Akar Segala Derita
Jovan segera membungkuk dan mengangguk hormat pada seorang wanita berusia kurang lebih 35 tahun yang membuka pintu kecil itu.
Setelah dipersilakan masuk, dia pun berjalan ragu dan canggung mendatangi seorang wanita berusia 68 tahun yang sedang berdiri angkuh di beranda rumah megahnya.
"STOP!” Bentakan Nenek Soraya sontak menghentikan langkah Jovan pada jarak kurang lebih dua meter dari beranda.
“Jovan! sebenarnya maunya kamu apa? Sudah berapa kali aku melarangmu datang ke sini? Jangan pernah menginjakkan kaki lagi di rumahku yang megah dan suci ini!” lanjut Nenek Soraya menyambut Jovan dengan hardikan.
“Saya hanya mau menanyakan keberadaan ayah, Nek.” Jovan menjawab santun. Dia tertegun di tengah halaman, walau sudah menduga bakal mendapat hardikan namun tidak menduga secapat itu datagnya.
Nenek Soraya bahkan tak mempersilakan Jovan untuk menginjak lantai keramik berandanya yang mengkilap.
“Hah! anakku Fuad tidak pulang lagi ke rumahmu? Sudah berapa lama?” Nenek yang memakai kaftan tanpa kerudung dan masih terlihat cantik itu bertanya dengan nada mencibir.
“Iya Nek, ayah tidak pulang sudah hampir sebulan, barangkali dia ada di rumah nenek.” Jovan berusaha menguasai diri dan menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. Firasat buruknya langsung bekerja. Kali ini tidak lebih baik dari sebelumnya.
“Ya! Fuad anakku sudah hampir empat kali datang ke sini, suka-suka dia saja. Kamu tidak perlu mencarinya karena ini rumah orang tuanya. Jadi wajar kalau Fuad datang ke rumah ini.” Nenek Soraya menyilangkan kedua tangan di dadanya. Sorot mata yang bening dan tajam di bawah alis tebalnya, mengintimidasi Jovan.
Sementara wanita yang tadi membukakan pintu, berdiri ketakutan di belakang sang majikan.
“Iya Nek, kalau nanti ayah datang lagi ke sini, tolong sampaikan pada beliau untuk segera pulang walau sebentar. Si Dede sedang sakit keras, setiap hari nanyain ayah. Dia benar-benar kangen sama ayah.” Jovan menyatukan dua telapak tangannya, lalu meletakkan depan wajahnya yang menunduk. Memohon dengan amat sangat.
“Hah! enak aja kamu nyuruh-nyuruh. Kamu pikir siapa dirimu?” ketus Nenek Soraya sambil mendongak angkuh.
Sikap santun dan hormat Jovan, sama sekali tidak berkenan di hatinya. Wanita bengis yang hatinya sudah membatu itu tidak pernah mau mengabulkan segala permohonan Jovan. Bahkan untuk yang paling sederhana sekalipun.
Jovan mengangkat wajah, menatap wanita yang garis pipi dan dagunya sama persis dengan ayahnya, bahkan dengan dirinya.
“Saya mohon kesediaan nenek untuk sedikit saja membuka hati demi si Dede, cucu nenek dan darah daging ayah Fuad.” Jovan kembali memelas.
“Heh! Jangan ngomong sembarang kamu!” Nenek Soraya tiba-tiba menyalak dan berkacak pinggang.
“Ingat Jovan! Aku tidak pernah mengakui ibumu sebagai menantu. Jadi kalian bertiga bukan cucuku. Kamu jangan bermimpi dan besar kepala menyandang nama Fuad bin Alarkam. Seenaknya saja mengakui aku sebagai nenekmu. Fuad Bin Alarkam anakku itu masih bujangan. Belum memiliki istri apalagi anak.” Nenek Soraya makin lantang.
“Masya Allah, Nek. Apa sebenarnya kesalahan mama saya, hingga nenek begitu membencinya.” Jovan mencoba bertanya. Titik titik air hujan mulai turun menimpa rambutnya.
“Terlalu banyak kesalahan si Anita itu! Dia telah menghancurkan kehormatan dan harga diri keluargaku. Sekaligus memupuskan semua harapan dan cita-cita besar Fuad, anakku.” Nenek Soraya menunjuk wajah Jovan yang mulai basah dengan air hujan.
“Asal kamu tahu! Gara-gara si Anita, aku gagal besanan dengan seorang menteri! Dan gara-gara si Anita yang kampungan itu, anakku gagal jadi orang penting di negeri ini. Satu lagi! gara-gara si Anita, anakku Fuad menjadi pengangguran dan hidup sengsara, hampir saja dia dipecat dari keluarga Alarkam. Kamu pikir itu tidak menyakitkan?” Telunjuk Nenek Soraya makin jentik menunjuk wajah Jovan yang masih tetap pada jarak semula.
“Hilang harga diri bagaimana, Nek?” Jovan mencoba menantang, kepalang tanggung. Berharap bisa sedikit meruntuhkan tembok kesombongan wanita tua yang super arogan itu.
“Kamu mau tahu?” Nenek Sorya terpancing.
“Iya, Nek.” Jovan menjawab kalem.
“Kamu siap gak ngedengernya? atau memang kamu sudah tahu dan pura-pura bodoh. Masa si Anita tidak pernah ngasih tahu sama kamu?” Nenek Soraya balik bertanya.
“Belum tahu, Nek.” Tangan kanan Jovan berkali kali mengusap wajahnya yang basah dengan air hujan. Beruntung hujan kali ini tidak disertai sambaran petir dan halilintar.
“Jovan, kamu itu anak haram!” lengkingan Nenek Soraya membahana.
Duar!
Laksana suara petir yang sangat keras, menyambar gendang telinga Jovan di antara hujan dan angin yang berhembus makin kencang.
“Kamu itu anak yang dilahirkan di luar nikah. Si Anita hamil sebelum nikah dengan Fuad, anakku!” Suara Nenek Soraya makin tinggi, seolah ingin didengar oleh seluruh isi dunia.
“Masya Allah.” Jovan mengusap wajahnya.
“Itu fitnah, Nek! Tidak benar. Saya terlahir, satu setengah tahun setelah ayah dan mama menikah. Bisa dibuktikan dengan akte kelahiran dan surat nikah resmi mereka.” Jovan menahan tubuhnya yang sedikit mengigil. Bukan karena dingin diguyur hujan, namun menahan amarah. Tak terima mamanya dihina dan difitnah sebegitu kejinya.
“Alah! kamu tahu apa? Kamu itu anak kemarin sore. Mana ngerti urusan begitu. Kamu itu cuma tahunya makan, tidur, main game dan menghamburkan uangnya Fuad, anakku. Sama seperti ibumu. Wanita miskin itu maunya hidup enak, numpang pada keluarga kaya, sampai-sampai anakku difitnah dan dijebakanya.”
“Astagfirallah, Nek. Itu sama sekali tidak benar!” Jovan menyangkal keras. “Ayah sengaja mengarang cerita itu, supaya nenek mengizinkan dia menikahi mama. Bukankah nenek dan keluarga waktu itu tidak merestui hubungan mereka?” Jovan menyampaikan fakta kebenaran yang diketahuinya.
“Dan sampai kapan pun aku tidak akan pernah merestuinya. Sudah tahu aku dan seluruh keluargaku tidak merestuinya, kenapa si Anita maksa? Harusnya dia sadar diri dengan keadaannya. Seorang pelayan rumah makan, pake sok-sok-an ingin menikah dengan anak keluarga kaya raya. Dasar wanita gak punya otak!” Nenek Soraya terus mengeluarkan hujatan kejinya.
Jovan terdiam tak sanggup bicara.
“Dia kira, kami orang bodoh yang bisa dibohongi sama wanita bodoh! Dasar wanita tak berpendidikan. Pake acara pura-pura hamil segala untuk menjebak anakku. Bilangin sama mamamu itu, kalau ngemis jangan begitu caranya. Kalau ingin merasakan tinggal di rumah orang kaya, sudah jadi pembantu aja di rumahku. Jangan menjebak anakku segala!” Nenek Soraya menumpahkan segala kekesalannya.
“Allahu Akbar. Yang membuat cerita itu ayah, Nek. Sejak pertama kenal, mama memang sudah sadar diri, dia sudah meminta ayah untuk tidak melanjutkan hubungannya, apalagi sampai menikah. Tapi ayah tetap maksa, karena dia sangat mencintai mama.” Jovan mencoba mengklarifikasi walau tak yakin suaranya bisa terdengar jelas oleh Nenek Soraya. Deru angin dan hujan yang makin deras telah menenggelamkan sebagian suaranya.
“Eh, Jovan. Aku mau tanya sekali lagi. Kamu datang ke sini mau apa?”
“Mau nyari ayah, Nek.”
“Kenapa harus kamu cari?”
“Karena sudah hampir sebulan tidak pulang.”
“Nah, terjawab kan? Kalau anakku, benar-benar cinta sama si Anita. Dia tidak mungkin pergi meninggalkannya. tidak mungkin tidak pulang sampai berbulan-bulan!” Bibir Nenek Soraya makin jebreng mencibir.
“Kamu mau tahu kenapa Fuad anakku itu sekarang pergi dari rumah kalian? Karena dia mulai sadar, selama ini telah ditipu dan diperdaya oleh si Anita dan keluarganya, mungkin juga termasuk kalian anak-anaknya,” lanjutnya.
Nenek Soraya membisikkan sesuatu pada asisten rumah tangga yang berdiri di belakangnya. Dengan wajah yang sedikit tegang ketakutan, wanita itu tergopoh gopoh masuk ke rumah majikannya.
Mulut Jovan masih menganga dan matanya membesar. Sekujur tubuhnya menggigil. Bibir membeku, lidah pun kelu. Tak mampu lagi untuk membela atau bicara apapun. Pikirannya membayangkan, bagaimana ekspresi wajah kedua adiknya jika mendengar langsung penghinaan yang keluar dari mulut Nenek Soraya.
"Sekarang kamu sudah tahu.” Nenek Soraya kembali melanjutkan bicaranya. “Itulah alasannya mengapa aku sangat membenci mamamu. Dan tidak mau mengakui kalian sebagai cucuku. Aku bahkan tidak yakin kalau kalian darah dagingnya Fuad, anakku.” Nenek Soraya mengehntikan ucapannya.
Wanita, asisten rumah tangganya yang tadi masuk tergopoh-gopoh, telah kembali dan menyodorkan sesuatu pada Nenek Soraya.
“Keluarga kakekmu yang di Bandung, telah menghalalkan segala cara hingga Fuad anakku rusak dan hancur. Gagal jadi menantu menteri, gagal jadi pejabat negara dan kini perusahaannya pun hancur berantakan. Fuad sangat menyesal. Dia frustasi dan stres bahkan hampir bunuh diri akibat ulah si Anita, wanita pembawa sial." Suara Nenek Soraya sedikit tercekat, tampaknya dia pun tak kuasa menahan tangisnya.
Jovan terperangah, pandangannya seketika kabur. Air matanya tak bisa lagi ditahan. Mendesak keluar mengalir deras menyatu dengan air hujan yang terus menguyurnya tanpa ampun.
“Hai anak pengemis hina!” bentak Nenek Soraya kemudian.
Jovan kembali meluruskan wajahnya menatap neneknya yang sudah kehilangan iman, etika dan hati nuraninya.
“Ambil tuh uang sedekah dariku!” Nenek Soraya bicara sembari melemparkan gulungan uang yang sudah diremas-remasnya.
“Bawa adikmu berobat ke dukun dan jangan pernah datang lagi ke sini. Si Anita, kamu dan kedua adikmu, haram menginjakkan kaki di rumah ini termasuk halaman sekitarnya!” pungkas Nenek Soraya
Sejurus kemudian, wanita berhati sekeras baru karang di lautan dan gemar memakai perhiasan layaknya toko mas berjalan itu, membalikan badan lalu masuk ke rumahnya dituntun asisten rumah tangganya.
Jovan pun membalikkan badan. Keluar dari halaman tanpa mempedulikan gulungan uang biru yang basah dan telah hanyut terbawa air hujan.
‘Ya Allah, ujian apalagi yang sedang Engkau berikan pada hambaMu ini. Hamba rela dengan semua ujian ini, tapi hamba mohon jangan Engkau berikan penderitaan yang sangat menyakitkan pada mama dan kedua adik hamba yang masih kecil. Berilah hamba petunjuk dan bebaskanlah keluarga hamba dari akar segala derita ini’
Jovan segera menstarter motor tuanya. Berlari kencang meninggalkan rumah neraka neneknya. Menembus hujan dan angin yang makin kencang menuju pos penjagaan untuk mengambil kembali kartu pelajarnya.
Jovan kembali melarikan motornya, setelah itu. Pulang ke rumahnya dengan membawa sejuta hati yang terluka dan berdarah darah.
"Dede, maafkan Aa yang belum bisa membawa ayah pulang. Sabar ya Sayang. Segeralah sembuh, kasihan mama." Jovan kembali menyeka air matanya seraya mencium Naufal yang terbaring lemah dengan suhu tubuh yang masih tinggi...
Bersambung - “Kejutan Cewek Nekat”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Gechabella
sedih
2021-04-14
0
D'illah @NS
innalillah,,,itu nenek mulutnya habis makan cabe 10 kilo kali ya,,,kata2nya pedes bgt,,,😤😠
sabar ya Jovan,,,mdh2n author menggerakan hati siapa saja agar bisa membantu keluarga kamu,,,gak usahlah kesana lg buat cari ayah kamu!!!
semangat Jovan💪💪💪
2020-12-03
0
Putra Indra
sangat menarik ceritanya thor, semangat terus jo berjuanglah untuk ibu dan adik"mu tanpa harus berharap pada keluarga ayahmu...
2020-07-26
1