Bandung, sekarang
Rasya
Kerlap-kerlip lampu dan hentakan musik yang dimainkan oleh DJ memenuhi seluruh ruangan membuat suasana klub yang sering dikunjungi sebagian orang yang ingin bersenang-senang terlihat ramai, maklumlah ini kan malam minggu, malam untuk bersenang-senang setelah enam hari dalam seminggu bekerja atau belajar. Hampir sebagian pengunjung klub sedang bergoyang diiringi musik yang keren abis. Tidak heran walaupun bukan malam minggu, klub yang paling terkenal di bandung ini memiliki pengunjung yang membludak.
Beberapa orang memandangku dengan terang-terangan, seakan-akan mereka mengenalku, pernah melihatku di majalah atau televisi misalnya. Aku emang tidak terbiasa dengan konsep clubbing karena kesibukanku yang luar biasa, ditambah jadwal fashion show yang menyita banyak waktuku baru-baru ini. Semua ini gara-gara tiga cecunguk yang menggeret Isye dengan bujuk rayu, membuatku memutar bola mata ketika mendengarnya, hingga aku terdampar di klub ini.
Keberadaanku hanya sebagai bodyguard Isye dan memastikannya tidak meminum alkohol. Tuh anak emang polos banget, masa bodoh dengan ketiga setan kecil yang ada di depanku, mereka kan bisa mengurus diri masing-masing. Memangnya aku babysitter yang harus siap sedia mengawasi mereka.
Kami berlima memang sudah berteman baik sejak kecil, nyokap kami bersahabat dan sering membawa kami ketika arisan. Sejak saat itu aku, Isye, Inov, Serli dan Rasti tak terpisahkan.
Sesibuk-sibuknya aku masih bisa menyempatkan waktu untuk bertemu dengan mereka—walaupun mereka agak keterlaluan dengan mengajak Isye yang polos pergi clubbing-- Seperti sekarang, ketika melihat ketiga temanku tertawa-tawa seperti orang gila, ingin sekali aku menyiram mereka dengan seember air dingin dengan bongkahan es batu yang besar-besar karena mempengaruhi Isye yang belum terkontaminasi dengan hal-hal negative kayak gini.
Jam tanganku sudah menunjukan pukul sebelas kurang lima menit menjelang tengah malam, keadaan sekitar masih ramai menandakan aktivitas yang dilakukan orang-orang yang ada klub ini masih terus berlanjut.
Kuguncang-guncangkan bahu Isye yang sedari tadi merebahkan kepalanya di meja yang penuh dengan gelas-gelas kami yang berserakan, Isye sudah tidak sadarkan diri sejak tiga puluh menit yang lalu karena kelelahan, sudah kuputuskan untuk mengantar Isye pulang sekarang.
“Kalian pada mau pulang apa nggak, gue mau nganter Isye balik nih?!!” teriakku dengan kencang untuk melawan suara musik yang keras, yang disambut dengan tawa cekikikan tiga sobatku.
“Gue telponin sopir lo aja deh Ser, biar jemput kalian!!” teriakku, aku mengambil HP dari dalam tas dan menelpon pak Tarno sopirnnya Serli dan memberitahukan lokasi kami berada, mereka semua kan ikut mobilku saat datang kesini.
Kupapah Isye keluar klub menuju tempat parkir, gilaaa ternyata Isye berat juga, aku hampir nggak kuat membopong Isye, untung tempat parkirnya deket, kalo nggak bisa rontok badanku.
Satu jam kemudian aku memarkir mobilku di bagasi sebuah rumah mewah di komplek perumahan paling elite di kawasan tersebut. Begitu mendengar mobil yang kusupiri mendekat dan terparkir rapi di samping mobil pemilik rumah, mbak Mona pengurus rumah Isye tergopoh-gopoh menghampiri kami, membantuku memapah Isye kekamarnya.
“Mbak Rasya nginap disini saja, sekarang sudah terlalu malam untuk pulang, sebentar saya siapkan dulu kamar tamunya??” kata mbak Mona dengan aksen jawanya yang kental dan menghilang bagai hantu, saking lelahnya aku hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala seperti burung pelatuk. Walaupun aku sudah terbiasa pulang larut malam bahkan menjelang pagi ketika jadwal mengharuskanku begitu (kecuali saat musim sekolah seperti saat ini) kuturuti saja keinginan mbak Mona yang menghawatirkan keadaanku.
