Belum selesai dengan satu masalah, Sarah harus kembali mendapatkan masalah. Naura satu-satunya keluarga yang dia miliki. Tapi sekarang pergi untuk selamanya. Dari jutaan rasa sakit, mengapa kehilangan orang yang sangat di sayang menjadi rasa sakit terbesar?
“Sarah, minum dulu ya,” ujar Libra sambil menyodorkan segelas air putih. Setelah Sarah pingsan, Libra langsung membawa Sarah ke rumah.
Sarah mengulurkan tangannya untuk menerima gelas dari Libra. Sebelum minum, dia mengedarkan pandanganya ke seluruh penjuru ruangan. Dia melihat dinding rumah yang berwarna putih, lemari dan meja rias yang berwarna senada.
Di sebelahnya ada seorang anak kecil yang sedang duduk sambil menatapnya.
“Bunda gak apa-apa?” tanya Ava sambil memegang lengan Sarah.
Sarah meneguk air putih yang ada di tangannya dengan bantuan Libra. Setelah itu dia tersenyum ke arah Ava dan mengangguk, menandakan bahwa dia baik-baik saja.
“Istirahat aja, biar gue yang ngurus Ava untuk sementara waktu,” ujar Libra lembut. Dia tahu jika Sarah tidak baik-baik saja. Sarah terluka, dia butuh waktu untuk menerima semuanya.
“Bunda, Ava pengen pup,” rengek Ava sambil menggoyang-goyang lengan Sarah.
“Sama Om Ibra aja, ya.” Ujar Libra seraya berjalan memutari ranjang menuju Ava. Dia menggendong Ava dan membawanya ke kamar mandi yang ada di luar kamar Sarah.
Setelah Libra menutup pintu, cairan bening tiba-tiba tumpah dari mata Sarah. Dia menangis sambil memegangi dadanya yang terasa begitu sakit.
“Mah, katanya mau nemenin Sarah. Kenapa Mamah bohong? Sarah takut sendirian, Mah. Sarah gak bisa berdiri sendiri,” rengek Sarah di sela tangisnya.
Baru saja dia bercerai dengan Arzan, kini justru Naura pergi meninggalkannya. Dunia Sarah terasa hancur, dia merasa tak ada artinya lagi.
“Hiks...hiks...hiks.” Sarah terus menangis. Dia tak sanggup menanggung ini semua. Dia ingin pergi menyusul Naura, berbisik bahwa dia butuh Naura.
“Mah, Sarah boleh nyusul Mama gak? Sarah gak mau sendirian,” rengek Sarah dengan suara bergetar. Pipinya sudah basah oleh air mata, tubuhnya begitu lemas, bahkan untuk beranjak dari tempat tidur saja dia tak sanggup.
Ketika mendengar suara langkah kaki menuju kamarnya, Sarah langsung menghapus air mata dan mengatur napas. Dia tak mau jika Ava melihatnya sedang menangis.
Klek...
Pintu terbuka, memperlihatkan sosok lelaki tampan dengan rambut berwarna grey. Dia berdiri sambil memandangi Sarah. Untuk sejenak mata mereka beradu.
“Sarah, are you okay?” tanya Libra seraya berjalan ke arah Sarah.
“Ava lagi tidur,” tambahnya.
Sarah menggeleng, dia menggigit bibir bawahnya menahan tangis. Dia tak mau terlihat lemah di depan Libra.
Libra terus berjalan mendekati Sarah, duduk di sebelahnya dan memeluk Sarah dengan erat. Dengan sayang dia mengelus rambut Sarah, berharap jika sahabatnya itu baik-baik saja.
Pertahanan Sarah runtuh. Dia kembali menumpahkan cairan bening seperti kristal dari pelupuk matanya. Tubuhnya bergetar hebat. Kedua tangannya memeluk Libra dengan erat, bahkan sangat erat.
“Ibra, gue..gue-”
“Hust, gue ada disini nemenin lo,” bisik Libra sambil terus mengelus-elus punggung Sarah.
Lama mereka berpelukan, kaos Libra sampai basah karena air mata Sarah. Tapi Libra tak peduli, entah air mata ataupun ingus tak masalah baginya. Yang terpenting adalah kondisi Sarah. Dia berharap jika setelah ini kondisi sahabatnya itu membaik. Mungkin tangis akan membuatnya lega.
***
Hari-hari di lalui Sarah dengan begitu berat. Dia harus mengurus Ava sendiri, pergi bekerja, dan mengerjakan semuanya sendiri. Ketika dirinya bekerja, Ava di titipkan ke tetangga sebelah.
“Bunda, temenin Ava main, yuk,” ajak Ava di suatu malam.
“Main sendiri aja, ya. Bunda lagi sibuk,” sahut Sarah tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.
“Tapi Ava maunya sama Bunda,” rengek Ava lagi. Dia merasa kesepian karena tidak ada yang bisa di ajak bermain bersama.
“Mending tidur aja ya sayang, udah jam sembilan loh,” kata Sarah masih dengan nada santai. Kali ini dia menoleh sekilas ke arah Ava.
“Gak mau Bunda, Ava maunya main sama Bunda,” rengek Ava dengan manja. Kali ini Ava mendekat dan menarik-narik lengan Sarah.
“Ava! Bunda tuh lagi sibuk! Mending kamu main sendiri aja!” bentak Sarah dengan nada keras. Dia tidak menyadari jika bentakannya membuat Ava takut, bahkan menangis.
“Hiks, Bunda jahat!” seru Ava sambil menangis keras. Tangisnya benar-benar mengusik ketenangan Sarah.
“Ava! Kalo kamu gak diem, bakal Bunda seret kamu keluar. Biarin kamu di luar di makan hantu!” teriak Sarah sambil menutup laptopnya dengan keras. Matanya menatap Ava dengan sebal. Terlihat jelas kilat kemarahan di mata Sarah.
Seketika Ava terdiam. Dia takut dengan hantu, dia juga takut akan di marahi oleh bundanya lagi. Dengan takut-takut, Ava membaringkan tubuhnya di atas kasur, lalu pura-pura tertidur sampai akhirnya benar-benar tidur.
Kerasnya hidup membuat Sarah mudah marah. Sering kali dia melampiaskan amarahnya kepada Ava, padahal Ava tidak tahu apa-apa. Dia hanya anak kecil yang butuh kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Satu hal yang Sarah tidak tahu, Ava masih menunggu ayah dan neneknya pulang. Dia ingin bermain dengan neneknya, ingin di manja oleh ayahnya. Tapi Sarah benar-benar tidak tahu.
Sarah menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. Sejak jam tujuh malam dirinya di sibukkan dengan pekerjaan. Dia hanya berhenti ketika Ava lapar.
Karena emosinya belum juga reda, Sarah memilih keluar kamar menuju balkon. Dia berdiri di balkon sambil menikmati semilirnya angin. Ternyata sejuknya angin malam mampu meredakan emosinya.
Di malam yang sunyi dan dingin ini, Sarah kembali mengingat kebersamaannya bersama Arzan dan Naura. Dua orang itu benar-benar memiliki tempat tersendiri di hati Sarah.
Sarah bertanya-tanya kepada semesta, mengapa dirinya harus kehilangan dua orang sekaligus? Apa rencana Tuhan di balik semua ini? Apakah Tuhan memiliki rencana yang lebih indah?
Namun semesta belum memberikan jawaban apa-apa. Semesta masih menutup mulut rapat-rapat.
Cukup lama Sarah berada di balkon sambil memutar memori bersama Naura. Rasanya baru kemarin dia menangis di pelukan mamanya, tapi kini dia tak akan bisa merasakan pelukan hangat itu lagi.
“I miss you, Mom,” lirih Sarah sebelum akhirnya masuk ke dalam kamar.
Mata Sarah langsung tertuju pada anak semata wayangnya. Beberapa menit yang lalu dia membentak Ava dengan kasar. Ada penyesalan di hatinya, namun mau bagaimana lagi, dirinya sedang tak karuan. Menghadapi dunia terasa begitu melelahkan bagi Sarah, apalagi tak ada tempat untuk berkeluh kesah lagi.
Sarah naik ke atas ranjang, lalu mengusap puncak kepala Ava dan mengecupnya dengan sayang.
“Maafin Bunda ya sayang,” bisiknya dengan nada penuh penyesalan. Dia terus menatap Ava, mengamati wajah Ava yang begitu mirip dengan mantan suaminya.
“Kalo gini gimana caranya gue ngelupain lo? Setiap kali gue liat Ava, rasanya gue lagi liat lo dalam versi anak-anak,” lirih Sarah sambil menahan tangis.
JANGAN LUPA LIKE, KOMEN, VOTE, TAMBAHKAN FAVORIT, DAN BERI HADIAH UNTUK NOVEL INI ❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments