"Aku pulang!" ucap Raena ketika memasuki Rumah mewah milik Keluarga Wijaya.
Setelah mengganti sepatu kuliahnya dengan sandal Rumah. Dia berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum karena haus. Namun langkahnya terhenti saat matanya memandang ke arah jendela teras belakang Rumah. Raena melihat kakaknya bersama sang Ayah sedang berbincang serius di Gazebo dekat kolam renang.
"Tumben, Ayah dan Kak Jin pulang lebih awal." gumam Raena membatalkan langkahnya ke Dapur
Memang tidak heran, Raena sering mengetahui Jin dan Ayahnya pulang tengah malam. Karena pekerjaan mereka. Terkadang Jin tidak pernah pulang ke Rumah karena sedang menangani Pasien di Rumah Sakit.
Sementara itu, dua pria dewasa beda usia yang di lihat oleh Raena. Sedang berdebat serius masalah sang Ayah tetap dengan pendiriannya ingin Raena pindah Rumah
"Ayah, Jin tidak setuju kalau Raena pindah dari Rumah ini. Dia anak Ayah juga, kan? Kenapa harus menyuruh dia pindah? " ucap Jin sedikit keras kepada Ayahnya itu
"Dia bukan anak Ayah, Jin. Dia hanya debu yang mengotori keluarga besar kita." balas Tuan Anton
"Debu? Ayah tega menganggap putrimu sendiri sebagai debu? Dia itu permata keluarga kita, yah. Bukan debu di Keluarga kita." Jin tidak terima dengan pernyataan Ayahnya
"Dia buka anak Ayah dan bukan adikmu juga, Jin. Sampai kapanpun, dia bukan bagian Keluarga Wijaya. Ingat itu!" ucap Anton kepada Jin
"Apa karena dia anak selingkuhan Ayah yang meninggal 20 tahun yang lalu?" Tuan Anton terkejut ketika mendengar pertanyaan anak sulungnya.
Sementara, Raena yang mendengar pembicaraan mereka hanya terdiam. Karena semua rahasia itu, hanya dia dan Ayahnya yang tahu.
"Darimana kau tahu soal itu?" tanya Tuan Anton kepada Jin
"Kakek, aku tidak sengaja mendengar pembicaraan Kakek dengan temannya saat di Rumah Sakit tadi." jawab Jin dingin.
Tuan Anton hanya menghela nafasnya, ketika semua rahasia dia simpan terkuak juga.
"Mungkin sekarang saatnya kau tahu, Jin. Raena bukan anak dari Bundamu. Tapi anak mendiang sepupu Bundamu, sekaligus kekasih Ayah. Dia meninggal karena pendarahan hebat setelah melahirkan Raena. Sejak saat itu, Ayah sangat benci dengan anak itu. Karena anak itu sudah membunuh orang yang sangat Ayah cintai." Jelas Tuan Kim.
"Ayah, mengkhianati Bunda?" Jin mulai emosi.
"Jin, kau tahu? Bunda dan Ayah menikah karena perjodohan yang dilakukan Kakek? Sedangkan Ayah masih memiliki kekasih di Bandung. Selama itu, Ayah selingkuh di belakang Bunda kamu. Sampai kau lahir ke dunia ini, Ayah tetap berhubungan dengan kekasih Ayah. Andai kau tahu, saat kau ulang tahun yang pertama. Ayah akan menceraikan Bunda kamu, dan akan menikah dengan kekasih Ayah. Namun semua itu berubah, ketika Raena lahir dan kekasih Ayah meninggal dunia setelah melahirkan Raena." Cerita Tuan Anton dan membuat dada Jim panas.
Jin tidak menyangka, Ayahnya ini sudah mengkhianati Yuna yang tak lain Ibunya. Namun Jin berusaha tidak meluapkan amarahnya kepada Tuan Anton.
Saat Tuan Anton masuk ke dalam Rumah. Dia bertemu dengan Raena yang mendengar pembicaraan mereka berdua. Dengan menunjukan wajah datarnya, dia menatap tajam Raena yang sedang menahan air matanya.
"Kau mendengarnya, anak sial?" tanya Tuan Anton tajam.
"Sekarang, kau tahu kenapa aku sangat membencimu? Mulai saat ini, jauhi keluargaku dan jangan mengganggu mereka lagi. Karena kau hanya debu yang harus di singkirkan dari rumah ini. Paham?!" lanjutnya sambil menunjukan seringainya dan kemudian meninggalkan putrinya.
Sesaat kemudian, Raena menyusul kakaknya masih di duduk termenung di gazebo. Raena menghampiri kakaknya itu dengan hati gunda
"Kak Jin..." lirih Raena menahan air matanya agar tidak menangis.
Sementara Jin masih terdiam, menatap kosong ke arah lurus depan.
"Kakak pasti sangat terluka mendengar hal ini. " ucap Raena tanpa dia sadari air matanya mulai menganak sungai tanpa ijin.
"Benar apa yang di katakan Paman Anton, Kak. Aku hanya debu di keluarga ini. Bahkan aku lahir saja, tanpa adanya suatu ikatan pernikahan dari kedua orang tuaku. Makanya aku tidak pantas di keluarga ini" lanjut Raena sambil menghapus air matanya dengan kasar.
Jin mendengar penjelasan adiknya, langsung berdiri dari tempat duduknya dan berhadapan dengan Raena yang masih menghapus air matanya yang belum juga berhenti.
"Siapa bilang kau tidak pantas di keluarga ini, hm?" tanya Jin sambil tangannya menghapus air mata adiknya.
"Walau kau lahir dari sebuah kesalahan. Kau tetap adikku. Cahaya bagi keluarga ini dan bunga matahari untuk kami semua. Kau jangan pernah berfikir, kau tidak pantas di sini. Mengerti?" jelas Jin dan mendapat anggukan dari Raena.
"Sekarang, tunjukan senyuman manismu kepadaku, dan jangan sekali menangis lagi. Janji?" lanjut Jin mengacungkan jari kelingkingnya dan di sambut jari kelingking Raena.
"Janji, Kak." jawab Raena tersenyum meskipun hatinya masih sedih.
"Itu baru adik world wide handsome Jin Wijaya." ucap Jin memeluk adiknya itu.
"Tuhan, aku mohon jangan biarkan malaikat kecil ini menangis lagi. Sudah banyak dia mendapat kebencian sejak dia masih baru lahir. Aku mohon, jaga senyuman adik ku ini." Ucap Jin dalam hati.
* * * *
Malam harinya...
"Aduh, putri Bunda satu ini. Kenapa suhu badannya panas sekali?" Yuna saat meriksa badan putrinya yang tiba - tiba drop.
Berterima kasih lah mereka, kepada Juan Putra Wijaya. Teriakannya yang keras itu, memanggil semua orang seisi Rumah Wijaya. Ketika dia mengetahui, wajah kakak kesayangannya pucat dan lebih pucat dari pada kulit Yogi.
"Maaf, Bunda. Tadi sore, aku pulang dari cafe kehujanan dan lupa bawa jas hujan." ucap Raena sedikit berbohong.
Sebenarnya, gadis itu sedang bermain basket untuk melupakan kesedihannya. Sampai dia tidak peduli hujan mulai turun. Dia tetap bermain basket, sampai semua kesedihannya hilang. Begitulah kebiasaan Raena saat hatinya sedang sedih.
Sesaat kemudian, Jin datang dengan alat medisnya, dan memeriksa keadaan adiknya.
" Makanya kalau mengendarai motor jangan ngebut sambil hujan - hujanan, Kak Rae" Ucap Juan dan mendapat jitakan dari semua kakaknya minus Jin dan Raena.
Setelah memeriksa Raena, Jim langsung menulis sesuatu di kertas resep obat dan diberikan kepada Yogi.
"Yogi, tolong tebus obat ini ke apotik." pintah Jin menyerahkan resep obat yang dia tulis tadi.
"Siap, Kak Jin. Hobi, ayo temani aku ke apotik." Yogi mengajak Hobi yang duduk di kursi belajar Raena
"Kak, sekalian aku titip snack buat jaga Kak Raena di sini!" teriak Joni saat Yogi dan Hobi keluar dari kamar Raena
"Kak, titip cola juga!" Jimi tak mau kalah.
"Aku titip permen karet juga, Kak!" tambah Tara.
"Aku titip susu rasa pisang, Kak!" Juan mulai ikutan dengan yang lain
"HAI! AKU HANYA KE APOTIK BUKAN MINI MARKET!" teriak keras Yogi saat sudah di pintu depan Rumah.
Yuna hanya menggelengkan kepalanya, melihat tingkah anak - anaknya. Kemudian menatap ke arah Raena sedang berbaring
"Oh, iya. Jin, bagaimana kondisi adikmu ini?" Tanya Yuna membelai kepala Raena
"Selamat, Bunda. Putri Bunda satu ini, anemianya kumat kembali, dan demam tinggi. Dia harus istirahat total selama satu minggu." ucap Jin sambil melirik tajam kepada Raena.
"Tiga hari saja istirahatnya, ya Kak? Jangan seminggu istirahat totalnya, please..." mohon Raena dengan wajah imutnya
"Tidak, kali ini kau harus mendengar ucapan Kakak. Atau, motor sport kesayanganmu itu kakak jual." kawab Jin mengancam Raena.
Yuna yang menyadari kedua anak tertuanya akan ribut masalah sepele. Langsung mengambil tindakan, agar mereka berdua tidak ribut.
"Jin, sudah jangan begitu dengan adikmu. Raena, turuti saja perkataan Kakak kamu, ya?" ucap Yoona mendamaikan mereka berdua.
***
Beberapa jam kemudian, Raena mulai tidur terlelap setelah meminum obat dari Yogi beli tadi. Joni juga akhirnya, menjaga Raena di kamar bersama Jimi. Karena mereka tahu kebiasaan jika Raena sakit. Raena pasti mengigau, dan kadang menangis dalam tidurnya. Sehingga harus ada teman yang menjaganya, dan agar dia tenang saat istirahat.
Sementara itu Yuna kembali ke kamarnya. Menyusul sang suami yang sedang menunggunya untuk tidur.
"Kau itu sudah aku peringatkan berapa kali, Yuna. Jangan pernah, memberi perhatian lebih kepada anak itu. Dia bukan anakmu, ingat itu!" ucap dingin Tuan Anton kepada istrinya.
"Tapi aku ibu susunya, Mas. Dia sakit demam dan anemianya sedang kambuh. Sebagai ibu, aku sangat khawatir dengan kondisinya. Andai dia tidak aku beri ASI dulu, mungkin sakitnya dia akan lebih parah dari ini." Yuna memberikan pengertian kepada suaminya.
" Justru aku lebih suka dia sakit, Yuna. Mulai saat ini, aku mohon jangan pernah memperhatikan anak itu lagi. Kau mengerti?" ucap Tuan Anton kepada istrinya.
"Mas, kau itu Ayah macam apa? Kau tidak khawatir sedikit pun kondisi Raena sedang sakit sekarang?" Yuna tidak terima.
"Anakku hanya tujuh putra, Yuna. Sedangkan dia, hanya debu di keluarga ini. Sudahlah, aku tidak mau bahas anak itu lagi. Aku mau istirahat dan sudah mengantuk." Tuan Anton membalasnya dengan perkataan menyakitkan. Yuna tidak habis pikir dengan suaminya itu. Memang untuk masalah Raena, dia tidak punya hati untuk putrinya, dan itu membuat hati Yuna lebih sakit sebetulnya.
* * * *
4 Hari kemudian....
Kondisi Raena sudah berangsur pulih. Kini dia sedang serius di atas kasur, dengan laptop ke sayangnya untuk mencari rumah yang cocok dengannya. Setelah mendapat rumah yang cocok, Raena menghubungi pihak perumahan untuk menanyakan harga jual Rumah itu. Bila cocok untuk Raena, dia akan ambil Rumah itu. Walau Rumah itu sesederhana apapun. Ini di lakukan oleh gadis itu. Karena di pikirkan gadis itu hanya satu. Pindah rumah, dan tidak mau memui wajah ayahnya lagi.
"Oke, aku akan ambil Rumah itu. Nanti aku transfer uang mukanya." Ucap Raena menghubungi pihak marketing Perumahan.
"..."
"Oh, untuk masalah ruangan tidak masalah. Nanti aku akan kirim desainnya. Nanti anda dan staff bisa langsung melakukan renovasi beberapa bagian. Terima kasih sebelumnya, Pak." uap Raena mengakhiri panggilannya.
Sesaat kemudian, dia membuka web rekening miliknya. Kemudian, mengirimkan uang muka kepada pihak pengelola Perumahan. Karena Raena,sudah milih Perumahan yang cocok untuk dirinya dan tinggal untuk merenovasi ruang.
Rumah yang di beli Raena itu, tidak terlalu mewah. Apalagi lokasinya dekat dengan kampusnya dan jauh dari keluarga Wijaya
"Kak Raena benar serius akan mau pindah dari rumah?" tanya seorang berkulit pucat dengan membawa nampan makanan untuk Raena.
"Iya, aku akan menuruti perintah Ayah." jawab Raena sedikit sendu.
Setelah meletakan nampan di atas nakas dekat tempat tidur Raena. Yogi duduk di sebelah pinggir tempat tidur Raena.
"Kalau Kak Jin tahu, dia pasti akan marah besar. Lebih baik, Kak Raena urung saja untuk pindah ya?" bujuk Yogi.
"Enggak, Yogi. Ini sudah keputusan Kakak yang sudah bulat. Setelah Rumah itu selesai di renovasi. Kakak akan pergi dari sini. Agar Ayah dan Kakek, tidak marah - marah terus kalau Kak Raena di sini." Raena memberi penjelasan kepada Yogi.
"Kalau Kak Raena pergi. Nanti siapa yang bisa menjaga tiga bocah tengil di Rumah? Lalu kalau aku ingin curhat kepada Kak Raena bagaimana?" rentet Yogi kepada Raena.
Raena akui di balik swag adiknya itu. Masih saja ada sifat manja ketika bersamanya.
"Kau kan sudah dewasa, Yogi. Jadi, saatnya giliranmu yang menjaga adik - adik kita jika Kak Jin sibuk dan aku tidak ada di sini." ujar Raena membelai surai adiknya.
"Kak Raena, kau coba berpikir lagi. Aku tidak tega melihat Kak Raena hidup sendiri di luaran sana." bujuk Yogi.
"Suatu saat nanti, aku juga akan keluar dari rumah ini jika sudah menikah. Lalu, apa bedanya untuk sekarang?" Raena berusaha memberi pengertian kepada Yoongi.
"Terserah Kak Raena, kalau tetap dengan pendirianmu itu Sekarang, Kakak makan dan minum obat agar cepat sembuh." pintah Yogi sedikit cemberut kepada kakaknya.
"Tidak menemaniku sampai selesai makan?" tanya Raena melihat Yogi beranjak dari tempatnya
"Tidak, aku ada banyak tugas dari kampus." balasnya keluar dari kamar Raena dengan wajah cemberutnya.
"Maafkan kakak, Yogi. Kakak akan lebih memilih pergi. Dari pada hati Bunda,dan kalian semua disakiti Ayah." gumam Raena dan meraih piringnya di atas nakas untuk makan.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments