Kali ini tentang dirimu.

"Hal yang paling menyakitkan dari ini adalah tak ada seorang pun yang dapat kau andalkan di saat keadaan terburuk menimpamu. Bahkan dirimu sendiri seolah tak lagi sanggup menanggungnya sendiri. Saat kau kehilangan dirimu dan mulai membenci dirimu sendiri. Beberapa orang mulai menganggap remeh keluhan-keluhan yang sempat terlontar dari bibir bekumu, yang sebenarnya diri seperti itulah yang membutuhkan pertolongan. Saat seseorang mulai memperlihatkan tanda depresi yang mungkin tak disadari."

"Aku pulang duluan ya." kata Ava pamit

"Ada apa?" tanya Lila yang merasa itu tiba-tiba.

"Aku capek, ingin tidur."

Tanpa basa-basi dan pertanyaan lain Fena dan Lila membiarkan Ava pergi meninggalkan toko. Lila menatap Fena yang tak goyah sedikitpun ditinggalkan Ava sendiri, sebab keduanya datang berboncengan dengan motor Ava. Ia melarikan tatapannya pada sisi meja yang Fena pun lakukan, sebuah kunci motor dengan gantungan boneka panda kecil terkapar di sisi tepi meja.

"Dia nggak akan pulang, pasti lagi cari angin" ucap Fena sangat yakin. Lila hanya membuang napas sembari melanjutkan pekerjaannya. Ava pergi tanpa membawa motornya, ia sengaja tinggalkan untuk Fena. Saat ini mengejar Ava hanya akan sia-sia, itu hanya akan membuatnya merasa tidak nyaman dan membuat suasana hatinya semakin buruk.

"*Katakan padaku, jika memang ini takdir kita*.

*Jika memang harus sesakit ini, harusnya jangan ada yang kembali*."

Orang-orang bergegas membawa tas, koper, dan barang bawaan mereka memasuki gerbong kereta yang akan berangakat. Beberapa orang lainnya berlalu lalang menuju pintu keluar. Terdengar jelas dan bising sekali suara bel dari kereta yang perlahan melaju, meninggalkan stasiun. Gesekan roda besi dengan rel terasa begitu nyaring terdengar di telinga. Tak berapa lama, kereta pun lenyap dari pandangannya.

Ava menyandarkan punggungnya di kursi sembari menatap lintasan kereta api di depannya. Benar, setelah dari toko Lila, ia tak langsung pulang melainkan mendaratkan kakinya di stasiun ini. Baginya stasiun adalah tempat untuk merasa lebih baik setelah bertengkar dengan diri sendiri. Baru saja ia selesai menerima panggilan dari ibunya. Dengan ponsel yang masih tergenggam di kedua tangan, lamunannya masih tersusun sangat sempurna.

"Kamu bilang sama ayahmu kalau kamu mau ikut ibu, suruh jual saja rumah itu."

Kurang lebihnya itulah inti pembicaraan mereka sebelum akhirnya Ava memutus sambungan teleponnya. Dari dulu ibunya bersikeras membawanya, namun Ava menolak dan memilih untuk hidup sendiri tanpa tekanan dari manapun. Itupun yang membuatnya enggan menemui ayah maupun ibunya. Bertengkar dengan diri sendiri sudah cukup melelahkan baginya.

Terasa ada getaran dari kursinya, membuat Ava terkejut dan tersadar dari lamunannya. Sontak ia menoleh ke sisi kanannya, ia dapati seorang lelaki yang tengah duduk dengan tenang disampingnya memandang lurus ke depan.

"Be- Beni..?" ucap Ava terbata setelah menyadari sosok lelaki yang kini tersenyum sempurna padanya.

"Hai Va? Apa Kabar?" tanya lelaki yang memiliki nama Beni itu tanpa mengurangi sudut bibir yang telah menghiasi wajahnya. Tanpa sepatah katapun, Ava memalingkan wajahnya dari Beni, bola matanya berlarian seolah mencari, berusaha untuk tetap tenang dengan dirinya.

"*Haruskah aku menerima kenyataan ini atau justru harus ku melawan takdir?

Mengapa hati ini terus terombang-ambing bagai terdampar di lautan luas, pada hal-hal

yang tak pernah pasti*?"

Dia adalah lelaki yang sempat dijumpainya tadi di toko bunga Lila. Beni Irawan, atau yang akrab disapa Beni, adalah senior satu tingkat diatasnya. Dulu, mereka adalah sahabat yang bisa dikatakan cukup dekat. Anehnya, Fena dan Lila tak tahu menahu soal itu. mereka hanya tahu Beni adalah kakak kelasnya.

Ava memang dikenal dengan seorang yang misterius. Tak ada yang tahu bagaimana kehidupannya, ia sangat menjaga privasinya. Jalan hidup yang tak pernag diinginkannya membuat Ava terpaksa menutup rapat dirinya. Ketakutan-ketakutan yang diciptakan dalam kepalanya membuat ruang geraknya terbatas. Ia akan berpikir berkali-kali sebelum akhirnya mengambil tindakan. Perasaan takut akan suatu penolakan dari dunia luar membuat dirinya tak bergerak maju dan hanya terjebak pada masa-masa kelamnya.

"Kita ketemu lagi". Beni tersenyum hangat pada Ava yang masih menatap lurus ke depan.

"Harusnya kita nggak ketemu." cetus Ava tanpa menoleh ke arah Beni. Sikap dinginnya begitu terasa, melebihi dinginnya udah di stasiun malam itu.

"Kamu masih sama."

Tatapan Ava seketika teralihkan, tertuju pada Beni, sangat tajam. Tanpa mengucap sepatah kata, Ava mengambil tas mininya dan lantas pergi meninggalkan Beni di stasiun kereta yang kini mulai sepi karena hari semakin larut.Tak ada pergerakan dari Beni, ia hanya membiarkan gadis itu berlalu sambil masih terus memandang punggungnya yang kini sudah tak terlihat dari pandangannya.

"*Saat aku mulai terbiasa tanpa hadirnya, tolong..

jangan goyahkan hatiku, lagi*.. "

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!