Dani baru saja turun dari mobilnya. Menenteng tas sambil memperhatikan jalan menuju dalam rumah. Seperti biasa, Mamah Yuli akan menyambutnya dengan senyuman termanis nan eksotis. Senyum seorang ibu paruh baya yang sangat menentramkan jiwa seorang anak.
Mamah Yuli merentangkan tangannya siap memeluk Dani. Anak sulung yang selalu menjadikannya ratu dimanapun dan kapanpun ia berada. Dani tersenyum lalu memeluk wanita itu. Seakan penat yang sedari tadi menjalari tubuhnya sirna entah kemana.
Sore terasa sangat sunyi menyapa keduanya. Dani menyalami Mamah Yuli seperti biasanya, lalu mengecup pipi dan keningnya. Perlakuan yang sungguh menyanjung hati setiap ibu manakala diperlakukan begitu hangat oleh anaknya sendiri.
Seorang anak kecil berusia sekitar tujuh tahun berlari dari arah belakang. Dengan napas tersengal, dia tersenyum pada Dani.
"Papa sudah pulang?" tanya gadis cilik itu.
Dani tersenyum sembari mengangguk, "Salwa lihat sendiri, kan? Papah nggak ingkar janji, kan? Tunggu Papah bersihkan diri dulu, lalu kita mengaji bersama."
Salwa, gadis cilik berusia tujuh tahun itu tersenyum dan mengangguk mendengar ucapan papahnya. Dia anak kedua dari Dani dan Inaya. Sosok anak yang selalu ceria, manja, dan mudah bergaul. Sangat berbanding terbalik dengan sang kakak.
Mereka semua masuk ke dalam rumah. Di ruang santai, Dani melihat anak gadis remajanya sedang cengar-cengir dengan mata fokus tertuju layar ponsel. Dia menghampiri gadis remaja tersebut.
"Anak Papah kenapa senyam-senyum sendiri, hmm?" tanya Dani mencoba mencari tahu lewat layar ponsel anaknya.
Terdengar decakan kesal dari gadis remaja tersebut. Bukannya menjawab pertanyaan papahnya, dia malah pergi menuju lantai dua dimana kamarnya berada.
"Aidha, kok begitu sama papah?" sergah sang nenek melihat cucu pertamanya begitu dingin memperlakukan papanya.
"Itu karena Aidha benci sama, papah! Orang yang nggak bisa mengambil keputusan dengan tepat!" teriak Aidha dari tangga.
Dani tersenyum pahit mendengar pernyataan dari anak sulungnya itu. Muhammad Ardani adalah seorang duda berusia 45 tahun. Menjabat sebagai staff kepegawaian di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di sebuah kota kecil dengan slogan kota wali. Istrinya meninggalkannya ketika melahirkan anak mereka yang kedua.
Saat melahirkan anak kedua, almarhumah sang istri mengalami emboli air ketuban. Sehingga menyebabkan Inaya meninggal. Anak sulungnya memanggap itu adalah kesalahannya. Dengan membiarkan Inaya hamil saja, berarti dia telah mendorong Inaya ke jurang kematian. Itulah anggapan Aidha terhadap dirinya.
Sudah berulang kali dia dan keluarganya memberikan penjelasan kepada Aidha bahwa kematian ibunya karena musibah yang tidak dapat dihindari, tapi Aidha masih dengan pendiriannya. Dia merasa marah dan kecewa terhadap papahnya.
Bagaimana sikap Aidha kepada Salwa? Dia sangat dingin terhadap adiknya. Aidha sangat kaku terhadap adiknya. Jangankan bermain, menjawab sapaan Salwa saja bisa dihitung dengan jari.
Bahkan, neneknya pernah mendengar sendiri Aidha berkata kepada Salwa bahwa dia tidak pernah ingin memiliki adik. Keluarga itu sudah melakukan berbagai cara untuk menyingkirkan amarah Aidha atas meninggalnya ibunya. Namun, usaha mereka belum juga membuahkan hasil. Malah lebih buruk karena sikap gadis itu yang makin buruk memperlakukan Dani dan Salwa.
"Biarkan dulu Ma, Aidha masih marah sama Dani. Nanti aku coba pikirkan caranya kembali," ucap Dani mencegah Mamah Yuli yang hendak menghampiri Aidha di kamarnya.
Mamah Yuli mengangguk dan mengusap lengan anaknya, "Sabar Dan, Aidha anak yang baik kok, dia penurut. Mamah yakin akan hal itu. Mamah siapkan makan untuk kamu dulu."
Dani menggeleng dan mencekal tangan Mama Yuli. "Tidak perlu, Mah. Dani sudah makan di kantor. Aku mandi dulu."
Dani menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Bersebelahan dengan kamar Salwa. Membuka knop pintu lalu masuk ke kamar ukuran empat kali tiga meter. Dia merebahkan diri sebentar di ranjang sambil memejamkan mata. Tak terasa ada cairan bening yang melewati sudut matanya.
Dia menangis. Tapi, menangisi siapa? Apakah karena sikap Aidha kepadanya? Ternyata bukan itu penyebab ia menangis, Dani menangis karena teringat akan Inaya. Mungkin benar kata Aidha, jika dulu ia mencegahnya untuk hamil lagi resiko hal itu bisa terelakkan. Mamah Yuli masuk dan membuatnya terkejut.
"Apa yang kamu tangisi, Dan?"
Dani mencoba menyembunyikan kesedihannya namun terlanjur tertangkap basah oleh sang mama.
"Aku nggak nangis kok, Mah." Dia mencoba berkelit.
"Wanita tua ini yang merawat kamu sedari kecil. Mana bisa kamu bohong sama, Mamah? Kenapa?" paksa Mamah Yuli.
Dani menghela napas panjang, "Coba dulu Inaya tidak hamil lagi, Mah. Pasti saat ini dia masih ada di tengah-tengah kita."
"Dan, kamu ini sudah sangat dewasa. Kamu juga mengerti tentang agama. Takdir itu tidak dapat kita tentukan sendiri. Allah adalah penentu terbaik atas diri kita."
"Jangan pernah berpikiran seperti itu, Dan. Percayalah sama Allah, akan ada hal indah nantinya. Mamah yakin akan hal itu! Mamah yakin kebahagiaan akan segera menghampiri kalian!"
Dani mengucap istighfar. Sadar akan pikiran dan perkataannya barusan adalah hal yang sangat tidak pantas dia lakukan. Ragu dan curiga terhadap yang menciptakan kita? Bukankah itu hal yang tidak pantas? Seperti kufur nikmat saja dirinya.
"Sudah, mandi dulu sana. Mamah sudah minta tolong Rida untuk mencarikan guru mengaji. Coba saja Ustaz Hamid tidak pindah, hmm ..., ya sudahlah, mau bagaimana lagi?" kata Mamah Yuli.
Dani mengangguk dan segera masuk ke kamar mandi. Mengguyur seluruh bagian tubuhnya dengan air hangat agar ototnya menjadi rileks. Di dalam ruangan bernuansa putih itu sengaja dia berlama-lama menikmati setiap tetes air yang melewati tubuhnya. Menenangkan pikiran dan menepi sejenak dari semua permasalahan yang menderanya.
Di lantai bawah, Salwa sudah sangat siap untuk mengaji bersama dengan papanya. Aidha? Dia tidak mau mengaji jika yang mengajarinya adalah Dani. Maka dari itu, Mamah Yuli menyuruh Rida, anak keduanya untuk mencarikan guru mengaji yang baru bagi Aidha dan Salwa.
"Jadi, besok ustazahnya datang, Mbah?" tanya Salwa antusias.
