Entah sejak kapan atmosfer disini berubah canggung. Aku dan seorang pria tampan di depanku tidak berkutik sedikit pun. Seakan ia melihat kehidupan purbakala yang ternyata masih terpampang nyata di depannya.
Tunas penasaranku tumbuh sangat cepat. Oh, ternyata ada pria tampan selain paman tampan di rumah ini. Kenapa aku tidak pernah melihatnya?
Semua ingatan Rasyi kecil terjabar di kepalaku. Orang yang ada di rumah ini seharusnya ada... empat pengurus rumah ditambah empat ‘babysitter eksklusif’. Lalu siapa dia? Apa ada yang kulewatkan?
“Hah...” resah suara beratnya menampakkan keringat dingin yang meluncur deras.
Sekian lamanya, akhirnya ia mengangkat pandangannya dan membawanya ke arah lain. Dia seakan takut akan sesuatu di 'dalam' diriku, yang aku tidak yakin apa itu. Layaknya aku memiliki hal berbahaya.
Penelusuran ingatan di kepalaku terus berlanjut meski dia menyadari tatapanku yang masih lekat kerahnya seakan kedua kutub magnet berlawanan. Duh. Gugup begitu pun masih saja terlihat tampan. Kupanggil kamu kakak tampan saja deh~
Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang? Mencoba bicara dengannya dengan bahasa bayi? Coba saja?
“Naeemma aaa! Emmu eppa?” namaku Rasyi! Kamu siapa?
Dia tersentak. Tidak ada kata satu pun yang keluar dari mulutnya.
Kutunjuk wajahnya dengan jariku yang masih saja gemuk, “Eumu eppa? Aaa mmaa da!” kamu siapa? Rasyi mau tahu!
Wajahnya masih saja terkejut. Keringat masih bisa terlihat di wajahnya sekalipun tidak setegang tadi.
“Naeemma eumu eppa!” masih kutunjuk wajahnya, “Naeemma eumu!”
Duh. Iya, iya. Kamu tidak mengerti apa yang aku katakan kan? Sudahlah. Aku menyerah! Berbicara seperti ini hanya akan melilitkan lidahku yang malang.
“Apa tadi kamu...,” ia menekuk kakinya terjongkok mengejutkanku. “Bertanya namaku?”
... ho? Hooo!! Dia paham! Dia pahaaam!!
“Nal! Nal!” benar! Benar! Aku bertanya itu tadi.
Waaaa!! Otak kakak tampan sangat berjasa! Dia bisa paham walaupun gaya bicaraku seperti dinosaurus yang baru satu bulan belajar bahasa Indonesia! Kakak pintar sekali!
“Aku tidak ingat anak bayi bisa berbicara begitu.” dahinya mengerut.
Ucapannya seakan ragu kalau aku ini bayi. walau suaranya indah di dengar, tapi nadanya tetap menekan hatiku. Mau bagaimana lagi? Kesadaranku sudah ada sejak lahir. Aku tidak bisa bertindak seutuhnya layaknya anak bayi.
“Aa an ndaah!” Rasyi kan pintar~
Dia tidak membuka mulutnya sama sekali. Aku sangat puas merasa kalau dia kalah. Seketika kakinya yang panjang itu melurus mendirikan tubuhnya.
“Kemana semua HRD itu sampai membiarkan bayi jalan-jalan seenaknya.” langkahnya ingin menjauh.
Aah!! Mau apa?! Jangan panggil siapa pun! Jangan panggil bibi pembantu! Nanti mereka akan menyerahkanku ke Ira! Masih banyak tempat yang harus kujelajahi!
“Anaaaan!” aku mulai merangkak menyusulnya.
Tuk!
Heh? Apa itu? Kusatukan mataku mencoba menatap hidungku. Eh... Laba-laba!! Laba-laba di hidungku!!
Tanpa sadar aku sudah menangis kencang! Aku tidak bisa menahannya. Sejak kecil si Sekar paling takut laba-laba. Tidak mungkin aku bisa pura-pura berani sedangkan sifat Sekar masih terbawa! Air mataku tidak berhenti meski aku sadar ada yang mengangkatku.
Sapuan tangan lembut menerpa hidungku. Apa sudah? Kuberanikan membuka mataku. Terlihat wajah kakak tampan sangat dekat. Panik menghiasi wajahnya.
“Ba-ba da nnan?” laba-labanya sudah hilang?
“Sudah hilang kok.” suara tenangnya menghentikan tangisku.
Aku benar-benar kacau. Tidak aku sangka aku akan menangis seperti ini. Padahal aku sudah sangat bangga menjadi bayi yang jarang menangis.
Tanganku membersihkan wajahku. Menangis keras seperti ini membuatku tidak nyaman. Wajahku terasa sangat tidak beraturan. Kepalaku sakit, mataku juga perih. Seketika sebuah tangan menahan pergelangan tanganku menjauhi mataku.
“Kurasa ini waktunya kamu tidur.” bisikannya menggema di telingaku seiringan dengan tangannya yang menyeka sisi mataku.
Tidak seperti sebelumnya. Ekspresinya terlihat sangat tenang. Jarak wajah kami tidak lebih dari satu jengkal. Aku tidak bisa menghentikan kata hatiku yang bertanya, siapa pria menakjubkan ini?
Boleh jadi aku merasakan hal lain dari pria ini. Fakta kalau ini baru pertemuan pertama kami, tidak bisa menyingkirkan rasa seakan kami terhubung. Tidak seperti aku menatap seorang pria yang aku suka. Rasanya jauh berbeda.
“Rasyi?”
Suara itu... Ira? Kuangkat kepalaku menatapnya. Wajah sudah sangat cemas sampai seakan ingin menangis.
“Syukurlah kamu tidak apa!” sentuhannya memegangi pipiku.
Tubuhku langsung dipindahkan ke gendongan Ira. Aku merasa sangat ingin memeluk wanita dewasa yang masih memiliki masa depan panjang itu. Seakan keluarganya sendiri, pelukannya hangat menjalar ke seluruh indra perabaku.
“Tadi tante dengar Rasyi menangis. Rasyi tidak apa kan?” wajah cemasnya tidak bisa menghentikan aku merasa bersalah sudah pergi tanpa sepengetahuannya.
“Aaa da ppa!” Rasyi tidak apa.
Ira tersenyum manis. Lirikan mata yang mengikuti tangannya perlahan menunjukkan sebuah mainan yang dibawa olehnya. Mainan karet berhias kucing imut yang sudah biasa kugigiti. Kuambil mainanku itu.
Sosok sang pria tampan itu tertangkap mataku melangkah pergi. Eh? Apa dia mau pergi?
“Tidak perlu pergi terburu-buru begitu kan?” Ira memutar tubuhnya ke arah kakak itu.
Langkah pria itu terpaku di tempatnya. Otakku tidak bisa menangkap 'acara' apa yang terjadi di depanku. Hubungan apa yang mereka punya?
Tatapan tenang kakak tampan memandang lurus ke Ira. Mulutnya tidak bersemangat untuk mengeluarkan bahkan satu kata pun.
“Setidaknya...,” Ira melangkah mendekat, “Kamu... Bisa menyapanya dulu kan?” Ira menatapku lembut sekilas.
Hah? Menyapaku? Kami punya keperluan tertentu untuk saling menyapa? Bukannya aku tidak mau. Aku sangat ingin tahu siapa dia dari awal aku melihatnya. Namun, rasanya ada alasan khusus yang belum kutangkap dari kata-kata mereka.
Kakak tampan itu menggerakkan pupilnya kearahku, “Tidak harus kan?”
Seakan ingin ikut mencari jawaban, aku tidak bisa mengendalikan kepalaku untuk membawa mataku menatap Ira.
Ira terlihat sangat sedih, “Rizki... Rasyi itu anakmu.” kesedihan Ira tersebar.
Heh? Dia itu ayahku? Pria di depanku ini?
Ira kembali memelukku, “Kami tidak mungkin terus merawat Rasyi. Kamu yang harus merawatnya sendiri.”
Kenapa...―haruskah aku senang? Tidak. Aku gelisah. Sangat aneh. Mungkinkah karena aku tidak pernah memiliki orang tua sebelumnya?
Ada atau tidak ada orang tua seharusnya tidak jadi masalah bagiku. Kehidupan tanpa orang tua sudah pernah kuhadapi sebelumnya. Seperti apa pun akhir dari pembicaraan ini tidak akan mempengaruhiku.
Tapi... kenapa aku ragu?... apa aku mengharapkannya—
“Rizki, kumohon. Setidaknya coba dulu⏤”
“Tidak!” teriak pria tampan itu mengejutkanku.
Apa maksudnya ‘tidak’ itu? Suasana hening ini benar-benar menyesakkan. Tidak ada yang berbicara sama sekali. Ira hanya berkomunikasi dengan getaran tangannya yang masih menggendongku.
“Begini saja...,” mulut pria itu masih ragu, “... aku akan kirim dia ke panti asuhan.”
... Hah?
“Rizki!” Ira kembali mendekatinya.
Tangannya menghalangi Ira mendekat, “tinggalkan dia di kamarnya. Aku akan urus sisanya.”
Hah? Dia... Membuangku?
Jadi ini takdirku? Apa aku tidak bisa terlepas dari takdir sebagai anak yang tidak memiliki orang tua sejak bayi? Bisa jadi takdir ini akan mengikutiku biarpun sudah beribu kali terlahir kembali. Hah, ini namanya kutukan.
Terlahir kembali? Aku terlahir kembali, sungguh? Lebih mudah dipercaya kalau aku dikirim kembali ke masa lalu. Seakan aku diberi kesempatan untuk melihat betapa bodohnya orang tuaku dulu. Betapa hinanya mereka membuangku begitu saja.
Lihat itu. Mereka berdua bertengkar. Tak ada perdebatan mereka yang bisa terdengar. Bukan. Aku sendiri yang tidak mau mendengarnya lagi. Debat ini tidak bisa mengubah apa pun yang sudah tertempel permanen di otakku. Papaku sendiri tidak menginginkanku.
Memuakkan.
PRAK!
Mainanku melayang tepat di wajah papa tak tahu diri itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments