Kematian Zeev di depan gedung utama sekaligus pelataran sekolah membuat seluruh penjuru SMA Negeri Dirgantara berduka. Beberapa polisi menyambangi sekolahku untuk melakukan olah tempat kejadian perkara setelah tragedi paling tragis itu terjadi. Beberapa guru dan murid dimintai keterangan sebagai saksi kematian Zeev, termasuk aku – satu-satunya sumber saksi mata paling meyakinkan, mengingat akulah satu-satunya orang pertama yang menemukan Zeev dalam keadaan meniggal.
Polisi berkali-kali mencoba menggali informasi paling dalam dariku. Dan berkali-kali itu juga aku memberikan jawaban yang paling konsisten, menangis tersedu-sedu tanpa sepatah kata pun terucap. Para orang dewasa – polisi dan guru – akhirnya menyerah dan membawaku menjauh dari tempat yang mulai saat ini telah menjadi tempat paling menyeramkan bagiku. Tempat di mana Zeev terbujur kaku tiga langkah di hadapanku.
Pada akhirnya siang ini pihak sekolah memberi kebijakan darurat untuk memulangkan seluruh murid-muridnya, termasuk memulangkan aku dengan keadaan paling nadir. Aku dipaksa pulang dengan menanggung trauma yang mungkin akan menghantuiku seumur hidup. Dan semua itu akibat keputusan egois Zeev.
Kamu jahat Zeev!
Kepergian Zeev yang sulit untukku maafkan mengurungku pada sebuah ketidakberdayaan. Pelukan mama dan Viona tidak lagi terasa menenangkan. Tidak ada yang lebihku inginkan selain Zeev dapat hidup kembali. Apa keinginanku melihat senyum hangatnya setiap hari di sekolah adalah permintaan yang serakah? Aku bahkan tidak pernah berharap bahwa Zeev harus menjadi milikku. Tidak pernah.
Jujur. Aku tidak ingin mengakui bahwa Zeev sudah tiada. Hati dan pikiran ini menyangkalnya. Aku bahkan berpura-pura tuli ketika para orang dewasa itu berkata bahwa mereka menemukan sepucuk surat di atas atap yang berisi tentang permintaan maaf Zeev dan penyesalannya. Aku tidak ingin meyakini itu sebab aku tahu bahwa Zeev tidak akan pernah melakukan hal sejahat itu kepada siapa pun, termasuk dirinya sendiri. Bukankah begitu, Zeev?
Segala cara aku lakukan demi keluar dari labirin enigma yang menakutkan. Namun, upayaku tak jua menemukan titik terang. Hanya Zeev yang bisa menjawabnya. Dan ironisnya Zeev tidak akan pernah sanggup menjawabku, bukan? Aku mencintainya dengan cara yang sederhana. Tapi, mengapa ia mematahkanku dengan cara paling luar biasa? Zeev benar-benar jahat! Hanya itu yang dapat batinku rapalkan berulang kali sejak dalam perjalanan menuju rumah hingga akhirnya kini aku berakhir terbaring di punggung ranjang yang dingin.
Aku gak akan pernah maafin kamu, Zeev!
Tiga jam aku mengurung diri di kamar, membiarkan diriku direngkuh kesendirian. Dan selama tiga jam pula waktu yangku gunakan untuk meratapi kepergian Zeev tanpa sedikit pun sedatif. Aku hanya mampu membenamkan kepala pada tempat peraduan terbaik – bantal – yang hanya kepadanyalah danau di pelupuk mata ini ingin aku muarakan.
Gue mau ke pemakaman Zeev dulu ya, Nar? Lo yakin gak mau liat Zeev untuk yang terakhir kalinya? ucapan Viona setengah jam yang lalu, kini kembali menggaung di indera pendengarku.
Viona berusaha mengumandangkan sebuah penawaran untuk aku turut menghadiri prosesi pemakaman Zeev demi mengabadikan terbenamnya matahari terakhirku dalam gudang memori. Namun, egoku yang setengah jam lalu amat bulat dan tidak sudi menghadiri pemakaman Zeev, kini bertransformasi menjadi puing-puing penyesalan yang tidak akan pernah bisa terbayarkan. Aku yang telah menyesal sebab tidak akan pernah bisa mengungkapkan isi hatiku kepada Zeev, kini harus menanggun penyesalan terdahsyat sebab tidak akan pernah bisa melihat wajah Zeev yang tertidur dalam damai di tempat peristirahatan terbaik-Nya.
Manusia memang makhluk paling menarik dan misterius paling sempurna yang telah Tuhan ciptakan. Bahkan aku sang empu yang mengendalikan sepenuhnya nurani dan akal ini terkadang dibuat tak sanggup menerka zat apa yang merasuki ragaku. Tiba-tiba saja lobus frontal ini bertindak impulsif dan langsung menuntunku ke tempat pemakaman Zeev. Mama sempat menegurku untuk mengganti pakaian. Namun, aku menolak sebab jantungku terlalu membuncah dan siap melompat bila saja tidak disegerakan. Aku yang diselimuti kalut lantas pergi menggunakan motor guna membelah kemacetan tanpa menghiraukan peringatan mama untuk tidak mengebut di jalan. Ada anasir dalam diriku yang menginginkan pertemuan terakhir dengan Zeev.
