Angin pucuk Sumbing bertiup, menerpa tubuh hingga merasuk ke tulang rusuk. Sinar surya perlahan mengintip dari balik gumpalan awan, serasa belum cukup menghangatkan pori. Waktu sudah menunjukkan pukul 08.00 WIB. Tapi sepertinya sang surya masih malu-malu menampakkan sinarnya pagi ini. Kabut tebal, bukan hal yang aneh di sini. Matahari terbiasa muncul di siang hari. Dedaunan yang masih basah oleh butiran kristal, bahkan jika berbicara, seolah ada kobaran api dari dalam tubuh, sehingga mulut keluar asap putih.
Bagi kami warga Kampung Merangi, Desa Sekar Wangi, Kecamatan Kaliangkrik, kampung tertinggi di pucuk Sumbing, sudah bukan waktu pagi lagi. Karena sejak subuh tadi, seusai melaksanakan ibadah sholat subuh, warga desa sudah bergegas menuju ladang. Bahkan saat masih gelap dan kokok ayam jago masih berkumandang, mereka sudah berada di ladang. Ada yang mencangkul, ada yang sedang memanen hasil bumi, ada yang membersihkan rumput liar pengganggu tanaman, ada yang sedang membasmi hama tanaman, dan ada pula yang hanya mencari setumpuk ranting kering untuk menghidupkan tungku mereka.
Ketika adzan dzuhur berkumandang, mereka bergegas kembali ke rumah, berjamaah di masjid lalu menyantap makan siang. Kemudian tanpa menunggu lama, mereka segera kembali ke ladang hingga senja nanti.
"Selamat pagi Mbak Gendhis..." Sapa seorang ibu lembut kepada Gendhis.
"Ya... Selamat pagi Bu..." Jawab Gendhis sesaat menghentikan langkahnya.
"Libur ya Mbak sekolahnya?" Tanya Bu Rati, tetangga yang rumahnya tidak terlalu jauh dengan Gendhis
"Iya Bu, mumpung hari minggu, bantu-bantu Ibu di ladang." Jawab Gendhis sembari membawa bekal dalam rantang berbahan stenlist dan teko kecil dari alumunium berisi minuman yang akan dia antarkan untuk orang tuanya di ladang.
"Mbak Gendhis ini hebat ya, sudah cantik, baik, sekolah, juga rajin membantu. Pak Ratno dan Bu Sari pasti bangga punya anak seperti mbak Gendhis" Puji Bu Rati jujur dan polos.
Gendhis tertawa kecil seraya berkata, "Bu Rati bisa saja..."
"Oh... Dek Dayu dan dek Lia juga ikut ya Bu Rati?" Gendhis melanjutkan.
Tampak wanita paruh baya itu menggendong putranya yang belum genap berusia dua tahun di punggungnya. Kakaknya yang mungkin baru berusia empat tahun, terlihat berjalan sambil memegang jemari ibunya. Sungguh pemandangan yang sudah biasa terjadi di Kampung Merangi.
"Iya Mbak, mau gimana lagi. Di rumah juga ndak ada yang momong. Bapaknya sudah sejak habis subuh tadi di ladang dengan Bapak dan Simbok." Jawab Bu Rati sambil berjalan.
Gendhis tersenyum lembut sambil menyentuh pipi Dayu yang lembut namun dingin, seolah menyapa dengan senyum manisnya. Anak kecil itu tertawa lepas menyambut senyuman Gendhis.
"Ndak papa Dek Dayu ya, ikut mamak di ladang, biar sehat." Ucap Gendhis menghibur.
Usia Bu Rati hanya terpaut dua tahun lebih tua dari Gendhis. Tapi seperti itulah kehidupan di Kampung Merangi, saat seharusnya Bu Rati mengenyam pendidikan di bangku SMA, seolah tak bisa melawan takdir, ia harus menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya sejak lima tahun lalu.
Gendhis merasa bersyukur karena masih diberikan kesempatan oleh orang tuanya, juga keluarga calon suami masa kecilnya untuk memberinya izin bersekolah sampai sekarang dia baru masuk di kelas X SMAN 1 Bandongan yang berbeda kecamatan dengan tempat tinggal Gendhis.
Keduanya berjalan bersama meniti jalan setapak menuju ladang mereka. Ladang tampak rapi dan subur. Sepanjang jalan dikelilingi tanaman sayur kubis dan brokoli yang mulai menghijau. Bunga kol yang masih kucup, sayur kentang dan wortel bersembunyi di balik tanah dan dedaunan basah oleh butiran kristal. Satu yang paling khas dari ladang tanah Merangi adalah aroma daun bawang yang menyengat hidung, pertanda bahwa sebentar lagi mereka siap untuk diangkut oleh mobil bak sayur, membawa mereka menuruni sepanjang jalan Merangi. Gendhis dan Bu Rati pun terpisah di persimpangan jalalan.
Dari kejauhan, Pak Ratno dan Bu Sari terlihat harmonis saat memetik sayuran gimbal berwarna hijau tua. Gendhis berjalan menuju tempat di mana orang tuanya sedang memanen sayur brokoli.
"Bapak, Ibu, istirahat dulu. Ini Gendhis bawakan makanan!" Seru Gendhis sambil berjalan menuju gubuk bambu.
"Iya, Nduk... sebentar lagi." Jawab Bu Sari.
Gubuk itu sengaja dibuat oleh Pak Ratno sebagai tempat berteduh dikala hujan atau terik. Meski tak seluas rumah, namun cukup untuk melepas lelah. Tak hanya itu, gubuk juga dijadikan sebagai tempat meletakkan hasil panen mereka.
(Nduk... merupakan panggilan kesayangan untuk anak perempuan bagi masyarakat Jawa, yaitu Jawa Tengah dan DIY).
Gendhis meletakkan rantang dan teko di atas dipan bambu berukuran 2m x 1m. Beberapa karung brokoli tampak bersandar pada pagar gubuk yang terbuat dari bambu. Pak Ratno dan Bu Sari menghentikan jemari mereka yang sedang sigap memanen brokoli. Mereka bejalan menuju gubuk yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat mereka memanen.
"Bu, ini tadi Gendhis masak sayur kesukaan bapak, oseng kubis hijau sama ikan asin." Ucap Gendhis sambil membuka rantang berisi makanan.
