"Lea, tolong aku, Lea. Aku sedang dalam masalah!"
"Sid, kau di mana? Aku akan menemuimu,"
"Temui aku sekarang juga Lea, aku sedang berada di jalan Rowan Street 11. Cepatlah kemari."
Lea menutup sambungan teleponnya setelah ia mendapat alamat Sid berada, adik sepupunya itu sedang menangis dan terdengar ketakutan saat berbicara lewat sambungan telepon dengannya barusan.
"Lea, kau mau kemana?" cegah Al yang melihat Lea berlari menuju pintu keluar dari Restoran.
"Sid menghubungiku, dia sedang dalam masalah, dan aku harus segera menemuinya,"
"Tunggu, jangan pergi sendiri, ini sudah malam, aku ikut bersamamu,"
Leanore mengangguk, ia memang membutuhkan seorang teman di saat-saat seperti ini, dan Lea sangat beruntung memiliki Alice sahabatnya yang sangat baik dan pengertian.
"Aku ganti baju sebentar," Alice berlari menaiki tangga menuju lantai atas, Lea menunggu dengan cemas, tak berapa lama Alice sudah turun menghampiri Lea dan mereka pergi bersama.
"Kita pergi memakai mobil Mr.Vicenzo, aku sudah meminta ijin padanya." ujar Alice menarik tangan Lea menuju garasi belakang di sebelah kiri Restoran.
*Jalan Rowan Street 11 malam hari kota Berlin*.

"Di mana Sid, Lea? Tempat ini nampak sepi?" Alice dan Lea turun dari mobil, tapi mereka tak mendapati siapapun di sana.
"Tunggu sebentar, Al. Biar aku hubungi Sid terlebih dahulu." Lea memainkan jemarinya pada layar ponsel.
"Sid?"
"*Masuk ke gang 4 Lea. Cepatlah*!"
Lea terus menempelkan ponsel pada telinganya untuk mendengar arahan instruksi dari Sid. Lea terus berjalan dan Al mengikuti.
"Ah, tunggu Lea. Perutku tiba-tiba sakit, aku pergi dulu sebentar, nanti menyusul," Alice memegangi perutnya, dahinya mengernyit menahan sakit, dan tentu Lea setuju, ia panik akan keadaan Sid, dan dia juga tidak bisa memaksa Alice untuk tetap ikut bersamanya karena Alice perutnya sakit, meski Lea merasa takut.
Lea terus berjalan sedangkan Alice balik arah.
"Sid?" teriak Lea saat ia melihat Siddarth berdiri tak jauh lagi darinya, Sid pun berlari menyambut Lea dan mereka berpelukan sangat erat.
Belum sempat Lea bertanya, Sid sudah terlebih dulu buka suara, ia menceritakan semua yang sudah dilakukannya selama ini hingga membawa dirinya masuk ke dalam situasi berbahaya membahayakan nyawanya sendiri.
"*Aku butuh uang untuk kelulusan sekolah dan juga daftar masuk kuliah, Lea. Kita tahu papah tidak memiliki uang saat ini, dan gajimu pun habis untuk kebutuhan kita semua selama ini dan menyicil hutang papah, jadi aku terpaksa melakukan ini semua, Lea*!"
Sid telah menerima pekerjaan di dunia gelap, sebagai kurir pengantar barang haram pada klien dari klan mafia Agosto, dan senjata murahan yang dimiliknya adalah sebagai bentuk perlindungan diri jika menemui klien gila yang tak mau membayar saat menerima barang. Namun sial, baru sekitar satu bulan ia bergabung, Han papahnya justru menemukan barang haram yang Sid simpan di dalam tas sekolahnya. Dan lebih mengejutkan lagi saat sepasang anak dan ayah itu berkelahi, sebuah senjata api terjatuh ke lantai dari pinggang celana Sid.
"*Mereka akan membunuhku jika aku tidak dapat mengembalikan barang mereka atau menggantinya dengan uang, Lea. Aku sangat takut, aku tidak mau mati Lea. Tolong aku*!" Sid kembali menangis dalam pelukan Lea.
Lea sendiri semakin frustasi setelah mendengar pengakuan Sid. Adiknya itu tidak sepenuhnya bersalah, ia hanya salah jalan, tujuannya tetaplah baik, ia ingin dapat meneruskan pendidikannya dan membantu meringankan beban keluarga. Namun jalan yang ia pilih sungguh sangat menyesatkan.
"Kapan kau harus membayarnya, Sid?"
"Malam ini, Lea. Pukul 12."
"Dimana?"
"Mereka sudah di sini, Lea. Mereka bersembunyi," Tutur Sid sangat pelan dengan nada suara yang gemetar.
Lea sendiri pun semakin takut, ia menggigit bibir bawahnya kuat, dan kedua tangannya mengepal, pandangan matanya mengedar meski kepalanya sama sekali tak bergerak. Ia kembali teringat akan kejadian malam kemarin, saat ia menyaksikan seorang pria asing yang meninggal karena luka tembak di hadapannya.
Lea melihat layar ponsel. Pukul 23:50.
"Lea, jangan menghubungi polisi, ada alat yang terpasang di tubuhku, mereka bisa mendengar semua pembicaraan kita. Jika kita salah bertindak, maka mereka akan langsung menembak kita, Lea."
Lea membulatkan mata sempurna, ia pun tidak memiliki niat untuk menghubungi polisi, tapi saat Sid mengatakan hal tersebut, Lea semakin panik dan takut.
\[*Kau boleh menjualnya, itu milikmu*!\]
Satu kalimat yang pria asing kemarin malam katakan kembali terngiang.
'*Maafkan aku, aku terpaksa nenggunakanya*!'
Lea menarik cepat tangan Sid masuk ke dalam salah satu gang buntu yang sangat gelap dan sempit, ia lantas berdiri membelakangi Sid dan mengabaikan celotehan adiknya itu yang bertanya. Lea membuka tas dan membuka kotak hitam.
"Lea, apa yang kau lakukan? Mereka akan curiga jika kita?" Sid tidak sempat menyelesaikan ucapannya saat Lea memberikannya 2 butir berlian.
"Gunakan ini untuk membayar, kurasa ini nilainya sudah lebih dari cukup."
Sid membulatkan mata menerima 2 butir berlian yang Lea berikan dalam genggamanya.
"Lea?" ingin sekali rasanya Sid bertanya dari mana Lea mendapatkan barang berharga itu, namun waktu tidak memungkinkan.
"*Keluar kau, Tikus sialan*!" teriak seorang pria dari tempat Sid berdiri semula. Sid dan Lea pun keluar dari gang gelap tempat mereka bersembunyi sementara waktu.
Tangis mereka tertahan. Suasana sangat menegangkan dan nenakutkan.
"Apa kau mendapatkan uangnya?" tanya pria botak yang menghajar Sid siang tadi.
"Aku akan membayarnya dengan ini," tangan Sid terulur gemetar, memberikan 2 butir berlian pada pria itu yang melihat pada teman-temannya.
"Jangan bermain pada kami, Sid?" tegas salah seorang pria dari mereka yang memainkan pisau.
"Itu asli, kalian bisa memeriksanya, tapi mulai sekarang, adikku keluar dari kelompok kalian, dia tidak memiliki hutang, dan juga tidak ada hubungan lagi dengan kalian." Lea memberanikan diri berbicara dengan sangat lantang.
Cukup lama mereka terdiam dalam ketegangan, hingga pria kepala botak mengambil keputusan.
"Baik, tapi jika kalian terbukti berbohong dan hanya mempermainkan kami, maka ke neraka pun kalian akan aku cari, heh. Ayo!" ke empat pria menyeramkan itu pergi meninggalkan Lea dan Sid. Yang mereka butuhkan telah mereka dapatkan.
Lea dan Sid berpelukan cukup erat, lalu mereka berjalan cepat menuju mobil Mr.Vicenzo yang terparkir di badan jalan. Namun Alice tak juga menampakkan batang hidungnya.
"*Terus ke depan. Radar itu berhenti di sana*."
Bern telah sampai di tempat yang ia cari, mengikuti radar hijau dalam latar laptopnya yang berkoneksi dengan chip yang Lea bawa.
Lea dan Sid masih berdiri bersandarkan badan mobil menunggu kedatangan Al. Gadis itu ponselnya mati tak bisa dihubungi.
"*Bawa keduanya*!" perintah Bern pada anak buahnya yang turun dari mobil untuk membawa Lea dan Sid.
"Apa yang kalian lakukan? Lep-paskan! Siapa kalian?" teriak Lea dan Sid bersahutan.
"Lep-paskan!"
'*Bup*.'
'*Bup*.'
"Aaahh!"
"Aaahh!"
Dua anak buah Bern yang akan membawa paksa Lea dan Sid tiba-tiba jatuh tergeletak di tanah berpaving dengan kepala berlubang mengeluarkan darah segar.
Lea dan Sid tercengang, mereka terdiam, namun Lea yang terpaku segera Sid tarik masuk ke dalam mobil.
"*S.h.i.t.t. Sniper*!" gerutu Bern emosi, Jho hendak keluar namun Bern menghentikannya.
"Kita pergi, kita tidak tahu siapa yang sedang kita hadapi." Mobil Bern pun melaju kencang meninggalkan tempat itu tanpa berhasil membawa Lea dan Sid bersama mereka.
Seorang Sniper tersembunyi berada di sana melindungi Lea dan Sid, Sniper adalah musuh yang paling ditakuti, karena keberadaan mereka tak diketahui dan sangat sulit terdeteksi. Apalagi jika mereka adalah orang yang handal dan profesional. Maka sebanyak apapun lawannya akan tumbang di tangannya dengan mudah.
"Mana kuncinya, Lea?" terikat Sid yang sudah sangat panik.
"Alice yang membawanya, Sid. Kita juga tidak bisa pergi meninggalkannya begitu saja, dia belum kembali." teriak Lea tak kalah ketakutan.
"Hei? Kalian mau meninggalkanku?" tiba-tiba Al datang dengan menyapa santai namun itu sempurna mengejutkan Lea dan Sid. Jantung mereka rasanya mau lompat.
"Brengsek, dari mana saja kau?" teriak Lea tak sengaja memaki.
"Aku? Habis buang air besar." Jawab Al santai seolah tak terjadi apa-apa. Dan Lea juga mengira jika Al memang tidak tahu apa-apa.
Alice membuka pintu, masuk dan duduk di jok belakang, lalu menutup kembali pintu mobil, memberikan kunci pada Sid yang duduk di jok kemudi.
Sid meraih kunci mobil dari tangan Alice, dan dia melajukan mobil dengan kecepatan tinggi meninggalkan jalan *Rowan Street 11* yang mencekam dan menegangkan malam ini.
...\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*...
...\***ALICE**...

***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Andi Arif official
Alice kereeen😘👍👍👍
2022-03-15
0
Vita Zhao
ah ternyata Alice snipernya😁
2022-03-06
0
Dewie Yantii
visualnya bern itu yg main film 356 days bukan si maaf kalo salah,, hahahaha
2022-03-02
0