BAB 4

POV : ALEZO

"Aku tau kau akan marah padaku tapi aku harus mengatakannya,"

Alezo terdiam. Ia menghela nafas, menunggu kalimat yang akan keluar selanjutnya.

"Sampai akhir tahun jadwalmu penuh. So...tidak ada liburan," ucap Tara, sang manager hati-hati sambil melirik ke arah Alezo yang berdiri menatap jendela.

Ia pura-pura membenarkan kacamata saat Alezo menoleh dan berjalan mendekatinya.

"Artinya aku bekerja satu tahun penuh tanpa jeda," cetus Alezo dingin. Tangannya berkacak pinggang.

"Ehm...begitulah," jawab Tara gugup. "Tapi...hey, lihatlah saldo rekeningnmu. Sungguh bisa membeli sebuah pulau!" Seru Tara.

Bagaimana tidak. Alezo menjadi brand ambassador beberapa brand internasional mulai dari pakaian, jam tangan, hingga sepatu. Belum lagi bayarannya bermain film atau drama. Tara sendiri khawatir jika tiba-tiba ia kerasukan setan lalu menggelapkan ratusan milyar di rekening Alezo.

Alezo berdecih. Ia lalu duduk di sebelah perempuan tomboy yang sudah menjadi managernya selama ia berkarir. Tentu saja ia tidak benar-benar marah pada Tara. Ia kesal dengan agensinya yang tidak tanggung-tanggung memberinya pekerjaan. Hampir semua tawaran padanya wajib ia terima. Meski ia mencintai pekerjaannya, namun rasanya manusiawi ia menuntut istirahat untuk liburan sejenak.

"Aku akan bicara pada Samuel untuk mengurangi jadwalmu untuk tahun depan. Aku paham kau pasti jenuh," hibur Tara sungguh-sungguh. Meski Alezo lebih sering bersikap dingin, tetapi ia paham betul perasaan Alezo. Sehingga tidak heran jika hubungan mereka awet. Bahkan ketika Tara berencana mengundurkan diri menjadi managernya untuk membuka usaha, Alezo dengan segala cara merayunya agar bertahan.

"Tara, please. Don't leave me. Kau satu-satunya orang terdekatku sejak dulu. Bagaimana aku bisa menjalani hari-hari dan pekerjaan tanpamu?"

Siapa yang tidak luluh saat Alezo mengatakan hal itu di depan pintu rumahnya tengah malam. Bahkan sedang hujan deras. Sejak saat itu Tara berjanji akan mendampingi Alezo selamanya sampai nanti takdir yang menjadikan mereka berpisah sebagai partner kerja.

"Ya, harus. Aku tahu saat ini aku menjalani mmipiku bertahun-tahun lalu. Tetapi aku tetap butuh waktu untuk leluasa mengurusi kehidupan pribadiku," tukas Alezo.

Tara mengangguk. "I know. I feel you. Kau pasti lelah karena selalu bekerja keras,"

"Hey, tapi aku penasaran. Bagaimana hubunganmu dengan Jemima?"

"Aku dengan Jemima? Seperti yang kau lihat selama ini. Kami partner kerja," jawab Alezo.

"Nada bicaramu seperti sedang kecewa," timpal Tara tersenyum jahil.

"Maksudmu?"

Tara menaikkan kedua bahunya.

"Aku pulang," tukas Tara lalu mengemas barang-barangnya dan pamit dari rumah Alezo setelah selesai membahas pekerjaan. Sejujurnya Tara pun lelah namun ia harus tetap sigap. Beruntung akhir pekan ini jadwal Alezo kosong dan ia membebaskan sang aktor untuk melakukan hal sesukanya.

***

"Alezo! Kenapa tidak mengabari kalau kau akan datang," seru Kamila, ibu Alezo. Perempuan paruh baya itu tak kuasa menahan haru sambil memeluk sang putra.

"Aku tidak mau mama repot menyiapkan ini itu jika aku beri tahu," jawab Alezo.

"Kau hanya pulang sesekali jadi sudah seharusnya mama menyiapkan sesuatu,"

Alezo lalu masuk ke rumah mewah orangtuanya itu. Aroma lavender yang lembut seketika menyeruak. Wangi khas rumahnya sejak dulu karena lavender adalah aroma kesukaan Kamila. Alezo menarik nafas dalam. Rasanya nyaman sekali ketika pulang ke rumah. Ia lalu duduk di sofa panjang di ruang keluarga dan menyandarkan tubuh tegapnya.

"Mama akan membuatkanmu makan siang. Untung mama kemarin belanja," ujar Kamila.

"Baiklah," jawab Alezo. "Dimana papa?"

"Dimana lagi," jawab Kamila sambil mengangkat bahu dan berlalu menuju dapur.

Alezo tersenyum. Ia paham dengan jawaban Kamila. Romel, ayahnya pasti berada di rumah sakit. Di usia kepala enam sang ayah masih belum berniat pensiun sebagai dokter spesialis bedah jantung. Ia masih setia mengabdikan ilmunya di Global Medika, rumah sakit tempat ia bekerja. Cukup sekali bagi Alezo membujuk Romel untuk pensiun karena jawaban ayahnya langsung menohoknya sebagai anak.

"Andai kau dan adikmu mengikuti jejak papa sebagai dokter tentu sudah lama papa memilih pensiun," ketus Romel saat itu.

Ya, Alezo dulu sudah diarahkan oleh Romel untuk menjadi dokter. Tentu saja ia menurut. Ia mendaftar di fakultas kedokteran dan lulus tes masuk dengan menduduki peringkat pertama. Saat itu Romel bangga bukan main, apalagi ia telah berhasil mendirikan Global Medika. Bayangannya ia dan Alezo dapat menjadi partner dalam mengelola rumah sakit miliknya itu. Mimpi indah Romel terpaksa diakhiri sang anak karena Alezo memilih menjadi entertainer. Berada di depan kamera ternyata lebih menarik bagi Alezo dibandingkan mempelajari anatomi tubuh manusia. Sudah bisa dibayangkan betapa kecewanya Romel saat Alezo tidak melanjutkan pendidikan kedokterannya saat koas. Namun akhirnya ia tak bisa berkata-kata karena Alezo akhirnya bersuara.

"Sejujurnya aku tidak memiliki panggilan jiwa untuk menjadi seorang dokter. Aku ragu bisa menjadi dokter sebaik papa. Mimpiku bukan di sini, Pa..."

Romel mengalah. Ia merestui keputusan sang anak. Akan tidak baik nantinya di masa depan jika Alezo menjadi dokter karena terpaksa. Buah keikhlasannya menjadikan Alezo berhasil meraih mimpinya saat ini, menjadi aktor terkenal.

Alezo beranjak dan berjalan menuju dapur saat mendengar suara Kamila memanggilnya pertanda makan siang sudah siap. Perutnya langsung berbunyi saat mendapati steak wagyu dengan mashed potato dan mushroom sauce kesukaannya terhidang di meja makan. Mushroom sauce buatan Kamila adalah yang terenak sedunia bagi Alezo.

"Dari tadi mama menduga-duga apa yang terjadi denganmu," ujar Kamila saat Alezo sudah menghabiskan setengah dagingnya.

"Maksud mama?"

Kamila menghela nafas. "Alezo, kau selalu pulang ke rumah jika ada sesuatu,"

"Benarkah?" Tanya Alezo bingung, seolah tidak sadar.

"Ya. Terakhir kali kau ke sini dan ternyata kau sedang kalut karena managermu ingin mengundurkan diri. Sebelumnya pun kau datang selalu ada kejadian yang membuatmu tidak tenang,"

Penjelasan Kamila seketika menyadarkan Alezo. Benar juga. Ia selalu pulang ke rumah orangtuanya saat ia merasa ada perasaan yang mengganjal. Jika sedang baik-baik saja justru ia memilih tetap di rumahnya meski jadwalnya sedang kosong. Bagaimana mungkin ia tidak sadar selama ini? Sungguh batin seorang ibu benar-benar luar biasa. Apa itu super power?

Alezo menyuapmkan potongan daging terakhr ke mulutnya. Setelah menenggak habis segelas air putih, ia lalu balas menatap sang ibu yang dari tadi memperhatikannya makan sambil menopang dagu.

"Sebenarnya...sebenarnya tidak ada sesuatu yang terjadi hanya saja..." ucap Alezo terputus. Matanya menerawang seolah memikirkan kata yang tepat.

"Hanya saja..." ulang Kamila gemas.

"I don't know, mom. Hidupku berjalan baik namun ada sisi hatiku yang terasa kosong," jelas Alezo sungguh-sungguh.

"Apa kau sedang patah hati?" Selidik Kamila usil.

Alezo mengernyitkan dahi. "Broken heart? Mom you know aku tidak punya pacar selama karirku,"

"Patah hati bukan hanya karena sepasang kekasih berpisah. Tetapi juga ketika perasaanmu pada seseorang tidak berbalas. Dua-duanya menyakitkan," ujar Kamila bijak.

Alezo terdiam, mencoba mencermati ucapan sang ibu. Seketika otaknya memutar memori wajah seorang perempuan yang kini menghuni hati dan pikirannya. Sayang hanya bayangannya yang mampu Alezo gapai. Sementara raga dan hatinya tidak.

Alezo berdehem. "Apa aku terlihat kurang ajar karena baru pulang ketika ada masalah?" Tanya Alezo berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Tentu tidak, anakku. Justru mama senang karena kau paham bahwa rumah ini adalah tempatmu pulang ketika gelisah. Artinya kau nyaman dan merasa hangat di sini," jawab Kamila.

Alezo tersenyum. Ibunya benar. Ia masih selalu merindukan rumah masa kecilnya ini. Meski sudah jauh berubah karena di renovasi menjadi lebih mewah, namun tidak mengusik kehangatan dan kenyamanannya. Andai tidak memikirkan usia dan karir, tentu ia ingin tinggal bersama orangtuanya selamanya di sini.

"Film terbarumu luar biasa. Mama dan papa tidak henti menerima pujian dari kolega yang menontonnya," ucap Kamila dengan mata berbinar.

"Syukurlah kalau itu membuat mama dan papa bangga,"

"Tentu. Mama juga tidak menyangka Jemima si penyanyi ternyata bisa berakting dengan baik. Ia terlihat seperti aktris sungguhan,"

"Ya. Semua orang berkata begitu," ucap Alezo.

"Entahlah, dari semua film, kau terlihat sangat cocok dengan Jemima. Papa bahkan berkomentar apa kau jatuh cinta di dunia nyata pada gadis itu. Hahaha..." Kamila terkekeh menceritakannya ucapan suaminya pada Alezo.

"Mama bilang tidak mungkin. Karena kau tidak pernah terlibat cinta lokasi dengan lawan mainmu. Padahal mereka semua cantik dan bertalenta,"

Alezo tak menjawab. Ia hanya tersenyum menanggapi ucapan sang ibu. Benar, ia tidak pernah sekalipun menaruh hati pada lawan mainnya sekalipun ia beradegan mesra. Alezo benar-benar mengerdilkan perasaannya ketika ia mencium dan memeluk  lawan mainnya itu. Ketika sutradara berteriak 'cut!', maka berakhirlah. Hanya berpura-pura, tanpa perasaan di sana. Memang tak jarang para fans menganggap ia dan lawan mainnya berpacaran karena chemistry mereka. Namun semuanya terbantahkan ketika Alezo memang tidak pernah terlihat menggandeng wanita.

"Ah...aku kenyang. Steak buatan mama tidak pernah gagal," ucap Alezo memuji masakan sang ibu.

Kamila tersenyum. "Sudah mama katakan cita-cita mama adalah menjadi chef, bukan dokter," candanya.

Kamila memang baru saja pensiun sebagai dokter spesialis penyakit dalam tiga tahun lalu. Di usianya yang hampir enam puluh tahun ia merasa mudah lelah. Ia tidak ingin merugikan pasien jika ia tetap bekerja dengan kondisi tubuhnya yang tidak fit. Jadilah sekarang ia bisa menikmati waktunya dengan memasak, berhayal menjadi chef seperti cita-citanya dulu yang ditentang kedua orangtuanya yang juga berprofesi sebagai dokter.

***

Alezo naik ke lantai dua menuju kamarnya. Ia lalu membuka pintu balkon yang langsung menghadap lapangan golf. Rintik hujan terasa begitu syahdu, membuat Alezo merasa tenggelam dalam perasaannya yang kelabu. Lagi-lagi wajah cerah dan senyum manis seorang perempuan terlintas dalam benaknya. Telinganya pun seolah masih mendengar tawa renyah yang selalu menghidupkan suasana. Bahkan wangi parfumnya masih melekat di indra penciuman Alezo. Sungguh jika Alezo bisa memuta waktu, ia ingin kembali ke masa-masa saat ia dengan bebas bisa menatap dalam mata sang wanita, memeluk dan menghirup aroma tubuhnya, dan mengelus wajah meronanya.

"Oh Tuhan, lama-lama aku bisa gila,"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!