Sejak kecil, Pak ratno selalu membiasakan hidup sederhana pada keluarganya. Bukan karena tidak mampu, hanya saja kalau urusan makanan sehari-hari, keluarga itu lebih memilih pola hidup sehat dengan mengkonsumsi banyak sayuran. Itulah salah satu wujud syukur mereka pada Sang Pencipta atas hasil bumi yang melimpah.
"Jam segini kok sudah mateng Nduk, pikir Ibu mau selesaikan dulu beberapa baris baru istirahat." Jawab Bu Sari sambil mencuci tangan nya dengan air yang ada di kolam kecil yang sering mereka gunakan untuk menampung air di samping gubuk.
Saat kemarau datang, petani di Kampung Merangi harus menyiram tanamannya kalau mereka tak ingin gagal panen. Mereka harus memiliki akses cukup air yang biasa mereka alirkan dari sumber air dengan menggunakan pipa. Sungguh berat tugas seorang petani. Di saat terik, mereka harus tetap menyiram tanaman paling tidak sehari sekali. Kalau harga sedang bagus, tak sedikit petani yang langsung bisa membeli kendaraan bermotor atau membangun rumah mereka. Tapi saat harga sayur terjun bebas, seolah tak ada artinya, sayur-sayuran itu hanya dijadikan pakan untuk ternak mereka. Kendati demikian, mereka tidak pernah mengeluh, selalu mensyukuri hasil panen meski kadang harga sayur di pasar tidak stabil.
"Wah, kalau dibawakan sayur ini, mana kuat Bapak tunda makan nanti-nanti, Nduk... " Sambung Pak Ratno yang juga tengah membersihkan tangannya.
Gendhis tersenyum sembari berkata, "Iya Bu, sebenarnya sudah matang dari tadi pagi, cuma Gendhis bersih-bersih dulu baru menyusul ke ladang."
"Radit tidak ikut ke ladang, Nduk?" Bu Sari menanyakan si bungsu pada kakaknya.
"Ndak, Bu. Tadi katanya mau main layang-layang sama Bambang di lapangan." Jawab Gendhis.
Pak Ratno dan Bu Sari lantas duduk dan menikmati makanan yang dibawakan Gendhis. Sambil sesekali meneguk secangkir teh jawa khas tanah Merangi yang mereka buat sendiri dari hasil ladang mereka. Memang tak seluas perkebunan teh, hanya ditanam di samping lahan mereka yang tengahnya dipenuhi tanaman sayur. Namun cukup membuat mereka jarang membeli teh pabrikan, hanya sesekali saja jika mereka ingin beli.
"Gendhis mau ke tengah dulu ya, Bu..." Ucap Gendhis sambil berjalan menuju tengah ladang tempat orang tuanya tadi memetik brokoli.
"Kamu ndak makan dulu, Nduk?" Tanya Bu Sari.
"Tadi Gendhis sudah makan di rumah, Bu." Jawab gadis itu.
Nampak ada rasa bangga tepancar dari gurat alis mata Pak Ratno dan Bu Sari karena telah dikaruniai putri seperti Gendhis. Sejak kecil tidak pernah menyusahkan orang tua. Pinter masak, dan dia juga seorang kakak yang penyayang. Ngemong sama adik semata wayangnya. Meski adiknya baru duduk di bangku kelas empat SD, tapi saat bepergian dia tidak pernah malu mengajak adiknya selagi Radit mau.
Gendhis juga gadis yang pandai, sejak SD sampai sekarang, tidak pernah turun dari peringkat satu dan dua. Hal itulah yang membuat orang tuanya mau menyekolahkan Gendhis sampai SMA. Juga keluarga calon suaminya yang bersedia menikahkan putra mereka dengan Gendhis saat dia selesai kuliah nanti. Namun kedua orang tua lelaki itu mengajukan syarat bahwa pertunangan Gendhis dengan jodoh masa kecilnya harus dilaksanakan secepat mungkin. Permintaan itupun disetujui Gendhis dan keluarganya. Minggu depan, pasangan perjodohan itu akan melaksanakan pertunangan. Dan sepertinya pertunangan itu akan menjadi pertunangan termegah sepanjang sejarah di Desa Sekar Wangi.
*****
"Bu ne Lintang! Bu ne... Bu ne..." Lelaki paruh baya itu nampak mondar mandir mencari istrinya di ruang tengah.
"Iya, Pak ne... Ada apa?" Terdengar suara istrinya berjalan dari dapur menuju ruang tengah.
"Lintang kemana ya Bu ne?" Tanya Pak Argo panik.
"Tadi katanya mau nyuci mobil." Wanita itu seolah sudah terbiasa melihat kecemasan suaminya.
Sembari menyiapkan makanan di ruang tengah, Bu Parti menenangkan suaminya. "Tenang Pae, sebentar lagi juga pulang."
"Ini kan sudah sore Bu ne, sudah waktunya nganter sayuran. Nanti kemaleman, pedagang sayurnya keburu bubar." Ucap Pak Argo duduk di sofa ruang tengah, sambil sesekali melihat jam yang melingkar di tangan kirinya sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB. Waktunya turun ke Pasar Kaliangkrik mengantarkan hasil panen.
"Anak itu, nyuci mobil kan bisa di depan rumah. Sudah dekat, airnya banyak, juga hemat biaya. Cari alasan saja anak itu, biar bisa kluyuran!" Wajah Pak Argo mulai terlihat kesal.
"Tenang Pae, sebentar lagi juga pulang. Tadi pamit sama saya katanya sekalian mau nganter Gendhis untuk rental tugas apa gitu dari sekolah." Bu Parti mencoba cari pembelaan untuk anak bujang kesayangannya.
"Oalah... Sama Gendhis to. Ya sudah kalau begitu." Seolah terhipnotis mendengar nama Gendhis disebut, seketika kemarahan Pak Argo padam laksana api di siram air.
Entah kesalahan apa yang Lintang perbuat ketika nama Gendhis disebut semua kecemasan orang tua Lintang luluh sirna. Kebaikan dan kelembutan Gendhis seolah dapat memenangkan hati setiap orang.
