3. Kembali Ke Masa Lalu

“Kok, kamu ada di sini?” tanya pemuda berkaca mata itu padaku.

“Lho! Kak Jo sendiri kenapa ada di sini? Bukannya kakak kuliah di Jogja?” kilahku manakala mendapati sepupuku tengah berada di kelas yang sama.

“Ngomong apa, sih kamu? Kak Jo kan, belum lulus!” sahut kak Jo, meletakan ranselnya di sebelah kursiku. “Udah sana balik ke kelas! Bentar lagi bel masuk, lho!” titahnya.

Aku diam mematung berusaha memproses informasi yang kak Jojo beri. Namun, otakku yang hanya memiliki kecepatan 40 Kbps ini tetap dibuat tidak mengerti.

“Emang kelas aku di mana?” selidikku.

“Ih, kamu kenapa, sih? Amnesia?” heran kak Jo bersama seribu tanda tanya yang terpancar dari sorot matanya. “Kelas kamu kan, di XI MIA 1.”

XI MIA 1. Kelas yang di mana merupakan kelasku setahun yang lalu. Apakah itu tandanya dalam mimpi ini aku akan kembali satu kelas dengan Zeev? Mengingat aku dan Zeev hanya dipertemukan sekelas di tahun kedua kami di SMA. Ya, apa pun itu! Selama aku masih bermimpi maka aku hanya akan mengikuti alur bunga tidur ini hingga mama membangunkanku. Aku bergegas bertolak menuju kelas di mana Zeev berada.

“Lunar! Ke mana aja sih, lo?” pekik Viona. Nampaknya ia sudah menunggu kedatanganku sejak tadi.

“Gak ke mana-mana.” selorohku seadanya, meletakan ransel di meja ketiga seperti saat aku di kelas sebelas dahulu.

“Lo kenapa sih, hari ini, huh? Salah minum obat?” dari ekspresi serta intonasinya, nampaknya Viona tengah bertanya dengan cara yang paling serius. Ia bahkan menempelkan punggung tagannya di keningku guna mengukur suhu tubuhku. “Lo gila, ya udah cium Zeev di lapangan sekolah? Semua orang sekarang lagi pada heboh gosipin lo, Lunar!”

Ucapan Viona kembali mengingatkanku atas apa yang terjadi beberapa menit lalu. Entah mengapa jemari ini tiba-tiba menyentuh permukaan lembut nan mungil diwajahku, mengingat-ingat sensasi yang sebelumnya mendarat manis di atas sini. Hanya membayangkannya saja sudah kembali membuatku senang.

“Si anjir malah cengar-cengir!” Viona menghantam meja sehingga meleburkan lamunan indahku. “Lo kenapa nekat banget sih, Nar? Okelah, kalau lo cuma nembak sih, gapapa! Toh, banyak kok, cewek-cewek yang nembak Zeev duluan tapi langsung ditolak! Cuma ini masalahnya kenapa lo sampe nyium Zeev segala? Di depan Zeevers lagi!” rutuknya, keluar masuk di indera pendengarku tanpa izin.

“Udah deh, lo tenang aja! Sekarang yang paling penting itu Zeev! Zeev mana? Kok, gak keliatan?” aku mencoba mengalihkan topik sebab enggan mengulur waktu untuk sekadar memberi Viona penjelasan. Kedua pandanganku bahkan kini tengah berselancar guna menemukan sesosok Zeev.

“Keliatan kepala lo!” cibir gadis berikat kuda di hadapanku ini. Ternyata Viona di dunia nyata dan di dalam mimpi pun sama-sama menyebalkannya. “Zeev, kan hari ini ada Seleksi Olimpiade Nasional Matematika! Dia pergi sama rombongan anak olimpiade yang lain, lah!”

Jawaban Viona lantas berhasil menampar kewarasan. Bahkan di dalam mimpi ini pun, Zeev masih tetap mengikuti olimpiade itu. Apakah Zeev ingin membuat akhir yang lebih indah dengan membawa kemenangan dalam seleksi olimpiade ini? Apakah Zeev seputus asa itu sehingga ia memberitahuku hal ini lewat mimpi? Nampaknya aku tidak boleh terbangun begitu saja sebelum sempat mengucap salam perpisahan dengan Zeev.

Pada akhirnya aku dibuat menunggu selama enam jam yang anehnya terasa bagai enam ratus tahun terjebak di ruang hampa. Bukan sebab aku risih telah menjadi tontonan paling menarik abad ini ketika aku harus berpapasan dengan para Zeevers – sebutan para penggemar Zeev – yangku temui di kelas, di kantin, di lorong-lorong, bahkan hingga di toilet. Melainkan aku dibuat gamang oleh keajaiban waktu yang berjalan terlalu normal seolah-olah dunia nyata dan dunia mimpi memang berjalan seiringan.

Kendati demikian, aku tetap mencoba seplegmatis mungkin dalam menunggu Zeev hingga tiba saatnya kini aku mendengar kabar bahwa Zeev telah kembali ke sekolah bersama beberapa peserta olimpiade lainnya. Dan anehnya aku masih saja terkejut ketika mendengar kabar Zeev gagal di tahap akhir Seleksi Olimpiade Nasional Matematika. Zeevku yang malang pasti tengah berkecamuk dalam batinnya sekarang. Dan aku harus menghampirinya guna menghibur sekaligus mengucapkan salam perpisahan kepadanya.

“Zeev, bisa ikut aku sebentar?” tanyaku pada pemuda yang nampak lesu itu.

“Tapi, lo gak akan ngelakuin hal yang aneh-aneh lagi, kan?” timpalnya, membuatku langsung mengerti ke mana arah maksud Zeev.

“Nggak, nggak! Aku janji! Aku gak akan macem-macem dan cuma mau ngobrol aja sama kamu.” jelasku bersama tatapan paling serius.

Kendati aku tahu bahwa saat ini Zeev pasti amat terpukul atas kegagalannya. Namun, Zeev tetap mengabulkan keinginanku walau aku sudah berbuat seenaknya. Kebaikan hati Zeev memang selalu membuatnya nampak bersinar sekali pun suasa hatinya sedang buruk. Mungkin karena hal ini lah alasan utamaku mudah jatuh cinta kepada Zeev.

Kala itu aku mungkin tidak mampu mendekati Zeev, mengingat selama ini aku hanya bersiteguh menjadi penggemar rahasia Zeev yang selalu menatapnya dari jauh. Namun, untuk pertama dan terakhir kalinya aku ingin melanggar batasan itu. Aku tidak ingin Zeev tidak tahu bahwa ada begitu banyak orang-orang yang menyayanginya dan akan selalu berada di sisinya bagaimana pun keadaannya.

“Lunar?” tanya Zeev, suara baritonnya masuk dengan ramah di gendang telingaku. “Ini kita mau jalan sejauh mana lagi? Bisa di sini aja gak ngobrolnya?” usul Zeev, mengingat kini kami sudah berada di sebuah lorong lantai tiga yang jauh dari kerumunan.

“Oke. Mmmm... Jadi, gini Zeev.” aku sedikit menimbang-nimbang bagaimana cara untuk menjelaskannya. “Aku ngerti kalau kamu sekarang pasti sedih banget. Tapi, gak bisa ikut olimpiade matematika ke tingkat nasional, bukan berarti buat kamu jadi orang yang gagal. Semua orang bangga sama kamu, Zeev. Guru-guru, temen-temen, bahkan orang tua kamu, semuanya bangga sama semua perjuangan kamu. Jadi, kamu jangan ngerasa gagal atau nyesel lagi, ya? Aku dan semuanya akan selalu ingat kamu dan doain kamu.” terangku, membiarkan sepasang netra kami saling berserobok.

“Iya, gue akan inget itu. Makasih ya, Nar.” jawab Zeev, menerbitkan senyum sehangat mentari yang barangkali ini merupakan senyuman termanis yang dapat kuabadikan hingga suatu hari kita dipertemukan kembali.

“Sekarang kamu bisa pergi dengan tenang kan, Zeev?” pertanyaan retorisku perlahan membuat senyuman Zeev tak bernyawa. “Sebenernya aku juga kesusahan untuk terima kepergian kamu. Tapi, kalau kamu bisa pergi ke tempat yang lebih baik. Aku juga akan berusaha untuk ngelanjutin hidup sebaik mungkin.”

