Dilema

Jodoh Titipan Bagian 5

Oleh Sept

Suara burung di atas pohon dekat jendela di lantai dua terdengar merdu. Membuat Nada yang kala itu masih tertidur perlahan membuka matanya.

"Sudah bangun, Mbak?" tanya Sarah, adik Nada yang mau menginap beberapa hari karena tidak tega melihat kondisi kakaknya itu.

Sarah menarik gorden kamar, membiarkan sinar matahari masuk ke dalam ruangan. Terasa hangat dan cukup membuat ruangan yang semula suram itu sedikit bercahaya. Lebih terang meski tanpa lampu penerangan.

"Minum dulu, Mba."

Sarah meraih segelas air putih di atas nakas, akan tetapi Nada menolaknya dengan menggeleng pelan. Wanita muda yang masih diliputi rasa duka itu memilih melangkah menuju kamar mandi.

Sesaat kemudian terdengar gemricik suara air kram yang mengalir. Sedangkan Sarah, ia hanya melihat dari jauh. Sudah seminggu berlalu kepergian mas Zain, tapi sang kakak sepertinya belum terlihat baik-baik saja. Masih menyimpan beban kehilangan yang begitu kentara di raut wajahnya.

Satu jam sudah berlalu, Sarah sudah ada di lantai bawah. Ia di dapur bersama ummi. Menyiapkan sarapan untuk semuanya. Tentunya dibantu asisten yang ummi bawa dari rumahnya.

"Sarah," panggil ummi.

"Iya, ummi."

"Bagaimana sekolahmu?"

Ummi merasa khawatir, karena Sarah harus meninggalkan sekolahnya untuk menemani sang kakak.

"Lusa sudah mulai masuk, Mi. Liburan semester sudah selesai."

"Kalau mau pulang, biar abah pesankan tiket. Nanti Sarah mau pulang hari apa, bilang sama ummi."

"Nggak Ummi. Sarah naik kereta saja," tolak Sarah. Keluarga baru sang kakak memang orangnya baik-baik. Tidak setengah-setengah kalau menolong dan berbuat baik. Sampai Sarah tidak enak sendiri.

"Sudah, jangan menolak. Ummi sangat berterima kasih karena Sarah sudah mau menemani Nada beberapa hari ini."

Sarah kemudian menundukkan wajahnya, ia bersyukur sang kakak mendapat mertua seperti ummi. Sosok perempuan yang hangat dan baik.

Padahal, orang tua kandung sang kakak saja hampir tidak peduli dengan Nada. Mungkin karena selama ini Nada sudah diasuhh atau diberikan orang lain, jadi keluarga sendiri seperti orang asing. Sedang orang lain yang tanpa ikatan darah seperti saudara kandung.

Tap tap tap ...

"Nah, itu Nada turun. Bantu ummi bawa semua ini ke meja ya Sarah."

"Iya, Ummi."

Satu persatu semua makanan dibawa ke meja makan. Mereka mau sarapan pagi sama-sama. Entah bagaimana rasanya, karena masih diselimuti kabut duka.

"Nad ... Nada."

Ummi mencari keberadaan menantunya. Perasaan tadi ada, tapi sekarang kok tidak kelihatan.

"Sarah, ke mana Nada? Tadi dia sudah turun kan?"

"Iya, Mi. Biar Sarah cari dulu."

Sarah mencari sang kakak di kamarnya, siapa tahu kakaknya itu kembali ke lantai atas.

Sedangkan ummi, wanita pemilik senyum ramah itu pun keluar. Ia mencari Nada, tidak tahunya ia justru melihat Nada sedang duduk dengan abah di teras. Ummi mau menyapa, tapi kakinya terhenti seketika saat mendengar suaminya bicara.

"Abah harap kamu paham apa maksud Abah."

Terlihat dari belakang, ummi mengamati wajah Nada yang tertunduk. Sepertinya sedang tersedu karena tubuhnya nampak bergetar meski pelan.

'Bahkan kuburan Mas Zain belum kering, mengapa Abah tega membahas pengganti Mas Zain?' batin Nada sembari mengusap pipi. Ia masih tertunduk. Tidak kuasa mengangkat wajahnya.

"Demi kalian berdua, Abah tidak buru-buru. Hanya saja, Abah ingin mengatakan lebih awal. Setelah anak ini, cucu Abah ini lahir, Abah mau kamu menikah lagi dengan laki-laki pilihan Abah. Nada tahu kan Abah tidak akan menjodohkan Nada dengan pria sembarangan?" sambung Abah dengan wajah serius. Tatapan Abah lurus ke depan, seperti sedang menggambar masa depan cucunya kelak.

"Maaf ... Abah ... tapi Nada tidak ingin menikah lagi. Nada masih tidak bisa ... Mas ... Zain .... Mas Zain akan selalu ada di hati Nada ... Abah," ucap Nada dengan lirih. Suaranya mengandung banyak beban kesedihan. Suami baru meninggalkan belum sebulan sang mertua malah sudah menjodohkan dirinya. Jelas perasaan Nada yang masih hancur semakin lebur.

"Abah tidak meminta dalam waktu dekat ini, nanti ... nanti jika cucu Abah sudah lahir."

'Nada tidak bisa, Abah.' Ingin rasanya Nada menolak, tapi itu hanya mampu ia katakan dalam hati. Sebab, selama ini ia tidak berani membantah atau menrntang kemauan mertuanya itu. Abah yang selama ini baik padanya, seperti ayah sendiri. Ayah yang tidak ia miliki sejak kecil.

Mungkin Nada takut membuat abah Yusuf kecewa. Maka ia pun memilih diam. Dan bagi abah itu artinya setuju.

"Ada di sini rupanya, ayo makan dulu," ajak ummi yang memutuskan keluar dari persembunyian. Ummi yang semula menguping, tidak tahan dengan pembicaraan itu. Ia yakin, semua ini pasti berat. Belum lagi jika Nada tahu, siapa yang abah maksud. Sudah pasti Nada akan semakin dilema.

"Ayo Abah ... Ayo Nada."

Ummi memegang tangan Nada, karena Nada sepertinya enggan beranjak untuk makan.

***

Ruang makan, semua makan dengan tenang. Tanpa ada yang bicara, hanya terdengar suara sendok dan piring yang beradu.

Baru juga beberapa suap, Nada pamit meninggalkan meja makan. Dan ummi paham, pagi-pagi seperti ini Nada pasti mengalami morning sickness.

"Ummi ... Abah ... Sarah susul Mbak Nada dulu," pamit Sarah yang menunggu sang kakak tak kunjung kembali.

Ummi hanya mengangguk. Kemudian melanjutkan sarapan bersama abah. Sedangkan di kamar mandi, Sarah memijit tengkuk sang kakak.

"Mau Sarah buatin sesuatu? Teh hangat apa teh tawar?"

Nada menggeleng, kemudian meninggalkan kamar mandi.

"Mbak hanya mau rebahan, tolong kamu tutup saja gorden kamar sebagian."

Dengan lesu, Nada naik ke ranjang. Kemudian menarik selimut. Ia berangkat tidur, matanya terpejam tapi hati dan pikirannya berkelana ke mana-mana.

Sarah pun tidak bisa berbuat apa-apa. Ia terdiam mengamati sang kakak. Kemudian kembali menutup gorden kamar sebagian.

"Sarah ke bawah, kalau ada apa-apa. Atau minta sesuatu, langsung panggil Sarah, Kak."

"Hemm!" jawab Nada dengan mata terpejam.

***

Beberapa hari kemudian.

Di tempat yang jauh, nampak seorang gadis sedang bersiap-siap. Ia menatap pantulan dirinya di depan kaca besar seukuran tubuh orang dewasa.

'Mas Taqi pasti terkejut, salah sendiri ... sudah dua minggu lebih dia belum kembali. Kebetulan aku libur, sepertinya ia akan shock jika melihatku!' batin Anisa yang tersenyum manis di depan kaca.

Anisa kemudian meraih kacamata coklat besar yang semula menggantung di samping tas slempang yang ia kenakan. Dengan wajah berseri-seri karena beberapa jam lagi akan ketemu sang pujaan hati, calon imam idaman. Anisa pun melangkah dengan hati yang dipenuhi bunga-bunga asmara.

'Aku telpon dulu atau gimana, ya?'

'Gak usah aja lah, nanti kalau sudah tiba di Jakarta saja. Biar surprise!' batin Anisa lagi. BERSAMBUNG

Terpopuler

Comments

Atha 😘😘

Atha 😘😘

👍👍👍👍👍👍

2022-09-28

0

Har Tini

Har Tini

nada pasti sedih banget tahu abah nyuruh nanti menikah lahi

2022-09-22

0

Fay

Fay

🤗

2022-07-14

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!