Sejak kejadian itu Rasti benar-benar terpuruk, dia bahkan mengalami baby blues setelah melahirkan. Untung ada bi Ijah yang membantu entah apa yang terjadi jika tak ada wanita itu.
Bi Ijah sering membantu di rumah Rasti, karena rumah mereka bersebelahan. Wanita tua itu sudah seperti keluarga sendiri.
Rasti sebenarnya berhati baik, dia juga ramah dengan orang lain. Hanya kepada Bunga dan anak-anaknya saja dia bersikap garang.
Dia juga mempunyai pribadi yang menyenangkan, banyak sekali laki-laki yang menyukai, dan tergila-gila padanya, bahkan tak jarang banyak wanita yang cemburu kepadanya.
Suatu hari seorang wanita datang melabrak ke rumah karena takut suaminya tergoda dengan Rasti.
"Heh, kamu jangan kegenitan, ya. Dirman itu suamiku!" maki wanita pada Rasti.
"Aku tidak pernah menggoda suamimu!" balas Rasti tak kalah ketus.
Bunga yang mendengar pertengkaran itu, hanya berani mengintip dari balik pintu. Dia takut ibunya dianiaya oleh wanita itu.
"Bi, aku mau pergi ke Malaysia," ucap Rasti pada bi Ijah.
"Kenapa Ibu mau pergi, bagaimana dengan kami?"
Mendengar itu Bunga tak setuju, hatinya pedih membayangkan ditinggal pergi oleh ibunya.
"Bunga, kamu sudah besar bisa menjaga diri, ada bi Ijah yang akan menjagamu. Kamu juga harus bantu bi Ijah menjaga adikmu."
"Bi, lanjutkan warung ku, sayang kalau tutup, bisa buat makan anak-anak selama aku belum bisa kirim duit buat kalian.
"Iya Neng, anak-anak sudah kuanggap seperti anak sendiri. Kamu jaga diri, ya, Neng selama di sana," nasehat wanita tua itu.
Bi Ijah sangat menyayangi anak-anak Rasti, karena dia tidak mempunyai anak. Dulu anaknya meninggal saat masih bayi.
"Iya, Bi. Ini hartaku satu-satunya, aku tak mau anakku terlantar, sebisa mungkin akan kutebus dari bank. Bibi keluargaku satu-satunya disini."
Wanita yang biasa tegar itu menangis memeluk bi Ijah, tak pernah dia sesedih itu. Bunga berlari ke kamar tak sanggup melihat semua itu, dia tak mau menangis di depan mereka.
***
Hari itu pun tiba, Rasti akan berangkat ke Malaysia menjadi TKW. Sebelum pergi dia mendekati Bunga lalu memeluknya, seumur-umur tak pernah ia memeluk putrinya seperti itu.
Bunga merasa hangat di pelukan sang ibu, ia berjanji saat besar nanti akan menggantikan beban ibunya, membahagiakan keluarga.
"Jaga adik-adikmu, tetap lah sekolah jangan sampai berhenti," pesan Ratih pada Bunga.
Bunga mengangguk, menahan air mata yang mulai menganak sungai hampir jatuh di sudut mata.
"Ibu hati-hati, ya, di sana. Kami sayang Ibu."
Adik-adik Bunga mulai merengek, mereka sadar akan ditinggal pergi. Bunga memeluk Gendis, dan Anggun mereka menangis, sedangkan Delima digendong bi Ijah.
Setelah mengusap kepala anak-anaknya, Rasti berangkat tanpa menoleh lagi. Hati wanita itu sangat sedih.
Pergilah, Bu. Raih lah impianmu, aku mendoakan di sini, batin Bunga menangis pedih.
"Kak Ibu ... Ibu ... pergi!!" Anggun menangis diikuti Gendis yang juga menangis.
"Cup... cup..., Ibu ke pasar beli baju buat kita. Kakak punya permen kaki, kalian mau?"
Bunga membujuk adiknya agar tidak menangis, mendengar permen kaki wajah Gendis dan Anggun langsung ceria, mereka sangat menyukai permen berwarna merah dengan bentuk seperti kaki itu.
"Bunga, Bibi mau menidurkan Delima dulu, setelah ini kita buka warung. Sayang kalau tutup, uangnya bisa buat jajan kalian."
"Iya, Bi. Aku ajak adik makan dulu, tadi Bunga sudah masakin mereka."
Hari ini Bunga sengaja bolos sekolah, demi melihat ibunya berangkat ke Malaysia. Setelah memberi makan Anggun dan Gendis, ia memberi mereka permen sesuai janjinya.
Adik-adik Bunga anak yang penurut, mereka sangat patuh pada Bunga. Walau kakaknya sekolah bi Ijah juga gak terlalu kewalahan, yang penting mereka sudah kenyang, dan diberi mainan mereka akan main sendiri sampai tertidur. Hanya Delima yang masih butuh perhatian khusus karena dia masih sangat kecil.
***
"Bi, Bunga berangkat sekolah. Ada barang yang habis, Bi, nanti pulang sekolah Bunga sekalian belanja?"
"Sudah Bibi catat. Kamu sudah sarapan?" Bi Ijah menyodorkan kertas berisi daftar belanjaan.
"Sudah, Bibi juga makan, ya, Tadi Bunga bikin dadar telur, adik-adik juga sudah sarapan, titip mereka, ya, Bi!"
"Kamu nggak usah khawatir, belajar lah dengan tenang ada Bibi di sini menjaga mereka."
Bunga berangkat sekolah meninggalkan adik-adiknya bersama bi Ijah. Sejak Rasti berangkat bi Ijah tidur di rumah Bunga. Rumah petak miliknya ia sewakan, dari pada nggak ada yang nempati.
Bi Ijah hidup sebatang kara, suaminya pergi meninggalkannya setelah anaknya meninggal. Kisah hidup bi Ijah juga sama sedihnya dengan Rasti. Mungkin itulah yang membuat mereka saling cocok satu sama lain.
Bi Ijah tidak pernah mau menikah lagi, luka batinnya teramat dalam. Dia bahagia hidup bersama Rasti, yang ia anggap anak sendiri. Dia juga sedih kalau salah satu dari anak Rasti sakit.
Sepertinya Tuhan memang mengirimkan bi Ijah sebagai malaikat penolong buat keluarga Rasti. Dia tulus dan tanpa pamrih menjaga anak-anak Rasti.
Bunga berjanji kelak kalau sudah besar bi Ijah akan ia jaga di hari tuanya, seperti orang tua kandung sendiri.
***
Note : kalau suka dengan cerita ini jangan lupa like dan komen ya. Terima kasih sudah membaca.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Ria Lita
semangat bunga
2024-09-28
0
Edi Arianto
enak juga novel ny....
2020-08-03
1
Raini Sidarra aceh
semangat kk
2020-07-12
1