8 Bulan kemudian...
Suasana kampus yang ramai, banyak canda dan tawa mahasiswa. Serta para Dosen silih berganti berjalan menyusuri koridor kampus. Sementara di lapangan basket, banyak mahasiswa tampan bermain basket disertai teriakan para penggemarnya. Suasana seperti itu membuat Raena sedikit terhibur melihat tingkah tingkah mereka. Dan terkecuali dengan Wang, sahabat karib Raena.
Sejak Raena memutuskan keluar dari rumah keluarga Wijaya. Gadis itu selalu murung, dan tidak ada senyuman manis yang sering ia tunjukkan.
"Kalau rindu mereka, kenapa kau tidak mencoba pulang saja?" ucap Wang kepada sahabatnya itu.
laki-laki berdarah Tionghoa itu, sangat pengertian sekali dengan sahabatnya.
"Dan mati di tangan ayahku sendiri, begitu?" balas Raena kesal.
Wang hanya menghela napasnya, dan melihat ke arah Raena.
"Hei! Apa kau tidak kasihan dengan Yogi, mengejarmu terus?" balas Wang.
"Aku sudah berjanji kepada Kakek dan Ayahku. Untuk pergi sejauh mungkin dari hadapan mereka," jawab Raena santai.
"Dan menunda pertukaran mahasiswa mu ke LA?" Raena hanya menganggukkan kepalanya.
Delapan bulan yang lalu, setelah pulih dari sakitnya. Raena langsung menghadap sang Ayah dan Kakeknya, untuk berpamitan meninggalkan Rumah keluarga Wijaya. Namun, sebelum dia pergi ada syarat yang membuat Raena hatinya terluka. Dia tidak boleh lagi berhubungan dengan, Yuna, Nenek, Jin, dan keenam adiknya.
Semua yang berhubungan dengan keluarga Wijaya, Raena harus meninggalkannya. Sementara, Cafe yang dia bangun sendiri juga harus ikut pindah bersama Raena. Sungguh kejam bukan kedua orang tua itu.
"Tidak tahu, Wang. Entah kenapa pertukaran mahasiswaku di tunda sampai waktu yang di tentukan," balas Raena sedikit sedih.
"Lalu, kau hanya diam begini saja? sambil mengurus cafe dan perusahaan yang kau bangun sendiri itu?" sela Wang.
"Iya, Wang. Hanya itu yang bisa mengalihkan pikiranku tentang mereka. Apalagi, proyek pembagunan kantor cabang milik Kakek ada kendala kembali. Padahal, desain bangunannya tidak ada kendala." jawab Raena lesu.
#skip
Andai kalian tahu? Rena ini, memiliki cafe hanyalah kamuflase untuk di depan keluarga besarnya. Sebenarnya, dia adalah CEO Athena Corp. Perusahaan yang berjalan di bidang Arsitektur dan infrastruktur. Pembangunan gedung pencakar langit terbesar di Asia, maupun Eropa, ada dalam kendali dan pengawasannya.
Raena membentuk perusahaan itu, ketika dia masih duduk di SMP kelas 9. Itu pun, dia tidak sengaja mengikuti lomba arsitektur di Yunani, dan hadiahnya adalah sejumlah uang yang bisa membangun sebuah perusahaan besar.
Bahkan seorang Jin Wijaya sekalipun, tidak tahu kalau adiknya memiliki perusahaan besar itu. Karena Raena, selalu mengawasi perusahaanya di rumah. Dia akan ke kantor, jika ada waktu libur sekolah atau kuliah.
***
Kembali ke cerita...
"Kenapa kau masih membantu perusahaan yang membuatmu terluka, sih?" kesal Wang tidak terima.
"Aku juga Investor terbesar di perusahaan itu, Wang. Kau lupa?" ingat Raena kepada sahabatnya itu
Wang hanya menyengir setelah ingat, dan melihat sahabatnya itu kesal dengannya.
"Maaf, aku lupa." ucapnya dan Raena hanya memutar bola matanya malas
***
Wijaya Hospital
Seorang pria berbahu lebar, sedang duduk di bangku kebesarannya. Wajahnya yang sendu, sambil menatap selembar foto yang dia pegang. Dia adalah Jin Wijaya, seorang dokter muda sekaligus direktur di Rumah Sakit milik kakeknya itu. Wajahnya menatap rindu kepada orang di dalam foto itu.
"Kemana kau pergi, Dek? Apakah kau baik – baik saja di luar sana?" ucapnya lirih.
"Kau tahu? Rumah seakan sepi setelah kau pergi," lanjutnya sambil menatap foto itu.
Jin teringat saat mereka masih duduk di bangku SMA. Setiap pulang sekolah, dia melihat Raena sedang merendam tangannya dengan serutan es batu di dalam baskom.
Flashback On
Jin baru saja pulang dari minimarket di bersama Yuna. Kemudian, melihat gadis satu tahun lebih muda dari dia. Jin melihat gadis itu, sedang asik bermain game di ponselnya dengan tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya, di dalam wadah baskom berisi es batu dan air. Terlihat wajah menahan sakit adiknya itu, membuat Jin menghampirinya.
"Siapa lagi habis kau pukul dengan bogeman mentahmu itu, Rae?" tanya Jin melihat kepalan tangan sang adik masih memar
"Surya anak kelas 12 -2, Kak." balasnya sambil menahan rasa nyeri.
Jin akui, dia dan adiknya ini. Adalah anak terlampau jenius. Buktinya, ketika Jin usia 16 tahun dan Raena usia 15 tahun. Mereka sudah duduk bangku SMA kelas 3 tingkat akhir, dan sebentar lagi mereka akan masuk perguruan tinggi.
"Hah? Kau memukul Kak Surya?!" Jin terkejut dan mendapat anggukan dari adiknya.
"Kenapa kau memukul mantan ketua osis itu?" Jin penasaran.
"Dia membully Yogi dan Joni di kantin tadi. Bahkan dia juga sok berkuasa di Sekolah. Padahal yang punya sekolah itu punya Nenek, Kak." jawab Raena terus terang.
Yuna yang selesai merapikan barang belanjaannya. Kemudian langsung, berjalan menemui kedua anaknya. Dengan lembut, Yuna meraih tangan Raena yang sedang direndam di baskom tadi.
"Putri Bunda tangannya seperti laki-laki, ya? Pantas, banyak laki-laki langsung tersungkur setelah sekali pukulan." Canda Yuna mengambil handuk kecil untuk mengeringkan tangan Raena.
"Ahh~, Bunda. " rengek Raena malu.
Kemudian, Yuna membuka laci meja di sebelahnya. Dia mengambil krim pereda nyeri, dan di oleskan kepada Raena.
"Dari pada direndam dengan es batu, dan akan menambah memar di tanganmu. Bunda masih punya krim ini. " ucap Yuna kepada anaknya.
"Sama sekalian, Bunda. Suruh putrimu itu jangan pernah bertarung di Sekolah lagi," goda Jin kepada adiknya.
"Memangnya aku itu Kakak? Di bentak sedikit langsung berteriak ketakutan. Katanya mau jadi dokter, Kak." sindir Raena kepada kakaknya.
"Heh! aku hanya terkejut saja bukan takut," elak Jin.
"Terkejut dan takut itu beda tipis, Kak." balas Raena mengejek, dan Jin tidak terima
Yoona hanya menggelengkan kepalanya, ketika mendengar kedua anaknya ini mulai mengangkat bendera pertengkaran. Tapi, kalau tidak begitu rumah akan sepi sekali meskipun ada 6 jagoannya yang juga sama berisiknya dengan kedua kakaknya ini.
Flashback Off
"Aku tidak tahu harus mencari dirimu kemana lagi, Rae. Kakak rindu teriakan kamu ketika sedang kesal." ucap Jin lirih.
Sesaat kemudian, ruang kerja Jin terbuka dan masuklah wanita paruh baya sambil membawa bekal untuk putra sulungnya.
"Maaf, Jin. Bunda datang tanpa memberitahumu. Karena Bunda takut kau melewatkan makan siang lagi." ucap wanita itu yang tak lain Yuna.
Jin bangun dari kursinya, kemudian berjalan membatu Bundanya. Terlihat, dari wajah orang yang melahirkannya ini sangat lelah dan lingkar hitam di matanya semakin terlihat.
"Bunda seharunya di rumah. Bukan mengantarkan makan siangku." ucap Jin mengajak sang Bunda duduk di sofa.
Saat membuka kotak makanan, Jin terkejut melihat salah satu menu di kotak makan. Karena di salah satu kotak makanan itu, ada makanan kesukaan Raena yaitu udang goreng tepung.
"Bunda, kenapa ada udang goreng tepung? Ini kan makanan kesukaan Joni dan Raena, Bun?" tanya Jin kepada ibunya.
"Bukanya Raena biasanya..." perkataan Yuna terhenti ketika menyadari sesuatu.
"Maaf, Jin. Bunda lupa kalau Raena sudah pergi." lanjut Yuna menyadari jika putri kesayangannya tidak ada di sekitarnya.
Jin merasa iba melihat kondisi Yuna. Kemudian langsung memeluk sang Ibu dengan penuh kasih sayang. Dia tahu, selama ini Ibunya sangat rindu dengan Raena. Meskipun gadis itu bukan adik kandungnya.
"Jim janji, Bunda. Jin akan mencari Raena, dan membawa Raena pulang ke rumah lagi." janji Jin kepada Yoona.
***
@Wijaya Corp
Sementara itu, seorang pria dengan usia masuki kepala enam. Sedang menatap pigura seorang gadis kecil, yang sedang memakai baju Taekwondo kebanggaannya dengan membawa piala kemenangannya.
"Tak terasa sudah delapan bulan kau pergi, Nak. " ucapnya dengan sendu.
"Maafkan Kakek, Raena. Kakek menyesal telah mengusirmu dari rumah," ucapnya menyesal.
Sementara John, ingin sekali mengungkapkan di mana keberadaan Raena saat ini. Namun dia ingat, perkataan gadis untuk merahasiakan di mana dia sekarang.
"John, kau tahu di mana dia sekarang?" tanya Tuan Wijaya.
"Maaf, Tuan besar. Saya tidak tahu, Nona Raena sekarang ada di mana. Juga sangat sulit, menemuinya di Kampusnya." bohong John kepada sang atasan.
"Lalu cafenya?" John memutar bola matanya, untuk mencari sebuah alasan yang tepat untuk menjawab.
"Haeparagi Cafe sudah pindah, Tuan." balas John. Padahal, dia sendiri sudah tahu Haeparagi Cafe pindah di mana.
"Kenapa Cafe anak itu pindah juga?" tanya Tuan Wijay
"Aku yang menyuruh dia pindah, dengan mengatas namakan Kak Anton, Yah." ucap seseorang yang baru saja masuk ke dalam kantor Tuan besar Wijaya.
"Heh! Candra Wijaya, kenapa kau selalu mengikuti ide gila Kakakmu?" geram tuan Wijaya
"Karena aku juga ingin seperti Kak Anton, yah. Orang yang selalu di perhatikan oleh Ayah. Aku juga anak Ayah, bukan?" ucap Candra santai.
"Bukan, sampai kapanpun kau bukan anakku. Kau itu lahir dari kesalahanku dengan j*l*ng itu." jawab Tuan Wijaya datar
"Lalu, apa bedanya aku dengan cucumu yang kau usir 8 bulan yang lalu, Tuan Wijaya terhormat?" balas Candra angkuh.
"Kalau bukan karena Anton ingin adik dulu. Mungkin, aku sudah mengusir dirimu sejak dulu." ucapnya ketus kepada sang anak.
"Tuan Candra, lebih baik anda keluar dulu. Karena saat ini, Tuan Wijaya sedang tidak ingin di ganggu." ucap John berusaha melerai mereka berdua.
"Aku akan keluar, sekretaris John. Kau tak perlu mengusirku seperti itu." ucap Candra berjalan keluar dari ruangan ayahnya.
"Dan tunggu saja, Tuan Wijaya. Apa yang akan aku lakukan kepada perusahaanmu ini, tua bangka." seringai Candra setelah menutup pintu ruangan Ayahnya.
* * *
@Haeparagi Cafe
"Kak, apa benar ini cafe Kak Raena pindah daerah ini?" tanya laki-laki masih memakai seragam sekolah menengah miliknya.
"Otak geniusku tidak salah, Juan." ucap pria berkulit agak gelap yang tak lain kakaknya sendiri.
"Aku takut, Kak. Kita datang jauh – jauh dari Jakarta, lalu datang ke sini ternyata kita salah alamat." Protes Juan.
"Kalau misalkan Ayah marah, biar aku yang tangung jawab." balas Tara kepada adiknya.
Memang benar, Tara mendapat info dari temanya. Jika Cafe milik Raena pindah di daerah Kota Lama. Langung saja, tanpa basa – basi Tara menjemput Juan dari sekolah, dan mengajak adiknya ke tempat baru sang Kakak.
Sementara itu, Raena baru saja memarkirkan motornya di depan cafe miliknya karena habis pulang dari kampusnya.
"Selamat sore, Mbak Raena." sapa salah satu pegawai Raena ketika memasuki cafe.
"Selamat Sore, Arin." balasnya dan mata ekornya mengarah kepada kedua orang remaja yang sedang duduk berdampingan.
"Sejak kapan kedua Wijaya bersaudara duduk di sana?" tanya Raena kepada Arin.
"Oh, kedua pangeran Mbak itu?" Raena hanya melirik Arin sekilas ketika gadis itu memanggil kedua adiknya pangerannya.
"Mereka sudah dua jam di sini, Mbak. Katanya ingin bertemu dengan Mbak Raena. Padahal aku sudah bilang, kalau Mbak Raena tidak akan ke sini. Tapi, mereka bersih keras akan menunggumu Mbak." jelas Arin kepada Raena.
"Kalau mereka berada di sini. Aku takut Ayah tahu, dan mengira aku masih menemui keluarga Wijaya." gusar Raena dan akhirnya menemui kedua adiknya.
"Heh! bukannya pulang, kalian berada di sini?" tanya Raena langsung duduk di hadapan kedua adiknya.
"Kak Raena!" seru mereka berdua langsung memeluk kakaknya.
"Heh! Heh! lepas! Aku tidak bisa bernafas." esal Raena ketika kedua adiknya memeluknya dengan erat.
"Kak, kau tinggal di mana selama ini?" tanya Tara.
"Kak, kenapa kau pergi memutuskan pindah?" tanya Juan tidak mau kalah.
"Jika bertanya satu – satu, aku bingung jawabnya."balas Raena dan akhirnya kedua anak itu terdiam, dan tidak lupa wajah cemberut mereka.
"Oke, Kakak baik – baik saja. Makan dengan baik, dan tinggal dengan nyaman. Sekarang Kak Raena bertanya kepada kalian. Kenapa kalian bisa menemukan cafe ini? Dan kalian tidak melihat ini jam berapa? Kalian tidak takut Ayah mencari kalian berdua?" cercah Raena kepada kedua adiknya. Jika menurut Raena, mereka berdua lumayan bandel dan ingin mejitak mereka.
"Justru kami selama ini mencari mu, Kak. Kau pergi dari Rumah, tanpa memberitahu kami, Bunda dan Kak Jin." jelas Tara kepada kakaknya itu.
"Apa Presedir dan Paman, tidak memberitahu kalau aku pindah dari rumah kalian?" tanya Raena penasaran.
Namun mendapatkan gelengan kepala dari mereka bersua
"Kak, itu juga Rumahmu. Jangan seolah – olah kau tidak berhak tinggal di sana" ucap Juan
"Memang kenyataanya, kan? Aku tidak berhak tinggal di sana, dan aku juga bukan bagaian keluarga kalian. Aku hanya anak tidak di harapkan oleh Paman," jelas Raena.
"Walaupun bagaimana pun, kau tetap Kakak kami meskipun beda ibu. Kak Jin sudah menceritakan semuanya kepada kami semua. Kenapa Ayah sangat berbeda memperlakukan Kak Raena." ujar Tara
"Tapi maaf, aku sudah berjanji kepada Paman dan Presedir. Aku tidak akan mendekati keluarga Wijaya lagi. Aku tidak mau menjadi debu di antara keluarga kalian. Sekarang, habiskan makan kalian dan segera pulang. Aku mau mengurus cafe dulu." balas Raena dan menyuruh mereka berdua menghabiskan makanannya.
"Kak, kau tidak sedikit pun rindu kepada kami?" akhirnya Juan ikut angkat bicara.
Raena menarik nafasnya, dan menatap adiknya lekat. "Rindu, sangat rindu kepada kalian. Namun janji, tetaplah janji yang harus ditepati. Selama ini, aku berusaha tidak mendekati kalian. Agar aku bisa menepati janjiku kepada Ayah kalian." jelas Raena menahan air matanya agar tidak jatuh.
"Tapi bisakah kau pulang dan menemui Bunda? Bunda sering sakit, dan sering mencari keberadaan Kak Raena." bujuk Tara kepada Kakaknya.
"Aku hanya bisa memohon kepada kalian, jaga Bumda demi aku. Karena aku, tidak bisa kembali ke rumah tanpa ijin Paman dan Presedir. Aku juga meminta kepada kalian, jangan pernah menemui aku lagi. Karena, jika kalian menemui aku kembali. Paman tidak akan diam, dan mengusirku lebih jauh lagi." mohon Raena kepada kedua adiknya, dan mendapatkan anggukan lemah dari keduanya.
Beberapa jam kemudian, Tara dan Juan pamit kepada Raena. Karena ponsel mereka, tiada henti berdering dari Ayah mereka.
"Kak, apakah kau yakin suatu saat Kak Raena akan pulang?" tanya Juan saat di dalam mobil akan pulang kembali ke Jakarta.
"Kita berdoa saja, Juan. Suatu saat, Kak Raena akan pulang ke rumah kita dan berkumpul." jelas Tara menghidupkan mobilnya, dan tancap gas meninggalkan Haeparagi cafe.
***
@Wijaya Family Home
Beberapa jam kemudian, Tara dan Juan sampai di rumah dengan keadaan sangat lelah. Anton yang menunggu mereka, langsung menanyai mereka. Namun, hanya jawaban diam dari dua bungsu dari keluarga Wijaya itu.
"Aku heran, kenapa anak – anak selama ini semakin aneh kepadaku?" tanya Anton kepada Yuna yang sedang membaca buku di kamarnya.
"Mungkin mereka semua sedang kelelahan, Mas." Yuna mencoba memberi pengertian kepada suaminya.
"Kau juga, kenapa tatapanmu kenapa semakin aneh akhir – akhir ini?" tanya Anton kepada sang Istri.
"Karena aku sedang memikirkan putriku, Mas. Selama ini entah dia di mana." jawab Yuna tanpa sadar.
"Ku ingatkan sekali lagi, Yuna. Dia bukan putrimu, dia bukan bagian keluarga ini sekarang." jelas Anton kepada Yuna.
"Tapi aku yang menyusuinya, Mas. Kau tidak sadar, atas perilakumu itu sama saja dengan Ayah mertua yang menyia – nyiakan Candra hingga sekarang." ucap Yuna kesal menutup bukunya.
"Jangan memancingku, Yuna. Kita sudah sepakat tidak membahas anak sial itu lagi. Dia sudah pergi dari rumah ini, dan dia bukan siapa – siapa kita sekarang." balas Anton.
"Dia anakmu juga, Mas!" sentak Yuna kepada Anton.
"Dia bukan anakku, Yuna. Dia itu pembunuh ibunya sejak dia lahir, dan dia hanya dari sebuah kesalahan yang pernah aku lakukan." Anton tidak mau kalah.
"Kalau dia tidak ada, aku yakin kau sudah menceraikan ku, dan memilih Sora. Makanya Tuhan itu adil, dia mengambil Sora dan membiarkan Raena tetap hidup agar kau bisa menjaganya." jelasnya kepada sang suami.
"Tapi dia tetap saja dia itu pembawa sial, Yuna. Aku bersumpah sampai kapan pun dia bukan darah dagingku. Paham?!" ucap Anto dan membuat Yuna terkejut.
"Kau akan menyesal setelah berbicara seperti itu, Mas." balas Yuna kesal dan tidak menyangka suaminya berbicara seperti itu.
***
@Athena Corp
Hari Sabtu musim panas biasanya, digunakan oleh sebagian orang untuk bersantai. Namun itu tidak berlaku dengan gadis yang masih setia di kursi kebesarannya itu. Sebagai pemilik perusahaan di bidang Arsitektur dan Infrastuktur, yang sudah mendunia itu. Kebiasaan setiap hari Sabtu dan minggu, dia selalu tenggelam dengan tumpukan berkas yang harus dia tangani dan beberapa rapat penting yang harus dia hadiri.
"Presedir, gawat. Saham Wijaya Grup Corp, bagian Multi Property turun sebanyak 50 persen dalam waktu semalam." ucap seorang sekretaris bernama Cakra.
"Apa? Bagaimana bisa terjadi, Cakra?" tanya Raena sambil meletakkan berkas yang dia tanda tangani.
"Ini lihatlah, data diagram perusahaan kakek anda semakin turun." Ucap Cakra menyerahkan tab khusus pengawasan saham perusahaan.
Raena melihat dengan secara teliti diagram batang milik sang kakek terus menurun. Dia juga melihat ada salah satu diagram yang terus naik, dan cara pengambilannya melalui diagram terus berkurang.
"C.W grup?" Raena membaca perusahaan yang mengambil sebagian saham milik kakeknya.
"Kelihatannya, Om ku yang satu ini ingin bermain – main dengan saham Kakek ternyata." gumam Raena menunjukkan seringainya.
"Presedir, perusahaan C.W grup menawarkan saham tertinggi kepada Anda." ucap salah satu devisi IT perusahaan milik Raena.
"Tawarkan harga lebih mahal lagi, jika dia terus menawarkan saham tinggi kembali. Tawarkan harga yang lebih tinggi kembali, sampai saham yang di tawarkan 100%. Kemudian batalkan, dan kembalikan saham yang dia curi kepada pemilik aslinya." jelas Raena kepada Staff dan Sekretarisnya.
"Siap, Presedir." ucap mereka berdua, dan melaksanakan apa yang di perintah oleh Raena
Terdengar gila memang, cara Raena membalas orang yang berani mengambil saham orang lain, dan mengembalikan kepada pemilik asli. Karena itu sama saja dengan bunuh diri bagi yang tidak berpengalaman.
"Kali ini aku tidak akan tinggal diam, Om Candra. Sudah cukup, kau mengambil saham Kakek secara perlahan – lahan. Sekarang waktunya, aku bertindak." ucap Raena tajam.
***
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
rintaanastasia41
iya bentar
2022-06-16
0
Murni Yuning
lanjut thor
2022-06-14
0