Sungguh perjuangan hidupku begitu berat, berawal dari kecerobohanku waktu muda dulu, aku yang terlena dibuai rayuan Subroto akhirnya harus berujung pada kehamilan anak pertamaku Bunga.
Orang tuaku mengusirku karena aku hanya menjadi aib dikeluargaku, sementara Subroto kabur setelah menikahiku dia merasa masih terlalu muda untuk terikat sebuah tali pernikahan. Dia masih ingin lepas dan hidup bebas.
"Aku sudah menikahimu, supaya kamu tidak malu, selanjutnya aku tidak mau bertanggung jawab padamu, hidupku masih panjang kamu harusnya hati-hati jangan sampai hamil ini adalah hasil kecerobohanmu sendiri,"
Masih kuingat kata-kata terakhir Subroto sebelum pergi meninggalkanku. Sakit sekali hatiku saat itu, sudah berbagai cara kulakukan agar bisa menggugurkan janin di rahimku, tapi tidak bisa dia begitu kuat dan memang ingin dilahirkan menjadi anakku.
Bahkan aku pernah sampai pingsan waktu itu setelah ku minum jamu peluruh kandungan, aku pingsan di jalan dan ditemukan oleh bi Ijah.
Kebencianku pada Subroto sudah sangat mendarah daging. Itulah sebabnya saat Bunga bertanya tentang ayahnya selalu kubilang kalau ayahnya sudah lama mati, sejak dia belum dilahirkan ke dunia.
Awal aku bertemu bi Ijah hingga dia sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. Aku waktu itu pingsan di pinggir jalan, bi Ijah menolongku dan membawaku pulang kerumahnya.
Dia merawatku seperti anaknya sendiri, bi Ijah hidup sendirian karna suaminya pergi meninggalkannya. Bi Ijah menampungku dan merawatku dengan iklas.
Aku membantu bi Ijah berjualan di pasar sampai Bunga lahir. Setelah bunga lahir kumulai dunia kelamku, toh sudah kepalang tanggung dosaku.
Usia tiga bulan Bunga kutinggalkan bersama bi Ijah, tapi aku pulang seminggu sekali untuk menengok anakku. Bukan aku tak sayang tapi semua demi masa depan kami berdua.
Bi Ijah berhenti berjualan di pasar, dia fokus mengurus anakku Bunga, kasih sayangnya padaku membuatku yakin meninggalkan Bunga bersamanya. Tentunya aku juga memenuhi kebutuhan bi Ijah.
Nasibku kala itu juga sedang bagus, baru sebulan aku bekerja di tempat karaoke plus-plus sudah ada pengusaha yang menggilaiku. Aku tak mau membuang waktu dan menyia-nyiakan kesempatan.
"Aku tidak mau kamu melayani orang lain selain aku ya Rasti," kata mas Firman suatu waktu saat selesai indehoi denganku.
"Mas aku butuh duit banyak, dan ini adalah pekerjaanku, kalau cuma melayani kamu saja mana bisa aku cepat punya rumah," jawabku.
"Kamu pingin punya rumah?"
"Iya Mas, Mas tau sendirikan cerita hidupku, aku ingin punya rumah pingin punya usaha, aku juga tidak mau bekerja seperti ini terus menerus,"
"Bagaimana kalau aku belikan kamu rumah, apa kamu mau berhenti?" tanyanya lagi.
"Tentu saja aku mau, tapi bagaimana statusku nanti Mas?" aku ingin tahu apa arti diriku untuk mas Firman.
"Ya kita seperti ini saja, tanpa ikatan karna aku sudah berkeluarga yang penting aku cukupin segala kebutuhanmu,"
"Mmmm bolehkah aku berfikir dulu," kataku.
"Tentu saja, tapi jangan buat aku kecewa ya Sayang," bisiknya.
Tawaran mas Firman tak akan aku sia-siakan, tapi karena dia cuma menjadikanku simpanan, aku juga harus pintar sekedar jaga-jaga kalau dia tiba-tiba merasa bosan denganku rumah itu tetap akan menjadi milikku.
************
Saat berkunjung ke rumah bi Ijah aku ceritakan soal Firman, bi Ijah sudah kuanggap ibuku dia juga harus tahu setiap langkahku.
"Bik, bagusnya bagaimana ya soal Firman," tanyaku pada bik Ijah.
"Berhati-hatilah karna Firman beristri, aku takut suatu saat istri Firman curiga dan mengetahui hubungan kalian,"
"Aku tahu Bik, oh ya Bik sebelah kan ada tanah kosong coba Bibik cari informasi, aku suka tinggal disini Bik, biar kita selalu bersama. Aku juga gak akan biarkan Firman tau atau mengajaknya kesini, cukup dia tau tempat tinggalku yang dikota."