Mamah Yuli mengangguk, "Iya, besok ustazah datang kesini. Jam tiga sore, jadi Salwa harus sudah siap, ya? Kasihan nanti kalau ustazahnya menunggu kamu terlalu lama."
"Siap, Mbah! Salwa besok jam dua udah siap disini. Hi-hi-hi."
"Ha-ha-ha, ya enggak perlu jam dua juga, Nduk! Kamu itu lucu!" Mamah Yuli mencubit pipi Salwa karena gemas.
Dani turun dan bergabung dengan mereka. Mencari-cari keberadaan Aidha. "Biar Aidha mengaji sama Mamah, kamu ajari Salwa," perintah Mamah Yuli.
Dani mengangguk setuju. Karena kalau dia memaksakan kehendaknya lagi pada Aidha, hal yang akan terjadi adalah keributan lagi. Jadi, dia memilih mengalah dan tidak mengusik putrinya untuk sementara waktu.
"Mah, tadi ada yang beli jilbab Mamah satu buah. Yang segiempat syar'i. Uangnya masih di dompet Dani," terang Dani.
"Iya, kita bahas itu nanti." Mamah Yuli berjalan naik ke kamar Aidha.
"Sampai mana ngajinya, Sal?" tanya Dani pada anak keduanya.
Salwa membuka Al-qur'an miliknya. Memiliki sampul berwarna pink kesukaannya. Ada terjemahan dan tajwid di dalamnya. Hurufnya besar-besar, sehingga memudahkan orang yang membaca.
"Baca surat Al-fatihah dulu satu kali, Sal," perintah Dani pada Salwa.
Salwa mengangguk mengikuti instruksi papanya. Lalu mulai mengaji melantunkan ayat-ayat suci. Salwa belum terlalu lancar membaca huruf sambung. Jadi, terkadang Dani harus membetulkan bacaannya.
"Ini berdengung, Sal. Lihat ini, tajwidnya."
Salwa mengulangi bacaannya hingga dirasa benar oleh Dani. Berbeda dengan Aidha yang sudah lanyah sekali dalam pelafalan. Hanya lima menit saja dia sudah menyelesaikan bacaannya.
"Aidha, Mbah ini sudah tua. Umur Mbah itu tidak banyak lagi." Mamah Yuli memulai obrolan ketika muroja'ah selesai.
"Mbah, Mbah ngomong apa sih? Aidha nggak suka!" kesal Aidha karena Mamah Yuli tiba-tiba saja membicarakan umur.
"Lhoh, Mbah kan sudah tua. Sudah sewajarnya Mbah dipanggil sama Allah. Tapi, Mbah masih tidak tenang kalau Aidha bersikap seperti itu sama Papah."
Aidha terdiam mendengarkan ucapan neneknya. "Bisakah Aidha lebih sopan sama, papah?"
"Kalau Aidha pikir kematian ibu karena papa, Aidha salah. Papa adalah orang yang sangat kehilangan ibu. Sama seperti Aidha. Kematian itu adalah hal mutlak milik Allah, Nduk. Jangan mengkambinghitamkan papah dalam hal ini."
"Umur tidak ada yang tahu, Nduk," kata Mamah Yuli menepuk bahu Aidha lalu berjalan meninggalkan cucu pertamanya di dalam kamar.
Aidha merenung sendiri. Diam dan sunyi menyapanya kembali. "Bu, Aidha kangen ..., hiks." Aidha terbawa suasana hingga menangis.
***
Like
Vote
Komen
Tip
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Rahma Inayah
kirain dani sktr 35 an ..pst guru ngajinnya disa
2023-03-30
0
Ida Lailamajenun
duren matang nih mas Dani😁😁inget ma nama mantan Dani🙈🙈🤦🤦😁😁
2022-10-12
0
sikepang
ohw duda beranak 2 yg ditinggal mati toh sidani.yg sabar y pak dani💪👍👍👍
2022-04-08
3