Dari halaman, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah keluarga Mitro Dimejo, kakek buyut Lintang. Sosok yang cukup tersohor karena kekayaannya dan kedermawanannya. Hampir keseluruhan ladang Desa Sekar Wangi yang terletak di puncak Sumbing adalah milik mendiang keluarga Mitro Dimejo, dan yang sekarang mengurus adalah keturunannya. Kakek Lintang adalah putra tunggal sekaligus pewaris kekayaan tunggal. Dia memiliki dua anak laki-laki yaitu Pak Argo dan Pak Dhe Aryo, kakak kandung Pak Argo.
Pak Argo bergegas keluar rumah untuk memastikan bahwa anaknya benar-benar sudah pulang, dan kecemasannya pun hilang ketika melihat Lintang dan Gendis turun dari mobil pickup L300 keluaran terbaru. Mobil yang selalu digunakan Lintang dan Pak Argo untuk mengangkut sayur hasil panen ke pasar.
"Maaf, Pak Argo, jadi lama menunggu. Tadi Mas Lintang nganter Gendhis rental tugas dulu setelah nyuci mobil." Gendhis mendekati Pak Argo yang sedari tadi memang menunggu Lintang.
"Iya Nduk, ndak papa. Sudah selesai tugasnya?" Pak Argo menjawab seolah lupa bahwa dirinya sempat menggerutu menunggu Lintang tak kunjung pulang.
"Sudah, Pak Argo. Terimakasih karena jadi repot. Saya pamit pulang dulu." Ucap Gendhis berpamitan. Padahal rumah mereka hanya terpisah oleh halaman luas rumah Lintang, dan jalan utama yang menghubungkan dengan kampung-kampung di bawahnya. Namun tetap saja Gendhis selalu bersikap santun.
"Oh, ndak repot Nduk, kalau ada perlu atau tugas sekolah lain, minta saja Lintang untuk mengantar. Kalian kan sudah berjodoh, dan sebentar lagi mau bertunangan." Jawab Pak Argo.
Gadis berparas cantik dengan hijab warna abu-abu itu tersipu malu, seolah meng iya kan perkataan Pak Argo. Gendhis pun pergi meninggalkan halaman rumah nan luas itu.
"Lintang, bantu Bapak mengangkat tumpukan karung sayuran dari gudang ke mobil. Ini sudah sore, sebentar lagi pedang sayur di pasar segera pergi." Pinta Pak Argo sambil berjalan menuju gudang sayuran.
"Siap, Ndan!" Jawab Lintang sigap sambil tersenyum pada Sang ayah.
Keduanya lantas mengangkat puluhan karung yang berisi berbagai macam sayuran ke atas mobil.
Pak Argo hanya menggeleng-gelengkan kepala. Tidak heran dengan sikap anaknya yang seolah meledek tapi serius itu. Sudah sejak Lintang kecil ketika ditanya cita-cita pasti jawabnya "Ingin menjadi Pak Tentara.", jawab Lintang kecil yang saat itu masih berumur empat tahun. Ternyata sebegitu dalamnya cita-cita Lintang hingga saat ia dewasa, keinginannya menempuh pendidikan militer akan ia wujudkan seusai lulus dari SMA nanti.
Lintang sangat faham, kalau orang tuanya pasti tidak akan setuju dengan impian Lintang. Tapi dia berjanji akan mewujudkan impian itu walau harus melewati banyak rintangan menghadang. Toh dia baru masuk kelas XII SMA, masih cukup waktu untuk bisa meyakinkan hati keluarganya.
*****
Ayam jago berkokok bersahutan. Musim kemarau belum jua bergegas meninggalkan mereka. Membuat udara dingin semakin menyayat kulit saat menjelang waktu subuh. Disaat semua orang sedang terlelap di alam mimpi, menarik selimut rapat-rapat, Gendhis sudah sedari tadi terjaga. Melawan air yang dinginnya seperti salju, dibasuhnya wajah putih cantik itu lalu mengambil air wudhu.
Gendhis lalu menghampakan sajadah merah yang selalu dia gunakan untuk bersujud. Bagaimana tidak, sajadah itu sangat istimewa baginya. Dia ingat betul, sajadah itu diberikan Lintang padanya saat ulang tahun Gendhis yang ke tujuh belas. Bersama satu buah jam tangan cantik berwarna merah muda, yang selalu dibawa kemanapun dia pergi.
Tak henti-hentinya dia mengucap syukur atas karunia yang telah Allah berikan padanya. Dia dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang selalu menyayanginya. Dan Lintang, adalah satu-satunya yang membuat Gendhis selalu tersenyum karena cintanya. Cinta yang sederhana, tapi terasa istimewa. Meski awalnya dia tak pernah mengerti dengan keinginan orang dewasa tentang perjodohannya, namun seiring berjalannya waktu, Gendhis mulai mengerti arti keinginan orang tuanya. Perhatian Lintang, kebaikannya, membuat Gendhis menyadari bahwa dia telah jatuh cinta pada jodoh masa kecilnya itu. Bahkan dia tak ingat, kapan dia mulai mencintai Lintang. Yang ia tahu bahwa Lintang selalu menjaganya, melindunginya, bahkan sejak masih kecil mereka selalu bermain bersama dengan teman sebayanya.
Angannyapun menerawang jauh.
"Lintang... Lintang... tolong... Gendhis, Lin..." Nadia panik memanggil Lintang yang sedang asyik bermain layang-layang di lapangan.
Lintang berhenti sejenak, lalu bertanya "Gendhis kenapa Nad?"
"Gendhis jatuh dari sepeda." Jawab Nadia.
Tanpa pikir panjang, Lintang melepas layangan yang sedang terbang tinggi di angkasa.
Nadia membawa Lintang menemui Gendhis yang sedang menangis karena lutut dan sikunya terluka. Gadis kecil itu masih duduk di samping sepeda yang tergeletak di tanah.
"Sudah... sudah... jangan nangis." Lintang mencoba menenangkan Gendhis yang masih menangis.
"Ayo, kita bersihkan dulu lukamu, setelah itu aku akan mengantarkan mu pulang, agar orang tuamu tidak khawatir." Lintang membawa Gendhis ke tepi jalan.
Terdengar gemercik air sungai kecil yang bening laksana kristal di tepi jalan. Rumput liar dan panjang bergoyang-goyang di tepian sungai karena dahan yang seolah terbawa air. Dengan penuh hati-hati, Lintang membersihkan luka Gendhis.
"Aduh... sakit, pelan-pelan dong Lin." Gendhis terkejut saat dinginnya air sungai membasahi lukanya.
Nadia teman Gendhis itu hanya mengamati saja di samping Lintang, tanpa tahu harus berbuat apa. Dia sangat takut melihat darah. Wajar saja jika dia tampak panik.
"Iya... iya... ini juga udah pelan." Jawab Lintang sambil terus membersihkan luka Gendhis yang ada di siku kirinya.
Setelah lukanya bersih, Lintang membawa Gendhis pulang dengan menaiki sepeda onthel milik Gendhis. Lintang mengayuh sepeda dengan kuat dan Gendhis duduk di belakang membonceng. Dia tidak menyangka kalau anak laki-laki yang dulu menolong saat dia terluka waktu masih kecil, sebentar lagi akan menjadi tunangannya. Dia merasa sangat bahagia.
Gendhis baru menyadari kalau ternyata dirinya sudah dijodohkan dengan Lintang waktu usianya baru empat belas tahun. Saat itu dia masih SMP. Awalnya dia tidak pernah menganggap ini sebagai hal yang serius. Tapi beberapa minggu terakhir ini, Lintang seolah benar-benar telah mencuri hatinya. Perhatian Lintang, kebaikan Lintang, apalagi beberapa waktu lalu saat usia Gendhis genap berusia 17 tahun. Di hari ulang tahun Gendhis, Lintang menyatakan perasaannya. Bukan karena mereka telah dijodohkan sejak kecil, namun Lintang benar-benar mencintai Gendhis, seperti yang dia ucapkan.
"Gendhis... aku beneran suka sama kamu..." Lintang ungkapkan isi hatinya.
Gendhis sempat terkejut dengan ucapan Lintang lantas menggoda, "Lhoh, bukankah Mas Lintang sukanya sama Linda? Kenapa tiba-tiba bilang suka sama aku?" Gendhis tersenyum-senyum.
"Ya ampun Dis, itukan dulu waktu kita bertiga masih kecil baget. Kamu kan yang suka jodoh-jodohin aku sama Linda? Apaaa... Jangan-jangan waktu itu kamu yang diam-diam suka sama aku tapi malu ya mau ngomong? Makanya jodoh-jodohin aku sama Linda. Iya, kan?" Lintang balik menggoda Gendhis waktu itu sepulang sekolah di taman depan sekolah mereka.
"Ehhh... apaan sih, ya enggak lahhh..." Jawab Gendhis dengan rona memerah di pipinya.
Keduanya masih duduk di kursi taman sekolah sembari menunggu ekskul yang akan diikuti keduanya seusai jam sekolah.
Lintang adalah salah satu anggota tim basket terbaik di SMAN 1 Bandongan atau sering dikenal dengan nama SMANDONG. Tim tersebut sering menjuarai kompetisi olahraga basket antar sekolah di Kabupaten Magelang. Tak heran banyak gadis yang sebenarnya menaruh rasa padanya. Namun rupanya berita pertunangan Lintang dan Gendhis membuat para gadis-gadis itu menyerah sebelum bertanding.
"Kalau aku suka sama Linda, berarti harus siap-siap patah hati dong." Jelas Lintang sambil menikmati cup plastik yang berisi minuman dingin favoritnya cappucino.
"Lho, kenapa bisa Mas?" Tanya Gendhis.
"Kamu lupa ya, satu minggu setelah kita tunangan nanti kan Linda nikah..." Lintang heran kenapa Gendhis bisa lupa hari pernikahan teman dekatnya itu.
"Oh iya... kenapa aku bisa lupa hari pernikahan temanku sendiri Ya Allah..." Gendhis lantas terdiam sesaat.
Lintang melihat wajah gadis yang duduk di sampinya itu tiba-tiba memucat.
"Kamu kenapa Dis?" Tanya Lintang.
"Nggak, Mas. Aku cuma prihatin aja. Kita bertiga kan dulu deket banget. Main ke mana-mana bertiga, susah seneng bareng bertiga. Saat kita bertungan nanti, setelah itu Linda akan memulai hidup barunya." Jawab Gendhis terbata-bata.
"Lalu kenapa kamu sedih? Harusnya bahagia, temanmu mau nikah." Seolah Lintang tak tahu apa yang sedang dipikirkan Gendhis.
"Gimana aku mau bahagia mas. Linda itu masih se usia ku. Dia harus menikah saat seharusnya berada di sini bersama kita."
Gendhis diam sesaat lalu kembali berkata, "Dia sempet cerita sama aku beberapa waktu lalu di rumah, tentang perjodohannya itu, sebenarnya dia tidak menginginkan ini terjadi begitu cepat. Dia masih ingin bersekolah. Bahkan betapa sedihnya aku saat Linda berkata bahwa nasibnya tidak seberuntung diriku..."
Mata Gendhis berkaca-kaca.
"Dia berkata bahwa aku sangatlah beruntung karena dijodohkan dengan keluarga yang bisa memahami betapa pentingnya pendidikan. Bahkan mereka rela menunggu sampai aku lulus kuliah saat menikahkan kita nanti. Tapi Linda?" Lanjut perkataan Gendhis.
"Gendhis... seperti yang kita tahu, kita tidak bisa menentang perjodohan dari leluhur kita. Seperti itulah yang di rasakan Linda. Jadi, kamu jangan terlalu bersedih, lihat... kecantikanmu bisa luntur karena air matamu." Lintang menghibur seraya mengusap lembut air mata Gendhis dengan sapu tangan di sakunya.
Gendhis hanya tersenyum sembari mengusap air mata di pipinya dengan sapu tangan Lintang. Dalam hati ia berkata, saat ini dia hanya bisa menghapus air mata yang keluar karena kesedihan pernikahan dini yang dialami oleh sahabat dekatnya, tapi esok ia berjanji... akan menghapuskan perjodohan dan pernikahan dini yang ada di Desanya.
Lintang pun akhirnya mengerti betapa Gendhis sangat sedih dengan kondisi sahabatnya. Tapi dia tak bisa berbuat banyak, selain menghibur kekasihnya itu dengan menguatkannya.
"Thok... thok... thok..."
"Gendhis... Nduk... bangun sayang, sudah hampir subuh, Nak...."
Suara itu memecahkan lamunan Gendhis. Dia baru tersadar saat suara ibunya mengetuk pintu dan membangunkannya. Seketika bayangan masa kecil dan percakapannya dengan Lintang siang lalu pun sirna.
"Iya, Bu. Sebentar..." Gendhis bergegas membukakan pintu untuk ibunya yang tengah berdiri di depan pintu kamarnya. Dengan masih mengenakan mukena putih dengan bordir merah muda Gendhis membuka pintu.
"Lho, kamu sudah bangun to Nduk?" Tanya Bu Sari.
"Tadi Gendhis bangun terus sholat tahajjud, baru selesai beberapa waktu lalu tiba-tiba Ibu sudah di depan kamar Gendhis. Sampai Gendhis tak sempat lepas mukena." Jawab Gendhis.
Bu Sari tersenyum bahagia. Bersyukur dianugerahi putri seperti Gendhis. Selain, cantik dan pandai, Gendhis juga anak yang rajin sembahyang.
"Ya sudah, Bapak sama Ibu mau jamaah ke masjid dulu. Kamu mau ikut?" Tanya Bu Sari.
"Baik, Bu. Gendhis ambil sajadah dulu." Gendhis pun melipat lantas membawa sajadah merah yang diberikan Lintang saat ulang tahunnya beberapa waktu lalu. Dari semua hadiah yang pernah diberikan Lintang, Gendhis merasa inilah hadiah yang paling indah untuknya.
Dari kejauhan sayup terdengar suara adzan subuh. Lalu suara adzan masjid Kampung Merangi adalah yang paling keras. Pertanda bahwa waktu sholat subuh telah tiba.
Gendhis, Radit, Pak Ratno dan Bu Sari pun berjalan menuju masjid yang berada di pusat Kampung Merangi.
Ketika Bu Sari mengajak berjamaah je masjid, Gendhis lalu menyanggupinya. Karena seperti yang ia tahu, bahwa sebaik-baiknya wanita sholat itu adalah sholat berjamaah di rumahnya sendiri. Kecuali ditemani dengan mahramnya apabila hendak berjamaah di masjid. Seperti yang Gendhis lakukan saat ini.
Seusai mereka sholat subuh berjamaah di masjid, seperti halnya warga Kampung Merangi lainnya. Mereka minum teh sejenak dengan beberapa makanan pengganjal perut untuk menghangatkan tubuh. Setelah itu mereka pergi ke ladang. Anak-anak kecil bersekolah, dan para wanita sibuk dengan setumpuk pekerjaan rumah, mulai dari memasak, mencuci, bersih-bersih rumah, mengurus anak mereka, baru setelah itu selesai, mereka akan menyusul suaminya di ladang dengan membawakan bekal. Begitulah rutinitas warga Kampung Merangi setiap harinya. Tingkat pendidikan dan fasilitas nya pun masih sangat terbatas.
Bisa dibilang, saat itu Desa Sekar Wangi khususnya Kampung Merangi, masih tertinggal cukup jauh dengan desa-desa lain yang ada di bawahnya. Itulah alasannya mengapa Gendhis sangat ingin sekali mengubah tatanan masyarakat di sana. Terutama kesadarannya akan pendidikan dan perjodohan masa kecil. Karena menurut Gendhis perjodohan masa kecil itu sangatlah rentan. Baik dari sisi kesehatan, mental, juga rentan perceraian saat usia mereka menikah terlalu dini.
****
"Gendhis... Gendhis..." Terdengar suara Bu Sari memanggil anaknya dari luar rumah.
"Ya, Ibu... sebentar lagi ambil tas." Jawab Gendhis.
"Tunggu sebentar ya Nak Lintang, biar saya panggilkan Gendhis." Bu Sari meletakkan sapu lidi yang ia gunakan untuk menyapu halaman lalu memanggil putrinya.
Tapi Lintang mencegahnya, "Ee... eh... ndak usah Bu Sari. Saya tunggu saja, sebentar lagi juga keluar. " Ucap Lintang sambil duduk di atas motor honda CBR150R warna merah kesayangannya.
"Ibu, Gendhis berangkat sekolah dulu." Gendhis berpamitan dan mencium tangan Bu Sari.
"Ya, Nduk... Hati-hati..." Jawab Bu sari.
Keduanya pun berangkat ke sekolah dan pulang bersama. Begitulah setiap harinya.
Ketika dalam perjalanan ke sekolah, Lintang berkata, "Dis... eemmm, kamu bisa bantu aku nggak?"
"Bantu soal apa, Mas?" Tanya Gendhis.
"Kamu tahu kan, sejak kecil aku pengen banget jadi TNI? Menurut kamu gimana?" Lintang balik bertanya.
"Kalau aku, selagi itu baik untuk Mas Lintang dan keluarga Mas, aku pasti selalu dukung." Gendhis menjawab.
"Nah, itu masalahnya Dis, Ibu pasti nggak akan setuju. Apalagi Bapak." Lintang nampak putus asa sambil terus mengendarai motornya menuruni jalan sepanjang puncak Sumbing menuju sekolah mereka.
"Bapak itu pengennya, aku ngelanjutin usaha Bapak, ngurus lahan pertanian Bapak. Apalagi aku anak laki-laki satu-satunya dari keluarga Mitro Dimejo." Lanjut Lintang.
"Mas Lintang kan belum coba ngomong baik-baik, Pak Argo pasti bisa mengerti keinginan Mas Lintang." Saran Gendhis.
"Sudah, Dis..." Potong Lintang.
"Lalu?" Seolah berpura-pura tak tahu Gendhis bertanya.
"Sudah pasti lah Bapak nggak setuju." Jawab Lintang putus asa.
Keduanya pun terdiam sejenak.
"Dis... aku bisa minta tolon nggak?" Tanya Lintang.
"Aku bisa bantu apa Mas?" Gendhis balik bertanya.
"Kamu bisa kan, ngomong sama Bapak sama Ibu kalau setelah lulus sekolah nanti aku pengen daftar jadi TNI...?" Pinta Lintang.
"Aku, Mas?" Gendhis heran. Ucapan Lintang saja tak di setujui sama Pak Argo, apalagi dirinya.
Namun Lintang tahu, apapun yang diucapkan Gendhis pada orang tuanya, tidak akan mungkin bisa di tolak. Lintang paham betul, hati orang tuanya pasti akan luluh jika Gendhis yang memintakan izin untuknya.
"Tapi... apakah Pak Argo mau mendengarkan ucapan Gendhis?" Gendhis ragu.
"Bukan hanya mendengarkan, Dis. Mereka pasti akan menyetujuinya." Lintang meyakinkan.
Gendhis masih terdiam seolah berfikir tentang apa yang kekasihnya itu ucapkan.
Lintang tiba-tiba menghentikan laju motor nya di bawah pohon nan rindang di tepi jalan.
"Kenapa berhenti, Mas? Kita hampir terlambat sampai di sekolah." Gendhis masih tak mengerti.
Lintang berbalik badan menghadap Gendhis, memegang kedua tangannya, menatap matanya dalam-dalam dan berkata, "Please... bantu aku mewujudkan impianku, Dis... kamu bilang sama Bapak, kita akan menikah setelah aku lulus pendidikan militer nanti. Yaaaa..." Lintang memohon.
Gendhis pun tak bisa menolak permintaan kekasihnya itu.
"Baiklah, Mas... aku akan berusaha ngomong sama Pak Argo." Jawab Gendhis.
Lintang lega mendengar jawaban itu. Ia merasa, Gendhis lah satu-satunya harapan yang bisa membuka lebar jalan untuk Lintang mencapai harapan dan cita-citanya selama ini. Menjadi seorang anggota TNI, ya... itulah impian terbesarnya.
Motor yang mereka kendari pun kembali melaju menuju sekolah.
*****
Hari ini, sepulang sekolah. Seperti biasa Gendhis membantu ibunya menyelesaikan tugas di rumah.
"Nduk... Sudah makan?" Tanya Bu Sari pada putrinya.
"Sudah, Bu." Jawab Gendhis sembari mencuci piring.
Nampak Bu Sari sedang mengambil kayu bakar dari belakang rumah, lalu menatanya dalam mulut tungku yang terbuat dari tanah liat. Diambilnya korek api lalu ia nyalakan.
"Ibu mau masak apa? Biar Gendhis yang siapkan." Gadis itu menawarkan bantuan.
"Ndak usah, Nduk... Tadi Bu Parti kesini, katanya mau ngajak kamu pergi sama Lintang sama Pak Argo." Kata Bu Sari.
"Kemana, Bu?" Gendhis sedikit penasaran.
"Ibu nggak tahu kemana, tapi katanya mau ajak Gendhis cari perlengkapan untuk acara pertunangan nanti." Jawab Bu Sari sambil mengangkat panci berisi air ke atas tungku.
"Tunangan?" Dalam hatinya bergumam. Ia baru ingat kalau beberapa hari lagi adalah hari pertunangannya dengan sosok laki-laki yang selama ini sudah di pasangkan untuk menjadi jodohnya.
Ia merasa seperti baru kemarin bermain bersama dengan Lintang dan teman-teman masa kecilnya. Namun sebentar lagi, lelaki itu akan resmi menjadi tunangannya. Alangkah bahagia hatinya. Rona pipinya memerah, matanya berbinar-binar.
"Sudah, Nduk. Biar Ibu yang teruskan. Kamu siap-siap saja, sebentar lagi pasti Bu Parti datang." Bu Sari mengambil se ikat sawi putih yang hendak Gendhis cuci.
"Baik, Bu..." Gendhis menjawab dan berlalu meninggalkan ibunya.
Terlahir dari keluarga yang tergolong mampu, orang tua Gendhis selalu mengajarkan tentang kesederhanaan. Apalagi Bu Sari, meski sudah ada kompor gas di dapurnya, ia lebih sering memasak menggunakan tungku. Di samping lebih hemat karena kayu bakar di ladang melimpah, rasa makanannya pun akan lebih enak jika dimasak menggunakan tungku. Itulah jawab Bu Sari setiap kali Gendhis menyarankan ibunya memasak menggunakan kompor gas. Sesekali saja mereka gunakan gas itu untuk menghangatkan makanan, atau sekedar membuat makanan instan.
Seusai mandi, Gendhis segera mengenakan dress panjang berwarna merah marun bermotif bunga yang tidak terlalu banyak. Serasi dengan hijab phasmina warna merah muda. Make up yang cukup natural juga terkesan lembut itu membuat Gendhis terlihat lebih cantik dari hari biasa.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara Bu Parti memanggil dari balik pintu depan.
"Gendhis... Apa kamu sudah siap, Nduk?"
Gendhis dan Bu Sari membuka pintu.
"Iya, Bu Parti... Mari..." Dengan lembut Gendhis menyapa calon ibu mertuanya.
"Kamu cantik sekali, Nduk. Ayo berangkat. Takut nanti kemaleman." Ajak Bu Parti.
"Baik, Bu." Gendhis keluar rumah sembari mencium tangan ibunya lantas berpamitan.
"Gendhis pergi dulu, Bu. Assalamu'alaikum..."
"Waalaikumsalam... Hati-hati, Nduk." Bu Sari nampak bahagia melihat putrinya yang sebentar lagi akan resmi bertunangan dengan laki-laki pilihan kakek buyut Gendhis. Apa yang menjadi wasiat keluarga mereka akan segera terlaksana.
"Kami berangkat dulu, Bu Sari." Lanjut Bu Parti berpamitan.
"Ya, Bu... Hati-hati." Bu Sari tersenyum ramah.
Di halaman rumah, Lintang dan Pak Argo duduk menunggu Gendis juga Bu Sari dari dalam mobil pajero sport berwarna hitam. Gendhis dan Bu Parti berjalan menuju mobil. Lintang lalu menyalakan mesin mobilnya, bersiap menuruni sepanjang jalan puncak Sumbing menuju pusat perbelanjaan di Kota Magelang.
*****
Pertama kali dituju mobil pajero sport hitam itu adalah sebuah tempat yang berada di kawasan Nambangan. Tempat itu bernama "Dewi Mayang" sanggar rias pengantin ternama di Kota Magelang. Meskipun berasal dari perkampungan yang bisa dibilang jauh dari hingar bingar, tapi kalau soal selera, Lintang tak pernah salah pilih.
"Silakan, bisa dilihat dulu sampelnya Mas Lintang. Kami juga menawarkan paket dengan harga yang terjangkau dengan kualitas yang oke lho." Kata Mbak Dewi, pemilik sanggar rias sambil menyodorkan album foto wedding yang diambilnya dari lemari kaca.
"Bentar Mbak, kami lihat-lihat dulu." Jawab Lintang sambil membuka lembaran demi lembaran album foto.
Gendhis masih terperanjat melihat begitu banyak gaun pengantin terpampang dalam lemari kaca. Sangat mewah dan elegan.
Sambil duduk di ruang tamu, Pak Argo, Bu Parti, Lintang dan juga Gendhis melihat-lihat album foto tersebut.
"Silahkan sambil di minum, Pak... Bu..." Kata Mbak Dewi sembari menawarkan teh hangat yang baru diambilnya dari dapur, bersama beberapa kudapan.
"Ya, Mbak. Terimakasih, jadi merepotkan." Jawab Bu Parti sungkan.
"Oh, nggak repot kok, Bu. Sebentar saya ambil contoh paket wedding kami yang lain." Mbak Dewi pun beranjak pergi meninggalkan ruang tamu.
Gendhis berbisik pada Bu Parti.
"Bu... apa ini ndak terlalu mewah. Lagi pula kan Gendhis dan Mas Lintang baru mau tunangan. Apa ndak sebaiknya Gendhis dandan sendiri saja." Ucap Gendhis lirih.
"Gendhis... Ndak papa sayang. Lagi pula ini Lintang yang atur." Jawab Bu Parti.
"Gendhis... ini adalah rias pengantin terbaik di Kota Magelang. Kamu pilih saja mana yang kamu suka." Tambah Lintang.
"Atau kita cari tempat lain saja kalau Gendhis ndak suka, Lin... " Pak Argo yang sedari tadi diam ahirnya angkat bicara.
"Oh... ndak usah Pak Argo. Nanti biar Gendhis pilih." Dengan wajah sungkan, Gendhis pun menyetujui keinginan jodoh masa kecilnya itu.
Akhirnya mereka pun sepakat memilih warna nuansa hijau army untuk acara pertunangan nanti. Mulai dari gaun yang akan Gendhis pakai, hingga dekorasi pun dipenuhi dengan warna army kesukaan Lintang. Sudah menjadi rahasia umum, keinginan Lintang menjadi seorang prajurit TNI sanggup mempengaruhi segala sesuatu yang berhubungan dengan itu, termasuk pilihan warna dekorasi saat pertunangan nanti.
Tempat kedua yang mereka tuju berlokasi di Pecinan, deretan toko di sepanjang Jln. Pemuda yang berada di pusat Kota Magelang. Dari mulai toko sepatu, tas, beberapa stel pakaian, pernak pernik, hijab, perlengkapan mandi, perlengkapan make up, hingga ups... pakaian dalam, tak ada satupun yang terlewatkan. Termasuk seperangkat alat sholat juga buah-buah. Pak Argo, Bu Parti juga Lintang menyerahkan semua keputusan kepada Gendhis untuk memilihnya.
"Mau, tambah apa lagi nduk?" Tanya Bu Parti sambil membawa plastik berisi perlengkapan seserahan ke dalam bagasi mobilnya.
"Sudah, Bu. Ini sudah banyak banget. Rumah Gendhis ndak cukup nanti kalau ditambah lagi." Jawab Gendhis bercanda.
"Heeemmm... kamu bisa aja." Bu Parti tersenyum.
"Sekarang kita kemana lagi nyonya besar?" Canda Lintang pada Sang Ibu ketika mobil hitamnya keluar dari lajur parkir.
"Ke toko Mustika, Nang..." Jawab Bu Parti.
Setelah mobil berjalan beberapa menit, Lintang memarkirkan mobilnya kembali di depan sebuah toko perhiasan terlengkap di Kota Magelang, yang berada di dekat lampu merah jalan masuk menuju Pasar Rejowinangun.
"Ayo, Nduk. Turun dulu." Pak Argo yang duduk di bagian depan mobil bersama Lintang itupun membuka pintu mobilnya.
"Bukannya kita sudah membeli semua barang, Pak Argo?" Tanya Gendhis lugu.
"Lho... kita kan belum beli cincin tunangan, Nduk." Bu Parti pun segera mengajak gadis itu keluar dari dalam mobil.
Tak butuh waktu lama, mereka sudah bisa menemukan beberapa set perhiasan untuk Gendhis. Gelang, kalung, hingga sepasang cincin tunangan yang cantik dan elegan. Mereka tahu betul, jika disuruh pilih sendiri, gadis itu pasti lebih memilih untuk pulang dengan tangan kosong. Karenanya, Lintang dan Bu Parti lah yang memiliki andil paling besar dalam misi ini, selain Pak Argo yang jadi mesin ATM berjalan tentunya.
Hati Gendhis merasa bahagia. Dari semua barang yang dipilihkan untuk nya sore itu, cincin lah yang paling membuat hatinya sangat tersentuh. Cincin itulah yang akan menjadi simbol pengikat cinta mereka, hingga tiba waktu di pelaminan nanti.
Setelah lelah membeli perlengkapan seserahan, Lintang mengajak semua penumpang mobilnya melewati sepanjang jalan Gatot Subroto, Jurangombo Selatan, Magelang Selatan. Ketika melewati depan Akademi Militer, Lintang mengurangi kecepatan mobilnya, sambil melihat Gendis dari kaca sepion di langit-langit bagian depan mobilnya. Gendis tampak tersenyum dan mengangguk seraya mengerti isyarat jodoh masa kecilnya itu. Lintang menghentikan mobilnya di dekat pintu masuk yang bertuliskan "AKADEMI MILITER".
"Kenapa berhenti, Nang?" Tanya Bu Parti sembari menengok ke kanan dan ke kiri.
Lintang gugup, sambil meletakkan kedua tangannya di atas stir mobil yang sudah terhenti. Lintang lalu membalikkan badannya ke bagian belakang mobil di mana kekasihnya duduk bersama ibunya.
"Ada apa, Lintang? Kenapa berhenti di sini?" Bu Parti masih tak mengerti.
"Bu Parti, Pak Argo... presiden Indonesia yang ke -6 dulu pernah menempuh pendidikan di sini lho..." Kata Gendis basa basi membuka percakapan.
"Lalu, apa kita sekarang mau mengunjungi Pak Presiden maksudnya?" Bu Parti masih belum dapat membaca fikiran anak bujangnya. Tapi tentu tidak dengan Pak Argo.
"Bukan seperti itu maksud Gendis, Ibu..." Jelas Lintang.
"Lalu?" Bu Parti bingung.
"Bu Parti, Pak Argo... Kalau Bapak dan Ibu merestui, mengizinkan... setelah lulus SMA nanti, Mas Lintang mau melanjutkan pendidikannya di sini." Gendis coba menjelaskan.
"Sudah Bapak duga..." Pak Argo pun angkat bicara.
Seisi mobil hanya terdiam seolah tahu jawaban dari laki-laki yang berpendirian kuat itu.
"Kalau kamu mau melanjutkan ke sini, silakan! Bapak boleh-boleh saja. Tapi jangan harap Bapak mau biayai sekolah kamu!" Pak Argo mulai naik darah.
"Eh... Bapak kok ngomongnya kayak gitu..." Bu Parti mencoba menenangkan suaminya.
"Lintang... siapa yang akan meneruskan usaha Bapak? Yang mengurus ladang Bapak? Kamu sebagai anak laki-laki satunya keturunan keluarga Mitro Dimejo harusnya sudah tahu ini." Lanjut Pak Argo.
"Tapi, Pak..." Lintang mencoba menjelaskan namun Pak Argo menghentikan.
"Lintang, dari awal Bapak tetap nggak setuju. Lagi pula, keluarga kita sudah cukup uang. Bahkan hasil ladang kita melimpah tak kan habis walau untuk anak cucumu nanti. Jadi, buat apa kamu harus sekolah di sini."
"Tapi, bukan soal uang, Pak. Ini adalah impian Lintang, cita-cita Lintang sejak kecil." Ucap Lintang.
Perdebatan keduanya pun semakin memanas.
"Bapak tahu...!" Tegas Pak Argo.
"Lalu, kenapa Bapak masih ndak setuju?" Bantah Lintang.
"Sekali tidak, tetap tidak. Dan Bapak tidak ingin bahas masalah ini lagi." Nampak kecemasan dari gurat alis mata Pak Argo yang tak dapat ia ungkap pada sesiapa.
Ia teringat masa kecilnya di mana dia selalu bermain dengan saudara laki-lakinya. Sebenarnya Pak Argo punya dua orang saudara kandung, Pak Dhe Aryo dan Pak Dhe Anto. Saat usia Pak Argo berumur tujuh tahun, ia tidak begitu ingat betul kapan kakak sulungnya menempuh pendidikan militer. Yang ia ingat, dia sangat senang melihat kakaknya jadi seorang prajurit TNI.
Hingga pada ahirnya Pak Dhe Anto di tugaskan ke sebuah pulau terpencil yang sedang bersengketa dan genjatan senjata disertai pemberontakan. Belum genap setahun kebahagiaan keluarga Mitro Dimejo, tiba-tiba kebahagiaan itu terenggut dengan duka yang amat mendalam. Pak Dhe Anto menjadi salah satu korban yang tewas dalam insiden itu. Itulah alasan terbesar Pak Argo melarang anaknya menjadi seorang prajurit.
"Sudahlah, Nang. Kamu turuti saja apa kata Bapak. Lagi pula setelah Gendis lulus SMA nanti kan kalian akan segera menikah." Bu Parti mencoba mendinginkan suasana yang sedang memanas dalam mobil itu.
Mendengar kata "menikah" Gendis tersentak, bahagia sekaligus khawatir bahwa cita-citanya menjadi seorang guru akan terpupus.
"Ibu... kita kan sudah bahas masalah ini, kalau setelah lulus SMA Gendis mau kuliah dulu." Kata Lintang.
"Kuliah sambil nikah kan bisa, Nang..." Tambah Bu Parti.
Gendis yang sedari tadi diam mengamati percakapan Lintang dengan orang tuanya itupun akhirnya angkat bicara.
"Bapak, Ibu... maaf kalau Gendis ikut campur. Tapi, apa tidak sebaiknya Pak Argo memberi Mas Lihat kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya di sini?"
Lintang seolah mendapat angin sejuk mendengar ucapan Gendis.
"Nak, bukannya Bapak ndak seruju. Bapak cuma..." Belum selesai Pak Argo bicara, Gendis memotong dengan ucapan lembutnya.
"Cuma Pak Argo khawatir?" Tanya Gendis.
Pak Argo terdiam seolah meng iya kan jawaban calon menantu kesayangannya itu.
"Entah apa yang Pak Argo fikir dan takutkan tentang Mas Lintang, tapi percayalah... Mas Lintang akan berusaha sebaik mungkin dalam pendidikannya. Tanpa harus mengabaikan apa yang menjadi tanggung jawab Mas Lintang pada keluarganya." Gendis mencoba membujuk.
Pak Argo masih terdiam.
"Dan soal pernikahan kami... kami bisa menundanya sampai Mas Lintang selesai masa pendidikannya. Dan kami akan berusaha sebaik mungkin menjaga apa yang telah Pak Argo dan Bu Parti amanahkan kepada kami." Lanjut Gendis.
Bu Parti menganggukkan kepala, tersenyum haru, sambil memegang jemari gadis yang duduk di samping kirinya itu. Tiada yang paling mengerti keinginan seorang anak kecuali ibunya.
"Baiklah... kalau memang itu sudah menjadi keputusan kalian. Bapak hanya bisa mendoakan yang terbaik." Ahirnya Pak Argo luluh mendengar ucapan Gendis malam itu.
"Alhamdulillah... Terimakasih banyak Bapak. Lintang janji akan belajar dengan sungguh-sungguh agar tidak mengecewakan kalian." Lintang berkata sambil mencium tangan ayahnya.
"Simpan saja terimakasih mu itu untuk Gendis. Sudah ayo cepat kita makan malam terus pulang. Ndak enak sama Pak Ratno dan Bu Sari kalau pulang terlalu larut." Ucap Pak Argo.
Lintang tersenyum, menatap wajah kekasihnya itu dengan penuh haru, syukur, bahagia juga bangga memiliki calon pasangan hidup sebaik Gendis.
Tujuan terakhir perjalanan malam itu adalah rumah makan "Bu Tatik" yang ada di kawasan Mertoyudan. Rumah makan yang populer dengan menu ayam goreng ini cukup familiar di Magelang. Waktu sudah semakin larut, mereka lantas bergegas pulang menuju puncak Sumbing. Udara dingin menghempas tubuh, kabut malam semakin tebal dan jarak pandang pun semakin dekat. Dengan penuh hati-hati Lintang mengemudikan mobilnya sampai di rumah mereka.
*****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!