai dua adik, yang pertama masih menuntut ilmu di MA (Madrasah Aliyah), sedangkan yang kedua masih duduk di bangku MTs (Madrasah Tsanawiyah). Terkadang Syifa dan adiknya memberikan les privat juga belajar mengaji gratis untuk anak-anak di kampung itu.

Syifa juga masih mempunyai seorang kakek, dulu kakeknya berprofesi sebagai petani. Meskipun hanya seorang petani kakeknya mempunyai banyak teman dan relasi orang-orang sukses. Salah satunya kakek Nizar, seorang dokter sekaligus direktur utama di Rumah Sakit Ganendra, rumah sakit terbesar di kota ini. Kakek Nizar merupakan sahabat terbaik beliau dari sekolah dasar hingga SMA.

...(Ilustrasi foto keluarga kakek, nenek dan orang tua Syifa)...

...----------------...

Sembari menikmati angin yang sepoi-sepoi di bawah pohon rindang itu, Syifa memejamkan matanya sejenak. Dia teringat dengan pembicaraan kakek dan kedua orang tuanya beberapa hari yang lalu.

"Cucuku, Asyifa Humaira. Ada yang ingin kakek bicarakan denganmu, duduklah di samping orang tuamu"

"Hm, nggih kek"

Mereka sedang duduk di ruang keluarga yang biasa dipakai untuk bersantai dan menonton TV.

"Kalau kakek tidak salah ingat, tahun ini umur kamu sudah genap dua puluh satu tahun ya?"

"Nggih, betul kek"

"Nah itu artinya, kakek menganggap kamu sudah cukup umur untuk mengetahui maksud dari keinginan kakek. Kamu masih ingat kakek Nizar?" tanya kakeknya dengan tatapan serius.

"Masih, beliau sahabat baiknya kakek, kan?"

"Alhamdulillah kalau kamu masih ingat. Sebelum beliau meninggal dunia, kakek Nizar menitipkan satu wasiat pada kakekmu ini. Yaitu ingin menjodohkan cucunya, karena sampai sekarang cucu kakek Nizar masih lajang"

Syifa menyimak dengan seksama kata demi kata yang diucapkan oleh kakeknya, begitu juga dengan kedua orang tuanya.

"Maksud kakek ingin meminta bantuan Syifa mencarikan jodoh untuk cucunya kakek Nizar?" tanya Syifa lugu.

Sontak kakek dan kedua orang tuanya pun terkekeh karena keluguan Syifa.

"Haha bukan itu maksud kakek, ndo. Hm, justru kakek Nizar ingin menjodohkan cucunya dengan kamu, usianya berbeda sembilan tahun denganmu"

'Ya Allah, ngga salah denger ini? Menjodohkan aku dengan cucunya kakek Nizar?' seketika Syifa kesulitan menelan salivanya.

Syifa terperanjat mendengarnya, lewat isyarat mata Syifa meminta bantuan penjelasan dari abah dan umminya.

"Maaf sebelumnya abi, mungkin ini terlalu mendadak bagi Syifa. Kalau boleh Salwa tahu, apa perjodohan ini harus dilaksanakan secepatnya?" tutur ummi Salwa yang merupakan ibu kandung Syifa, beliau mencoba meminta penjelasan lebih detail dari ayah mertuanya.

"Bisa dibilang bukan mendadak. Hanya saja, aku dan Musthofa baru mengatakan hal ini pada kalian. Kakek dan abahmu sudah lebih dulu bertemu dengan cucunya Nizar" menjeda sejenak perkataanya.

"Dia seorang pria yang mapan, mempunyai karir yang bagus, berkharisma, tampan juga bertanggung jawab dan memiliki kepribadian yang baik. Jadi kemungkinan dia tidak akan menunda perjodohan ini" lanjut sang kakek sembari menyeruput teh hangat buatan sang cucu.

"Ngapunten, abi. Bagaimana dengan Syifa yang masih kuliah?" tanya ummi Salwa lagi, beliau paham betul kalau putrinya syok dengan pembicaraan kakeknya.

"Apa yang harus dikhawatirkan, Salwa? Syifa masih bisa melanjutkan kuliahnya. Pria itu juga tidak akan melarangnya, karena dia seorang dosen dan business man"

"Tapi Syifa tidak mengenalnya" lirih Syifa yang khawatir akan menyinggung perasaan sang kakek kalau langsung menolaknya.

"Dalam agama Islam jodoh merupakan rahasia, takdir Allah yang tidak diketahui manusia sama sekali. Manusia tidak akan pernah tahu siapa jodoh yang akan mendampingi selama hidup hingga kehidupan akhirat kelak. Tetapi setiap umat muslim perlu meyakini bahwa Allah adalah penentu takdir terbaik untuk setiap hamba-Nya" kini abah Musthofa mulai membuka suara.

"Islam melarang menikahkan dengan paksa, baik gadis atau janda dengan pria yang tidak disenanginya. Akad nikah tanpa kerelaan wanita tidaklah sah. Ia berhak menuntut dibatalkannya perkawinan yang dilakukan oleh walinya dengan paksa" jelas beliau pada putrinya juga ayahnya.

"Bukan kah ta'aruf sangat dianjurkan dalam Islam? Ketimbang seorang laki-laki dan perempuan menjalin pacaran sebelum ke pelaminan. Jika berpacaran dikhawatirkan mereka yang bukan mahram melakukan zina. Pada prinsipnya, tujuan ta'aruf yaitu mencari jodoh yang sesuai, sekufu, dan diridai Allah Swt. Tidak boleh ada niatan mencoba-coba dalam hal perjodohan" abah Musthofa mengakhiri pernyataan darinya.

"Menyambung dari penjelasan abah, di sini ummi mau bertanya pada Syifa. Apakah kamu sudah mempunyai pria pilihan sendiri atau sedang menyukai seseorang?"

Syifa menggeleng dengan tatapan sendu.

"Tidak ada ummi" menunduk tanpa berani menatap kedua orang tua dan kakeknya.

Orang tua dan kakeknya bernafas lega mendengar jawaban dari Syifa. Lalu sang kakek memberikan satu lembar foto seseorang pada cucunya itu. Dengan ragu-ragu Syifa menerimanya.

Syifa tertegun sesaat ketika melihat foto tersebut.

'Subhanallah..ini kah orangnya? Apa kakek tidak salah memberikan foto?' dia bertanya pada diri sendiri.

"Namanya Muhammad Fadhlan Ganendra, dia lulusan S1 salah satu universitas Swiss, lulus S2 di salah satu universitas ternama di Amerika, dan sekarang dia juga sedang menyelesaikan studi S3nya. Profesinya seorang dosen dan pewaris tunggal dari keluarga Ganendra" jelas kakek Ali saat Syifa masih memegang foto itu.

Syifa kembali kesulitan menelan salivanya mendengar penjelasan kakeknya tentang latar belakang pria yang akan dijodohkan dengannya.

'Masyaa Allah latar belakang keluarga dan pendidikannya hebat sekali'

"Dia sudah menjadi yatim piatu sejak usia remaja, dan dua tahun yang lalu, dia juga kehilangan kakeknya" tutur kakek Ali dengan kesedihan tersirat pada wajahnya.

'Innalillahi wa innailaihi roojiun, dibalik kesuksesan orang ini, ternyata sudah ditinggalkan orang-orang terdekatnya untuk selama-lamanya'

"Bagaimana pendapatmu, ndo?" tanya abahnya.

"Hmm.. itu, kalau boleh Syifa mau istikharah dulu abah, kakek"

"Tentu, tentu saja boleh" jawab kakek bahagia.

"Insyaa Allah minggu depan dia mau silaturrahmi ke sini bersama kerabatnya" tutur kakeknya lagi.

......................

"Syif, Syifa. Tidur ya ini bocah?"

Suara Jihan menyadarkan Syifa yang dari tadi memejamkan matanya.

"Eh, ya kenapa?" tanya Syifa kaget.

"Kamu lagi ngga enak badan ya?" tanya Adiba yang melihat sahabatnya lebih banyak diam hari ini.

"Engga ko, Diba. Hm..Kalian masih mau disini? Aku mau ke ruangan dulu ya” ujar Syifa melihat kedua temannya yang masih memakan cemilan.

"Aku juga mau udahan nih, ngga tahu tuh kalau Jihan"

"Hihh Adiba selalu saja aku yang kena batunya.."

"Kalian belum bayar ke ibu kantin kan? Sana bayar dulu gihh" titah Syifa.

"Diba..aku nebeng dulu ya hihi besok aku yang traktir" Jihan meringis menunjukkan gigi kelincinya.

"Kebiasaan kamu dehh, tungguin ya jangan ditinggal!" berjalan memasuki kantin yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat mereka duduk.

Sembari menunggu Adiba membayar ke ibu kantin, Syifa melihat layar handphonenya yang berdering.

Dari : Ummi

"Ndo, ingat pulangnya jangan terlalu sore. Keluarganya kakek Nizar mau silaturrahim nanti malam"

......................

Syifa menghela nafas panjang setelah menerima pesan dari umminya. Ketika hendak membalas, Jihan mengejutkan Syifa dengan kehadiran seseorang.

"Syif! Mas Hasbi tuhh..cowo idaman kamu. Eh..eh dia kesini" menepuk pundak Syifa kegirangan.

"Duhh, jangan heboh gitu dong...sakit nih" mengusap pundaknya.

"Hehe maaf Syif, habis excited banget.."

Hasbi, mahasiswa yang banyak menarik perhatian mahasiswi-mahasiswi di kampus. Selain berprestasi, dia terkenal dengan sosok yang agamis, aktif dalam kegiatan organisasi keagamaan dan suara merdunya ketika melantunkan qosidah juga ayat-ayat suci Al Qur'an di acara kampus membuat para mahasiswi di seluruh penjuru kampus terpesona dan mengaguminya.

"Assalamu'alaikum" sapa Yusuf, temannya Hasbi.

"Wa'alaikumussalam" jawab Syifa dan Jihan bersamaan.

"Han, dicariin nih sama ketua " sahut Yusuf.

"Eh iya kenapa Mas Hasbi?"

"Tentang persiapan acara minggu depan sudah sampai mana? Sudah disiapkan semuanya?" tanya Hasbi pada Jihan, namun mencuri pandang ke arah Syifa.

"Oh itu, udah beres mas. Paling dua kali latihan lagi juga temen-temen dari ekskul rebana udah siap"

"Ya sudah kalau begitu tolong di koordinasikan dengan baik ya Han, saya pamit dulu"

"Mas, dicari sama Syifa nih" ujar Jihan cekikikan menggoda temannya.

"Jihan!" pekik Syifa mencubit pelan lengan Jihan, kemudian tersenyum kaku tanpa melihat wajah Hasbi.

Hasbi membalas senyuman Syifa, suasana canggung menyelimuti keduanya.

"Yuk gais, kita balik ke ruangan" ujar Adiba yang sudah berdiri di samping Syifa.

"Emm yuk Diba, Jihan" ajak Syifa kembali menunduk ketika mengetahui Hasbi melihat ke arahnya, lalu langsung menarik lengan Adiba dan Jihan bersamaan.

"Ehh..ehh Syif bentaran, Mas Hasbi duluan ya, Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumussalam" jawab Hasbi dan Yusuf.

"Dihh kenapa itu bocah?" kata Yusuf merasa aneh dengan tingkah Syifa.

"Sudah, kita harus ke aula" ajak Hasbi berjalan meninggalkan Yusuf.

'Syifa ya namanya? Cantik, secantik orangnya' batin Hasbi merasakan satu getaran di hatinya.

...----------------...

Sebelum pulang ke rumah, Syifa mengecek handphone yang ia setel mode senyap selama kuliah. Dan benar saja, banyak panggilan tidak terjawab dari abah dan umminya, dia melupakan pesan yang dikirimkan oleh umminya.

Syifa pun bergegas pulang ke rumah, di tengah jalan dia mampir ke mini market untuk membelikan adik-adiknya es krim dan snack sesuai janjinya pada mereka kemarin.

* Mini Market

"Tasya sama Zaki emang ada aja permintaanya, udah tahu kakaknya di suruh cepet pulang, pakai acara nitip jajan segala" gumamnya.

Ketika Syifa hendak mengambil minuman kesukaanya yang hanya tinggal satu, tidak sengaja tangannya bersentuhan dengan tangan seseorang.

"Astaghfirullah" spontan langsung menarik tangannya.

Dia merasa tidak enak hati kalau barusan bersentuhan dengan tangan seseorang yang bukan mahrom. Syifa diam terpaku.

Perlahan dia menoleh ke samping dan terkejut dibuatnya. Seorang pria yang cukup tinggi, memakai setelan kemeja dengan bagian lengan yang di lipat sampai ke siku, berdiri tepat di sampingnya.

Syifa langsung menunduk ketika pria itu menoleh ke arahnya.

'Ya Allah, maafin Syifa ngga sengaja'

Sekilas Syifa melihat wajah pria itu, rahangnya yang tegas, hidungnya yang mancung, tatapan matanya yang tajam.

'seperti pernah lihat, tapi dimana ya?' tuturnya bermonolog dalam hati.

"Jadi ambil atau tidak?" tanya pria itu.

"Aa itu..silahkan ambil saja" jawabnya gugup.

'astaghfirullah malunya, jaga pandangan Syifa'

Saat Syifa memalingkan wajahnya, pria itu langsung pergi tanpa mengucapkan sepatah kata. Kesan yang ditinggalkan hanyalah ekspresi wajahnya yang dingin.

"Alhamdulillah akhirnya pergi juga" ucapnya merasa lega.

Ketika hendak berjalan menuju kasir, tidak sengaja Syifa menginjak sesuatu.

"Apa ini?" berjongkok untuk mengambilnya.

"Kalung? Punya siapa ya? Jangan-jangan punya orang tadi"

Ya, karena hanya ada dia dan pria tadi yang masuk ke minimarket itu. Niat hati mau mengejar pria itu, sampai dikira hendak kabur oleh kasir minimarket. Ternyata orangnya sudah tidak ada.

Lalu dia pun berinisiatif untuk menyimpannya di dalam dompet, siapa tahu suatu hari tidak sengaja bertemu dan bisa mengembalikan ke pemiliknya, pikirnya saat itu.

......................

Sampainya di rumah, Syifa melihat kakek dan abah sedang menunggu di teras rumah dengan cemas dan gelisah.

"Assalamu'alaikum" menyalami tangan abah Musthofa dan kakek.

"Wa'alaikumussalam, kenapa baru pulang Syifa?" tanya kakek khawatir.

"Emm..itu kek, tadi Syifa ta'ziah dulu sama temen-temen kampus" jelasnya sedikit gugup.

"Harusnya kamu kasih kabar nak, jadi tidak membuat yang dirumah khawatir. Di telfon juga tidak di angkat" imbuh abah yang terlihat sangat khawatir.

"Iya abah, kakek, maaf lain kali Syifa ngga akan mengulangi lagi" jawabnya tersenyum.

Setiap Syifa pulang terlambat, keluarganya pasti merasa sangat khawatir dan cemas. Hanya saja setiap kali dia bertanya tidak ada siapapun di rumah itu yang memberitahu penyebab mereka seperti itu padanya.

Namun suatu hari, Syifa pernah mendengar dari adik ayahnya, yang biasa ia panggil om Andi, beliau memberitahu kalau penyebab kakek dan orang tuanya seperti itu, karena dulu ketika Syifa masih kelas 2 di sekolah dasar, Syifa kecelakaan dan mengalami cidera yang cukup serius di kepala.

Dilihatnya ayah dan kakeknya seperti sedang berdiskusi lewat isyarat mata.

"Ekhem! Tapi kamu ingat kan, ndo?"

"Nggih kek, keluarganya kakek Nizar mau silaturrahmi kesini" jawab Syifa polos.

"Alhamdulillah..kalau begitu kamu bersiap ya, ndo"

"Ya sudah kakek, abah, Syifa masuk dulu ya"

......................

Syifa bernafas lega, bersyukur tidak jadi kena marah, akan tetapi moodnya sedikit buruk mengingat kata perjodohan. Dia menaruh kantong kresek bawaanya di meja makan. Dilihatnya ibunda tercinta sedang memasak di dapur, Syifa mendekati untuk mencium tangan sang ibunda.

"Baru pulang sayang?" tanya beliau melanjutkan aktivitas memasaknya.

"Iya ummi, tadi Syifa ta'ziah dulu"

"Innalillahi wa innailaihi roojiun, siapa yang meninggal nak?"

"Pak Jinan, dosen mata kuliah statistik mi"

"Semoga almarhum husnul khotimah Ya Rabb. Sesungguhnya setiap yang bernyawa akan merasakan yang namanya kematian"

"Aamiin. Hm, Tasya sama Zaki kemana ummi? Rasanya sepi sekali tidak ada mereka" tuturnya mencari keberadaan adik-adiknya.

"Tadi mereka disuruh kakek menjemput om Andi dan tante Dini, kebetulan ummi juga nitip jajanan untuk jamuan nanti malam. Jadi kemungkinan tantemu kerepotan"

"Begitu ya mi, ya sudah Syifa mau mandi dulu ya ummi sayang"

"Iya, jangan lupa sholat ashar, ndo"

"Sampun ummi sayang, tadi sekalian mampir di masjid"

"Alhamdulillah"

...----------------...

Hari pun semakin sore, tampak sinar jingga bersinar cerah menciptakan suasana senja kala itu menjadi sangat indah.

Sebelum adzan maghrib berkumandang di masjid maupun di musholla, adik dari ayahnya, om Andi datang bersama istri juga kedua adik Syifa.

"Kak, kenapa pakai gamis ini sih? Jelek ih, ganti pakai dress yang udah aku siapin" ujar Tasya, adik perempuan Syifa menarik tangan kakaknya ke kamar.

"Nanti deh, kakak mau sholat dulu. Lagipula ini juga bagus, Sya"

"Sst..kakak, ini dikirimin langsung sama calon suami loh" celetuk Zaki, adik Syifa yang paling tampan sendiri.

"Hufft..iya deh duo bocil cerewet! Udah gih sana pada sholat, udah adzan tuh"

...(M. Zaki Muzani & Tasya Fakhirah, Adik dari Syifa)...

......................

Selepas pulang dari masjid dekat rumah, abah Musthofa, kakek, om Andi dan Zaki melihat dua mobil berhenti di halaman rumah. Sepertinya tamu yang mereka tunggu baru datang, mereka langsung menyambutnya dengan hangat.

Kakek memeluk salah satu tamu itu layaknya orang yang sudah lama baru berjumpa kembali, hingga tidak terasa menitihkan air mata kerinduan dan bahagia.

Ummi Salwa, Tasya dan tante Dini menyambut mereka di ruang tamu. Syifa yang bersembunyi di ruang keluarga mengintip dari balik tirai, melihat kakeknya begitu bahagia sampai tidak ingin duduk jauh-jauh dari seorang pria muda yang memakai setelan jas.

"Kak, itu yang di samping kakek ya?" bisik Tasya pada Zaki.

"Iya dek, ganteng banget ya. Kak Zaki pengin juga punya wajah ganteng begitu"

"Haha mimpi lahh itu"

......................

* Ruang Tamu

"Masyaa Allah, nak, kakek sangat senang mendengar kabar kalau kamu mau datang kemari" memuji pria muda di sampingnya.

Pria itu hanya tersenyum tipis menanggapinya.

"Jadi, beberapa hari setelah datang ke kota ini. Fadhlan menghubungi saya dan tantenya, bahwa dia berniat untuk langsung melamar putri dari abang Musthofa" jelas paman Romi yang merupakan adik kandung dari ayahnya Fadhlan.

Fadhlan Ganendra, lelaki yang disebut-sebut cucu dari dokter Nizar, sahabat dari kakeknya Syifa. Sudah sangat lama sekitar 13 tahun yang lalu, dari kepindahannya yang mendadak bersama keluarganya ke kota P. Dan hari ini dia baru menginjakkan kaki kembali di tempat yang menyimpan banyak kenangan dirinya dengan calon tunangannya.

 

...****************...

...Asyifa Humaira...

...M. Fadhlan Ganendra...

*Gambar hanya pemanis ya kak ☺️❤️

Part 22 : Saling Menyadari

Fadlan berjalan santai keluar dari kamar mandi, dilihatnya sang istri sedang sibuk dengan handphone dan beberapa lembar kertas di meja.

"Banyak tugas?" tanya Fadlan duduk di tepi tempat tidur.

'ngapain juga tanya, udah cape lari, di tambah harus cari jawaban soal tadi siang lagi. Dia beneran kak Fadlan yang dulu aku kenal bukan sih?' gerutu Syifa.

"Hemm" masih fokus dengan kertas di mejanya.

Syifa enggan menoleh pada suaminya karena terbayang kejadian ketika listrik padam. Fadlan hanya menghela nafas melihat respon dari Syifa, tapi dia juga penasaran, apa yang sedang dikerjakan oleh istrinya.

Karena terlalu fokus dan sibuk bermonolog dalam hati, Syifa tidak menyadari kalau saat ini suaminya sudah berdiri di belakang kursinya dengan jarak yang sangat dekat.

"Mau saya bantu?" bisik Fadlan di telinga istrinya.

Syifa terperanjat dari tempat duduknya dan segera menoleh ke belakang.

"Astaghfirullah ngagetin aja! Tidak terimakasih" jawabnya ketus.

"Kata bibi kakimu terluka?"

"Bukan urusan anda, pak" beralih menuju tempat tidur.

"Dek, masih marah?" memegang lengan istrinya.

"Udah lah, ngga usah modus. Apa belum puas ngerjain saya di kampus? Belum puas bikin malu saya di depan yang lain?" Syifa menatap kesal pada suaminya.

"Oke, saya minta maaf kalau kamu merasa dipermalukan. Tapi saya sama sekali tidak berniat mempermalukanmu dek"

"Hmm, terserah" duduk di tepi tempat tidur.

"Apa saya harus mempublikasikan hubungan kita di forum kampus?" pungkas Fadlan santai.

Fadlan meraih handphone Syifa yang berada di meja, jarinya mulai mengutak-atik layar handphone mencari foto pernikahan mereka.

"Jangan! Sini kembalikan hpnya" berjalan ke arah Fadlan hendak merebut handphone miliknya.

"Ambil kalau bisa" ledek Fadlan mengangkat ke atas handphone istrinya.

"Kak Fadlan! Ihh apaan sih! Ngga lucu tahu" berjinjit hendak meraihnya namun tetap saja tidak bisa karena kalah tinggi dengan suaminya.

"Siapa suruh kamu marah terus?" tanya Fadlan makin menjadi meledek istrinya.

"Sini hpnya! Kak Fadlan!" Syifa terdiam menyadari panggilannya "Eh, p-pak Fadlan" ucapnya kaku.

"Tidak usah pura-pura lagi" mengembalikan handphone Syifa lalu berjalan keluar dari kamar.

DEG!

'Barusan dia bilang tidak usah pura-pura? Apa kak Fadlan sudah tahu aku mengingatnya?' Syifa bermonolog dalam hati.

......................

Esok harinya, Syifa berkumpul dengan kedua sahabatnya sepulang dari kuliah. Sebelum pulang ke rumah, mereka mampir ke cafe dekat kampus, bisa dibilang basecamp mereka.

Sembari menunggu pesanan mereka datang, hambar rasanya kalau tidak ada curhatan dan obrolan di antara mereka.

"Kamu masih belum baikan sama pak dosen, Syif?" tanya Adiba memulai pembicaraan.

Syifa hanya menggelengkan kepala.

"Sebetulnya kamu kenapa sih, bestie? Masih cemburu sama saudara sepupunya atau karena hukuman lari dari pak Fadlan?" timpal Jihan yang kepo.

"Ngga tahu lah, males kalau bahas dia. Apalagi tadi malem-" Syifa menggelengkan kepala teringat kejadian semalam.

"Semalam kenapa?" tanya Jihan lagi.

"Ah, tidak apa-apa" tersenyum kaku.

"Roman-romannya kamu jatuh cinta ya sama pak Fadlan?" Adiba mencoba menebak sahabatnya.

"Hem, Jujur sebetulnya aku juga ngga tahu dengan perasaanku sendiri" jawabnya lesu.

"Diba, Jihan, ada yang mau aku kasih tahu ke kalian" lanjut Syifa menatap serius kedua sahabatnya.

"Kalau semisal kalian dulu akrab banget sama seseorang yang sudah kenal sejak kecil seperti saudara sendiri. Dan ternyata sekarang kalian mau dijodohkan sama orang itu, kira-kira gimana tanggapan kalian?"

"Kalau aku sih lihat dulu orangnya gimana. Ya meskipun udah kenal dari kecil, ngga menjamin juga orang itu tulus sayang ke kita. Kecuali dia jujur bilang cinta sama kita ya oke lanjut" jawab Jihan bijak.

"Kalau kamu Diba?" tanya Syifa menoleh pada Adiba.

"Menurutku, karena udah kenal sejak kecil. Tentu kita lebih tahu bagaimana dia bersikap pada kedua orang tuanya dan lingkungan pergaulannya. Aku pernah dengar salah satu tausiyah dari ustadz yang menyampaikan bagaimana memilih calon suami yang singkat dan padat" ujar Adiba.

"Masyaa Allah ustadzah kita, apa tipsnya tuh? Kasih tahu dong" Jihan mulai menggoda Adiba.

"Pertama, carilah calon suami yang cinta dengan ilmu. Maksudnya siapa orangnya yang gemar datang ke majelis-majelis ilmu, ngga harus orang pondok, tetapi dia gemar hadir di majelis, dia cinta dengan ilmu.

Kedua, yang sholat. Kalau ada calon suami tidak sholat jangan di pilih, karena apa? Allah saja di khianati, apalagi kamu?

Ketiga, cari calon suami yang bagus kepada orang tuanya. Kepada orang tuanya yang melahirkan saja ngga bagus apalagi dengan kamu? Carilah calon suami yang birul walidain"

Mendengarkan jawaban dari sahabatnya, Syifa terdiam dan menyadari kesalahan yang dia perbuat pada suaminya.

'Ya Rabb, maafkan Syifa sudah menjadi istri yang buruk untuk suami hamba'

"Syifa, kamu baik-baik saja? Kenapa menangis?" tanya Jihan melihat sahabatnya menitihkan air mata.

"Aku tidak apa-apa. Terimakasih Diba, jawabanmu menyadarkanku"

"Tapi kenapa kamu menangis Syif. Cerita sama kita, hm?"

"Jadi sebenarnya aku sama pak Fadlan sudah lama kenal bahkan sejak aku kecil" menghapus air matanya.

"Serius kamu Syif? Tapi kamu bilang baru kenal waktu dijodohkan sama kakek?" Jihan seperti tidak percaya dengan perkataan Syifa.

Berbeda dengan Adiba yang sudah mengetahuinya dari Aidan sewaktu mengantar dirinya dan Jihan pulang.

'berarti yang dibilang sama pak Aidan itu betul ya, dia ngga bohong' Adiba bermonolog dalam hati.

"Hmm serius Jihan, dulu aku pernah kecelakaan. Karena kecelakaan itu, aku mengalami amnesia" lirih Syifa menatap kedua sahabatnya.

"Ya Allah, Syif. Maaf banget kita ngga tahu" Jihan terlihat begitu syok mendengarnya.

"Bisa di bilang kalau selama ini aku kehilangan beberapa ingatanku di masa kecil. Alhamdulillah perlahan ingatan itu kembali, meskipun baru kemarin"

Adiba dan Jihan terdiam mendengarnya.

"Dulu aku sudah menganggap pak Fadlan sebagai kakak yang selalu menyayangi dan menjagaku seperti adiknya sendiri, sampai suatu hari dia pindah ke luar kota ikut dengan orang tuanya" Syifa berusaha tetap tenang saat menceritakannya.

"Setelah kecelakaan yang menimpaku, satu-satunya orang yang tidak bisa aku ingat adalah dia" suaranya mulai gemetar menahan tangis.

Jihan menggenggam tangan Syifa yang duduk di sebelahnya.

"Pak Fadlan tahu kondisi kamu seperti ini?" tanya Adiba

Syifa mengangguk pelan.

"Pasti dia bakal seneng banget deh Syif kalau tahu ingatan kamu udah kembali" celetuk Jihan tiba-tiba.

"Entah, dia seperti orang lain. Bukan seperti yang dulu aku kenal"

"Hmm, ini cuma saran aku aja ya Syif. Bagaimana pun kalian sudah menjadi suami istri, ada baiknya kamu mulai belajar membuka hati dan mengakui perasaan kamu sekarang. Tanpa harus terbayang rasa bersalah karena mencintai orang yang dulu kamu anggap sebagai kakak. Tapi ini kenyataan yang harus kamu terima, dia suami kamu" Adiba menjelaskan perlahan.

"Kalau sikap pak Fadlan dingin, sebagai seorang istri baiknya kamu tidak membalas dingin juga, karena ngga bakal bisa ketemu titik terangnya. Inget ngga Syif pesannya ummi? Kalau sudah menjadi istri, bayaran termahalnya adalah ridho suami. Seorang wanita kalau sudah menikah syurganya ada pada bagaimana ridho suaminya terhadap apa saja yang dilakukannya.

Prestasi terbesarnya adalah ketika dia mampu mencetak anak-anak yang sholeh dan sholehah. Tidak ada prestasi dan pencapaian yang lebih luar biasa dari seorang wanita selain ia mampu melahirkan serta mendidik anak-anaknya menjadi anak-anak yang solehah berguna bagi kedua orang tuanya, bagi agama dan negara. Setinggi apapun pertasi yang dapat diraihnya di luar sana jika dia tidak mampu mendidik anak-anaknya dia tidak akan dianggap perempuan yang sukses

Tidak ada salahnya sebagai istri mulai beri perhatian kecil, lama-kelamaan hati suaminya pasti akan luluh"

"Ya Allah, selama ini Syifa sudah salah" menghela nafas dan menyandarkan kepalanya pada meja.

"Kamu ngga sepenuhnya salah ko Syif. Dan yang sudah berlalu, masih bisa diperbaiki. Insyaa Allah nanti rasa cinta dan sayang itu tumbuh dengan sendirinya" menghibur hati sahabatnya.

"Bukan sebagai kakak ya? Kan udah jadi suami istri.. " sambung Jihan yang ikut menghibur.

Syifa tersenyum kecil mendengar nasehat dari sahabat-sahabatnya.

"Insyaa Allah nanti akan aku lakukan. Aku pernah tidak sengaja mendengar pembicaraan dia dengan pamannya, tapi, sekarang aku tahu maksud perkataan dari om Romi"

"Alhamdulillah, semoga dimudahkan oleh Allah ya Syif, aku percaya kalau sahabatku ini istri yang shalihah"

"Aamiin" jawab Syifa dan Jihan bersamaan.

"Aku mau ke toilet dulu ya Diba, Jihan" beranjak menuju toilet yang ada di tempat makan.

"Eh, Diba. Jadi selama ini Syifa belum di unboxing sama pak Fadlan ya?"

"Hussh! Bukan urusan kita" tegur Diba.

"Ya maaf, kan cuma nanya"

"Itu privasi rumah tangga mereka Jihan cantik, lagian nanti kalau kamu menikah juga bakal tahu sendiri"

"Oh, iya juga ya. Tadi kamu bilang apa? Jihan cantik? Haha akhirnya kamu mengakui kalau aku cantik, bilang lagi dong Diba.. "

"Dih, apa sih? Gaje"

"Hehe.. cepetan bilang lagi"

...----------------...

Di lain tempat, Fadlan sedang makan siang bersama ketiga sahabatnya di restoran favorit mereka.

"Lu kenapa Fad? Akhir-akhir ini gue lihat, ngga semangat seperti biasanya?" tanya Alwi memperhatikan Fadlan yang bolak balik mengecek handphonenya.

Yang di tanya hanya diam tak menanggapi. Alwi bertanya pada Salim dan Aidan lewat isyarat mata.

"Istrinya masih ngambek" jawab Aidan yang terlalu jujur.

Mendengar jawaban itu, Fadlan melirik Aidan dengan tatapan dingin.

"Bertengkar lagi? Ya Allah, kalian menikah apa pacaran sih?" tanya Salim keheranan.

Aidan terkekeh mendengar pertanyaan Salim.

"Bisa kita makan tanpa diskusi?" mode dingin dari Fadlan sedang kambuh.

"Wihh, tenang, santai bos Fadlan. Come on, lu bisa cerita sama kita sebagai saudara dan sahabat. Siapa tahu kita bisa kasih saran atau masukan yang bikin lu lebih tenang, ya kan guys?" ucap Alwi mencoba meredam mode kulkas sahabatnya.

"Ingatan Syifa sudah pulih" pungkas Fadlan.

"What? Serius?"

"Alhamdulillah, ikut senang dengarnya" jawab Salim.

"Lalu masalahnya?" tanya Aidan.

Fadlan terlihat menghela nafas sebelum melanjutkan pembicaraan.

"Masalahnya, Syifa masih saja menghindar dan menjaga jarak"

"Berapa lama kalian berpisah?" tanya Alwi.

"Kurang lebih dua belas tahun"

"Yo, Fad. Dua belas tahun itu bukan sebentar, gue paham gimana rasanya jadi dia. Orang yang dulunya udah kita anggap dekat, terus berpisah, lost contact setelah dua belas tahun baru ketemu lagi.

Di tambah dia baru sembuh ingatannya tentang lu, ya jelas dia bingung harus ngapain, harus bersikap seperti apa, Syifa yang sekarang bukan Syifa yang dulu sering lu ceritain, yang manja, yang lu gendong dan ngikutin lu kemana-mana, dia udah jadi wanita dewasa Fad" jelas Alwi panjang lebar.

"Setuju, gue juga berpikir gitu" timpal Aidan.

"Kalau boleh kasih saran ya Fad, ajak Syifa pergi ke tempat yang dulu biasanya kalian datangi. Siapa tahu dengan mengajaknya untuk mengingat kenangan masa kecilnya bisa membuatnya semakin dekat denganmu" ujar Salim bijak.

"Lagi pula semenjak baru menikah gue lihat lu sibuk kerja mulu, istri lu dianggurin, giliran sekarang lu dianggurin baru tahu rasa kan?" cetus Aidan.

"Ok, memang ada rencana seperti itu. Tinggal menunggu waktu yang tepat"

"Waktu yang tepat itu kapan sih Fad? Jangan bilang kalau lu sama istri lu belum itu?" tanya Alwi mulai meledek Fadlan.

"Lu denger ngga tadi dia bilang istrinya masih menghindar sama jaga jarak, ya berarti belum lah" timpal Aidan.

"Hufft, gue turut prihatin ya Fad. Sabar"

Salim menggelengkan kepalanya melihat Alwi dan Aidan bergantian menggoda Fadlan.

"Mungkin dia butuh waktu Fad untuk menerima kenyataan kalau sekarang dia menjadi istrimu, semoga saja dengan perhatian dan kasih sayangmu yang tulus, hatinya dilembutkan oleh Allah. Juga cinta akan mulai tumbuh diantara kalian"

"Aamiin, terimakasih Lim"

"Fad, kalau lu bisa selesaikan sendiri, tidak perlu orang lain untuk ikut menyelesaikan. Apalagi kalau lu udah tahu istri lu ngga suka" saran Aidan menegaskan kalau Fadlan tidak membutuhkan bantuan Helena dan tantenya.

Fadlan merasa sedikit lega setelah mendengar beberapa saran dan nasehat dari sahabat-sahabatnya. Meskipun dalam hati dan pikirannya masih kacau. Mereka lalu melanjutkan makan siang, kemudian kembali menjalankan aktivitas masing-masing.

Setelah pekerjaanya selesai, Fadlan memilih pulang ke rumah lebih awal. Sesampainya di rumah, dia langsung mencari istrinya, namun nihil, istrinya tidak ada di rumah.

"Aden tumben jam segini sudah pulang?" tanya bi' Darsih melihat Fadlan sedang duduk di dekat kolam renang.

"Ya bi, tidak ada pekerjaan lain"

"Oh iya den. Mau bibi buatkan cemilan atau minuman den? "

"Tidak usah bi. Apa Syifa belum pulang?" tanya Fadlan membuang rasa gengsinya.

"Belum den, mungkin sebentar lagi"

"Saya mau sholat ashar dulu bi', nanti kalau Syifa pulang minta tolong sampaikan padanya untuk menemui saya"

"Baik den"

Bi' Darsih kembali menuju dapur dan melanjutkan memasak untuk makan malam untuk majikannya. Sedang Fadlan memilih mandi lalu menunaikan sholat ashar di ruangan yang memang di desain untuk tempat sholat seperti musholla kecil.

...****************...

Part 23 : Munajat Do'a

Setengah jam berlalu, Syifa yang baru saja pulang dari kampus, berjalan masuk ke dalam rumah dan hendak menuju dapur. Bi' Darsih dan Lastri menyambut istri tuannya dengan senyuman.

"Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumussalam non Syifa" jawab mereka kompak.

"Bibi masak apa? Duh, dari aromanya bikin Syifa jadi laper"

"Ini non masak rendang"

"Wah enak nih. Syifa bantuin ya bi?"

"Eh, non Syifa. Ngga usah bantuin bi' Darsih. Non dicariin sama pangerannya tuh, iya kan bude?" ujar Lastri meledek Syifa.

Syifa menoleh ke arah bi' Darsih dengan tatapan bingung.

"Hehe, iya non. Tadi den Fadlan nitip pesen sama bibi, kalau non Syifa pulang disuruh nyamperin den Fadlan" tutur bi' Darsih sembari mematikan kompor.

"Hm, memangnya pak Fadlan dimana bi?"

"Tadi sih bilangnya mau sholat ashar, non. Mungkin sekarang masih di musholla non"

"Ya sudah bi, nanti Syifa ke sana. Terimakasih ya bi. Lala, nih ada titipan dari Jihan katanya buat kamu" memberikan bungkusan pada Lastri.

"Eh, titipan apa non?"

"Aku juga kurang tahu La, kata Jihan semoga bisa bermanfaat buat kamu"

"Sampaikan terimakasih ya non Syifa buat mba Jihan"

Setelah berbincang dengan bi' Darsih dan Lastri, Syifa memutuskan untuk kembali ke kamar untuk mandi dan berganti pakaian. Karena dia merasa kurang nyaman kalau menemui suaminya masih mengenakan pakaian yang dipakainya kuliah dari pagi.

Selesai mandi Syifa merasa lebih segar, tak lupa dia memilih home dress lengan panjang dengan motif bunga dipadukan dengan jilbab pashmina warna senada, kemudian dia memakai parfum dengan aroma yang disukai suaminya.

Mengingat pembicaraannya dengan Adiba dan Jihan, Syifa mengesampingkan ego dan gengsinya untuk menghampiri suaminya.

'duh, kebiasaan deh pasti deg-degan begini' mencoba menenangkan hatinya.

Syifa turun ke lantai satu dan menuju tempat sholat yang ada di rumah itu. Sama-samar dia mendengar suaminya sedang tadarus Al-Qur'an, semakin dia melangkah mendekat semakin jelas terdengar suara merdu suaminya yang menenangkan hati.

Dilihatnya suaminya yang sedang khusyu' menyimak Al Qur'an yang sedang di bacanya. Syifa memilih menunggu suaminya sampai selesai tadarusnya.

Selesai membaca Al Qur'an, Fadlan menengadahkan tangannya, memanjatkan munajat do'a dengan sangat khusyu'.

"Ya Allah, Engkau pemilik bumi dan segala isinya, Engkau pemilik langit dan seisinya. Engkau pemilik Syurga dan neraka. Engkau pemilik keagungan Arsy-Mu.

Hati istriku, Asyifa Humaira binti Musthofa juga milik-Mu. Jika pernikahan ini mendatangkan kebahagiaan dunia dan akhirat bagi kami berdua, lembutkanlah hati istri hamba, jika bukan, maka izinkanlah hamba sebagai suami memperbaiki yang salah dalam pernikahan kami berdua-"

Hati Syifa bergetar mendengar lisan suaminya menyebut namanya dalam munajat do'anya. Butiran air mata tak kuasa ia tahan, perasaan bersalah menyelimuti hatinya.

Syifa beranjak dan langsung memeluk suaminya dari belakang. Fadlan sempat terlonjak kaget karena tiba-tiba ada yang memeluknya, namun setelah mendengar suara istrinya, dia bernafas lega.

Tidak ada sepatah kata yang keluar dari lisan Syifa, dia hanya bisa menangis terisak sambil memeluk suaminya. Mendengar tangisan istrinya membuat hati Fadlan juga ikut sedih.

"Kamu sudah pulang, dek?" tanya Fadlan pelan setelah menyelesaikan munajat do'anya.

Namun Syifa masih saja menangis. Fadlan berbalik arah menghadap istrinya, sedangkan Syifa masih menyembunyikan wajahnya dalam pelukan suaminya.

"Maafin Syifa, maaf" ujar Syifa di sela isak tangisnya.

"Saya yang seharusnya minta maaf, dek. Maafkan saya sudah membuatmu sedih dan sakit hati"

"Engga kak, Syifa yang salah. Hiks, hiks...Syifa yang sudah melanggar janji sampai terucap ingin mengakhiri pernikahan ini" makin erat memeluk suaminya.

"Maafin Syifa kak, Syifa sudah jadi istri durhaka sampai tidak memperdulikan suami sendiri. Syifa takut kalau Allah memisahkan kita lagi"

'Masyaa Allah, Alhamdulillah 'ala kulli hal. Allah Maha Pembolak balik hati hamba-Nya'

"Syifa. Dengar sayang, tidak ada yang mau berpisah. Kakak di sini sama kamu" ucap Fadlan begitu lembut terdengar di telinga Syifa.

'kak Fadlan? nada panggilan ini, sungguh Syifa merindukan dia memanggil dengan nada selembut ini'

"Sudah dek, jangan menangis lagi" mengusap pelan punggung istrinya memberikan sedikit ketenangan di hati istrinya.

Perlahan Syifa melepaskan pelukannya, tetapi dia masih menunduk malu ketika hendak melihat wajah suaminya.

"Sejak kapan kak Fadlan tahu kalau Syifa sudah ingat tentang kakak?" tanya Syifa dengan suara serak.

"Semenjak kamu berusaha menghindar" jawab Fadlan mencubit gemas pipi Syifa.

"Ish, kakak! Kenapa semua nutupin dari Syifa sih? Kakak juga ikutan, padahal tahu dari awal tapi ngga bilang" memasang wajah kesal.

"Ya mau gimana? Meskipun kamu bilang keberatan dengan perjodohan waktu itu, tapi saya justru jatuh cinta sama kamu" ungkap Fadlan tersenyum.

Pipi Syifa merona mendengarnya, di dalam hatinya sedang berbunga-bunga karena mendengar ungkapan cinta dari suaminya.

Tempat sholat di rumah mereka menjadi saksi akan keromantisan pasangan pengantin baru yang sebelumnya mereka masih saling menjaga jarak, namun sekarang Allah sedang menunjukkan kuasa-Nya. Secara medis, dokter telah memvonis amnesia yang dialami Syifa bisa saja permanen, kecuali ada keajaiban dari Sang Maha Kuasa.

"Bismillah ya dek, semoga dengan kembalinya ingatanmu , Allah meridhoi pernikahan kita dan memberi kesempatan untuk kita berdua membangun rumah tangga yang sakinah mawaddah dan warahmah" pungkas Fadlan mengecup kening istrinya.

"Aamiin. Ingatkan Syifa kalau salah atau bandel ya, mas?" ujar Syifa malu-malu.

"Jadi masih mau manggilnya kakak atau mas ini?" goda Fadlan membelai lembut puncak kepala istrinya.

Syifa tampak seperti sedang berfikir sejenak.

"Kalau mas boleh ngga? Kan sekarang udah jadi suami istri, nanti kalau manggil kakak tahunya orang malah kakak beradik" mengingat kejadian di supermarket tempo hari.

"Boleh sayang. Panggilan mesra lainnya juga boleh"

"Tapi di kampus tetep aja manggilnya bapak"

"Panggil sayang juga boleh, siapa bilang ngga boleh? Itu pun kalau kamu berani" balas Fadlan dengan nada meledek.

"Berani lah, cuma-"

"Sudah berani go public?"

"Eh, bukan itu"

"Dek, kita lanjut ngobrolnya di taman belakang ya? Kalau di sini siapa tahu mang Sholeh atau pak Agus mau sholat"

"Oh iya, mas betul juga"

Fadlan dan Syifa berjalan beriringan keluar dari tempat sholat sambil sesekali bergurau mesra. Lastri yang tidak sengaja melihat kemesraan majikannya, segera berlari menuju dapur menemui bi' Darsih.

"Bude, kabar bahagia bude. Mereka udah baikan" ujar Lastri kegirangan.

"Kesambet apa kamu sih La? Senyum-senyum gitu, mereka siapa?"

"Ih, ngga kesambet loh bude. Itu den Fadlan sama non Syifa, Ya Allah mesra banget bude. Jalan aja sambil gandengan tangan duh, ikut bahagia lihatnya"

"Beneran La?"

"Bener bude, lihat aja sendiri"

Belum sempat bi' Darsih dan Lastri hendak mengintip dua sejoli yang sedang kasmaran, Syifa malah mengagetkan mereka berdua yang berada di dapur.

"Hayo, ngomongin siapa?" tegur Syifa dengan nada bercanda.

"E-eh non Syifa. Ngga ngomongin siapa-siapa non" jawab Lastri berbohong.

"Ada yang bisa bibi bantu, non?"

"Biar Syifa saja bi, paling cuma bikin coklat panas kesukaanya pak Fadlan"

"Oh iya non"

......................

Fadlan menunggu istrinya di taman belakang dekat kolam renang sambil membaca buku. Istrinya kembali dengan membawa dua gelas minuman coklat di tangannya, tidak lupa Syifa menyunggingkan senyuman manis untuk suaminya.

"Silahkan diminum mas"

"Terimakasih sayang. Nanti malam, apa kamu sibuk?" tanya Fadlan menatap kedua netra istrinya.

"Tidak mas, kenapa?"

"Saya ada undangan dari teman, kamu mau tidak menemani saya pergi kesana?" memberanikan diri mengajak Syifa pergi ke acara temannya.

"Undangan apa mas? Hmm kalau urusan pekerjaan, saya malu" ujar Syifa menunduk karena merasa minder.

"Bukan dek. Acara tasyakuran aqiqah anaknya teman. Lagipula kalau urusan pekerjaan, kenapa malu?" mendekatkan posisi duduknya.

"Itu, saya-"

Perkataan Syifa terhenti ketika Fadlan menempelkan jari telunjuknya pada bibir Syifa.

"Ssst! Saya tidak ingin mendengar kamu bilang tidak pantas. Coba ingat pesan abah, suami istri adalah pakaian untuk pasangannya.

Imam Nawawi dalam Tafsir Nawawi juga menjelaskan makna pakaian bagi pasangan suami istri yaitu saling menutupi keburukan di antara keduanya. Adek ingat itu?"

(Syaikh Nawawi, Tafsir An-Nawawi, Surabaya: Dar Al-Ilmi, juz I, hal. 49).

Tatapan Fadlan yang meneduhkan hati membuat Syifa tidak bisa berkata-kata.

"Hm, iya ingat"

"Jadi jawabanya mau atau tidak?"

"Iya mau"

"Alhamdulillah, terimakasih istriku" mengecup singkat pipi istrinya.

"Sama-sama mas"

Fadlan masih terus saja memandangi wajah istrinya, dia enggan mengalihkan pandangannya.

"Ada yang salah ya sama wajah Syifa?"

"Tidak ada, dek. Mas bersyukur karena Allah telah mempertemukan kita berdua dalam ikatan pernikahan ini" Fadlan menggenggam tangan istrinya.

"Iya mas, kalau menurut nalar manusia pasti dibilang tidak masuk akal. Belasan tahun Syifa amnesia dan lost kontak sama mas Fadlan. Tetapi hanya dalam hitungan bulan, Allah mengembalikan ingatan Syifa setelah bertemu lagi dengan kakak eh, maksudnya mas Fadlan"

Fadlan tersenyum mendengar ungkapan isi hati istrinya.

"Dek, ingat bahwasanya dalam Al Qur'an sudah dijabarkan dalam Surat An-Nur ayat 26:

Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia"

"Banyak orang yang memberikan standar tinggi pada jodoh, namun mereka lupa memberikan standar yang sama pada diri sendiri. Jika yang sering datang lelaki/wanita yang kurang berkualitas, coba evaluasi diri, jangan-jangan itu diri kita"

Syifa menyimak setiap penjelasan yang disampaikan oleh suaminya. Dia kagum dengan sosok suaminya yang begitu dewasa dan sangat sabar menghadapi sifat dirinya.

"Hm, tapi nih mas. Maaf sekali lagi, bukan maksud Syifa mau buat mas marah. Memangnya mas sebelumnya ngga pengin punya istri yang wajahnya seperti artis atau bintang film, waktu itu mas juga bilang kalau kakek Nizar pernah menjodohkan mas Fadlan sama Ning di pondok pesantren mas dulu kan? Kenapa Syifa? Apa karena mas Fadlan sudah mengenal anaknya abah Musthofa ini sejak kecil?"

"Tentu mas punya alasan tersendiri, kamu mau tahu?" tanya Fadlan menggoda Syifa.

"Kalau ngga pengin tahu ngapain Syifa tanya sih mas?" memasang raut wajah cemberut.

"Ini mas bicara jujur, sebelum almarhum kakek meminta mas berkenalan dengan beberapa wanita yang akan dijodohkan, biasanya mas meminta Aidan untuk mencari tahu masa lalu wanita itu, pernah punya mantan siapa saja, bagaimana latar belakang keluarganya, bagaimana lingkungan pertemanannya dan kesehariannya"

'aku jadi ngerasa malu sendiri sama kak Fadlan, karena waktu itu udah bilang kalau dia asal memilih saja, taunya dia sudah cari tahu data valid tentang wanita yang akan di jodohkan dengannya'

"Sedetail itu mas? Berarti mas juga cari tahu informasi tentang saya?" tanya Syifa penasaran.

Suaminya hanya mengangguk sembari tersenyum. Dalam hatinya Syifa merasa sangat beruntung karena tanpa sepengetahuannya, dia lah pemenang di antara wanita yang akan dijodohkan pada Fadlan. Dia wanita yang dipilih oleh pria yang sekarang menjadi suaminya.

"Di dunia ini saya tidak punya banyak keinginan, dek. Saya yakin selama kita hidup lurus dan benar untuk Allah, pasti Allah tidak akan memberi kita sesuatu yang tidak pantas. Pasti Allah beri yang terbaik, kalau mengikuti nafsu yang begini begitu tidak akan ada habisnya. Padahal yang paling pasti itu kematian. Mas hanya ingin hidup tenang sesuai maunya Allah saja dek" Fadlan menengadahkan kepala memandang indahnya langit sore itu.

'Subhanallah, kalau lagi mode serius begini, nambah ganteng banget suamiku'

"Karena sepintar-pintarnya manusia adalah yang selalu mempersiapkan kematiannya. Syifa pernah dengar nasehat itu sewaktu belajar di pondok, ya meskipun hanya beberapa bulan saja di sana"

"Kenapa tidak lanjut mondoknya?" Fadlan tidak tahu menahu kalau istrinya pernah menimba ilmu di pesantren.

"Memangnya abah sama kakek ngga cerita sama mas? Wah kurang valid sih informasi yang bapak Fadlan dapetin"

"Tidak, abah sama kakek tidak bilang ke saya"

"Hehe alhamdulillah, kalau diceritain juga malu-maluin sih mas. Syifa merasa jadi manusia yang lemah banget, sering sakit kepala, demam, terus tiba-tiba pingsan" bercerita sambil menahan sedih.

"Orang yang membully kamu ada di pesantren itu?" Fadlan hanya asal menebak namun siapa sangka kalau justru itu kebenarannya.

"Mas kenapa bisa tahu? Ehm, tapi jangan bilang ke ummi sama abah ya mas, soalnya Syifa ngga mau bahas tentang orang yang membully Syifa lagi"

Fadlan menggenggam erat tangan istrinya begitu mendengar jawaban darinya. Hatinya ikut merasa sakit, ternyata selama ini Syifa berusaha menutupi dari keluarganya dan menguatkan mentalnya sendiri meskipun dia pernah menjadi korban bullying semasa di sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama.

Yang membuatnya semakin sedih, dia tidak ada di sana ketika Syifa menjadi korban bullying. Bahkan goresan luka yang sudah lama itu masih membekas di beberapa bagian tubuh istrinya. Awalnya dia hendak bertanya pada istrinya, darimana bekas luka yang ada di bagian tangan, punggung dan kaki istrinya tetapi sekarang terjawab sudah rasa penasarannya.

'bodohnya aku tidak menyadari dari awal kalau ini luka yang tidak biasa, maafkan aku yang gagal menjadi kakakmu dek, namun akan aku pastikan aku tidak akan gagal menjadi suamimu. mereka harus mendapatkan pelajaran atas apa yang sudah mereka lakukan padamu'

Fadlan merasa tidak terima akan perbuatan orang yang sudah membully istrinya. Dia bertekad untuk mencari informasi dan keberadaan orang yang membully istrinya untuk memberi peringatan pada mereka.

...----------------...

Di lain tempat Adiba dan umminya sedang kerepotan membawa beberapa barang belanjaan yang baru saja di belinya dari supermarket. Adiba terlihat sibuk membuka layar handphonenya.

"Sudah dapat drivernya, nak?"

"Belum ummi" masih sibuk menekan layar handphonenya untuk memesan taxi online.

"Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan, nak. Kita tunggu saja dulu di sana sebentar. Siapa tahu jalanan sedang macet karena sekarang jam pulang kerja"

"Nggih ummi, biar Diba yang bawa ini mi. Ummi bawa yang ringan-ringan saja" hendak mengangkat dus dari troli belanja.

Terlihat seorang pria muda menyapa Adiba dan umminya, yang ternyata Aidan.

"Didie?" tegur Aidan mendekati Adiba.

Adiba terperangah melihat sosok Aidan yang sudah berdiri disebelahnya, ditambah dengan panggilan yang Aidan sebut untuk dirinya karena di sana ada umminya.

"Wa'alaikumussalam" jawab Adiba langsung menunduk.

"Oh, maaf. Assalamu'alaikum" ujar Aidan salah tingkah menyadari ada ibunda dari Adiba.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah" jawab ummi Fatima dan Adiba.

"Ini siapa, nak?" tanya ummi Fatima melihat ekspresi dari Aidan.

"Saya Aidan, teman suaminya Syifa, bu"

Adiba tersenyum canggung mendengar jawaban dari Aidan.

'kenapa harus bertemu manusia satu ini Ya Allah, mana ada ummi, panggilnya seenak jidat'

"Oh begitu"

"Sedang menunggu jemputan ya bu?" tanya Aidan pada ummi Fatima.

"Ya nak, abinya Adiba sedang ada acara jadi kita pulangnya naik taxi online"

Kembali pada Adiba yang fokus pada layar handphonenya.

"Loh kenapa di cancel lagi, astaghfirullah, udah lima kali ini" lirih Adiba kecewa.

"Kenapa, nak? Di tolak lagi ya sama drivernya?"

"Hm, nggih ummi"

Tiba-tiba hujan turun begitu derasnya, hingga banyak orang berteduh di pinggiran toko juga supermarket. Adiba dan umminya semakin bingung hendak pulang ke rumah naik apa, karena waktu hampir menjelang maghrib.

"Biar saya antar pulang saja bu. Kebetulan saya bawa mobil sendiri" Aidan menawarkan tumpangan.

"Tidak, terimakasih" ketus Adiba.

"Terimakasih sebelumnya tapi kami khawatir nanti merepotkanmu nak Aidan"

"Sama sekali tidak merepotkan, bu. Kebetulan searah dengan rumah saya" jelas Aidan tersenyum.

Tanpa menunggu persetujuan dari Adiba dan umminya, Aidan membantu mengangkat dus yang ada di troli belanjaan juga beberapa kantong plastik yang di bawa ummi Fatima.

"Mari bu, lewat sini" pungkas Aidan yang tak lupa menyunggingkan senyuman.

'Astaghfirullah, nanti malam siap-siap di sidang sama abi ummi nih'

Akhirnya mereka pulang diantar oleh Aidan. Ummi Fatima tidak banyak bicara selama berada di mobil, tetapi beliau memperhatikan sikap dan gerak-gerik Aidan yang terlihat sedang mencari perhatian pada putrinya.

Ummi Fatima merasa kalau beliau maupun Adiba belum menyebutkan alamat rumahnya, tetapi mengapa pria itu sudah tahu rumahnya? Beliau bertanya-tanya dalam hati.

Aidan pun tak lupa membantu membawa barang belanjaan mereka sampai di depan rumah, kemudian menyalami abinya Adiba.

"Assalamu'alaikum, pak"

"Wa'alaikumussalam. Nak Aidan? Kenapa bisa mengantar istri dan putri saya?" tanya ustadz Taufiq bergantian melihat ummi Fatima dan Adiba.

"Ternyata abi sudah kenal sama nak Aidan ya. Tadi tidak sengaja bertemu di supermarket bi" jawab ummi Fatima.

"Sudah, kan waktu itu dia mengantar Adiba dan Jihan mi. Disuruh sama abahnya Syifa katanya. Mampir dulu nak, sambil menunggu hujannya reda"

Aidan ingin mengiyakan tawaran dari orang tua Adiba, namun Adiba memberi kode menggelengkan kepalanya.

"Ehm, mungkin lain waktu saja pak. Saya-"

"Sudah jangan sungkan. Lagipula hujannya masih deras sekali. Anggap saja ini tanda terimakasih saya karena sudah mengantarkan dua bidadari saya pulang dengan selamat sampai rumah" ujar ustadz Taufiq bergurau.

Ustadz Taufiq dan ummi Fatima lebih dulu masuk ke dalam rumah, meninggalkan Adiba dan Aidan yang masih berdiri di teras rumah.

"Cemberut aja dari tadi" ledek Aidan menyenggol lengan Adiba.

"Terserah saya"

"Biasanya juga kamu cerewet"

"Apaan sih pak Aidan? Kalau bapak ngga ada urusan lagi mending langsung pulang aja deh. Nanti ummi sama abi mengira yang bukan-bukan"

"Tapi kemeja saya basah, Didie. Setidaknya saya mau mengeringkan kemeja saya dulu, boleh kan?" memasang wajah memelas.

'iya juga, pasti karena tadi bawa dus belanjaan dari mobil jadi dia kehujanan. jahat banget kalau langsung nyuruh dia pulang, tapi ummi sama abi pasti mengira yang lain'

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!