"Baiklah nanti Bibik coba tanyakan, ini tanah pak Haji Marbun memang sepertinya sudah lama tanah ini gak terurus,"
Entah memang nasibku yang sedang baik, atau memang rejekinya si Bunga, tanah sebelah rumah bi Ijah dengan mudah bisa kubeli.
Firman juga gak banyak bertanya aku beli rumah dimana, dia taunya aku sedang merenovasi rumah ibuku. Dan ibuku tidak tau tentang pekerjaanku.
Hingga saat yang ku khawatirkan tiba, suatu hari istri Firman curiga dan mengikuti suaminya saat menemuiku di kontrakanku. Mereka ribut besar dan aku berhasil kabur lewat pintu belakang, sehingga istri Firman tidak sempat melihat wajahku.
Aku langsung pulang ke rumahku, hasil dari pemberian Firman selama bersamaku. Aku suruh beberapa orang untuk mengangkat barang-barangku dari kontrakan esok harinya.
Sejak itu aku tak bertemu dengan Firman lagi, aku memulai buka usaha warung di rumah baruku. Bi Ijah kuajak tinggal di rumahku tapi dia tidak mau, karna rumah kami juga masih bersebelahan.
"Bik tinggalah di rumah ini denganku, toh aku cuma berdua dengan Bunga," ajakku pada bik Ijah.
"Halah kayak rumahmu jauh saja, kan kita sebelahan juga Neng. Kalau ada apa-apa bibik tinggal loncat," ucap bi Ijah.
Mungkin ada kenangan tersendiri di rumahnya sehingga dia enggan untuk meninggalkan rumahnya.
Warungku lumayan rame, saat itu banyak sekali laki-laki yang datang sekedar makan, atau nongkrong minum kopi, kadang juga berusaha menggodaku.
Bi Ijah membantuku setiap hari, menjaga Bunga dan mencuci piring kotor serta mengemas rumahku. Untuk masak aku bisa melakukannya sendiri.
Dengan modal sedikit agak genit, pelangganku lumayan rame. Tapi aku punya prinsip tidak mau menggoda warga sekitar sini, walaupun ada juga yang mencoba merayuku.
Aku lebih memilih orang dari luar kota karna aku mau tinggal dengan tenang disini. Aku mecari lelaki yang seperti Firman, mencukupiku tapi tidak menuntut menikahiku. Aku tidak mau Bunga punya adik lagi.
Melihat Bunga tumbuh semakin besar dan lucu membuatku merasa sangat bahagia. Seandainya keluargaku melihatnya mungkin hatinya bisa luluh dan mau memaafkanku.
"Bunga besok kita main kerumah nenek sama kakek ya, Bunga mau?"
Saat itu Bunga masih berusia empat tahun. Gadis mungilku sangat bahagia saat ku ajak kerumah nenek dan kakeknya.
Tapi ternyata jangankan mau menggendong bunga, ibu malah menghinaku mengatai Bunga anak haram dan pembawa sial.
Dulu aku diusir dan dihina aku diam saja, tapi saat Bunga anakku dihina darahku langsung mendidih. Aku maki-maki kedua orang tuaku, aku tidak perduli dicap sebagai anak durhaka dan pendosa.
Mereka menghina Bungaku yang tidak tahu apa-apa. Bunga menangis melihatku saling memaki dengan orang tuaku. Segera kubawa pergi anakku dan bersumpah tidak akan menginjakkan kakiku di rumah itu lagi. Mereka sudah kuanggap mati untukku dan Bunga.
Aku sudah punya bik Ijah yang selalu menerimaku apa adanya. Aku menangis di pelukannya menceritakan sakitnya hatiku dengan sikap kedua orang tuaku.
Biarlah mereka membuangku, aku sudah punya orang tua baru. Bi Ijahlah orang tuaku sekarang. Kemanapun aku pergi kelak dia akan bersamaku.
Aku berjanji dalam hati akan merawatnya hingga tua nanti, Bi Ijah merindukan keluarga dan akupun juga sama. Biarlah kami saling melengkapi satu sama lain.
"Sabar Neng, suatu hari orang tuamu pasti kebuka hatinya," ucap bi Ijah sambil membelai rambutku.
"Tidak Bik, aku tidak akan mengemis maaf lagi pada mereka. Buatku semuanya sudah mati," sungutku penuh amarah.
***************
Note : kalau suka dengan cerita ini jangan lupa like dan komen ya. Trimakasih sudah membaca.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Neng Euis
Lanjut terus up kak 🤗..
Yuk kita saling Boom Like+ rate 5
Mampir cerita aku...
" Hello seoul"
2020-04-22
1