*****
Isye
Rasa pusing yang menghantam batok kepalaku terasa menyakitkan, kesadaranku timbul tenggelam. Aku berusaha membuka kedua mataku tapi usahaku sia-sia, kedua mataku bagaikan di lem alteko, terekat erat dan tidak bisa dibuka. Satu, dua, tiga, empat… Satu, dua, tiga, empat… hitungku dalam hati, berusaha untuk memulihkan kesadaranku yang di awang-awang.
Aku menghitung tarikan nafasku untuk kesekian kalinya dan berusaha membuka mataku lagi. Kali ini berhasil. Kukedip-kedipkan mataku beberapa kali, berusaha untuk menyesuaikan dalam kegelapan di ruangan ini, aku menggerakkan badanku yang kaku dan mencoba untuk melemaskannya. Badanku sakit semua, rasanya seperti baru saja di lindas truk.
Dimana aku?
Kuperhatikan seluruh ruangan ini dengan seksama, dengan penerangan yang seadanya dari bawah pintu.
Aku menyadari sekarang aku berada di kamarku sendiri.
Kupejamkan mataku lagi untuk menghilangkan rasa pusing yang menusuk-nusuk kepalaku dan memijit-mijit pelipisku. Aku merasa haus, aku perlu minum pikirku.
Aku beranjak dari kamar tidurku menuju dapur. Di dalam kulkas aku menemukan sekotak jus jeruk dan menuangkan untuk diriku sendiri segelas. Aku berjalan kearah lemari, mengobrak-abrik isinya mencari obat sakit kepala. Setelah menemukan apa yang aku cari kemudian mengambil gelas yang sudah terisi dimeja makan dan meminum obat.
Aku ke ruang keluarga dan rebahan di sofa, kupejamkan mataku sejenak berharap sakit kepalaku mulai berkurang.
Jam diatas TV menunjukan pukul dua dini hari yang menandakan malam masih panjang, aku tidak bisa tidur lagi!! Huuh ini hal yang paling ku benci. Bangun tengah malam.
Aku beranjak dari sofa menuju kamarku, yang ngomong-ngomong terlalu maskulin untuk kamar seorang cewek. Kamar ini lebih di dominasi warna hitam dan putih dengan bedcover warna putih.
Di kamar ini terdapat rak buku dengan berbagai macam bacaan, sofa kulit, komputer keluaran terbaru dilengkapi dengan PC, sound system dan benda-benda elektronik lainnya, membuat siapapun betah berlama-lama berada di kamar ini.
Karena aku tidak bisa tidur lagi dan sakit kepalaku sudah berkurang, kuputuskan untuk menyelesaikan tugasku yang tertunda. Aku duduk di depan komputer dan menghidupkannya.
Kupasang earset ditelingaku, siap memulai aksi yang cukup menegangkan tapi membuatku ketagihan. Siapa yang nggak ketagihan kalo kerjaannya cuman mengerjai orang-orang bodoh itu, apa mereka pikir bisa menjebakku!! Maaf ya meraka salah orang, orang-orang bodoh itu tidak tau sedang berhadapan dengan siapa!!
Sebutannya apa ya, untuk orang yang suka menerobos masuk dan merusak sistem komputer dan mencuri database. Maling?? Rampok?? Jambret?? Kok kedengarannya nggak keren sih. Yang betul adalah HACKER.
Seorang hacker yang membuat orang terkena sakit kepala akut dan mendapat serangan jantung mendadak, nomor satu dalam tindak kejahatan di dunia maya yang bahasa kerennya Cyber Crime, dan nomor satu yang dicari-cari oleh badan intelijen seperti CIA, NSA, FBI, Interpol dan masih banyak lagi, karena terlalu sering membobol sistem keamanan mereka dan nggak pernah ketangkep. Hehehe nyusahin orang banget kan!!
Yah, akulah kriminal yang dicari-cari di seluruh dunia yang menggunakan ID Broken itu dan nggak ada yang tahu penampilan seorang hacker yang terkenal jenius itu (selain Felix tentunya), ternyata masih kecil dan masih menggunakan baju putih abu-abu. KEREN kan.
Aku memiliki hobi yang aneh untuk anak seusiaku. Aku memulainya 6 tahun yang lalu ketika aku berumur 12 tahun. Aku mulai tertarik dengan yang namanya teknologi. Bagiku menjadi hacker itu bukan profesi, tapi permainan yang sangat menarik.
Setelah puas mengerjai mereka, aku baru menyadari matahari telah menyentuh langit dan tersenyum malu-malu dari balik terai.
Duduk berjam-jam di depan komputer ternyata memberikan efek yang tidak menyenangkan, kakiku kram dan badanku pegal-pegal. Aku berdiri dan meregangkan otot-otot ku yang kaku.
Harum masakan mbak Mona membiusku, cacing-cacing di perutku mulai demo dan berteriak-teriak minta dikasih makan. Aku menyempatkan mencuci muka dan gosok gigi dulu sebelum keluar kamar, takutnya kalau aku nggak gosok gigi, tiba-tiba ada yang pingsan saat mencium bau naga saat aku berbicara. Kan nggak lucu jadinya.
Saat aku berjalan menuju meja makan, Rasya sudah duduk manis sambil memakan nasi goreng yang sudah disiapkan mbak Mona, aku membuka kulkas dan menuangkan jus jeruk ke gelas kemudian bergabung dengan Rasya di meja makan.
“Tadi malem elo kan yang nganterin gue pulang??” tanyaku kepada Rasya yang sedang menyuap sesendok penuh nasi goreng.
“Yep, nggak nyangka ya ternyata elo beratnya kayak mengangkat sekarung semen!!” seru Rasya dengan nada menggerutu “Badan elo kan kurus, emang elo makan apa aja sih jadi berat banget, hampir copot tau nggak badan gue” Rasya menatap wajahku dengan mimik aneh.
“Ya makan nasi lah masa makan batu” jawabku nggak kalah sewot, enak aja aku dibilang berat, emang gue kingkong.
“Nggak usah marah dong, gue kan cuma bercanda” sahut Rasya sambil menahan senyum saat melihat wajahku yang cemberut.
“Hari ini elo mau ngapain?” tanyaku setelah selesai memakan roti panggang dan telur urak arik, menu sarapanku seperti biasa.
“Hari ini… gue mau… fitting baju… ” jawab Rasya sambil mengunyah sesendok penuh nasi goreng disertai dengan telur dan siwiran ayam goreng. Ternyata Rasya kalo makan banyak juga, aku heran kenapa badan Rasya masih tetap langsing padahal kalo makan sampai nambah dua kali. Kemana semua makanan yang dia makan??
“Rasya… bisa nggak sih kalo ngomong jangan sambil makan!! Kalo keselek gimana?” tegurku.
“Makanya jangan ngajak gue ngomong dong, nanti gue beneran keselek lho” jawab Rasya sambil nyengir.
Aku mencoba menahan lidahku untuk tidak mengumpat nyirnyiran Rasya dan membiarkannya menyelesaikan makan.
Setelah semua makanan di piringnya tandas, Rasya meneguk jus jeruknya “Isye, hari ini elo mau kan nemenin gue fitting baju di butiknya mas Yoga?” Rasya bertanya dengan suara khasnya saat menginginan sesuatu.
Aku hanya terdiam mendengar perkataan Rasya ‘Fitting Baju’. Apa aku nggak salah dengar.
“Kenapa harus gue yang nemenin elo, masih ada Serli atau Rasti yang bisa nemenin elo kan??” tanyaku dengan kengerian yang tidak ditutup-tutupi.
“Tapi… gue maunya elo yang nemenin gue!!” seru Rasya dengan mimik seperti anak kucing, menggemaskan.
“Gue nggak bisa, Sya”tolakku.
“Kenapa nggak bisa Sye, elo nggak kemana-mana kan hari ini??”
“Tapi… gue tetep nggak bisa, gue telponin Serli deh, biar dia aja yang nemenin elo”
“Gue nggak mau ditemenin Serli atau Rasti, mereka rese banget kalo masalah yang beginian” kata Rasya sambil memelas “Mau ya…ya… please, please, please” Rasya memohon sambil mengatupkan kedua tangannya didepan dada begitu melihat reaksiku.
Satu jam kemudian aku hanya bisa pasrah di seret-seret Rasya menuju butik mas Yoga yang terkenal itu.
Beberapa kali aku memberikan alasan yang terlihat dibuat-buat supaya bisa mangkir menemani Rasya ke butik, tapi dia nggak peduli dan mengancam akan mencekikku kalo sampai menolak, apa mau dikata aku nggak pernah bisa menolak permintaannya.
Dengan TERPAKSA, aku harus menunda tidurku hari ini. Untuk empat jam kemudian aku disibukkan dengan rancangan-rancangan mas Yoga yang harus di kenakan Rasya saat fashion show, di bantu oleh mbak Yana asisten Rasya.
Semua itu mengingatkanku pada masa lalu yang ingin kulupakan.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments