...*************...
Kisah ini bermula ketika seorang gadis berparas cantik itu mengunjungi sekolah dasarnya dulu. Bersama dengan sahabat karibnya mereka menyusuri bangunan yang telah lama berdiri itu.
"Yah, aku jadi teringat cerita lalu, bangunan ini memang menyimpan misteri," gumam gadis yang berada disamping sang pemeran utama. Mereka masih asyik melangkahkan kakinya kesana kemari.
'Tap... tap... tap'
Sepi, jika kalian bertanya-tanya mengapa 'bangunan pendidikan' ini sangat sepi? Mereka sengaja mengunjunginya pada saat libur panjang sekolah, "Jadi... apa yang akan kita lakukan sekarang?"
Mereka datang kesini bukan dengan tujuan yang cuma-cuma, mereka datang untuk sesuatu yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan mereka, "Sheryl kau yang sangat ingin kesini, tapi sedari tadi kau hanya diam saja!"
Sang sahabat itu menggeram kesal melihat Sheryl yang hanya diam seribu bahasa, padahal dia yang sangat ingin mengunjungi bangunan ini.
"Ck, aku tau rumor yang kini tersebar tidak ada hubungannya dengan kita, tapi... " Sheryl berdecak kesal, dia tidak bisa melanjutkan kalimatnya, ia menggeram frustasi.
"Tapi apa? Kau memang sangat naif," sanggah Nitta memutar bola mata malasnya. Dalam hatinya ia merutuki kenaifan sahabatnya itu, namun ia juga harus melakukan ini untuk membantunya.
"Karena ini berhubungan dengan 'dia' jadi kau ingin menyilidikinya, bukan?" Tanya Nitta menatap Sheryl dengan intimidasi, menyudutkan lebih tepatnya. Tanpa dijawab pun Nitta sudah mengetahuinya.
"Ya kau sangat naif sampai-sampai masih memperdulikan 'dia'," nada Nitta berpasrah, ia menatap Sheryl yang kini menatap kosong dengan raut wajah gelisah.
"Kau benar, hanya hatiku yang tahu perasaan ini masih sama seperti dulu, bahkan mungkin tidak akan berubah sekalipun 'dia' ataupun aku menemukan pasangan baru," ujar Sheryl dengan senyum sendunya.
Nitta menangkap raut sedih sahabatnya itu. Ia tau seberapa menyakitkan hatinya saat ini. Ia sangat paham dengan apa yang Sheryl rasakan.
Karena itulah, andai saja Sheryl bukan orang naif mungkin Nitta tidak akan merasakan rasa sakit yang Sheryl rasakan. Andai saja... Nitta bisa sedikit memperbaiki hati yang telah rapuh itu.
"Sudahlah, aku tidak akan menyalahkanmu, hatimu terlalu sulit untuk dimengerti," ujar Nitta yang memalingkan wajahnya, ia tidak ingin Sheryl melihat rautnya yang bersedih untuk dia.
Sheryl tersenyum, menyakitkan, "Eum"
Mereka yang kini didalam ruangan kelas dua itu mendengar suara bising kendaraan dari luar. Mungkin hanya satu atau dua kendaraan saja.
'Broom' 'Broom'
"Bryan, kau bisa keliling terlebih dahulu, aku akan segera kembali," seseorang itu menepuk pundak Bryan, ia pun segera melangkah pergi ke sebuah rumah sederhana samping sekolah itu.
Bryan dengan wajah dinginnya, ia turun dari kendaraan yang ia tumpangi dan melepaskan pelindung kepala a.k.a helmnya.
Dari ruangan kelas, kedua gadis itu menatap dengan terkejut, mereka benar-benar tidak tahu kalau Bryan ternyata akan datang dihari yang sama, "Itu adalah... dia"
Sheryl tau itu adalah dia, hanya saja dia ingin menghindarinya. Disamping itu lelaki yang bersama Bryan tadi, ia ingin menemuinya untuk bertanya sesuatu.
"Kau tunggu disini, aku akan menemui Dikcy dan menanyakan sesuatu kepadanya," perintah Sheryl yang langsung melangkah pergi tanpa mengindahkan Nitta yang menahannya.
"Eh-Eh!" Nitta yang sedikit meneraiki, namun Sheryl tidak memperdulikannya dan tetap meninggalkan ruangan itu.
'****! kenapa dia harus ada disini'
Sheryl menggerutu didalam hati sembari ia mempercepat langkah kakinya.
...*******...
Seseorang mengerutkan keningnya ketika ia memasuki salah satu ruangan disana. Samar ia kenali gadis yang sedang duduk sendiri, ya tidak salah lagi ia mengenalnya, "Nitta?"
Sang gadis yang dipanggil hanya menunjukan senyum canggungnya, ia sudah menduga suasana seperti ini akan terjadi, "H-hai Bryan"
"Jadi benar itu kau, sedang apa kau disini sendirian?" tanya Bryan melangkahkan kakinya menghampiri Nitta.
Nitta mengambil nafas dalam-dalam, ia akan kesulitan menghadapi situasi semacam ini tanpa rencana apapun.
...*******...
Sheryl melangkahkan kakinya memasuki sebuah rumah sederhana tepat samping bangunan sekolah itu, bahkan masih satu wilayah.
Kedatangan Sheryl disambut hangat oleh seorang nenek yang tersenyum kepadanya. Sheryl pun membalas senyuman itu dengan tulus.
"Sheryl?" ujar nenek tersebut sembari mengerutkan keningnya untuk memastikan. Tanpa sedikitpun memudarkan senyumnya.
"Ehh- Nenek!" seru Sheryl senang, tak disangka ia masih sempat bertemu sosok yang sudah tua renta itu.
"Ada apa? Tumben sekali Sheryl datang kesini?" tanya sosok tua renta itu sembari mempersilahkan Sheryl duduk.
"A- tidak apa-apa nek, hanya ingin bermain, sudah lama semenjak Sheryl lulus, Sheryl tidak pernah berkunjung kesini lagi," jelas Sheryl panjang nan jelas.
Noe, nama nenek dari seorang Dicky, sosok tua tersebut menjadi penjaga sekolah paling lama sejak dahulu. Banyak cerita bahkan misteri yang telah ia lewati, bahkan ia lihat dengan mata sendiri.
"Nek, Sheryl ingin berbicara dengan Dicky sebentar, apakah boleh?" izin Sheryl dengan hati-hati. Noe tersenyum dengan bibir yang keriput itu.
"Tentu! Nenek akan memanggilkannya untukmu, tunggu sebentar," Noe berdiri dan melangkahkan kakinya dengan perlahan, tubuhnya yang rentan itu membuat ia tidak bisa bergerak lincah dan cepat.
Sheryl sedikit membantu Noe bergerak, kemudian ia kembali ke tempatnya semula, namun sebelum itu ia mengucapkan kalimat ajaib terlebih dahulu, "Terimakasih Nek"
Sheryl menunggu disana dengan perasaan gelisah. Ia takut akan hanyut dengan kenyataan yang pahit, secara terpaksa dan enggan harus ia hadapi. Ia takut kenyataan itu menghujam hatinya.
"Sheryl?" seseorang memanggilnya, Sheryl yang tengah melamun kini tersadar. Laki-laki yang cukup terasa tidak asing baginya.
"Dicky," sapa Sheryl dengan spontan memanipulasi raut wajahnya. Dicky menyadari perbedaan raut Sheryl.
"Kau kesini karena...?" Dicky tak ingin asal menebak, namun disaat seperti ini hanya hal itu yang terlintas di pikirannya. Dan hanya itu satu-satunya kemungkinan.
Sheryl menunduk, tidak ada gunanya juga jika ia menutupinya, Sheryl pun mengangguk dengan perlahan, "Eum"
"Rumor itu... memang benar," lelaki dengan rambut hitam legam itu mulai menjelaskan. Kisah pilu itu kini ia harus menceritakan kepada seorang teman. Sayatan setiap kata akan membekas dihatinya.
Debar jantung Sheryl mulai tak beraturan, ia tidak ingin takut. Namun, siapapun tidak akan menyangkal untuk tidak bersikap biasa saja saat dihadapkan sesuatu seperti ini.
"Namun fakta dibaliknya masih menjadi misteri, aku sendiri bahkan tidak tau apa yang sebenarnya terjadi, ada apa antara Bryan dengan kekasihnya itu," lanjut Dicky dengan nada yang melemah pada dua kata terakhir.
Dicky mulai membuat suasana menjadi serius, "Jasad dengan luka bakar disekujur tubuh yang ditemukan disamping bangunan ini memang benar adalah jasad..."
Dicky melemah, ia bahkan tidak sanggup menyebut nama dari 'sesuatu' yang ia maksud itu. "Jasad itu... sahabatku, kekasih Bryan"
Hati Sheryl seakan retak, ia menepuk pundak Dicky, memberikannya sedikit dukungan, "Tidak apa, jika itu berat bagimu tidak perlu kau lanjutkan lagi ceritanya"
Dicky menggeleng, ia tetap ingin menceritakannya, "Jasadnya terbakar, hingga janin yang ada didalam kandungannya itu ikut mati"
Sheryl termenung, apa? janin? janin apa? tunggu! "Apa maksudmu? janin? anak siapa yang Celine kandung saat itu?"
Sheryl tidak bisa menahan emosinya, ia mengeluarkan nada penuh kekecewaan. Dicky menyadarinya, ia menatap dalam grey eye milik Sheryl, namun ia memilih diam.
Sheryl terdiam, bagaimanapun Bryan bukanlah miliknya, Bryan adalah milik seseorang yang kini telah tiada, "Jawab pertanyaanku Dicky!"
Sheryl harap jawabannya adalah bukan, tapi sepertinya itu adalah hal yang mustahil. Sheryl tak bisa menahan kekecewaan hatinya itu. Sedih, marah, kecewa, sakit, semua emosi itu terpancar melalui mata dan wajahnya.
"Saat itu Bryan yang menjadi kekasihnya, jadi mungkin saja kalau janin itu adalah anaknya," jelas Dicky penuh kehati-hatian.
Sheryl tersentak dengan kemungkinan itu, ia termenung diam membeku. Bukankah mereka berdua hanya sebatas pasangan kekasih, lalu kenapa Celine bisa sampai hamil?!
Sheryl tidak bisa memikirkannya terlalu jauh, imajinasi perlahan membunuhnya. Dalam kenyataan pahit yang belum sepenuhnya terungkap. Jika memang kebenaran yang kembali terungkap akan lebih menyakitkan... ia tidak sanggup.
Hatinya terperangkap dalam lamunan, tidak bisa menemukan jalan keluar dari ketenangan.
"Kenapa kau sangat tertarik dengan rumor itu?" tanya Dicky tepat sasaran. Sheryl sedikit tersentak, ia kembali menyamarkan ekspresi wajahnya.
"Hanya ingin mencari tahu," jawabnya dengan kebohongan. Untuk saat ini ia hanya bisa mengatakan hal itu.
Sayang sekali Sheryl tidak pandai untuk menyembunyikan sebuah kepalsuan. Dicky menangkap sebuah dusta dari mata abu itu.
"Hanya untuk sebuah kabar burung kau rela menyempatkan waktu untuk kembali ke bangunan kenangan ini?" Dicky bertanya sembari membuang pandangan pada dedaunan yang tersapu angin diluar jendela.
Gadis anggun itu terdiam, rambut yang tergerai itu sedikit menutup wajah cantiknya. Ia memilih untuk tidak menjawab tanya dari seseorang disampingnya tersebut.
"......."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Senajudifa
salken dr kutukan cinta y thor
2022-05-16
1
pensi
sudah difavoritkan juga novelnya
2022-05-08
1
~~~~~~~~
aku favorit kan juga kak, Semangat ☺️
2022-04-17
1