4. Misi Menyelamatkan Hati Dimulai

ENTAH bagaimana caranya. Namun, kini aku telah kembali ke masa lalu. Aku telah kembali ke sebuah masa di mana Zeev mengikuti Seleksi Olimpiade Nasional Matematika. Dan aku kembali ke sebuah keadaan empat bulan lalu di mana sebelum Zeev ditemukan meninggal. Barangkali semesta amat menyayangiku dan Zeev sehingga memberi kami kesempatan kedua untuk mengubah suatu keadaan di masa depan.

Namun, nahasnya hari-hariku tidak dapat berjalan seperti sedia kala layaknya empat bulan yang pernah aku habiskan sebelum kematian Zeev. Aku yang empat bulan lalu hanya menjadi sosok tak terlihat, kini telah bertiwikrama menjadi sebuah momok yang paling dibenci kehadirannya. Mengingat polahku di pelataran yang mencium Zeev secara terang-terangan di hadapan semua orang – termasuk Zeev Lovers – kini telah menjadi bumerang bagi kelangsungan hidupku di sekolah.

“Kan, gue udah pernah bilang, Lunar! Lo kenapa telat banget sih, nyadarnya?” geram Viona, kembali mengungkit-ungkit aksi paling bodoh yang aku lakukan tiga hari lalu.

Ya, karena waktu itu gue keliru!

Viona amat beruntung sebab pekikku hanya mampu menggema dalam batin. Ya, bagaimana pun aku tengah mengemban sebuah misi rahasia dari cara kerja alam yang dengan segala kebaikannya telah berpihak kepadaku. Tentu, aku tidak dapat mencanangkan situasi absurd yang aku alami ini kendati Viona adalah sahabatku sendiri. Lagi pula siapa yang akan percaya? Viona yang selalu menjalani sepanjang hidupnya dengan segala pertimbangan akal dan logika sudah pasti hanya akan menganggap aku gila.

“Yaudah, terus gimana? Gue sekarang lagi butuh solusi, bukan omelan!” dengusku sebab kepala ini nyaris pecah oleh persoalan yang terlanjur berlarat-larat.

“Yaudah, terima aja risikonya! Lo harus bisa terima takdir lo kalau sekarang lo udah jadi musuh bebuyutannya Zeevers.” sahut gadis berseragam putih abu kotak-kotak itu.

Aku tidak dapat menyangkal fakta yang Viona beberkan secara terang-terangan. Bahkan tiga hari ini aku sudah empat kali dilabrak oleh empat geng yang berbeda yang mengatas namakan Zeevers. Mulai dari gerombolan siswi populer, hingga kumpulan siswi kurang dilirik keberadaannya. Kini semua silih berganti menyerangku. Para siswi yang pandai bersolek dan lebih jelita daripada aku bersepakat memberiku gelar sebagai ogre yang sering muncul dalam cerita-cerita Eropa. Sementara para siswi yang tidak memiliki nilai tambah dan merasa dikhianati selalu menyebutku sok cantik dan tidak menarik. Apa pun yang aku lakukan pasti akan terlihat salah di mata mereka.

“Terus kalau soal Zeev gimana?” diam-diam aku membutuhkan masukan jitu untuk mengatasi inti dari masalahku yang kembali ke masa lalu.

“Apanya yang gimana? Ya, lo minta maaf dan jauhin dia, lah! Kalau perlu, lo kumpulin orang-orang terus ucapin permintaan maaf secara terbuka dan janji gak akan jadi fan fanatik Zeev lagi. Masalah lo ke Zeev dan Zeevers jadi sekaligus beres, kan?” ketus Viona yang menggema di seluruh penjuru kamarku. “Sebenernya cuma itu, kan inti masalahnya? Gue sih yakin, Zeev udah maafin lo. Tapi, Zeevers itu persoalan yang beda. Mereka marah karena lo udah keterlaluan sama bias mereka. Meski pun Zeevers ada ratusan dan lumayan barbar. Tapi, mereka itu bakalan suportif selama anggotanya menaati peraturan.” bebernya sambil duduk bersila di atas ranjangku.

Wah! Bahkan aku baru tahu bahwa gerombolan Zeevers masih memiliki peraturan layaknya sebuah komunitas yang menjunjung tinggi persatuan.

“Tapi, gue gak bisa janji kaya gitu, Na.” terlebih lagi jika berjanji di hadapan Zeev. Pasti Zeev tidak akan pernah lagi mau memaafkan aku bila aku tidak bisa menepati janji itu. “Gue gak bisa jauhin Zeev.” tolakku bersama sendu yang mulai memadati ruang-ruang kalbuku.

“Kenapa? Sebelumnya juga lo ngerasa puas dengan cuma jadi penggemar rahasia Zeev, doang! Terus kenapa hari itu tiba-tiba lo malah nembak Zeev di depan semua orang? Coba tolong kasih tau gue alasan paling masuk akal sekarang!” tuntut Viona sambil menungguku dengan seteguk cairan dingin yang telah berselancar melewati kerongkongannya.

“Yaudah, anggap aja gue gila! Waktu itu gue lagi sinting dan gak tau diri gue sendiri!” ketusku, mengingat nalarku hanya menemukan jalan buntu.

“Iya! Emang sinting lo! Sinting!” bukannya menghiburku, gadis berikat kuda itu justru memuji kejeniusanku.

Seharusnya tadi aku tidak usah mengajak viona bermain ke rumahku setelah pulang sekolah, mengingat keluh kesahku tidak memiliki solusi terbaik untuk keluar dari situasi menyebalkan ini. Lantas aku terbangkan saja sebuah bantal ke arah Viona demi memuaskan rasa frustasiku yang telah menjalar hingga ke akar. Pada akhirnya aku dan Viona menggelar upacara perang bantal di atas ranjang dan mengubah kamarku menjadi gelanggang.

AKHIR pekan kemarin aku telah memutuskan untuk berkontemplasi serta menggali informasi yang pernah terekam dalam gudang memori tentang beberapa peristiwa yang akan terjadi selama empat bulan ke depan. Dengan kata lain, aku telah membuat resume benang merah akan rentetan peristiwa secara kontinu yang pernah terjadi sebelum aku kembali ke masa ini.

Tidak hanya itu. Pun aku telah menyusun beberapa strategi untuk menyelamatkan Zeev dari beberapa mara bahaya yang masih teringat jelas dalam kepala, termasuk menggagalkan aksi Zeev ketika terjun bebas dari atap gedung utama SMA Negeri Dirgantara. Aku harus juga bisa mengubah takdir Zeev yang itu!

“Zeev, gue boleh ngomong sebentar gak?” pintaku ketika usahaku untuk datang lebih pagi berjalan lurus dengan hasil yang menghadirkan Zeev yang nampaknya baru masuk ke kelas juga.

Zeev menatapku selama beberapa detik sebelum akhirnya ia berkata “Jadi, sekarang lo udah mau ngomong sama gue, nih?” membuatku sejenak berpikir keras atas makna dibalik ucapannya. “Beberapa hari ini kan, lo selalu ngehindar dari gue!”

Ya, akhir-akhir ini aku memang selalu menghindari Zeev sebab satu dan lain hal. Pertama, Aku terlalu malu pada Zeev atas kebodohan yang aku lakukan di pelataran sekolah. Kedua, aku mendapatkan ultimatum keras dari para Zeevers dan masih berada di bawah pengawasan mereka. Dan aku harap para Zeevers itu sudah melupakan kesalahanku sekarang, mengingat aku cukup kooperatif ketika dilabrak oleh beberapa orang demi melayani aku yang hanya memiliki bayanganku sendiri. Andai saja hari itu Viona tidak membantuku ketika menghadapi Zeevers. Barangkali hari ini akan ada beberapa tato alami yang tidak artistik di area wajah serta permukaan kulitku yang lain.

“Itu karena gue malu, Zeev. Makanya, sekarang gue mau minta maaf dan minta tolong sama lo buat lupain kejadian waktu itu. Gue udah introspeksi diri, Zeev. Kayanya waktu itu gue bener-bener kehilangan akal sampe gak bisa ngebedain mana yang halu, mana yang nyata. Gue bener-bener minta maaaaaaaf banget.” paparku tanpa menatap netra Zeev sebab saat ini aku amat berharap memiliki kemampuan invisible.

Bukannya menjawab permohonanku, Zeev justru memilih untuk bungkam. Aku yang tidak tahan dengan keheningan ini lantas memutuskan untuk mendongak guna memastikan sosok Zeev masih berada di hadapanku. Dan ya, untungnya Zeev masih ada di hadapanku.

“Oke!”

“Huh?”

“Yaudah, oke!” jawab Zeev dengan bulat. “Udah selesai, kan?” ia mencoba memastikan sesuatu padaku dan anehnya kepalaku ini otomatis menyambut pertanyaan itu dengan anggukan. “Oke! Kalau gitu gue ke lapangan duluan, ya!” ungkapnya, kemudian berlalu meninggalkan aku bersama kegamangan.

“Idih! Apanya yang oke, sih?” gemasku ketika hanya mampu memperhatikan bayangan Zeev yang mulai menghilang melewati pintu kelas. “Jadi, gue dimaafin atau nggak?”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!