Makan malam

"Hai, Ma, Pa, Kak." Aku menyapa mereka yang sudah lebih dulu ada di sana.

"Hai, Nak. Papa minta maaf, ya, karena gak jadi jemput."

"Gak apa-apa, kok, Pah."

Arzhan menarik kursi. Dia mempersilakan aku untuk duduk.

"Gimana sekolahnya adikku yang manis ini, hmm?" Fateeh yang duduk di sebelahku bertanya. Dia mengusap kepalaku sambil tersenyum manis.

Tunggu sebentar ....

"Kak, coba ulang sekali lagi."

"Apanya?"

"Ini." Aku menunjuk kepalaku. "Belai sekali lagi, coba."

"Lu apaan, sih. Kenapa emangnya?"

Aku menarik tangan Fateeh untuk kembali membeli kepalaku.

"Lakukan dengan lembut."

"Ck! lu apaan, sih. Aneh banget."

Meski menggerutu, tapi Fateeh mau melakukannya apa yang aku minta. Dia membelai kepalaku dengan lembut.

"Kok, beda, ya."

"Beda apanya?"

Mama, Papa Indra, memperhatikan aku dan Fateeh. Sepertinya merekapun penasaran dengan apa yang aku katakan.

"Aaah, bukan apa-apa." Aku tersenyum canggung. Sekilas aku melirik Arzhan yang juga duduk di sebelahku. Dia tidak perduli dengan apa yang terjadi, dan sibuk dengan ponselnya.

"Kenapa lama sekali, Si?" tanya Mama.

"Tadi Kak Arzhan ngajak belanja dulu, Ma."

"Belanja?"

Aku menganggukkan kepala cepat.

"Pa, Papa masih ingat gak sama temenku yang suka ikut pulang. Itu loh, Hilda."

"Iya, Papa ingat. Kenapa memangnya?"

"Tadi aku dan Kak Arzhan ngajak dia belanja, tapi bukan ke mini market yang suka kita kunjungi. Kakak membawa kami ke supermarket. Tau, gak, Pah. Kak Arzhan belanjain dia banyak banget. Isinya kebutuhan pokok semua. Jajanannya cuma dikit."

"Hilda yang tinggal sama neneknya itu?"

"Iya, Ma. Dia seneng banget dikasih banyak berasa dan makanan lainnya."

"Siapa, sih?" Fateeh penasaran.

"Dia itu temen sekelas aku. Namanya Hilda. Udah gak punya orang tua dan tinggal sama nenek dan dua adiknya. Hilda biasanya jadi buruh cuci gosok kalau hari libur, pulang sekolah dia jualan rujak sama bakwan keliling jalan kaki."

"Lu gak pindah ke sekolah bagus aja, Dek? Ngapain masih sekolah di sana?"

"Bener apa kata Fateeh, sebaiknya kamu pindah sekolah saja. Ada sekolah bagus dekat rumah Papa. Nanti kamu akan lebih deket juga berangkatnya." Papa Indra menjelaskan.

"Lebih deket gimana, itu kan deketnya sama rumah Papa, bukan rumah aku."

Papa Indra dan Mama saling menatap. Lalu mereka berdua menatapku. Ada sedikit keraguan di wajah mereka saat hendak berbicara.

"Mama dan Papa, juga kamu tentunya, akan pindah ke rumah Papa, Nak." Papa Indra memberitahuku.

"Ma ...."

"Mama tahu, Nak. Tapi sebagai istri, Mama harus ikut dan nurut sama suami. Papa ingin kita semua pindah ke rumahnya. Mama mohon, kamu mengerti dan kamu juga ikut ya."

"Kita sudah bahas ini sebelum Mama nikah 'kan? Jadi gak ada yang perlu kita bicarakan lagi."

"Tapi sayang ...."

"Aku pulang duluan aja, ya, Ma." Aku mendorong kursi ke belakang. Ingin pergi dan tidak ingin berada di sini lagi. Pembicaraan ini sudah dilakukan sebelum Mama menikah. Ya, aku sudah membahasnya.

"Makan dulu." Arzhan menarik tanganku saat aku sudah berdiri.

Ada apa denganku?

Entah ada apa dengan tubuhku, meski hari dan kepala sudah sepakat untuk pergi, tapi tubuhku tidak bisa diajak kompromi. Dia mengikuti apa yang Arzhan perintahkan. Aku kembali duduk di kursi.

"Aku dan Mama sudah membuat kesepakatan bahwa aku tidak akan meninggalkan rumah itu."

"Kenapa? Rumah kami pasti lebih bagus. Papa juga sudah menyiapkan kamar khusus buat Lu. Mobil dan supir pun sudah disediakan."

"Fateeh!"

"Eh, maaf, Pah. Yaaah, keceplosan. Padahal ini 'kan surprise.

Bahagia? tentu saja. Setidaknya itu membuktikan bahwa Papa Indra benar-benar menyayangiku. Tidak membedakan antara aku, Fateeh, dan Arzhan. Padahal aku hanya anak tiri mereka.

Tidak ada lagi percakapan begitu makanan datang.

"Arzhan, lepaskan tangan kamu. Bagaimana kamu mau makan jika masih memegang tangan Iksia?"

Ucapan Papa Indra membuat aku menyadari bahwa tangan Arzhan memang tidak lepas sejak tadi.

"Aku juga gak akan kabur kali."

Ini pertama kalinya aku makan steak, bagaimana cara makannya dan bagaimana rasanya pun aku tidak tahu. Bingung harus bagaimana. Masih beruntung karena ruangannya tertutup, jadi rasa malunya pun tidak terlalu besar. Udiknya aku hanya keluarga yang tahu.

"Sini, aku potongin." Fateeh mengambil piring steak dan memotong-motongnya menjadi bagian yang lebih kecil.

"Makasih, Kak."

Panas. Itu yang aku rasa di wajahku. Tentu saja karena malu.

Dengan perlahan karena ragu, aku memasukkan potongan daging itu ke dalam mulut. Jaga-jaga siapa tahu rasanya tidak cocok di lidah. Warna daging yang terlihat masih merah sedikit membantu perutku berontak meski hanya melihatnya saja.

Eh, tapi, kok ....

"Gimana? suka?" tanya Papa Indra. Aku menganggukkan cepat.

Ya, rasanya tidak semenakutkan yang aku bayangkan.

Saat makan, tidak ada satu orang pun yang mengeluarkan sepatah katapun. Mungkin ini memang kebiasaan mereka, atau entahlah. Beda dengan kami makan di rumah, entah itu makan malam atau sarapan, suasana makan akan begitu hangat karena dibarengi obrolan receh.

"Kalian pulang dulu saja, malam ini Papa kembali ke rumah mama kalian," ucapan Papa pada Arzhan dan Fateeh.

Suasananya begitu tidak enak. Mungkin mereka sudah merencanakan untuk pindah rumah, hanya karena aku yang keukeuh ingin tinggal di sana maka Papa Indra pun kembali ke rumah lamaku.

"Aku mau pindah rumah tapi tidak pindah sekolah."

Hening.

"Aku tidak siap bertemu dengan teman-teman baru dan meninggalkan teman lama. Terutama Hilda."

"Dari rumah ke sekolah Lu yang lama itu jauh, Dek. Lu harus lebih pagi bangunnya."

"Bukan masalah. Aku hanya gak mau harus beradaptasi dengan orang baru. Belum tentu di sekolah baru temennya baik-baik. Kalau aku di bully, gimana?"

"Gue yang hajar mereka kalau sampai lu di bully."

Fateeh, menyebalkan tapi melihat dia saat ini aku merasa bahwa dia telah menjadi kakakku sepenuhnya. Sekali lagi ... aku harus banyak bersyukur.

"Rumah galery aku searah dengannya, gak perlu supir pribadi. Aku yang akan antar jemput dia sekolah."

Kenapa rasanya selalu berbeda ya Tuhan .... ada apa ini?

Perhatian Fateeh membuat aku merasa nyaman. Namun, perhatian Arzhan membuat aku merasa gelisah.

"Bagaimana dengan kafe Kakak? Masa tiap hari ke rumah galery?" tanya Fateeh.

"Bisa saat weekend. Lagi pula week day tidak terlalu ramai."

Apa sebenernya yang sedang mereka bicarakan? Apa itu rumah galery? kenapa Arzhan harus ke sana?

"Kamu hebat, Arzhan. Masih muda sudah memiliki dua usaha." Mama memuji.

Oh, itu usaha milik Arzhan?

"Sebenarnya gak cuma satu kafe, dia punya dua. Selain itu dia juga punya studio foto. Arzhan ini seorang fotografer dan model."

Serius?

"Benarkah?" Mama sama terkejutnya denganku.

"Pa ... kenapa hanya membanggakan Kak Arzhan, aku?"

"Kamu 'kan masih kuliah. Apa yang harus Papa banggakan."

"Tapi aku mahasiswa kedokteran paling berprestasi, Pah."

"Wah, ternyata aku punya Kakak yang hebat-hebat. Bangganya. Kalau aku sakit, berobat gratis ke Kak Fateeh. Kalau aku laper tinggal ke kafe Kak Arzhan, deh."

"Eh, ngapain juga berharap sakit. Bocah dodol!' Fateeh menoyor kepalaku.

"Ya emangnya aku sehat terus? bukan manusia dong namanya." Aku mencubit lengan Fateeh hingga meringis.

"Mama malam ini pulang aja ke rumah Papa. Aku ke rumah lama kita dulu," ucapkan saat kami bejalan menuju parkiran.

"Mau ngapain?"

"Ngambil barang lah, Ma."

"Udah Mama bawa semua, Kok."

Hebat sekali wanita ini. Ck!

"Kamu pulang sama Fateeh. Papa dan Mama mau pergi ke rumah temen."

"Gak bisa, Ma. Aku mau nyari buku dulu."

"Ayo kita pulang." Arzhan menyeret tanganku menuju mobil.

Kenapa harus bareng sama dia terus, sih! Tunggu dulu, Fateeh pergi, Mama dan Papa Indra juga pergi. Itu artinya ....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!