Ketika tugas motor bebekku selesai untuk mengantarkanku ke tempat tujuan, aku tidak mendapati seorang pun di pemakaman. Ya, barangkali hari sudah terlalu sore untuk disambangi manusia di tempat paling hening di tengah kota. Saat ini kiranya gelombang takutku kehilangan jati diri seolah-olah nurani tidak pernah mengenalnya. Namun, aku pun menyadari bahwa polahku ini juga bukan pertanda bahwa sebuah keberanian tengah menyembul setelah tertidur sekian lama. Aku hanya seorang remaja penuh putus asa yang tidak tahu lagi ke mana aku harus menumpahkan seluruh emosi-emosi negatif dalam amigdalaku.
“Aku dateng Zeev.” suaraku bergetar seolah siap meluapkan isak tangisku di hadapan batu nisan Zeev. “Kenapa kamu lakuin itu?” tanyaku seraya bersimpu dan memohon di hadapan makam berselimut bunga demi mendapatkan jawaban dalam manifestasi apa pun.
Para ilalang sibuk menari-nari diantara hembusan angin seolah kehadiran angin merupakan musik terindah banginya. Burung-burung asyik-masyuk bernyanyi setelah pulang dari pengembaraan menyenangkan mereka. Sementara aku hanya dapat mendengar sedu sedanku dalam beberapa waktu tanpa manifestasi jawaban apa pun dari Zeev.
“Zeev.” Aku mencoba tabah dan mengatur pernapasanku, menghapus jejak kepedihan yang lagi-lagi menghias wajahku. “Kamu yang memilih meninggalkan pasti gak pernah tau rasanya ditinggalkan. Dan sekarang aku datang jauh-jauh ke sini untuk ngehukum kamu, Zeev! Kamu yang selalu senyum di hadapan semua orang, jelas harus dihukum karena ngelakuin itu, kan? Kamu yang selalu ada buat temen-temen kamu, jelas harus dihukum karena kamu gak bisa tolong diri kamu sendiri, kan? Kamu yang buat motibasi belajar kita pergi! Kamu yang jahat udah hilangin senyuman aku, Zeev!” cecarku pada Zeev yang tidak akan mampu lagi didengar kendati desibel ini sudah meningkat beberapa oktaf.
Aku kembali mengatur napas lalu mengambil satu tarikan besar. “Tapi, kenapa, Zeev?” tanyaku bersama nada lebih plegmatis. “Kenapa aku gak bisa hukum kamu dan benci kamu aja? Kenapa kepergian kamu justru buat aku ngerti kalau kamu bener-bener berarti?” tanyaku yang disambut kawanan ilalang yang masih bergoyang. “Sebelum ketemu kamu, hidupku baik-baik aja, Zeev. Tapi, setelah ketemu kamu dan cuma untuk dipisahkan dengan cara kaya gini... Mungkin hidup aku gak akan pernah seperti sebelumnya.” lagi-lagi aku menyelesaikan ucapanku sambil menangis.
Senja mungkin mulai menampakan keelokan jingganya sebab ingin menghiburku. Angin kian berhembus kencang dan menerpa permukaan wajah seolah-olah ingin menghapus jejak kepedihan di sela-sela linangan air mataku. Dan tiba-tiba saja aku mampu merasakan sebuah sentuhan yang merengkuh tubuhku dari belakang. Sebuah pelukan paling hangat yang belum pernah aku rasakan seolah-olah menganggapku manusia paling kedinginan di dunia, paradoks yang harus aku telan bulat-bulat kenyataanya.
“Kamu siapa?” selidik wanita bergaun putih setelah melepaskan pelukanya yang telah membuatku tenang. “Kenapa nangis di depan makam anak bunda?” pertanyaan itu cukup menegaskan bahwasanya wanita berwajah sendu di hadapanku adalah ibu dari Zeev.
“Aku Lunar, temen sekolahnya Zeev.” timpalku seraya menyeka bulir bening yang masih tertinggal di pipi. “Bunda kenapa masih di sini? Bukannya harusnya udah pulang dari tadi, ya?”
“Bunda kelupaan sesuatu.” ujar bunda, datang bersama sebuah lentera kecil yang sudah memancarkan sinar kecilnya. “Zeev gak suka tempat yang gelap.” meletakannya di dekat nisan guna menemani malam Zeev. “Maaf, tadi bunda gak sengaja denger semua obrolan kamu sama Zeev.” terangnya, sukses memancing hujan yang kembali tumpah dari sepasang netraku.
Bunda kembali berusaha menenangkanku sambil menggenggam kedua tanganku seolah-olah ingin berbagi sebagian kekuatannya setelah kami terpuruk sebab kehilangan salah satu orang yang berharga dalam hidup kami.
“Andai aja aku tau kalau Zeev punya masalah. Andai aja aku mau sedikit perhatian sama Zeev... Mungkin sekarang Zeev masih ada sama kita kan, bun?” pertanyaan retorisku tak sanggup bunda indahkan. Aku hanya mendapati senyuman getir bersama bulir bening yang mengalir dari kelopak indah bunda. “Kalau aja aku bisa kembali ke masa lalu. Kalau aja aku dikasih kesempaan kedua. Aku pasti akan cegah Zeev ngelakuin itu. Aku janji akan selamatin Zeev dari hal itu.”
“Bunda tau, pasti kamu sayang banget kan, sama Zeev? Tapi, lain kali kamu gak boleh sembarangan ngomong janji kaya gitu, Lunar. Kita gak boleh ucapin janji ke sembarangan orang. Janji itu punya makna yang penting dan bahkan mungin lebih sakral dari pada yang kamu bayangin.” timpal bunda seplegmatis mungkin, suaranya menenggelamkanku dalam kedamaian. “Sekarang kita doakan aja yang terbaik untuk Zeev. Gak ada yang lebih Zeev butuhin selain doa untuk kebaikannya seakrang.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments