"Dimana aku?"
Wanita yang baru saja sadar dari pingsan itu terlihat mengerjapkan matanya. Ia perlahan bangun dari tidurnya, masih dengan memegang kepalanya yang sedikit berdenyut. Namun, gejolak di perutnya memaksa dirinya untuk segera ke wastafel. Tica berlari ke kamar mandi yang ada di ruangan itu.
Huekkk.
Wanita itu terus memegang perutnya, seraya mengeluarkan semua isi perutnya yang sedari tadi bergejolak. Namun siapa sangka, saat ia hendak berbalik, seorang pria kekar nan tampan tengah berdiri di pintu kamar mandi. Pria itu terlihat membawa senampan makanan lengkap beserta air putih.
Deggg.
Tica terkejut, sebenarnya dimana ia sekarang. Kenapa bisa bersama dengan pria itu, dan ruangan yang ditempati olehnya itu terlihat begitu asing baginya. Ruangan itu sangat menunjukkan sisi laki-laki, bahkan dengan cat dindingnya abu-abu dan furniture di dalamnya.
"Tu... Tuan."
"Duduk!"
Suara dingin itu seketika membuat buku kuduk Tica meremang. Ia duduk di sebuah kursi yang sudah disediakan di ruang kamar itu.
"Sa... saya dimana?"
Sial, perasaannya tidak bisa ditahan. Setiap kali berdekatan dengan pria itu, ia selalu saja lemah. Hati dan pikirannya seketika berbeda jalan.
"Jangan banyak tanya! Makan sekarang."
Dendy menyuapi Tica, walaupun tidak lapar Tica terpaksa memakan bubur itu. Dari pada ia kena semprot lagi. Tica heran, entah kenapa tiba-tiba pria itu perhatian begini kepadanya. Sebenarnya apa yang terjadi, ia tidak ingat apa-apa. Yang ia ingat tadi dirinya memberikan laporan itu kepada Dendy dan setelahnya pandangannya mengabur kemudian dirinya jatuh pingsan.
Suapan demi suapan terus Tica makan dan telan. Karena dirinya memang bukan tipe pemilih dalam makanan, apapun akan ia makan asalkan bukan racun, tanah dan batu. Walaupun begitu, tubuhnya tidak bisa menggemuk tetap saja ramping sejak dulu.
Setelah habis, Dendy memberikan segelas air putih dan sebutir obat untuk Tica. Tentu Tica heran, namun karena paksaan lagi-lagi Tica terpaksa menelan obat itu. Entah itu racun atau narkotika ia juga tidak tahu.
"Apa maksud semua ini, Tuan?"
"Kau hamil anakku!"
Degg.
Ucapan tanpa filter itu langsung menembus dadanya. Hamil? Bahkan ia belum siap untuk menikah, apalagi hamil. Dan bagaimana dengan keluarganya di kampung, apa yang harus ia katakan pada ibu dan ayahnya nanti? Apa ia harus berkata bahwa putri mereka telah hamil tanpa hubungan yang sah. Mungkin ayahnya akan mencoret namanya dari kartu keluarga, apalagi ibunya.
"Tidak, Anda pasti bercanda kan?"
"Terserah kau percaya atau tidak. Tetapi aku akan segera melamarmu pada orang tuamu! Besok kita akan ke rumahmu di kampung."
"Me... Melamar? Apa yang harus aku katakan pada ibu dan ayah nanti?"
Mata itu sudah berair membayangkan kekecewaan mendalam yang akan dirasakan oleh orangtuanya. Akibat ulahnya, ia telah mencoreng nama baik ayah dan ibunya. Ia anak tidak tahu diuntung. Semua itu memenuhi pikirannya.
"Kau hanya perlu diam, aku yang akan menjelaskan semuanya. Sekarang kau akan tinggal di sini!"
"A... Apa? Tapi barang-barang aku?"
"Aku sudah meminta orang untuk memindahkan semua barang-barangmu! Aku hanya ingin melihat tumbuh kembang anakku!"
_Aku tahu, mana mungkin wanita seperti aku bisa mendapatkan cinta seorang pria berpengaruh seperti dirimu._
"Sekarang aku hanya perlu kesaksianmu! Bersaksilah bahwa setelah anakku lahir, kau setuju kita untuk bercerai. Dan juga bersaksilah kau akan sepenuh hati mengandung anakku dan tidak akan melakukan hal yang membahayakan anakku!"
"Aku Tica Maharani, bersaksi bahwa aku akan merawat anak ini dengan sepenuh hati dan akan bercerai setelah anak ini lahir!"
Hatinya sakit ketika melantunkan kalimat tercela itu. Dirinya hanya dibutuhkan untuk mengandung benih dari pria itu. Betapa hinanya dia? Sekarang kedudukannya dan pelacur tidak ada bedanya.
"Bagus!"
Setelah itu, Dendy keluar dari ruangan itu. Entah hendak kemana pria itu, Tica juga tidak tahu. Karena yang ada di pikirannya sekarang, bagaimana nasib anaknya nanti jika kedua orangtuanya berpisah.
"Maafin mamah, Nak. Mamah engga mau ini semua terjadi, tapi ini di luar kuasa mamah."
Tica seraya terus mengelus perut ratanya. Kini dirinya tengah berbadan dua, lama-kelamaan perutnya akan membesar. Apakah ia sanggup menjalani semua ini dengan lapang dada? Jika wanita hamil lainnya semakin di sayangi oleh suami, tetapi dirinya justru disuruh untuk bersaksi.
Hari sudah sore, Tica segera beranjak untuk mandi. Percuma juga ia bersedih, karena nasi telah menjadi bubur.
Selepas mandi, ia hanya memakai pakaian rumahan. Hot pant dan tangtop yang memamerkan perut indahnya. Dan juga paha putih mulus itu. Ia keluar dari kamarnya, apartemen pria itu bagus juga. Sudah ia perkirakan, harganya pasti membuat jiwa missquennya meronta-ronta.
Tica menuju ke dapur. Bubur tadi ternyata tidak mengenyangkan, ia butuh asupan lagi. Mumpung Dendy sedang tidak ada lebih baik ia makan sepuasnya. Wanita itu perlahan mengendap-endap menuju dapur, pelan bahkan pelan sekali sampai benturan sandal dan lantai marmer itu tidak menimbulkan suara sama sekali.
"Hey!"
"Astaga."
Tica terlonjak ketika melihat pria itu ternyata berdiri tepat di belakang dirinya yang hendak membuka pintu kulkas.
"Tu... Tuan."
"Kamu lapar?"
"Engga engga kok!"
Ah sial mulutnya sungguh naif. Jelas-jelas cacing perutnya sudah berdansa sedari tadi. Tetapi mulut bar-barnya itu justru menjawab lain. Mungkin efek gugup berdekatan dengan orang tercinta.
Krucukk krucukk.
Tica hanya cengar-cengir tidak jelas. Membuat Dendy jengah, kalau lapar kenapa bilang tidak, pikir pria itu.
"Duduk di meja makan!"
"Tapi saya mau masak, Tuan."
"Duduk!"
"Baiklah."
Tica tidak berdaya, ia hanya numpang di sini. Ia duduk dan hanya melihat saja Dendy yang tengah berkutat dengan alat-alat dapur. Pria itu terlihat seperti begitu lihai dalam memotong sayuran demi sayuran.
Tica bahkan sampai ileran melihat hasil masakan Dendy. Sup daging sapi, liurnya sudah ingin turun saja. Dendy menyajikan dalam dua mangkuk, satu mangkuk ia berikan tepat di depan Tica.
Tanpa jaim, Tica memakan sup itu dengan lahap. Seakan dirinya sudah tidak makan selama tiga hari. Padahal satu jam yang lalu ia baru saja makan bubur. Tapi bagi wanita itu, bubur hanya lewat saja tidak akan bisa mengganjal perutnya.
"Pelan-pelan nanti tersedak!"
"Uhukk!"
"Aku bilang apa?"
Dendy menyodorkan segelas air putih dan Tica meneguknya hingga tandas tak tersisa.
"Anak Tuan ngelitikin perut saya, bikin saya keselek!"
"Jangan mengkambing hitamkan anakku! Kau yang ceroboh!"
"Ya ya ya."
.
.
.
.
TBC!
Vote like and komennya yah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
MiNIeL
cie..cie..anak blm lahir aja gk boleh di kambing hitamkan kl di kambing gulingkan gmna😁
2022-02-14
3