Dani memakai sarungnya dengan setengah sadar. Karena selamam dia tidur cukup larut, dan mengakibatkannya terlambat menunaikan salat subuh. Aroma kopi harum semerbak memenuhi ruangan dapur. Ia yang telah selesai menunaikan kewajibannya langsung menghampiri wangi yang menggelitik hidungnya itu.
Mamah Yuli tersenyum melihat tingkah Dani yang selalu suka dengan wangi kopi buatannya. Hanya dua wangi kopi yang Dani suka, yaitu kopi buatan mamanya dan Inaya. Selebihnya, hanya akan dibiarkan olehnya. Begitupun di kantor, dia tidak meminum kopi buatan OB. Ia lebih memilih meminum air putih. Saat dinas luar? Ya sama, dia tidak akan memesan kopi. Baginya, kopi ternikmat adalah buatan Inaya dan mamahnya.
Sruuup ....
Dani menyeruput kopi dengan begitu nikmat sampai lupa duduk. Membuat Mamah Yuli menepuk bahunya dan mengisyaratkannya segera duduk dengan gerakan mata. Dani menyeringai lalu duduk dengan cepat. Makin menikmati kopi hitam dengan perpaduan dua sendok gula itu. Pahit dan manis mampu berpadu menjadi satu memanjakan indra pengecapnya.
"Kopi Mamah memang terbaik!"
"Mamah buka warung kopi saja, gimana?" canda Mamah Yuli.
Dani tertawa mendengar permintaan mamahnya. "Nanti Dani ada rapat dengan bapak kepala, Mah. Jadi, pulangnya agak malam. Enggak usah nunggu aku makan. Mamah kalau sudah lapar, makan saja sama anak-anak."
"Iyo, semangat yo Nang kerjane!" (Iya, semangat ya Nak kerjanya!)
"Makasih Mamah sayang. Dani nggak tahu harus balas budi ke Mamah dengan cara apa." Dani mencoba menggoda Mamah Yuli dengan berbasa-basi.
Mamah Yuli tersenyum penuh arti, dan Dani sudah tahu pasti mamanya akan meminta sesuatu. "Minta apa, Mah?"
"Hi-hi-hi, minta mantu baru, boleh?"
Dani memutar bola matanya malas dan berdecak. "Itu lagi! Sudah ah, Dani mau mandi! Lagian nih, Mah, aku itu sudah tua, umur sudah 45 tahun, sudah kalah sama yang muda-muda."
Dani meninggalkan meja makan dan segera menuju kamarnya untuk bersiap mandi sebelum terdengar jawaban dari mamanya.
"Kata siapa? Zaman sekarang, sugar daddy paling diminati!" teriak Mamah Yuli dengan cekikikan.
Dani tertawa mendengarnya. Dari mana mamahnya tahu istilah seperti itu. Dasar Mamah Yuli!
Aidha sudah selesai mandi dan bersiap memakai seragam sekolah. Dia sekarang duduk di bangku kelas dua SMP. Usianya sekitar empat belas tahun. Beda tujuh tahun dengan adiknya, Salwa. Sekolahnya cukup dekat dengan rumah, jadi dia memilih memakai sepeda daripada diantar papanya.
Aidha memakai bedak tipis-tipis dan lipbalm agar bibirnya tidak pecah-pecah. Tidak lupa juga memakai lotion bayi di tangan dan kakinya. Menjaga kulitnya tetap lembab. Ia mulai menyisir rambut ikalnya itu lalu menguncir kuda. Memakai jilbab instan merk rabinah dan menyemprotkan sedikit parfum ke sisi leher kanan, kiri, dan pergelangan tangan.
Kini dia telah siap. Segera turun untuk sarapan sebelum neneknya berteriak dari bawah. Ia menyabet tas yang berada di kursi meja belajarnya dan keluar dari kamar. Berpapasan dengan Salwa yang masih belum siap juga.
"Mbak, tolongin Salwa! Resleting rok Salwa gak bisa naik sampai atas. Nyangkut baju deh ini. Tolong, lepasin?" rengek Salwa yang sudah mulai gusar karena sedari tadi tidak berhasil menyelesaikan masalahnya.
Aidha hanya melihatnya dalam diam lalu meninggalkannya. Membuat hati Salwa semakin jengkel.
"Ih, Mbak! Bantuin Salwa, dong!" ucap Salwa dengan nada begitu kesal karena Aidha tetap bergeming. Membuatnya putus asa dan menangis.
Dani mendengar suara tangisan Salwa langsung keluar dari kamar. Memastikan keadaan anaknya dan mencari tahu penyebab Salwa menangis.
"Anak Papah kenapa menangis?" tanya Dani memeluk Salwa.
"Mbak Aidha, Pah. Salwa minta tolong tapi dia cuek!"
"Cup-cup-cup, sudah. Bantu apa, Nduk? Sini Papah bantu."
Salwa menunjukkan resleting roknya. Dani mencoba membantunya. Resleting itu jadi macet karena tersangkut kain atasan. Dengan sekuat tenaga Dani mencoba menarik resleting itu ke arah bawah dan berhasil melepas kain yang tersangkut itu. Salwa menjadi senang bukan main. Dia segera kembali bersiap ke kamarnya.
