Orang bilang punya kakak laki-laki itu enak, ada yang jaga dan ada yang mencintai kita dengan tulus bahkan lebih ke protect. Nyatanya?
Mungkinkah karena kami sodara tiri? Bisa saja karena itu. Apalagi baru jalan dua bulan ini kami menjadi sodara. Tidak ada manis dan baik-baiknya sama sekali. Meski visual mereka memang sempat membuat aku hampir berpaling dari Min Yoongi.
"Maaf, ya, Hilda."
Wajah sahabatku terlihat tidak seceria tadi. Aku tahu, dia pasti ingin membeli sesuatu di mini market. Kemungkinan besar bahan pokok yang waktu itu dia beli sudah habis.
Hilda. Dia memang gadis baik yang sayangnya kebaikan yang dia miliki tidak sebaik nasibnya. Tidak memiliki ayah dan ibu. Hanya memiliki nenek yang sudah sepuh serta dua adiknya yang masih SMP dan SD.
"Gak apa-apa, Si. Kita bisa naik angkot bareng lagi kan? Kayaknya udah lama banget kita gak naik angkot bareng lagi."
Perubahan hidupku membuat jarak yang tidak aku sadari. Dia temanku yang begitu baik. Saat orang lain menjauh, dia mendekat.
"Ini." Aku memberikan selembar uang berwarna biru padanya. "Jangan tersinggung. Ini buat adik kamu. Beliin dia jajanan nanti sepulang sekolah. Saat ini aku cuma bis kasih segini. Meski Papa Indra orang kaya, aku gak mau memanfaatkan dia, Hil. Dikasih ya diterima."
Hilda mengelus lengan atasku dengan senyuman yang meneduhkan. Kacamatanya yang mulai kusam sedikit melorot. Dia bilang kacamata dia memang sudah tidak layak pakai.
Ada sesuatu yang perih di dalam sini meski tanpa ada pisau yang menyayatnya.
Sudah 20 menit lamanya kami menunggu di pinggir jalan, tapi belum juga ada angkot yang mengarah ke rumah aku dan Hilda.
"Ayo naik."
Mobil sedan berwarna hitam berhenti di depanku dan Hilda.
Arzhan? Bukankah dia ....
Aku masih kesal padanya, tapi mengingat Hilda harus pulang juga, maka rasa itu aku redam dalam-dalam.
Suasana dalam mobil ini begitu berbeda dengan mobil Papa Indra. Entah kenapa tapi rasanya lebih dingin.
Apa karena AC mobil ini memang lebih dingin?
"Mau jajan?"
Aku dan Hilda saling menatap. Meski berusaha disembunyikan, aku bisa melihat dari pupil Hilda yang melebar jika dia begitu berharap aku mengatakan 'mau'.
"Iya, Kak. Aku dan Papa biasanya berhenti di mini market itu." Aku menunjuk mini market langganan aku dan Papa Indra jajan sepulang sekolah.
"Enggak di sini. Kita ke supermarket."
"Ha?"
Keningku mengkerut mendengar ucapan Arzhan.
Dalam perjalanan aku dan Hilda membicarakan banyak hal, termasuk Amel dan teman-temannya.
"Jangan membaca keburukan orang lain. Dosa."
"Tapi bener, Kak. Amel itu nyebelin banget. Dia suka iseng sama anak lain. Kerjaannya dandan, sok cantik banget pokoknya."
"Meski begitu, kamu tidak boleh membicarakan keburukan orang."
"Habisnya aku kesel. Dia sering banget ngatain aku tau. Dulu dia sering bilang kalau mama tuh wanita nakal, kerja malam sebagai wanita penghibur. Mana ada wanita tanpa suami bisa menghidupi aku dengan layak. Dia juga pernah bikin rok aku merah seolah aku lagi haid. Malu, ih."
"Semenjak kalian bersaudara aja dia jadi baik. Ya, kan, Si?" Hilda ikut menambahkan.
"Bener itu."
"Kalau dia menganggu kamu lagi, itu akan menjadi urusanku."
Eh?
Percakapan berhenti karena mobil sudah masuk parkiran super market.
Bukan yang pertama kali memang, tapi masuk ke supermarket bisa aku hitung dengan jari tangan. Aku dan Hilda begitu antusias.
"Ambil troli yang besar."
Aku dan Hilda saling menatap dengan senyuman yang paling manis yang kami miliki. Kami seperti anak kecil yang begitu bahagia. Mendorong troli sambil berlari kecil.
Berjalan dari lorong satu ke lorong lain. Mengambil apapun yang kami inginkan, yang kami lihat, dan yang membuat mata kami tertarik.
Hanya saja, ketertarikan mataku dan Hilda berbeda. Troli kami memiliki isi yang berbeda.
Sekali lagi, rasa perih itu muncul dalam hati. Rasanya aku malu pada diriku, pada Hilda dan juga pada Arzhan.
"Ada apa?" Arzhan bertanya seraya mengusap kepalaku dengan lembut.
Deg!
Eh! Kenapa ini jantungku?
Untuk pertama kalinya aku merasakan sesuatu yang mengalir dalam tubuhku, mengikuti aliran darah. Rasanya panas. Entah karena apa.
"Tidak apa. Kamu boleh ambil apa saja yang kamu mau."
"Aku malu, Kak. Isi troli aku dan Hilda, kok, timpang banget, ya."
"Itu artinya kamu harus bersyukur 'kan?"
Hanya anggukan kepala yang bisa aku lakukan saat ini.
Hilda Mash berdiri di rak yang isinya berbagai macam merk beras. Aku tahu, dia pasti sedang memilih yang lebih murah.
Kaki ini bergerak untuk melangkah dan mengambil beberapa kantung beras untuk Hilda. Namun, langkah Arzhan mendahului.
"Jangan, Kak. Ini mahal."
Arzhan mengabaikan ucapan Hilda. Dia mengambil sekitar lima kantung beras berukuran cukup besar. Hilda nampak malu meski matanya terlihat sangat bahagia.
Aku tersenyum melihat kejadian itu, aku senang melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah Hilda. Juga karena ....
Aku ....
Segera aku mengusap wajah dengan kasar. Berharap kesadaranku segera kembali dan melupakan pikiran-pikiran aneh dalam kepala.
Setelah selesai berbelanja, aku mengantar Hilda terlebih dahulu. Membantu dia menurunkan belanjaannya, lalu pamit.
"Aku seperti supir taksi rasanya," ucap Arzhan sebelum mobil jalan.
"Kenapa? memangnya ada ya taksi sebagus mobil kakak?"
"Aku di depan, kamu di belakang. Persis seperti supir dan penumpang."
Otakku yang sedari tadi konslet, susah untuk diajak berpikir.
"Pindah ke depan."
oh ... eh, ke depan? aku duduk sampingan, gitu, sama dia?
"Ayo, Papa dan keluarga udah nunggu."
"Emang mau ngapain?"
"Makan malam. Ayo, kamu pindah ke depan."
Ada yang aneh dengan tubuhku ini. Rasanya seperti akan menghadapi ujian saja. Jantungku tidak karuan dan tanganku terasa dingin.
"Pake sabuknya."
"Sabuk apa?"
Arzhan menoleh. Mata kami saling bertemu pandang. Tatapan itu membuat aku seperti tinggal dalam freezer ukuran besar. Aku bagaikan es kiko, beku.
"Ini."
Astaga ... help!
Sekuat tenaga aku berusaha menahan nafas saat Arzhan membantuku memakaikan sabuk pengaman. Bagaimana tidak, pipinya berada tepat di depan wajahku.
Ah, wanginya selalu membuat aku nyaman. Eh, woiii. Eling!
Aaahhh. Akhirnya aku bisa bernafas dengan lega. Kini Arzhan sudah kembali ke tempat duduknya di belakang stir.
Perjalanan kali ini seperti menyusuri lorong rumah hantu. Tegang. Tanpa bicara, aku menyibukkan diri dengan main game di ponsel. Mengalihkan rasa amburadul yang aku rasakan saat ini.
Akhirnya kami sampai di sebuah restoran. Jika dilihat dari bangunan dan semua isi yang ada di dalamnya, sudah jelas ini pasti restoran mahal.
Ada seorang pelayan yang bahkan mengawal kami berjalan menuju Papa Indra dan Mama berada. Dia membawa aku dan Arzhan ke lantai dua menaiki sebuah lift.
Aduuuh, bahaya ini. Aku 'kan puyeng kalau naik lift.
Benar saja, begitu lift naik, kepalaku berasa lepas. Refleks tanganku mencari pegangan terdekat agar aku tidak jatuh. Itu adalah tangan Arzhan.
Dia tidak mengatakan apa-apa meski aku mencengkram cukup kencang. Sepertinya dia mengerti betapa udiknya adik tirinya ini.
Aku berpikir bahwa dia akan marah dan menepis tanganku, tapi ternyata tidak. Dia malah membuat aku hampir kehilangan jantung.
Tangannya menyentuh punggung tanganku dengan lembut. Seolah memberikan kekuatan untukku yang lemah tak berdaya ini karena sebuah lift.
Gustiii, cukup kepalaku yang kliyengan, jangan juga jantungku yang dibuat an Faal. Hiks!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Winsulistyowati
Hmm..Suka dgn Bhasa anda Thor..enak.dibca..asiik👍👍💪💪🖐️
2022-12-18
1