Episode 3

Pagi pun tiba aku bergegas bersiap untuk pergi ke kampus tempat dimana kami berkumpul dan pergi menuju Desa Tanjung Beringin. Sesudah aku bersiap, aku diantar oleh ayah ke kampus, kami pergi mengendarai mobil ayah, semua barang ku masukkan ke dalam mobil aku berkata kepada ayah.

“Yah, aku aja yang nyetir perginya. Ya, boleh ya yah.” Aku memohon pada ayah dengan wajah memelas. Ayah menatapku dengan menyatukan alisnya.

“Ayah tau putri ayah sudah dewasa, tapi kali ini ayah ingin menyetir untuk tuan putri. Apakah tuan putri berkenan??” tanya ayah padaku sambil menggodaku dan tersenyum.

“Ihh ayah, yaudah deh kalo gak boleh bilang saja gak boleh ayah, gak usah menggodaku seperti itu.” Aku berbicara sambil membuka pintu mobil dan duduk di depan di samping ayah.

Ayah tertawa melihat tingkahku dan berkata, “jika tidak seperti itu putri ayah akan lebih keras dari ayah,” menarik hidungku yang mancung.

“Ayah...” Balasku sambil menatap ayah dan memakai seat belt.

Sesampainya di kampus aku langsung turun, menurunkan semua barang-barang ku, sebagian temanku tercengang melihat apa yang ku bawa namun belum ada yang berani bicara karena ayahku masih berada di sampingku. Ayah membantuku menyusun barang-barang ku di bus kampus yang akan kami pakai, semua barang sudah tersusun rapi oleh ayahku aku tinggal nunggu pengarahan dan giliran absen, setelah itu aku bisa langsung duduk di dalam bus.

Sebelum aku berkumpul dengan teman-temanku aku berpamitan dengan ayah, ayah memelukku sebentar dan mencium keningku sambil mengatakan nasehat-nasehat padaku.

“Putri ayah, hati-hati disana ya jangan mudah lengah tetap harus mawas diri dan waspada. Jangan congkak dan sepele dengan peraturan yang ada disana. Ayah tau kamu anak yang tidak pernah lupa berdoa tapi ingat kakak, berdoa memang cukup tapi akan lebih baik jika perilaku mu juga ikut kamu jaga. Mengerti kakak, kamu sudah dewasa kamu taukan apa yang bisa kamu lakukan apa yang tidak.” Ucap ayah serius.

Jawabku kepada ayah, “iya ayah, aku mengerti doakan aku juga ya ayah supaya penelitian ku, tugas-tugasku semua lancar dan aku bisa pulang dengan keadaan sehat seperti saat ayah mengantarkan aku untuk pergi.”

Entah mengapa aku ngomong seperti itu kepada ayah, ayah melirikku dengan heran namun ayah tersenyum dan berkata.

“Pasti ayah akan mendoakan putri ayah yang sangat cantik ini.” Sambil mengelus rambut ikalku.

“Aku pamit ya yah, ayah hati-hati di jalan. Ingat ya yah jaga ibuku saat aku tidak di rumah jangan keluar malam sampai bodyguard istri ayah ini pulang oke yah.” Pesanku pada ayah.

Ayah tertawa mendengar ucapan ku.

“Baiklah tuan putri.” Jawab ayah.

Aku melihat ayah berlalu mengendarai mobil, setelah ayah pergi aku berkumpul dengan teman-temanku. Saat aku menghampiri mereka, mereka berkata.

“Putri ayahnya kalau mau pergi enak ya semua dipersiapkan dengan baik, diantar sampai semua barangnya disusun dengan rapi.” Ledek salah satu teman wanitaku, dia bernama Arumi kami sering memanggilnya umi.

“Iya dong mi, akukan tuan putri.” Ucapku kepada umi sambil tersenyum lebar. Semua teman-temanku tersenyum mendengar perkataan ku.

Dua dosen kami yang bertanggung jawab dalam perjalanan kami sudah hadir, mereka menyuruh kami untuk berbaris sembari memanggil nama kami satu per satu dan menyuruh kami masuk ke bus yang sudah di pilihkan oleh mereka. Sebelum barang ku disusun oleh ayahku ke dalam bus, ayahku sudah meminta izin terlebih dahulu ke dosen kami, maka dari itu aku sudah tau aku masuk bus yang mana.

Sesudah semua masuk bus, aku duduk di kursi nomor dua di belakang supir. Aku duduk bersama temanku yang cukup dekat denganku namanya Irene.

Sedikit tentangku aku orang yang sulit bergaul dan aku lebih banyak diam. Aku tidak punya sahabat, karena aku sulit percaya dengan orang lain. Aku pernah menganggap seseorang sebagai sahabatku ternyata aku hanya seseorang yang bisa dia manfaatkan tidak ada ketulusan disana, jadi aku menyimpulkan di dunia ini semua punya batasannya masing-masing. Aku memutuskan untuk menaruh batasan untuk segala hal.

Kembali ke ceritaku.

Bus pun melaju dengan cepat, teman-teman satu bus ku menghidupkan musik melow membuatku ngantuk dan aku pun tertidur hingga sampai di tujuan. Sesampainya di Desa Tanjung Beringin aku dibangunkan oleh Irene.

“Jo, bangun kita sudah sampai semua sudah turun menurunkan barangnya, tinggal kamu karna barang mu yang paling banyak.” Ucap Irene.

“Oh udah sampe Ren, iya iya, bantuin aku ya sorry aku ketiduran.” Jawabku

“Iya gakpapa, untung kamu tuh gak dengkur.” Ucap Irene kembali.

“Emang kalau aku dengkur kenapa?” tanyaku.

"Ku tutup mulutmu!” ucap Irene tegas.

“Kejam banget sih Ren,” ucapku sambil tertawa.

“Udah ah ayo turun buruan udah sore nih kita sampe.” Ucap Irene.

“Iya, iya irene.” Jawabku.

Aku dan irene pun turun, kami bersama menurunkan semua barang-barang kami, sesudah itu kami dibariskan kembali di luar aula desa untuk dipilih menjadi satu kelompok yang terdiri dari tujuh orang, campuran perempuan dan laki-laki.

Kami ditempatkan di rumah-rumah penduduk, para dosen tidak mengizinkan kami untuk mengontrak satu rumah, jadi sebelum kami sampai di desa ini para dosen sudah bersosialisasi, membuat kesepakatan dengan masyarakat desa.

Kami terdiri dari 10 kelompok aku masuk kedalam kelompok dua, satu desa akan terdiri dari tiga kelompok. Saat dibariskan di depan aula di sebelah kiri ku, aku melihat lima orang laki-laki yang tidak ada saat kami berangkat tadi. Aku meliriknya sekilas, salah satu laki-laki di barisan itu sejajar denganku melihat terus ke arahku itu yang membuatku merasa tidak nyaman dan aku kembali meliriknya dengan memberikan tatapan tidak suka. Saat ku tatap seperti itu tiba-tiba dia berkata.

“Mau kemana dek, mau pindah ya??” sambil sedikit tertawa melihat barang-barang ku.

Aku hanya diam dan menatapnya sinis, kemudian aku mengalihkan pandanganku ke dosenku.

Gumamku dalam hati, “apaan sih lebay banget, lebih baik aku lihat dosenku dari pada melihat laki-laki aneh.” Gerutuku sambil memalingkan wajahku.

Setelah dosen-dosen menyampaikan pidatonya, para dosen memperkenalkan sepuluh orang ibu-ibu kepada kami, mereka adalah ibu yang rumahnya akan kami tinggali kami menyebutnya ibu semang. Ibu angkat kami saat kami tinggal dirumahnya nanti.

Setelah itu para dosen menyebutkan nama-nama kelompok yang akan tinggal satu rumah dengan kami. Dan aku tinggal dengan ibu Rosiana dan suaminya bapak rojak.

Aku satu kelompok dengan Tasya, Anggi, Irene, Ruth, Alexsander dan Jonathan kedua laki-laki itu abang kelasku. Mereka yang ku sebut tadi tidak terlihat saat kami berangkat dan kabar buruknya lagi orang yang meledekku dibarisan dengan melihat barang-barang ku yang banyak, dia satu kelompok denganku itu sangat menyebalkan. Dia bernama Jonathan, saat melihatnya masuk ke kelompokku rasanya kepalaku panas melihat tatapannya dan senyumnya yang meledek ke arahku. Huh sungguh menyebalkan.

Setelah kami satu kelompok dikumpulkan bersama ibu semang, laki-laki yang bernama Jonathan. Yang metupakan salah satu abang kelasku berdiri tepat di belakangku, dari belakang dia berbisik.

“Kenapa gak sekalian satu kamar aja dibawa dek, nanggung tuh.” Ucapnya.

Aku sama sekali tidak merespon, yah walaupun jujur aku sangat risih dan hampir rasanya ku tendang kakinya, aku mencoba sekuat tenaga menahan emosiku mengendalikan emosiku yang hampir memuncak. Seketika lamunanku yang fokus meredamkan emosiku disadarkan oleh Irene.

“Jo, Jo." Irena memanggilku namun yang menyahut tidak hanya aku laki-laki menyebalkan itu juga melihat ke arah Irene sambil berkata.

“Kok kamu gak sopan dek, kalau manggil aku pake kata “abang” dong, aku kan abang kelas mu." Ucap Jonathan.

Maaf bang bukan abang, aku memanggil Joana bukan abang, seketika yang mendengar itu semua tertawa dan aku pun ikut tertawa. Saatnya bagiku untuk membalasnya.

“Makanya lain kali yang jelas dong Ren, kasian kan ada yang merasa ternyata bukan dia kan malu jadinya.” Ucapku sambil melihat Irene dan melirik sedikit ke arahnya. Ternyata dia tidak habis kata-kata dia membalas ku.

“Aku lahir duluan loh dari kamu, jangan-jangan ibumu dan ibuku janjian membuat nama yang sama untuk kita.” Ucapnya sambil mengedipkan satu mata.

Dia menggodaku dengan semakin mendekat padaku ih sangat menyebalkan. Aku hanya diam tidak membalas perkataannya.

Akhirnya ibu semang kami membawa kami ke rumahnya, dari aula desa ke rumahnya tidak jauh kira-kira hanya 500 meter saja. Dari aula desa ke rumahnya kami berjalan kaki sedikit, sesampainya di rumahnya pertama kali melihat bangunannya entah kenapa perasaan dingin, merinding dan cemas datang padaku.

Sedikit tentang bangunan rumahnya. Rumah itu seperti rumah yang baru dibangun belum di cat hanya baru di plester semen, jadi rumah itu terkesan gelap ditambah cuaca yang semakin gelap karena sudah magrib. Rumahnya besar dan tinggi tampak dari luar, rumah itu memiliki taman mini sebelum sampai ke pintunya disana dipenuhi berbagai macam bunga-bunga kecil dan dipenuhi batu kerikil sepanjang jalan menuju pintu rumahnya. Indah, namun terkesan gelap ditambah lampu luarnya yang berwarna kuning.

Aku melihat rumahnya terasa sangat gelap, menyeramkan pokoknya membuatku merasa tidak nyaman, benar-benar sangat tidak nyaman. Rasanya aku ingin pindah kelompok saja, yang tadinya ingin liburan malah merasa aku akan menghadapi banyak hal selama 45 hari berada di rumah ini terlebih lagi di desa kecil ini.

Kami pun memasuki rumahnya baru saja selangkah masuk ke rumahnya kami sudah diberikan kejutan pemadaman listrik, seketika rumahnya jadi amat sangat gelap dingin dan rasanya aku mual. Karena aku tidak suka kegelapan, dan satu desa gelap membuatku merasa pusing seketika. Baru saja menginjakkan kaki sudah seperti ini apalagi selanjutnya pikirku dalam diam.

Kira-kira apa yang akan dihadapi Joana selama 45 hari di desa itu yaa...

To be continue..

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!