2.

Gavin 5 tahun lebih muda dariku, tapi perawakannya yang tinggi membuatnya tampak seperti seumuran dengan ku. Wajahnya yang dewasa juga membuatku tertipu di awal, Gavin tampan pastinya. Ramah, usil, dan konyol. Saat toko ramai ia juga tak segan membantu, entah dalam candaannya atau serius saat menggodaku. Aku tetap tidak bisa menyukainya.

"Mengapa tidak kau coba mengenalnya lebih dekat lagi Emma, separuh umurku menetap di Azenville belum pernah melihat anak muda yang seperti Gavin. Bahkan karna sangat berbakti pada ibunya ia rela membeli roti di toko tua ini dari Toellapark ke Beeqostreet(perjalanan 30 menit) setiap pagi."

"Ayolah Uncle, aku kira kau selalu memihak ku. Aku tak pernah berfikir tentang menjalin hubungan saat ini, lagi pula kalaupun ada hubungan yang ingin ku jalin dengan Gavin pasti hubungan itu seperti antara kakak dan adik."

"Aku kira di jaman yang sudah modern ini, mempermasalahkan umur sudah bukan jamannya."

"Entahlah Uncle, apakah bocah itu hanya bercanda saja? aku tak punya bayangan apapun."

"Melihat usahanya setiap hari menggodamu, membuat jiwa mudaku terbakar lagi. Dulu sewaktu aku muda begitu gigih merayu mendiang Debora ku, rasanya sampai frustasi ingin mendapatkannya. Begitu dia ku miliki, aku merasa memenangkan dunia serta isinya. Debora ku pasti sangat merindukanku disana."

"Bibi Debora pasti ada disini bersama kita Uncle."

"Tentu, Emma."

Pandangan Uncle Ben selalu berbinar-binar saat membahas tentang mendiang istrinya, Bibi Debora. Foto cantiknya terpajang besar di toko roti Uncle Ben. Cinta seperti apa yang mereka miliki dulu, hingga bisa membuat seorang lelaki berusia paruh baya itu tak ingin menikah lagi. Bahkan setiap menyebut nama mendiang istrinya masih terasa jelas betapa cintanya begitu besar. Aku iri pada Bibi Debora.

Siang ini aku belum tau makan apa, yang jelas Uncle Ben selalu membawakan roti sisa jualannya kepadaku. Dia tau jadwal makan ku tak pernah menentu, setidaknya roti dari uncle Ben bisa mengganjal disaat perutku sudah meronta-ronta minta di isi. Mungkin aku tak sempat makan siang lagi, aku akan makan roti pemberian uncle Ben di toko sepatu Baba Ramzan nanti.

"Selamat siang Emma ku sayang."

"Selamat Siang Baba Ramzan."

"Seperti biasa kau selalu terlihat selalu kelelahan."

"Aku baik-baik saja Baba."

"Di meja kasir ada makan siang dari *Karem untuk mu, hari ini dia masak besar. Adik-adiknya akan datang nanti malam."

"Wah, Anne Gulya baik sekali Baba. Ia tau aku belum makan siang, sampaikan terimakasih ku untuk Anne."

"Baiklah Emma sayang, kurasa dia akan bahagia kalau menyaksikan langsung betapa kau sangat senang atas pemberiannya."

"Masakan Anne Gulya adalah masakan paling enak yang pernah ku makan Baba, pasti kau lebih tau mengapa aku sangat senang."

"Sayangnya ia tidak bisa masak seperti ini setiap hari, aku pun sangat senang melihat kau selalu lahap setiap menghabiskan masakan Gulya ku."

"Anne Gulya sangat sibuk Baba, menjadi kepala sekolah pasti sangat menguras waktunya."

"Seandainya ia lebih menurut dan tenang makan dari uang dari hasil penjualan toko ini, pasti perut kita bisa dimanjakan setiap hari Emma." Garis bibir Baba naik ke atas, senyumnya kian mengembang.

"Haha.. Pasti aku tidak akan pernah meninggalkan toko mu walau kau bayar murah Baba."

"Syukurlah kau sudah ku bayar dengan cukup Emma."

Aku dan Baba Ramzan pun tertawa bersama.

Kadang aku berfikir beginilah rasanya jika aku memiliki ayah, saat bergurau dengan Baba Ramzan. Mungkin inilah sosok seorang ayah yang aku impikan.

"Oh ya Emma sayang, jika kau tak keberatan senin depan temanilah Nuray wawancara kerja di Linford."

"Linford?? Nuray?"

"Linford perusahaan besar itu Baba?"

"Iya Emma, temanilah Nuray agar tidak terlalu gugup."

"Nuray sungguh beruntung Baba, ia punya peluang sebesar itu dan tidak boleh melewatkannya."

"Anne nya yang memasukan lamaran, Nuray kau kan tau Emma anak itu walaupun cerdas tidak bisa di prediksi apa maunya. Kemarin ia masih bersitegang tidak mau ikut test wawancara, ia gigih ingin berbisnis dengan caranya sendiri. Tapi tadi berubah pikiran dan bilang kalau kau mau menemaninya kesana maka ia mau mengikuti test itu."

"Ya, baiklah Baba."

Nuray yang ku kenal anak yang tak banyak bicara, kami juga tidak bisa di bilang dekat walau seumuran ataupun Baba dan Anne sangat baik padaku. Nuray anak bungsu Baba Ramzan setelah Aslan dan Deniz. Kedua kakak laki-lakinya sudah menikah dan tinggal di luar negri. Hanya tersisa Nuray yang akan mewarisi toko ini, mungkin.

"Bukankan kata mu kau sarjana ekonomi manajemen, Emma?"

"Iya Baba,"

"Sepertinya perusahaan itu sedang membuka lowongan kerja besar-besaran setelah membangun gedung yang baru di Agithum. Mengapa kau tidak mencobanya Emma?"

"Aku? Entahlah Baba, aku sudah lelah mencari kerja di perusahaan- perusahaan besar. Aku terlalu lelah selalu di tolak, dan sepertinya aku kurang cerdas, sekeras apapun aku mencoba sepertinya dunia kerja perkantoran tidak cocok untuk ku."

"Jangan cepat menyerah mengejar keberuntungan mu Emma, kalau ada kesempatan setidaknya kau harus mencoba dulu. Aku akan bicara pada istri ku, jika mereka masih menyisakan satu saja lowongan yang tepat untuk mu."

"Baba kalaupun aku di terima, lantas Baba akan kehilangan penjaga toko yang manis dan rajin seperti aku." Aku tak bisa menahan diri untuk membanggakan diri di depan Baba Ramzan.

"Baba tidak keberatan jika bakat mu di pakai untuk hal yang lebih besar dan kau layak mendapatkan yang lebih Emma."

"Baba mengapa kau sangat baik? Bahkan ikut memikirkan kehidupan ku."

"Aku tidak baik begitu saja sayang ku... karna aku begitu iri, andai Nurai ku bisa bersinar seperti dirimu."

"Nuray sudah bersinar Baba, mengapa kau berkata begitu?"

"Nuray itu selain keras kepala, ia juga kurang membuka diri. Kau taukan Nuray selalu cemberut dan tidak ramah, jauh sekali di bandingkan dirimu. Aku takut ia tak punya teman, saat hatinya bersedih anak itu tidak punya siapa-siapa untuk berbagi."

"Terkadang aku juga terpikir tentang Nuray, tapi karna aku tau dia punya orang tua seperti dirimu dan Anne Gulya. Aku kira Nuray jauh lebih beruntung dari pada aku Baba."

"Kami juga orang tua mu nak, tetaplah berfikir seperti itu."

Ahh... Dada ku sesak lagi, air mataku hampir jatuh dan cepat-cepat ku tepis dengan memeriksa sepatu-sepatu yang agak berdebu di rak atas.

Aku takut Baba Ramzan melihat mataku yang memerah. Aku sangat mudah tersentuh saat membahas hal yang seperti itu, memang keadaan ku tak seberuntung Nuray yang memiliki seorang Ayah yang hangat. Bahkan satu kota Azenville pun tau aku anak yatim piatu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!