Lagi-lagi Zeev hanya diam seribu bahasa. Namun, aku dapat mengerti akan arti dari sorot mata Zeev yang berbicara.

Kupeluk tubuh tinggi Zeev untuk yang terakhir kali sambil seraya berucap “Makasih, ya kamu udah hadir di hidup aku. Aku bahagia banget karena pernah ketemu sama kamu.” Kulaimbaikan sebelah tanganku untuk kemudian berlalu dengan diiringi bunyi “Selamat tinggal, Zeev!” tanpa sadar, bulir beningku sudah terjun lurus dengan sempurna.

Pada akhirnya aku memutuskan untuk menyudahi mimpi indah ini. Kendati sejujurnya aku masih ingin bersama Zeev. Namun, memanjakan keinginan tidak akan pernah ada habisnya, hanya akan membuat nuraniku kian kerdil. Dan aku akan berusaha memahami serta belajar merelakan bahwa tidak segalanya yang aku inginkan harus aku dapatkan, sebagaimana Zeev yang memutuskan untuk menghilang dari duniaku namun akan tetap abadi dalam lubuk hatiku.

Sekarang aku hanya perlu terjun bebas sambil menutup mata, bukan? Layaknya mimpi-mimpiku yang pernah singgah, setelah ini aku akan terbangun dengan sendirinya ketika aku terjatuh untuk kembali melanjutkan hidup. Oleh karena itu, kubiarkan kedua tungkai ini kehilangan keseimbangan di hadapan anak tangga penghubung antara lantai tiga dan dua. Aku pun lunglai seraya menutup mata.

Namun, salah satu lenganku mendapatkan gaya tarik yang amat besar sehingga menggagalkan percobaan bangunku, membuat tubuh ini justru terjatuh ke dalam dekapan hangat Zeev. Sekarang aku dapat merasakan detak jantung Zeev yang berdetak tak berarturan. Ya, aku sungguh bisa mendengar dan merasakan debaran kehidupan dalam dada Zeev. Zeevku berdetak! Zeevku berdetak?

Tiba-tiba saja Zeev mendorong tubuhku menjauh menggunakan kedua lengannya yang ia sematkan di kedua pundakku, menghentikan kegiatan asyikku dalam mengamati detak jantung Zeev.

“Lo gila, ya? Bahaya tau!” wajah Zeev nampak merah padam, sebuah pemandangan yang belum pernahku lihat sebelumnya dari wajah Zeev. “Kalau gue gak sempet narik tangan lo, mungkin lo udah celaka, Lunar!”

Hipokampusku nampaknya baru saja menemukan kejanggalan. Tidak ada yang terbesit dalam benakku selain mengatakan “Zeev? Kamu masih hidup?” dengan penuh rasa tidak percaya.

“Iya, gue masih hidup! Lo yang baru aja hampir mati! Lo sadar gak, sih?” timpal Zeev bersama nada paling tidak ramah yang baru kali ini kudengar dari bibirnya.

Lantas mengapa aku masih berada di sini untuk waktu yang lama? Apa aku terjebak dalam dimensi Zeev? Namun, nampaknya mustahil, mengingat semua yang kulihat begitu alami dan nyata tanpa sedikit pun sosok-sosok berentitas gaib. Apa aku terjebak dalam mimpiku sendiri? Namun, probabilitasnya juga kecil, sebab bila diingat-ingat tidak ada hal ajaib selagi waktu berputar sebagaimana mestinya. Lantas, mengapa tiba-tiba aku terbangun dan dapat bertemu kembali dengan Zeev?

“Zeev? Sekarang tanggal berapa?” selidikku guna memastikan keabsahan atas asumsi paling kecil yang aku miliki.

“Dua puluh tiga April.” jawabnya. “Kenapa? Jangan bilang lo lupa kalau hari ini kita mau ngadain surprise buat Hasna?” umpan balik itu sontak memberikan jawaban paling valid padaku.

Aku kembali ke empat bulan lalu!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!