'Ciiittt.'
Sebuah mobil berhenti tepat di depan Steva.
"Apa anda butuh bantuan, Nona?" seorang pria yang duduk di jok kemudi berbicara pada Steva setelah kaca pintu mobilnya terbuka.
"Afnan?" seru Steva berteriak, seperti sebuah anugrah dibalik musibah, Tuhan berbaik hati telah mempertemukan dua insan yang pernah menjadi teman dekat semasa sekolah SMA dulu itu.
Afnan, laki-laki yang berprofesi sebagai sopir taksi, tiba-tiba melihat teman SMAnya yang lama tak pernah bertemu. Suatu kejutan yang menyenangkan.
"Kamu ngapain Stev, di sana? Ini sudah malam, duduk di trotoar jalan sendirian, pakai pakaian seperti itu lagi," cerocos Afnan mengomentari penampilan teman lamannya yang? Yah, Steva hanya mengenakan sebuah jas hitam berukuran besar tanpa bawahan.
Tentu saja Steva hanya terdiam, ia tak tahu harus menjawab apa atas semua pertanyaan yang Afnan lontarkan padanya, Steva juga tak mungkin tiba-tiba menceritakan semua nasib malangnya, apa lagi pada teman lama yang baru ia jumpai kembali.
"Malah bengong, udah ayo masuk, aku anterin kamu pulang!" seru Afnan membuka pintu jok sebelahnya.
"Aku tidak punya uang untuk membayar jasa taksimu," ujar Steva jujur, melihat mobil yang dikendarai temannya itu adalah akomodasi untuknya bekerja mencari nafkah.
"Sudahlah, tak apa, ayo masuk."
Steva akhirnya bangkit dari duduknya, ia berdiri dan berjalan berjinjit memasuki mobil taksi Afnan.
'Brak.' suara pintu mobil yang Steva tutup.
Dalam hati Afnan terus saja nyebut, bagian indah dua gunung kaum hawa milik Steva itu menantang seolah menggoda keimanan Afnan.
'Ingat anak bini di rumah, Af. Jangan tergoda, ini hanyalah ujian.' batin Afnan yang sesekali melirik pada gundukan gunung kembar Steva yang memang terlihat begitu jelas.
Afnan mengendarai mobil taksinya dengan kecepatan sedang, jalanan cukup lengang. Tapi ia memang lebih suka menyetir dengan mode santai. Toh dia juga sudah mau pulang.
"Kaki kamu luka?" tanya Afnan setelah melihat Steva yang meringis memegangi kakinya.
"Hmm,,,," Steva mengangguk.
"Di dashboard ada perban hansaplas kalo nggak salah, coba buka!" ucap Afnan yang fokus menatap lurus ke depan menyetir mobilnya.
Steva membuka dashboard, dan benar saja, ada sekotak hansaplas di sana. Steva mengambil beberapa untuk ia tempelkan menutup lukanya yang tak begitu serius.
"Rumah kamu di mana?"
Steva bingung harus menjawab apa, ia kini sudah tak lagi memiliki tempat tinggal, setetes air matanya lolos begitu saja, cepat-cepat Steva menyeka buliran bening itu, dan Afnan melihatnya.
"Ada apa Stev? Apa kamu ada masalah? Cerita saja," Afnan memang teman yang baik, saat di bangku SMA dulu ia terkenal sebagai orang yang suka membantu teman-temannya, sampai sering kali kebaikannya itu dimanfaatkan oleh orang lain yang tak berhati. Afnan terus fokus menatap depan pada jalanan yang lurus, saat Steva mulai buka suara.
"Aku tidak punya tempat tinggal, kau bisa menurunkanku di sini saja," ujar Steva yang tak dinyana oleh Afnan. Pria itu mengernyitkan dahi dan menoleh pada Steva untuk sesaat.
"Kamu ada masalah? Bodoh, kenapa aku masih tanya, keadaanmu saat ini saja seperti ini, ya jelaslah kamu ada masalah, huufftt...." Afnan menghembuskan nafas kasar. Steva memalingkan muka menghadap kaca pintu mobil, seakan ia mengamati pemandangan luar sana yang sama sekali tak ia perhatikan.
"Haahh, begini saja, kalau kamu tidak mau cerita, tidak apa-apa, itu adalah masalah pribadi kamu dan hak kamu juga kalau tidak mau cerita, aku harus pulang sekarang, tapi aku tidak mungkin membawamu pulang ke rumahku, bisa mati digantung biniku aku kalau dia melihat aku pulang membawa perempuan cantik dan seksi sepeti kamu," cerocos Afnan yang sontak membuat Steva menoleh.
"Kamu sudah nikah?" tanya Steva.
"He em, istriku itu cantik, tapi ya gitu, galaknya minta ampun, aku juga sudah punya dua anak, satu perempuan dan satu laki-laki," Afnan menceritakan sedikit perihal kehidupan keluarganya.
"Gimana kalau kamu sementara tinggal sama Asha? Di kosannya?" tawar Afnan.
"Asha?"
"He em, kamu masih ingat dia, kan?" tanya Afnan.
Asha adalah adik Afnan yang sudah hidup mandiri, ia terpaksa keluar dari rumah warisan orang tuanya yang ditinggali Afnan bersama istri dan anak-anaknya, hubungan ipar itu tidak terjalin dengan baik. Selalu ada hal yang memantik keributan diantara mereka, meski itu hanya sekecil biji berry.
"Memangnya Asha tinggal di kos sama siapa?" Steva ingin memastikan terlebih dulu, lebih tepatnya ia tak mau jika Asha adik Afnan itu tinggal bersama suami atau pacarnya, mungkin.
"Sendiri." jawab Afnan santai.
Afnan lantas melanjutkan ceritanya tentang Asha, gadis yang 2 tahun lebih muda dari dirinya itu telah keluar dari rumah dan memilih tinggal sendiri di kos, ia bekerja sebagai seorang pembantu di sebuah rumah mewah yang berada di kawasan elit pusat kota.
Berangkat kerja jam 7 dan pulang jam 4 sore, meski hanya berprofesi sebagai pembantu, namun gaji yang diterimanya di atas nominal yang didapat pekerja UMR.
"Kak Steva kok bisa sih keadaannya kayak gini?" tanya Asha melihat penampilan Steva yang cukup memprihatinkan. Afnan mengantar Steva ke tempat kos Asha, dan kini mereka bertiga duduk lesehan pada lantai kamar Asha. Steva hanya diam, ia masih belum siap untuk buka suara menceritakan apapun perihal kisah hidupnya yang lalu.
"Udah nggak usah ditanya yang aneh-aneh, biarin Kak Steva istirahat dulu, oh ya, pinjami Kak Steva baju kamu dulu ya, Sha?" ujar Afnan yang segera mendapat anggukan dari Asha. Steva tersenyum manis pada gadis itu.
"Kakak harus pulang sekarang, tahu sendiri kan bagaimana nanti mbak Nirma kalo Kakak pulangnya terlambat." Afnan berdiri, lalu keluar dari kamar kos Asha diantar Asha sampai depan teras dekat mobil taksinya.
Dari dalam Steva bisa melihat kakak beradik itu yang nampak tengah mengobrol sesaat sebentar sebelum akhirnya Afnan masuk ke dalam mobil taksinya dan melaju pergi.
Steva keluar dari kamar mandi, ia telah memakai baju Asha, setelan kaos dan celana yang berbahan kain kaos. Sedikit kekecilan untuk Steva yang memang lebih tinggi dan ukuran dadanya yang lebih besar dari punya Asha. Namun itu tak masalah, yang penting hari ini Steva masih bisa memakai lembaran kain dan tidak te.lanjang.
Steva dan Asha berbaring bersebelahan berbagi spring bad yang sama. Pada awalnya Steva merasa canggung, tentu saja, ia merasa malu telah menjadi beban orang-orang yang lama tak ia temui, bertemu dalam keadaan seperti ini, namun Steva cukup bersyukur, dan dia berjanji tidak akan pernah melupakan kebaikan Afnan dan Asha yang telah mengulurkan tangan menolong dirinya dalam keadaan terpuruk seperti saat ini.
"Kak Steva sebenarnya kenapa sih? Jujur Asha kepo banget, tapi kata Kak Afnan tadi Asha tidak boleh tanya apa-apa kalau bukan Kak Steva sendiri yang ingin bercerita," seloroh Asha yang menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih.
"Maaf ya, Sha? Kak Stev belum bisa cerita apa-apa untuk saat ini, tapi Kak Stev sungguh berterimakasih pada kalian berdua yang sudah bersedia menolong Kak Stev dalam keadaan sekarang," jawab Steva yang juga menatap lurus pada langit-langit kamar kos Asha.
Asha mengangguk-angguk mengerti.
"Emm? Kalo Kak Stev nggak punya tempat tinggal, apa Kak Stev punya pekerjaan?" tanya Asha yang dijawab dengan gelengan kepala oleh Steva.
"Bagus!" seru Asha bangun dan menghadap Steva, sontak Steva mengernyit, ia tak mengerti dengan apa yang dimaksud Asha. Tak memiliki pekerjaan malah ia bersorak bagus.
"Kerja di tempat Asha aja, Tuan besar Asha membutuhkan seorang pelayan untuk menjadi pelayan pribadinya," seru Asha yang menarik perhatian Steva, ia pun turut bangun dan duduk bersila berhadapan dengan Asha.
"Beneran, Sha?" tanya Steva antusias, dan Asha mengangguk beberapa kali sambil tersenyum lebar.
"Iya, Kak. Kerjanya sih sebenarnya gampang, cuman mengurus kebutuhan Tuan besar saat pagi dan pulang dari kantor, tapi ya gitu, banyak yang tidak betah karena dia sedikit galak," jelas Asha tentang pekerjaan yang ia tawarkan.
Steva menatap dalam Asha seakan meminta penjelasan lebih detail. Dan Asha tersenyum cengir kuda menampakkan deretan giginya yang bersih dan rapi.
"He he he, sebenarnya bukan sedikit galak sih, Kak. Emang galak. Dia juga buta, dan wajahnya buruk rupa, sebagian wajahnya rusak."
'*Glek*.'
Steva membayangkan sosok Tuan besar yang Asha ceritakan. Tergambar menyeramkan. Tapi Steva sungguh sangat membutuhkan pekerjaan saat ini.
'*Sudahlah, dicoba saja dulu*.'
"Ok, besok Kak Steva mau datang melamar!"
"Bagus!"
Semangat para pejuang rupiah sekedar menyambung hidup, bekerja keras bukan untuk kaya. Apalagi sekedar bergaya.
...\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Ita rahmawati
segitu gk punya nya apa² kah si steva 🤔
2024-05-14
0
Imas Maela
steva masih ada orng yng baik mau menampung km
2022-12-09
0
Sinaga wulan
keren euy di awal ceritanya saja sudah renyah kek rempeyek, semangat authorr❤❤❤
2022-03-28
0