Mengejar preman

Episode 5

Chiara :

"Pagi yang cerah, matahari muncul dari upuk timur, bersinar manja penuh kehangatan. Rasanya seperti diselimuti dekapan ibu ketika malam sedang dingin, atau lebih tepatnya seperti dihibur ketika hati sedang sedih.

Ahh tapi rasanya masih kurang tepat juga. Hem! seperti ditemani ketika hati merasa sepi, ah masih kurang pas juga.

Aha, seperti secangkir teh buatan ibu untuk ayah yang diam diam aku seruput...uhh ini lebih baik hehehe." Chia terus berkelana membawa pikiran pikiran konyolnya.

Hari ini ibu minta diantar ke pasar untuk membeli beberapa kebutuhan sayur dan bahan pokok lainnya. Ku ambil handuk dan bergegas untuk mandi, sementara ibu sudah biasa mandi saat sebelum shubuh atau setelah nya.

Ku selesaikan ritual paling menyegarkan sepanjang masa itu, berganti baju dan bersiap mengantar ibu. Ibu lebih suka pergi dengan kendaraan umum dibandingkan naik motor sendiri, katanya bisa lebih santai dan juga membantu orang lain mendapatkan rezeki dengan pekerjaannya.

Baiklah, jarak dari rumah ke pasar tak begitu jauh hanya sekitar 2 KM. Kami pergi naik angkutan kota atau angkot.

"Kiri bang!" Kata ibu. Ternyata kami sudah tiba di pasar, kamipun turun setelah membayar ongkos.

Selagi ibu memilih milih dan membeli keperluan, aku membawakan keranjang ibu sambil memperhatikan wajah wajah surga para anak, yang menjajakan jualannya, atau sesekali memandang para pahlawan keluarga hilir mudik memikul stok sayur, buah dan lain sebagainya.

Ku sapukan pandanganku menyeluruh ke setiap sudut kios dan toko yang ada di pasar.

Tiba-tiba nyaring terdengar suara tangisan bayi yang memekik telingaku.

Dengan refleks aku berlari menuju pusat suara tersebut. Ibu yang menyadari aku berlari ke arah itupun meneriaki aku.

"Nak Chiara...kembali nak!" Ibu berteriak khawatir.

Kejadian itu menarik perhatian orang-orang di pasar, yang sebagian ikut berlari mengikuti aku.

Sesampainya dimana pusat suara itu berada, aku melihat seorang ibu yang sedang menggendong balita dan menuntun seorang anak kecil yang sedang menangis ketakutan.

Aku memberanikan diri menghampiri mereka, dan berusaha menenangkan mereka. Setelah itu aku tanyakan apa yang terjadi?.

Ibu itu menangis karena uang hasil ia memulung, raib dirampas preman-preman nakal. Sementara kedua anaknya belum makan dan juga ketakutan karena ulah brutal para preman yang memaksa untuk menyerahkan uangnya.

Karena tidak ingin kedua anaknya dalam bahaya, mau tidak mau si ibu harus merelakan uangnya diambil preman. Untuk sekarang si ibu hanya bisa pasrah dan hatinya pedih mendengar tangisan kedua anaknya yang ketakutan dan juga lapar.

Tak terasa air mataku meleleh, hati kecilku tersentuh, denyut nadiku seolah berhenti sesaat. "Oh teganya mereka pada seorang wanita yang lemah." Akupun mengeluarkan sedikit rezekiku untuk aku berikan pada si ibu, terlihat ia sangat senang dan mengucapkan terima kasih terus menerus.

Aku menoleh ke belakang, ternyata di sekitarku sudah banyak yang menyaksikan kami. Ibuku tersenyum bangga padaku, dan aku melihat wajah wajah ramah tersenyum padaku seoalah mewakili rasa terimakasih mereka.

Aku tak ingin dipuji. Ini bukan tentang baiknya

aku, tapi tentang bagaimana Allah mendidik hamba-Nya untuk peka terhadap sesama.

Oh tidak, jangan ria! Ini bukan tentang hebatnya perlakuanku, tapi tentang indah nya kebaikan yang diajarkan oleh mereka. Agamaku, Rabku, Rasulku, kedua orang tuaku dan guru guru serta lingkungan yang mendukung.

Aku pun tertunduk dan segera bergegas meninggalkan keramainan.

"Sudah bu?" Tanyaku pada ibu.

"beres nak, ibu sudah dapat belanjaannya." Kata ibu menjawabku.

"Ayo pulang bu?" Ajak ku.

"Iya sayang..." Ibu lalu meraih tanganku, menuntunku sambil sesekali mengelus kepalaku.

Sambil menunggu angkot, kami berdiri dimana orang orang biasa berdiri untuk naik angkot. Belum sampai kami naik, tiba-tiba seseorang menabrak kami dengan sengaja.

Seperti yang biasa terjadi, modus menabrak sambil mengambil dompet.

Ibu berteriak! "Copet copet, tolong dompet saya diambil copet." Jeritan ala emak-emak.

Orang-orang disekitar kamipun berhamburan mengejar pencopet itu, ternyata mereka adalah preman yang sama dengan yang mengambil uang si ibu di pasar tadi. Kata beberapa orang saksi yang memang sudah tahu namun mereka tak bisa banyak berbuat apa-apa.

Tidak lama seorang pemuda menghampiri kami, dengan napas memburu dan tersengal. Ia berhasil menaklukan preman pencopet dan membawa dompet ibu kembali. Pemuda itu kemudian menyerahkan dompet pada ibuku.

"Di cek dulu bu, barangkali ada yang kurang." Tuturnya sopan.

"Iya nak!" Balas ibu.

Ibu pun mulai mengeceknya dan didapati bahwa semuanya aman. Saat ibu mengambil selembar uang untuk diberikan pada pemuda itu, kembali dengan sopan pemuda itu menolaknya.

"Tidak perlu bu, terima kasih banyak. Saya senang bisa membantu ibu, seperti ibu senang membantu orang yang sedang kesulitan." Kata pemuda itu pada ibu, namun pandangannya mengarah padaku. Ternyata pemuda itupun turut menyaksikan yang terjadi di tengah pasar tadi

Aku tak mengangkat pandanganku, hanya berterimakasih dan kamipun naik angkot yang sedari tadi sudah kami tunggu.

"Kalau begitu ibu pamit ya nak, terima kasih banyak." Ucap ramah ibu pada sang pemuda.

"Siapa namamu nak?" Tanya ibu sebelum pergi.

"Saya Alif bu!" Jawab pemuda itu.

"Baiklah nak Alif, kapan kapan main ke rumah ibu." Ibu berbasa-basi. Si pemuda pun hanya tersenyum mengangguk.

Angkotpun melaju mengantarkan kami pulang.

"Kiri bang! Alhamdulillah sudah sampai" Ucap ibu lega.

"Sini bu, biar Chia yang bawa barang belanjaannya." Pintaku.

Ibu memberikan sebagian barang belanjaannya pada Chia dan tersenyum hangat pada putri kebanggannya itu.

Sesampainya di rumah, terlihat ayah yang sedang menyiapkan beberapa kelapa pesanan tetangga yang telah ayah petik di kebun.

Ibu dengan sumringah menceritakan kejadian di pasar dan saat hendak pulang tadi. Ibu pun terus merasa senang dan menyanjung Chia anak kesayangannya.

"Siapa dulu ayahnya?" Sahut ayah.

Alih alih merasa senang, Chia malah tampak kesal.

"Sudahlah bu jangan berlebihan, semua itu bukan kehebatan tapi kewajiban setiap manusia pada sesamanya, jadi gak perlu diceritakan berulang-ulang, nanti gak jadi pahala lho bu." Ledek Chia.

Ibu Chia nyengir dan langsung menghentikan ceritanya.

"Anakku." Kata ayah pada ibu dengan wajah bangga. Ibu melengos sebal pada ayah, ayah pun tertawa geli melihat ekspresi kesal ibu.

Kata ayah, setiap kali berbuat baik pada orang lain, itu artinya kita sedang berbuat baik pada diri kita sendiri, begitupun sebaliknya.

"Kalau suatu saat Chia terbesit untuk berbuat tidak baik pada orang lain, ingat ingat lagi bahwa sebenarnya chia sedang menzhalimi diri sendiri. Ayah berdoa semoga anak ayah bisa berpegang teguh pada apa-apa yang benar." Jarap ayah pada Chia.

Aamiin yah, Chia tersenyum pada ayah.

"Ayah..." Kata Chia lagi.

"Chia sayang ayah ibu." Chia tersenyum manja pada ayah, Ayah pun mngelus lagi kepala Chia.

"Ayah dan ibu lebih sayang sama Chia." Tutup ayah menyudahi bicaranya dan bersiap mengantarkan pesanan buah kelapa.

Dalam hati Chia bergumam ;

"Bahkan Chia tak bisa bayangkan bila harus hidup tanpa ayah dan ibu." Seketika air mata Chia membias dipipinya. Chia teringat akan seseorang yang hidup tanpa ayah dan ibunya.

Terpopuler

Comments

gulla li

gulla li

kangen ya sama Dio 🤭

2022-03-15

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!