Keesokan harinya, pada sabtu pagi, ponsel Mira berdering. Bukan karena panggilan telepon dari kekasih hati seperti pada waktu - waktu yang lalu, tetapi kali ini berdering karena alarm yang sudah di set pukul 08:00. Mira terjaga hanya setengah malam, setengahnya lagi dihabiskan untuk menangis. Akibatnya kini wajah wanita itu kusam dengan mata yang bengkak.
Mira mengambil ponselnya di samping ranjang, mengerjapkan mata lalu mematikan alarm. Meski masih dalam suasana hati yang tidak baik, ia tetap bangun dan segera bersiap - siap. Pagi ini ia harus menemani Lisa sahabat baiknya ke butik karena besok wanita itu akan menikah dengan CEO Star Group, yang tidak lain adalah bosnya sendiri.
Ketika berada didepan pintu rumah Lisa. Mira menekan bel beberapa kali. Beberapa menit kemudian, pintu terbuka dan bi Ima mempersilahkan Mira masuk. "Selamat pagi, bi." sapa Mira dengan senyum lembut. Suasana hatinya memang tidak bahagia. Namun, sebisa mungkin Mira berusaha menyunggingkan senyum yang lembut.
"Selamat pagi, non Mira. Mari masuk." ucap bi Ima ramah. "Silahkan masuk."
Kehadiran Mira di rumah ini selalu disambut baik oleh keluarga Lisa. Bahkan kedua orang tua Lisa sudah menganggap Mira sebagai anak mereka karena hubungan persahabatan Lisa dan Mira yang baik.
"Dimana Lisa, bi ?" tanya Mira.
"Non Lisa ada di kamarnya. Langsung saja kesana. Non Lisa sudah menunggu." jawab bi Ima.
"Baik bi. Lalu, dimana bunda Yola, bi ?"
"Nyonya ada di dapur, sementara menyiapkan sarapan."
"Kalau begitu, aku ke dapur dulu."
"Iya Non, mari bibi antar."
Masih dari ambang pintu kayu yang memisahkan ruang tamu dari dapur, Mira sudah mengeluarkan suaranya. "Selamat pagi," sapa Mira. "Bunda sedang memasak apa ? Sepertinya enak."
Yola menoleh ke samping mencari asal suara. "Eh, ada Mira. Bunda lagi masak ayam balado buat sarapan." kata Yola.
"Bagaimana kalau aku bantu ?" Mira menawarkan diri untuk membantu.
Yola tersenyum lalu berkata, "Tidak perlu. Ini sudah hampir selesai. Lebih baik kamu ke kamar dan memanggil Lisa agar kita bisa sarapan bersama - sama."
"Baiklah kalau begitu. Aku ke atas dulu ya." pamit Mira.
Mira pun segera berjalan menuju kamar Lisa di lantai dua. Rumah sahabatnya itu termasuk rumah yang mewah. Selain rumah bertingkat, terdapat taman bunga yang indah berukuran mini dan kolam renang di belakang rumah.
Sejak kuliah, Mira dan Lisa sudah berteman baik. Status sosial kedua wanita itu memang berbeda. Mira terlahir dari keluarga yang biasa - biasa saja sedangkan Lisa lahir dari keluarga yang kaya. Tetapi mereka sama sekali tidak pernah memandang status sosial ketika menjalin persahabatan. Mereka sama- sama menyadari dan menerima kelebihan dan kekurangan masing - masing sehingga mereka boleh saling melengkapi.
"Hai," sapa Mira lembut ketika ia membuka pintu kamar Lisa. Sekali lagi ia berusaha menutupi kesedihan hatinya dengan menampilkan ekspresi wajah cerah yang bahagia.
"Hai juga, " balas Lisa tanpa menoleh. Dia tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa yang datang sebab ia tahu bahwa wanita itu adalah Mira sahabatnya nya. Itu sebabnya Lisa hanya sibuk memandangi wajahnya di depan cermin meja rias.
"Bagaimana perasaanmu ? Apa kau baik ?" tanya Mira ketika berjalan ke arah Lisa.
Tanpa mengalihkan pandangannya Lisa berkata, "Entahlah. Aku tidak tahu apakah aku harus bahagia atau bersedih." jawab Lisa malas.
"Jangan berkata seperti itu. Tentu saja kau harus bahagia."
Lisa bangkit dari duduknya menunjukan kalau ia ragu. "Bagaimana aku bisa bahagia jika aku harus menikah dengan seorang yang tidak aku cintai?"
"Itu bukan masalah, menurutku. Seiring berjalan waktu, kau bisa belajar bagaimana mencintai pria itu. Yang terpenting disini adalah dia sudah mencintaimu." kata Mira mencoba memberi keyakinan pada Lisa.
Ketika Lisa berbalik, ia sedikit terkejut melihat wajah Mira. "Ada apa dengan wajahmu itu ?" tanya Lisa heran. "Mengapa matamu bengkak? Apa semalam kau menangis ?" Rasa penasaran tiba-tiba melanda Lisa.
"Ini, bukan apa - apa. Nanti saja aku menceritakannya padamu." Mira menjawab pertanyaan Lisa dengan nada suara santai yang susah payah diusahakannya.
Tidak setuju dengan jawaban sahabatnya itu, Lisa berkata lagi, "Ceritakan saja sekarang. Kenapa harus menunggu nanti ?"
"Kita tidak punya banyak waktu sekarang," kata Mira. "Bunda sudah menunggu kita dibawah. Ayo turun." ajaknya sambil menggandeng tangan Lisa.
"Tapi aku ingin tahu apa yang terjadi padamu."
"Aku akan menceritakannya setelah pesta pernikahanmu selesai."
" Itu terlalu lama." Lisa cemberut.
"Tentu saja tidak. Pernikahanmu besok sayang, jadi aku akan menceritakannya besok atau lusa. Sekarang ayo kita turun."
Tanpa bisa berdebat lagi, Lisa pun segera mengikuti Mira yang sudah berjalan ke arah tangga.
Saat Mira dan Lisa turun, ayah dan bunda Lisa sudah menunggu di meja makan. Semuanya menikmati sarapan tanpa banyak bicara. Atau lebih tepatnya, hanya kedua orang tua Lisa yang berbicara, memberi nasihat dan wejangan untuk Lisa dan juga Mira.
Usai menyelesaikan sarapan, Bunda Yola, Lisa dan Mira bergegas menuju butik langganan calon mertua Lisa. Mereka sepakat bertemu dengan calon ibu mertua Lisa disana. Jangan tanyakan dimana calon suami Lisa. Karena kesibukannya, sehari sebelum pernikahannya pria itu bahkan masih berada di luar kota mengurus pekerjaannya.
Mira memandang perihatin pada Lisa saat wanita itu mengenakan gaun pengantin. Seharusnya dia tersenyum bahagia disaat seperti ini. Namun, senyuman sahabatnya itu seperti dipaksakan.
Mira tahu masalah Lisa. Ia tahu bahwa Lisa tidak bahagia dengan pernikahan ini. Setidaknya untuk sekarang. Pernikahannya memang terlalu mendadak dan terkesan terburu - buru. Bukan karena dia telah hamil, tetapi hanya karena Arifin Rahardian begitu mencintai Lisa. Itulah yang ia tahu.
Mira dan Lisa sudah bersahabat selama hampir sembilan tahun. Sejauh ini mereka memiliki impian yang sama tentang pernikahan. Mereka menginginkan pernikahan yang indah, dimana mereka menikahi pria yang mereka cintai dan yang mencintai mereka. Ironis, sungguh, bahwa keduanya tidak benar - benar mendapatkan keinginan mereka.
***
Sementara itu, Geroge Goldsmith dan Steve Challen baru saja tiba di Indonesia pada sabtu sore. Keduanya langsung menuju hotel yang terlebih dahulu sudah di pesan Steve. Presidential Suite menjadi pilihan Steve untuk George Goldsmith bosnya.
Harga bukanlah masalah bagi seorang kaya raya seperti George. Yang terpenting adalah kenyamanan saat tinggal di hotel. Setidaknya pria itu bisa melepaskan stress nya dengan berbagai fasilitas yang disediakan hotel.
"Kapan jadwal bertemu dengan tuan Rahadian ?" tanya George selagi berada di lobi hotel.
"Pada hari senin, tuan. Kita akan makan siang bersama dengan tuan Rahardian di restoran hotel ini." urai Steve.
"Baiklah, kalau begitu sampai jumpa hari senin. Aku mau beristirahat, tolong jangan ganggu aku."
"Baik tuan, saya mengerti."
Beberapa menit kemudian.
Seseorang menekan bell kamar nomor 2027. Penghuni kamar itu menggerutu, "Sial, sudah ku katakan jangan menggangguku."
Seseorang di luar sana masih betah menekan bell berulang kali.
"Siapa?" tanya si penghuni.
Tidak ada jawaban.
Si penghuni kamar menggerutu. Namun, ia tetap berjalan ke ara pintu dan membukanya.
Di balik pintu, tampaklah seorang wanita cantik yang berpakaian seksi dengan sepatu berhak tinggi. Ia berdiri menyilangkan kakinya lalu menyugingkan senyum menggodanya.
"Halo, tuan. Saya disini untuk melayani anda."
.
.
.
.
.
.
.
Halo Kakak - kakak,
terima kasih sudah meluangkan waktu membaca novel saya ini.
Jangan lupa tinggalkan jejaknya 😊
Tekan tombol like, berikan komentar serta VOTE nya ya.
Terima kasih...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
kk del~
lanjut aq dah tambahkan ke dftar favku ka christ 😄😄
2020-06-20
2
aunty enyol_27
hotelnya ngiler gue Thor...
2020-05-15
1
Miels Ku
kamarnya mewah
2020-05-07
2