"Makasih, Pa. Tunggu Salwa ya, Pa? Salwa kilat kok Pa siap-siapnya," ucap Salwa. Dani tersenyum dan mengangguk.
Meja makan telah siap menyambut penghuni rumahnya. Aidha sudah menyantap sarapannya tanpa menunggu yang lain. Dani turun dan ikut bergabung dengannya.
"Dha, kenapa tadi adiknya menangis?" tanya Dani. Aidha hanya mengangkat bahunya sebagai jawaban atas pertanyaan itu.
"Papah tanya sekali lagi, kenapa Salwa nangis?"
"Nggak usah pura-pura nggak tahu, Pah," sinis Aidha
Dani menarik kursi dan mengambil roti. Mengolesinya selai nanas lalu membaca do'a dan menggigitnya.
"Dia adikmu, jangan bertingkah seperti itu, Dha. Dia nggak ada salah apapun sama kamu, lho."
"Ada, dia yang sudah membuat ibu meninggal!" Aidha meneguk susu coklat panas miliknya.
"Bukan salah Salwa, Dha! Bersikaplah lebih hangat layaknya seorang kakak terhadap adiknya!" Dani meninggikan suaranya. Berharap Aidha mau mendengarkannya.
"Aidha nggak pernah minta adik! Nggak usah teriak-teriak! Telingaku masih normal!" Aidha menenteng tasnya meninggalkan meja makan.
Mamah Yuli yang melihat keributan kecil itu hanya bisa beristighfar. Berharap kemarahan cucunya bisa segera mereda. Sedangkan Salwa mendengar semuanya, meski dia masih kecil tapi dia tahu bagaimana rasanya tidak diinginkan. Mamah Yuli mencoba membesarkan hati cucu keduanya itu. Berharap rasa kecewa yang terlanjur muncul bisa sirna.
Dani mengantarkan Salwa ke sekolah. Dia lebih banyak diam dan memandang ke luar jendela mobil.
"Sekolah yang pintar ya, Nduk. Manut sama Bu guru. Nanti pulangnya dijemput pak Kus," kata Dani mengusap lembut puncak kepala Salwa.
Salwa hanya mengangguk. Lalu menyalami Dani. Masuk ke dalam sekolahan dengan wajah murung.
Seorang wanita berhijab biru gelap menutupi dada menyejajarkan langkah dengan Salwa. Menepuk bahu Salwa sehingga membuatnya terjengkit kaget.
"Assalamualaikum, Salwa!" sapa wanita itu dengan ceria.
"Eh, waalaikum salam Bu Disa! Salwa kira siapa tadi! Sampe kaget tahu, Bu!"
"Ha-ha-ha, maaf ya? Kenapa murung?" tanya Disa menarik tangan Salwa untuk duduk di depan teras kelas.
Salwa awalnya hanya diam tak menjawab. Pandangannya kosong lurus ke arah depan. Membuat Disa semakin bingung dengan keadaan muridnya.
"Jadi orang yang tidak diinginkan itu menyakitkan ya, Bu?"
Disa mengangkat sebelah alisnya. Menelengkan kepala ke arah Salwa untuk melihat ekspresi dari bocah berumur tujuh tahun itu.
"Maksudnya?" tanya Disa.
"Mbak Aidha, mbaknya Salwa sebenarnya nggak pengen punya adik, Bu. Dia bilang Salwa yang menyebabkan ibu meninggal dunia. Apa iya, Bu?" tanya Salwa dengan polosnya.
Disa diam tak dapat menjawab pertanyaan Salwa karena dia tidak tahu benar duduk perkara itu. Dia tersenyum ke arah Salwa.
"Sal, suatu kematian itu takdir yang nyata tapi masih menjadi rahasia untuk kita. Allah SWT adalah segala pemilik keputusan itu. Jangan menyalahkan diri sendiri. Ibu yakin, bukan kamu penyebabnya," ucap Disa hanya bisa memberikan sedikit motivasi.
Kriiing ....
"Bel tuh, masuk sana!"
Salwa mengangguk dan masuk ke dalam kelasnya. Sedangkan Bu Disa menuju ruang guru untuk mengambil bahan belajar mengajar hari ini.
***
Sore menjelang, tepat pukul tiga Disa sampai di sebuah rumah yang terletak di Taman Wiku. Sebuah perumahan elit di kawasan kota. Seorang paruh baya memakai daster dan ciput penutup kepala membuka pintu gerbang untuknya.
Disa menyapanya dengan sopan dan riang. Dia dipersilahkan masuk karena sudah ditunggu oleh pemilik rumah. Ia mengangguk dan mengikuti langkahnya.
"Nyah, ustazah e sampun rawuh," (Nyah, Ustazahnya sudah datang,) ucap ART itu.
Mamah Yuli menoleh bersamaan dengan Aidha dan Salwa. "Assalamualaikum," ucap Disa.
***
Like
Komen
Vote
Tip
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Rahma Inayah
mama nya ank2 sdh otw
2023-03-30
0
Lilis Solihat
baru tahu ada hijab merk rabinah🤣🤣
2022-05-20
2
Rahayu Sulistiasih
pipip... pipip calon mantuuuu
2022-04-20
2