Fadlan berjalan santai keluar dari kamar mandi, dilihatnya sang istri sedang sibuk dengan handphone dan beberapa lembar kertas di meja.
"Banyak tugas?" tanya Fadlan duduk di tepi tempat tidur.
'ngapain juga tanya, udah cape lari, di tambah harus cari jawaban soal tadi siang lagi. Dia beneran kak Fadlan yang dulu aku kenal bukan sih?' gerutu Syifa.
"Hemm" masih fokus dengan kertas di mejanya.
Syifa enggan menoleh pada suaminya karena terbayang kejadian ketika listrik padam. Fadlan hanya menghela nafas melihat respon dari Syifa, tapi dia juga penasaran, apa yang sedang dikerjakan oleh istrinya.
Karena terlalu fokus dan sibuk bermonolog dalam hati, Syifa tidak menyadari kalau saat ini suaminya sudah berdiri di belakang kursinya dengan jarak yang sangat dekat.
"Mau saya bantu?" bisik Fadlan di telinga istrinya.
Syifa terperanjat dari tempat duduknya dan segera menoleh ke belakang.
"Astaghfirullah ngagetin aja! Tidak terimakasih" jawabnya ketus.
"Kata bibi kakimu terluka?"
"Bukan urusan anda, pak" beralih menuju tempat tidur.
"Dek, masih marah?" memegang lengan istrinya.
"Udah lah, ngga usah modus. Apa belum puas ngerjain saya di kampus? Belum puas bikin malu saya di depan yang lain?" Syifa menatap kesal pada suaminya.
"Oke, saya minta maaf kalau kamu merasa dipermalukan. Tapi saya sama sekali tidak berniat mempermalukanmu dek"
"Hmm, terserah" duduk di tepi tempat tidur.
"Apa saya harus mempublikasikan hubungan kita di forum kampus?" pungkas Fadlan santai.
Fadlan meraih handphone Syifa yang berada di meja, jarinya mulai mengutak-atik layar handphone mencari foto pernikahan mereka.
"Jangan! Sini kembalikan hpnya" berjalan ke arah Fadlan hendak merebut handphone miliknya.
"Ambil kalau bisa" ledek Fadlan mengangkat ke atas handphone istrinya.
"Kak Fadlan! Ihh apaan sih! Ngga lucu tahu" berjinjit hendak meraihnya namun tetap saja tidak bisa karena kalah tinggi dengan suaminya.
"Siapa suruh kamu marah terus?" tanya Fadlan makin menjadi meledek istrinya.
"Sini hpnya! Kak Fadlan!" Syifa terdiam menyadari panggilannya "Eh, p-pak Fadlan" ucapnya kaku.
"Tidak usah pura-pura lagi" mengembalikan handphone Syifa lalu berjalan keluar dari kamar.
DEG!
'Barusan dia bilang tidak usah pura-pura? Apa kak Fadlan sudah tahu aku mengingatnya?' Syifa bermonolog dalam hati.
......................
Esok harinya, Syifa berkumpul dengan kedua sahabatnya sepulang dari kuliah. Sebelum pulang ke rumah, mereka mampir ke cafe dekat kampus, bisa dibilang basecamp mereka.
Sembari menunggu pesanan mereka datang, hambar rasanya kalau tidak ada curhatan dan obrolan di antara mereka.
"Kamu masih belum baikan sama pak dosen, Syif?" tanya Adiba memulai pembicaraan.
Syifa hanya menggelengkan kepala.
"Sebetulnya kamu kenapa sih, bestie? Masih cemburu sama saudara sepupunya atau karena hukuman lari dari pak Fadlan?" timpal Jihan yang kepo.
"Ngga tahu lah, males kalau bahas dia. Apalagi tadi malem-" Syifa menggelengkan kepala teringat kejadian semalam.
"Semalam kenapa?" tanya Jihan lagi.
"Ah, tidak apa-apa" tersenyum kaku.
"Roman-romannya kamu jatuh cinta ya sama pak Fadlan?" Adiba mencoba menebak sahabatnya.
"Hem, Jujur sebetulnya aku juga ngga tahu dengan perasaanku sendiri" jawabnya lesu.
"Diba, Jihan, ada yang mau aku kasih tahu ke kalian" lanjut Syifa menatap serius kedua sahabatnya.
"Kalau semisal kalian dulu akrab banget sama seseorang yang sudah kenal sejak kecil seperti saudara sendiri. Dan ternyata sekarang kalian mau dijodohkan sama orang itu, kira-kira gimana tanggapan kalian?"
"Kalau aku sih lihat dulu orangnya gimana. Ya meskipun udah kenal dari kecil, ngga menjamin juga orang itu tulus sayang ke kita. Kecuali dia jujur bilang cinta sama kita ya oke lanjut" jawab Jihan bijak.
"Kalau kamu Diba?" tanya Syifa menoleh pada Adiba.
"Menurutku, karena udah kenal sejak kecil. Tentu kita lebih tahu bagaimana dia bersikap pada kedua orang tuanya dan lingkungan pergaulannya. Aku pernah dengar salah satu tausiyah dari ustadz yang menyampaikan bagaimana memilih calon suami yang singkat dan padat" ujar Adiba.
"Masyaa Allah ustadzah kita, apa tipsnya tuh? Kasih tahu dong" Jihan mulai menggoda Adiba.
"Pertama, carilah calon suami yang cinta dengan ilmu. Maksudnya siapa orangnya yang gemar datang ke majelis-majelis ilmu, ngga harus orang pondok, tetapi dia gemar hadir di majelis, dia cinta dengan ilmu.
Kedua, yang sholat. Kalau ada calon suami tidak sholat jangan di pilih, karena apa? Allah saja di khianati, apalagi kamu?
Ketiga, cari calon suami yang bagus kepada orang tuanya. Kepada orang tuanya yang melahirkan saja ngga bagus apalagi dengan kamu? Carilah calon suami yang birul walidain"
Mendengarkan jawaban dari sahabatnya, Syifa terdiam dan menyadari kesalahan yang dia perbuat pada suaminya.
'Ya Rabb, maafkan Syifa sudah menjadi istri yang buruk untuk suami hamba'
"Syifa, kamu baik-baik saja? Kenapa menangis?" tanya Jihan melihat sahabatnya menitihkan air mata.
"Aku tidak apa-apa. Terimakasih Diba, jawabanmu menyadarkanku"
"Tapi kenapa kamu menangis Syif. Cerita sama kita, hm?"
"Jadi sebenarnya aku sama pak Fadlan sudah lama kenal bahkan sejak aku kecil" menghapus air matanya.
"Serius kamu Syif? Tapi kamu bilang baru kenal waktu dijodohkan sama kakek?" Jihan seperti tidak percaya dengan perkataan Syifa.
Berbeda dengan Adiba yang sudah mengetahuinya dari Aidan sewaktu mengantar dirinya dan Jihan pulang.
'berarti yang dibilang sama pak Aidan itu betul ya, dia ngga bohong' Adiba bermonolog dalam hati.
"Hmm serius Jihan, dulu aku pernah kecelakaan. Karena kecelakaan itu, aku mengalami amnesia" lirih Syifa menatap kedua sahabatnya.
"Ya Allah, Syif. Maaf banget kita ngga tahu" Jihan terlihat begitu syok mendengarnya.
"Bisa di bilang kalau selama ini aku kehilangan beberapa ingatanku di masa kecil. Alhamdulillah perlahan ingatan itu kembali, meskipun baru kemarin"
Adiba dan Jihan terdiam mendengarnya.
"Dulu aku sudah menganggap pak Fadlan sebagai kakak yang selalu menyayangi dan menjagaku seperti adiknya sendiri, sampai suatu hari dia pindah ke luar kota ikut dengan orang tuanya" Syifa berusaha tetap tenang saat menceritakannya.
"Setelah kecelakaan yang menimpaku, satu-satunya orang yang tidak bisa aku ingat adalah dia" suaranya mulai gemetar menahan tangis.
Jihan menggenggam tangan Syifa yang duduk di sebelahnya.
"Pak Fadlan tahu kondisi kamu seperti ini?" tanya Adiba
Syifa mengangguk pelan.
"Pasti dia bakal seneng banget deh Syif kalau tahu ingatan kamu udah kembali" celetuk Jihan tiba-tiba.
"Entah, dia seperti orang lain. Bukan seperti yang dulu aku kenal"
"Hmm, ini cuma saran aku aja ya Syif. Bagaimana pun kalian sudah menjadi suami istri, ada baiknya kamu mulai belajar membuka hati dan mengakui perasaan kamu sekarang. Tanpa harus terbayang rasa bersalah karena mencintai orang yang dulu kamu anggap sebagai kakak. Tapi ini kenyataan yang harus kamu terima, dia suami kamu" Adiba menjelaskan perlahan.
"Kalau sikap pak Fadlan dingin, sebagai seorang istri baiknya kamu tidak membalas dingin juga, karena ngga bakal bisa ketemu titik terangnya. Inget ngga Syif pesannya ummi? Kalau sudah menjadi istri, bayaran termahalnya adalah ridho suami. Seorang wanita kalau sudah menikah syurganya ada pada bagaimana ridho suaminya terhadap apa saja yang dilakukannya.
Prestasi terbesarnya adalah ketika dia mampu mencetak anak-anak yang sholeh dan sholehah. Tidak ada prestasi dan pencapaian yang lebih luar biasa dari seorang wanita selain ia mampu melahirkan serta mendidik anak-anaknya menjadi anak-anak yang solehah berguna bagi kedua orang tuanya, bagi agama dan negara. Setinggi apapun pertasi yang dapat diraihnya di luar sana jika dia tidak mampu mendidik anak-anaknya dia tidak akan dianggap perempuan yang sukses
Tidak ada salahnya sebagai istri mulai beri perhatian kecil, lama-kelamaan hati suaminya pasti akan luluh"
"Ya Allah, selama ini Syifa sudah salah" menghela nafas dan menyandarkan kepalanya pada meja.
"Kamu ngga sepenuhnya salah ko Syif. Dan yang sudah berlalu, masih bisa diperbaiki. Insyaa Allah nanti rasa cinta dan sayang itu tumbuh dengan sendirinya" menghibur hati sahabatnya.
"Bukan sebagai kakak ya? Kan udah jadi suami istri.. " sambung Jihan yang ikut menghibur.
Syifa tersenyum kecil mendengar nasehat dari sahabat-sahabatnya.
"Insyaa Allah nanti akan aku lakukan. Aku pernah tidak sengaja mendengar pembicaraan dia dengan pamannya, tapi, sekarang aku tahu maksud perkataan dari om Romi"
"Alhamdulillah, semoga dimudahkan oleh Allah ya Syif, aku percaya kalau sahabatku ini istri yang shalihah"
"Aamiin" jawab Syifa dan Jihan bersamaan.
"Aku mau ke toilet dulu ya Diba, Jihan" beranjak menuju toilet yang ada di tempat makan.
"Eh, Diba. Jadi selama ini Syifa belum di unboxing sama pak Fadlan ya?"
"Hussh! Bukan urusan kita" tegur Diba.
"Ya maaf, kan cuma nanya"
"Itu privasi rumah tangga mereka Jihan cantik, lagian nanti kalau kamu menikah juga bakal tahu sendiri"
"Oh, iya juga ya. Tadi kamu bilang apa? Jihan cantik? Haha akhirnya kamu mengakui kalau aku cantik, bilang lagi dong Diba.. "
"Dih, apa sih? Gaje"
"Hehe.. cepetan bilang lagi"
...----------------...
Di lain tempat, Fadlan sedang makan siang bersama ketiga sahabatnya di restoran favorit mereka.
"Lu kenapa Fad? Akhir-akhir ini gue lihat, ngga semangat seperti biasanya?" tanya Alwi memperhatikan Fadlan yang bolak balik mengecek handphonenya.
Yang di tanya hanya diam tak menanggapi. Alwi bertanya pada Salim dan Aidan lewat isyarat mata.
"Istrinya masih ngambek" jawab Aidan yang terlalu jujur.
Mendengar jawaban itu, Fadlan melirik Aidan dengan tatapan dingin.
"Bertengkar lagi? Ya Allah, kalian menikah apa pacaran sih?" tanya Salim keheranan.
Aidan terkekeh mendengar pertanyaan Salim.
"Bisa kita makan tanpa diskusi?" mode dingin dari Fadlan sedang kambuh.
"Wihh, tenang, santai bos Fadlan. Come on, lu bisa cerita sama kita sebagai saudara dan sahabat. Siapa tahu kita bisa kasih saran atau masukan yang bikin lu lebih tenang, ya kan guys?" ucap Alwi mencoba meredam mode kulkas sahabatnya.
"Ingatan Syifa sudah pulih" pungkas Fadlan.
"What? Serius?"
"Alhamdulillah, ikut senang dengarnya" jawab Salim.
"Lalu masalahnya?" tanya Aidan.
Fadlan terlihat menghela nafas sebelum melanjutkan pembicaraan.
"Masalahnya, Syifa masih saja menghindar dan menjaga jarak"
"Berapa lama kalian berpisah?" tanya Alwi.
"Kurang lebih dua belas tahun"
"Yo, Fad. Dua belas tahun itu bukan sebentar, gue paham gimana rasanya jadi dia. Orang yang dulunya udah kita anggap dekat, terus berpisah, lost contact setelah dua belas tahun baru ketemu lagi.
Di tambah dia baru sembuh ingatannya tentang lu, ya jelas dia bingung harus ngapain, harus bersikap seperti apa, Syifa yang sekarang bukan Syifa yang dulu sering lu ceritain, yang manja, yang lu gendong dan ngikutin lu kemana-mana, dia udah jadi wanita dewasa Fad" jelas Alwi panjang lebar.
"Setuju, gue juga berpikir gitu" timpal Aidan.
"Kalau boleh kasih saran ya Fad, ajak Syifa pergi ke tempat yang dulu biasanya kalian datangi. Siapa tahu dengan mengajaknya untuk mengingat kenangan masa kecilnya bisa membuatnya semakin dekat denganmu" ujar Salim bijak.
"Lagi pula semenjak baru menikah gue lihat lu sibuk kerja mulu, istri lu dianggurin, giliran sekarang lu dianggurin baru tahu rasa kan?" cetus Aidan.
"Ok, memang ada rencana seperti itu. Tinggal menunggu waktu yang tepat"
"Waktu yang tepat itu kapan sih Fad? Jangan bilang kalau lu sama istri lu belum itu?" tanya Alwi mulai meledek Fadlan.
"Lu denger ngga tadi dia bilang istrinya masih menghindar sama jaga jarak, ya berarti belum lah" timpal Aidan.
"Hufft, gue turut prihatin ya Fad. Sabar"
Salim menggelengkan kepalanya melihat Alwi dan Aidan bergantian menggoda Fadlan.
"Mungkin dia butuh waktu Fad untuk menerima kenyataan kalau sekarang dia menjadi istrimu, semoga saja dengan perhatian dan kasih sayangmu yang tulus, hatinya dilembutkan oleh Allah. Juga cinta akan mulai tumbuh diantara kalian"
"Aamiin, terimakasih Lim"
"Fad, kalau lu bisa selesaikan sendiri, tidak perlu orang lain untuk ikut menyelesaikan. Apalagi kalau lu udah tahu istri lu ngga suka" saran Aidan menegaskan kalau Fadlan tidak membutuhkan bantuan Helena dan tantenya.
Fadlan merasa sedikit lega setelah mendengar beberapa saran dan nasehat dari sahabat-sahabatnya. Meskipun dalam hati dan pikirannya masih kacau. Mereka lalu melanjutkan makan siang, kemudian kembali menjalankan aktivitas masing-masing.
Setelah pekerjaanya selesai, Fadlan memilih pulang ke rumah lebih awal. Sesampainya di rumah, dia langsung mencari istrinya, namun nihil, istrinya tidak ada di rumah.
"Aden tumben jam segini sudah pulang?" tanya bi' Darsih melihat Fadlan sedang duduk di dekat kolam renang.
"Ya bi, tidak ada pekerjaan lain"
"Oh iya den. Mau bibi buatkan cemilan atau minuman den? "
"Tidak usah bi. Apa Syifa belum pulang?" tanya Fadlan membuang rasa gengsinya.
"Belum den, mungkin sebentar lagi"
"Saya mau sholat ashar dulu bi', nanti kalau Syifa pulang minta tolong sampaikan padanya untuk menemui saya"
"Baik den"
Bi' Darsih kembali menuju dapur dan melanjutkan memasak untuk makan malam untuk majikannya. Sedang Fadlan memilih mandi lalu menunaikan sholat ashar di ruangan yang memang di desain untuk tempat sholat seperti musholla kecil.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Aira Azzahra Humaira
udah dong ngambek nya kasian
2024-09-20
1