Duarrr.
Perkataan Dendy sukses membuat mulut ibu dan ayah Tica ternganga lebar. Bahkan sang ibu langsung berdiri dari duduknya seraya menunjuk pintu keluar.
"Keluar dari rumahku sekarang!"
Sarkas ibu Tica, ia tidak terima jika anaknya dihamili sebelum sah. Terkhususnya kepada Tica, wanita itu begitu kecewa. Selama ini ia telah mendidik putrinya dengan susah payah, namun apa yang ia dapatkan ketika gadis yang ia didik itu mempermalukan dirinya. Air mata seorang ibu telah tumpah dari pelupuk mata ibu Tica. Seraya menumpahkan segala rasa kecewanya terhadap sang putri semata wayangnya itu.
"Ibu, Tica bisa jelasin!"
Tica yang melihat suasana mulai tidak kondusif, akhirnya mencoba untuk menenangkan sang ibu.
"Jelaskan sekarang! Atau silahkan keluar dari rumahku!"
"Ibu--"
"Ibu tidak memintamu untuk berbicara Tica! Ibu hanya mau dia yang menjelaskan!"
Ibu Tica menunjuk ke arah Dendy, pria itu terlihat santai saja tanpa rasa khawatir sedikitpun. Duduk santai masih seperti posisi sebelumnya, tidak berubah sama sekali.
"Saya dijebak oleh teman-teman saya, singkat cerita mereka memberi obat pembangkit gairah dalam minuman saya. Dan saat pulang saya bertemu dengan Tica, karena tidak kuat lagi menahan gejolak itu, saya terpaksa melampiaskan semuanya pada Tica. Maafkan saya, Ibu, saya janji saya akan bertanggungjawab sepenuhnya terhadap Tica dan juga anak saya."
"Berapa usia kehamilanmu sekarang?"
Kini giliran ayah yang membuka suara. Jujur dari hati kecilnya ia sangat sedih namun juga senang, karena sebentar lagi dirinya akan segera menimang cucu yang selama ini ia idam-idamkan.
"Lima Minggu berjalan enam Minggu, Ayah."
"Baiklah, besok kalian akan menikah di Kantor Urusan Agama terdekat."
"Ta... Tapi Bu?"
"Tapi apa? Kau mau menunggu sampai perutmu membesar baru akan menikah? Kau ingin mempermalukan ibu lebih banyak lagi?"
"Tidak Bu. Maafkan Tica."
"Tidak, Ibu, ini salah saya. Saya siap menerima hukuman apapun, asalkan Tica tidak dihukum!"
"Kalian berdua akan ibu hukum, tidak ada bantahan."
"Baik!"
Sahut dua generasi muda itu seraya duduk kembali ke kursi masing-masing.
"Eh eh eh, siapa yang nyuruh kalian duduk? Masak sana buat makan siang!"
"Sudahlah Bu, biarkan mereka istirahat, mereka kan pasti capek habis perjalanan jauh."
"Ayah jangan ikut-ikutan, ini biar jadi urusan ibu!"
"Baik Ibu."
Dengan santainya Dendy mengiyakan semua permintaan Ibu Tica. Asalkan besok jadi kawin, ya kan Den?
"Tuan apa-apaan sih? Main bilang iya, saya ini cape mau Istirahat."
"Jangan banyak bacod!"
Tica hanya menggeram kesal seraya berjalan dengan menghentak-hentakkan kakinya seperti kuda.
Dendy hanya meminta Tica untuk duduk diam, biar ia saja yang mengerjakan semuanya. Pria itu terlihat begitu menguasai dapur, bahkan Tica sampai sedikit terkagum. Walaupun rumahnya tidak sebagus milim Dendy, namun Dendy terlihat sangat mampu untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya.
Menu yang dimasak oleh pria itu adalah menu mewah, walaupun hanya dengan bahan-bahan seadanya. Cara penyajiannya pun sangat menarik membuat siapapun yang menatap makanan itu pasti tergugah selera.
Udang krispi dan kuah sup dengan berbagai macam sayuran di dalamnya.
"Ibu Ayah, ayo makan!"
"Siapa yang masak semua ini?"
"Dia, Yah!"
"Boleh juga masakan kamu! Ayah beri nilai sembilan dari sepuluh."
"Jadi masakan dia lebih enak dari masakan ibu?"
"Kalau masakan Ibu mah engga ada nilainya."
"Oh, mulai besok Ayah suruh aja dia buat masak, ibu ngambek!"
"Masakan ibu kan dimasak pakai cinta di dalamnya, sedangkan cinta ibu itu tak ternilai, Bu. Jadi masakan ibu itu tidak ternilai."
"Ih Ayah bisa aja!"
"Ehm, ini mau makan atau mau bikin drama?"
"Makanlah!"
Dan acara makan dimulai, dengan sedikit obrolan kecil. Walaupun ibu masih belum sepenuhnya memaafkan Dendy, tetapi pria itu sama sekali tidak pantang menyerah untuk merebut kembali simpati ibu Tica.
Selepas makan, Tica mencuci piring sedangkan Dendy ikut ayah ke sawah. Tentu saja untuk jalan-jalan.
"Dimana orang tua kamu?"
"Ayah saya sudah meninggal saat saya masih remaja. Begitupun dengan ibu."
"Maaf, Ayah tidak bermaksud membuatmu sedih."
"Tak apa, Ayah."
"Maafkan ibunya Tica yah, ibu memang agak keras tapi dia akan berubah dengan sendirinya. Jika kamu bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan kamu."
"Tentu Yah."
Keduanya terlihat seperti orang yang sudah akrab satu sama lain. Berjalan bersama menikmati semilir angin sawah di desa dengan pemandangan yang hijau. Gunung-gunung dan bukit-bukit juga menjadi panorama indah. Seakan tidak ada bosannya untuk memandang semua pahatan alam itu.
Sedangkan ibu dan Tica juga tengah mengobrol di dalam rumah. Duduk di kursi ruang tamu, tak lupa secangkir teh untuk sang ibu. Tica duduk di sebelah ibunya, seraya memegang lembut tangan ibunya.
"Ibu."
"Hm?"
"Tica harus menikah ya, Bu? Harus banget?"
"Ya iyalah!"
"Kalau engga kenapa?"
"Kalau kamu engga mau menikah syaratnya mudah kok."
"Apa Bu?"
"Keluar dari Kartu keluarga."
"Ibu kejam banget sama anak sendiri."
"Kejam gundulmu iku, justru ibu ini sayang sama kamu. Ibu mau pria itu bertanggung jawab, ibu mau anak kamu kelak memiliki orang tua yang lengkap."
Tapi Ibu engga tahu kan, dia akan menceraikan aku setelah anakku lahir.
Batin wanita itu dengan tetap menatap teduh pada sang ibu. Tidak lama setelahnya, Ayah dan Dendy datang, ibu hanya melengos saat melihat ke arah Dendy. Sedangkan Ayah, hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan ibu.
"Bu, Nak Dendy tidur di kamar mana?"
"Terserah!"
"Kamu tidur di kamar Tica!"
"Tapi Bu?"
"Percuma juga kan toh kamu juga udah hamidun."
"Baiklah."
***
Setelah makan malam, Dendy dan Tica masuk ke kamar mereka. Hari ini mereka benar-benar lelah untuk ribut, jadi Tica memutuskan untuk diam saja. Karena di kamar Tica tidak ada sofa atau semacamnya, terpaksa pria itu harus tidur di ranjang yang sama dengan Tica. Ranjangnya sedikit sempit, jadi harus saling berpegangan agar tidak jatuh.
"Tuan saya lelah."
Tanpa aba-aba Dendy langsung beranjak duduk, memangku betis kaki Tica dan memijatnya perlahan. Sungguh Tica dibuat terenyuh akan perlakuan manis pria itu. Walaupun kata-katanya tidak semanis perlakuannya tidak apa-apa, toh yang penting adalah bukti bukan hanya kata-kata.
Di mansion Brydan, si pemilik mansion juga tengah memijat kaki istrinya. Walaupun ia lelah sehabis bekerja, tetapi ia tidak bisa menolak permintaan wanita yang tengah hamil anaknya itu. Bahkan saat istrinya belum tidur, Brydan juga tidak boleh tidur guna mendengar segala keluh kesah sang istri. Hingga matanya tak lagi mampu untuk terbuka, barulah sang istri akan diam dan tidur.
.
.
.
.
TBC!
Vote like and komennya yah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments