“Putriku yang manis… selalulah bahagia….”
Rintihan tangis yang melemah selagi pelukannya merenggang. Terakhir kali aku mendengar merdu suara itu. Sampai sekarang aku hanya bisa berteori kalau beliau adalah ibu kandungku.
Demi harapan beliau, nyawanya sendiri dipertaruhkan. Beliau seharusnya tahu, tidak akan ada dampak menyenangkan. Khususnya untuk papa. Masih terpampang jelas cinta beliau pada istrinya, di balik ekspresi datar papa. Alasan itu juga yang mempertahankan beliau untuk menduda sampai sekarang.
Wajar kalau papa bisa membenciku. Namun tidak, papa lebih mendukung setiap pilihanku. Sudah semestinya aku pun mengabulkan permintaan beliau sebisa mungkin. Apalagi setiap permintaannya kembali lagi untukku.
“Rasyiqa, bisa langsung ke kelas,” guru dengan kacamata rendah masih mengatur administrasi dengan papa, “Tolong sebentar ya pak. Saya siapkan berkas sisanya,” beliau pergi meninggalkan kami.
“Ayo, Rasyi,” lelaki akrab berseragam rapi putih biru itu mendekat.
Iiih!! Tidak sepeka itu kah para laki-laki? Ke kelasnya bisa nanti-nanti saja kan? Jantungku belum kuat! Selesaikan saja administrasinya. Aku bisa menunggu kok. Jangan usir aku!
Tunggu. Ada yang sedang lari ya? Dia semakin kencang. Mengejutkan, lelaki lain yang akrab pula dengan mataku muncul dengan nafas kelelahan.
“Kenapa kamu disini?” lelaki berbadan tinggi itu selalu tampak marah.
“Paman kan meminta bantuan kita berdua. Lagi pula aku teman sekelas Rasyi sekarang,” lelaki rapi tadi membalas bersama senyum polos yang mendamaikan raut wajahnya.
“Ada aku kok, itu sudah cukup. Kamu fokus saja belajar untuk lomba sana.”
“Aku hanya ingin sedikit memperingan pekerjaan…,” pria rapi itu batuk sekilas, “... kakak. Jadi senior di OSIS kan sudah sangat melelahkan.”
Kalian sedang memperdebatkan apa lagi kali ini?! Papa kan hanya minta kalian menemaniku di sekolah. Tidak perlu ada acara ribut-ribut dengan rangkaian kalimat indah. Ingat-ingat! Ini ruang guru!
Mataku memandang wajah papa. Berharap beliau akan melakukan sesuatu. Ah. Jangan ekspresi itu. Tidak. Maksudku, seharusnya papa mengeluarkan ekspresi selain wajah datar yang sehari-hari itu. Sebesar itukah rasa tidak pedulian papa?! Tolong bantu aku!
Ibu tersayang… kalau anda ingin sekali membuatku bahagia, lebih baik tidak perlu repot-repot melahirkanku. Saya tidak membutuhkan kehidupan kedua. Apalagi penuh dengan permasalahan hidup seperti ini. Bahkan, biarkan saja aku beristirahat dengan tenang~ Kenapa mama meninggalkan aku sendiri menghadapi semua ini?!
Kenapa begini banget sih?!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments