Chapter 5

Moreno tidak tahu apa yang menyebabkan sang istri begitu tegang menerima telepon itu. Matanya hanya menelisik bagaimana wanita itu tampak terdiam dengan wajah pias disana. Pelan, ia pun berjalan ke arah meja nakas disamping tempat tidur. Ia masih melihat Angelica memegang benda tersebut.

"A-Apa yg kau katakan? Aku tidak mengerti." Cemas, Angelica pun semakin memucat.

Pria itu terus memperhatikan sang istri yang terlihat kikuk berbicara dengan seseorang dibalik telepon itu. Sejujurnya ia tak suka dengan apa yang saat ini dilakukan istrinya, mengingat waktu yang tidak tepat untuk menghubungi seseorang tengah malam seperti ini. Tak tahan dengan itu, Moreno pun merebut telepon dari istrinya. Rahangnya mengerang begitu mengetahui si penelepon sebenarnya. Tatapan matanya tak lepas dari wajah Angelica yang memucat itu.

"Aku tidak tahu apa maumu menghubungi istriku malam seperti ini. Alasan apapun yang kau katakan, itu sama sekali tidak membenarkan sikapmu, Marcus."

Angelica memperhatikan sang suami. Ia tak mau melibatkan Moreno dalam permasalahan keluarganya. Ia tak ingin menambah beban pikiran pria itu. Moreno sudah cukup banyak membantunya selama ini. Tak ada yang bisa ia lakukan untuk membalas semua kebaikan hati pria itu, selain mencintainya dengan tulus.

Beberapa saat diperhatikannya Moreno tak menyahuti apapun yang dikatakan oleh Marcus, seolah pria itu benar-benar menyimak apa yang dikatakan olehnya. Namun, semenit kemudian, Moreno membanting ponselnya ke atas kasur dengan jengah. Angelica tak berani bertanya banyak. Ia tahu Marcus telah membangkitkan kemarahan Moreno.

Sambil berjalan memunggunginya, Moreno berkata sesuatu hingga membuat membuat Angelica semakin memucat.

"Adikmu kabur dalam keadaan Hamil. Marcus akan mencarinya dan menyeretnya pulang. Pria brengsek itu menginginkan anaknya."

"Apa?"

Moreno berbalik. Ia pun menghembuskan napasnya pelan. Terlihat raut wajah pasrah pada pria itu. "Dia menginginkan bayinya. Marcus akan melakukan apa saja untuk merebut bayinya. Pria itu sepertinya sudah gila. Beruntung kau tidak menikah dengannya, sayang."

Angelica tak mencerna ucapan suaminya. Yang terngiang didalam otaknya hanyalah "Marcus yang menginginkan bayinya". Pria itu tampak begitu obsesif ingin merebut bayi yang dikandung oleh Margareth. Ia sendiri tak tahu jika adiknya saat ini tengah mengandung. Setelah perceraian, Margareth menghilang begitu saja bak ditelan bumi. Angelica tak pernah menerima satu pun kabar tentang sang adik.

"Sayang, ..."

Angelica tersadar. Ia pun tak bisa berpikir apapun. Hanya menatap suaminya dengan tatapan penuh kecemasan. "Bagaimana dengan Margareth nanti ...?"

***

Seorang wanita tampak menatap puas pada hasil karya didepannya. Setelah berkutat selama kurang lebih satu setengah jam, Margareth berhasil membuat makanan dengan tangannya sendiri. Spaghetti bolognaise dengan parutan keju berlimpah diatasnya. Pada tengah malam seperti ini, wanita itu tak yakin bisa menemukan makanan yang ia inginkan. Untuk pergi keluar, ia juga tak memiliki cukup uang untuk memanggil taksi ke rumahnya. Memang lokasi tempat yang saat ini menjadi huniannya terbilang cukup jauh dari jalan raya. Rumah baru yang ia beli dengan hasil tabungannya selama lima tahun merupakan satu-satunya tempat terbaik yang ia miliki.

Untuk saat ini setidaknya ia bisa menenangkan diri dan juga menyambut kelahiran bayinya dengan baik. Ia tak perlu memusingkan apapun tentang dunia luar, termasuk tentang mantan suaminya. Ia sama sekali tak memperdulikan hal itu. Marcus tak mungkin dengan mudah menemukan tempatnya ini. Pria itu pasti takkan sudi membuang waktu demi mencari wanita sepertinya. Marcus bisa mendapatkan wanita mana pun yang diinginkannya.

"Ya, dia bisa." Ujar Margareth tanpa sadar saat membayangkan bagaimana suaminya saat ini. Pasti tak banyak yang berubah. Senyum kecut tak pernah absen kala ia membayangkan tentang pria itu. Tak ada kenangan manis yang perlu diingatnya tentang Marcus, sampai harus membuatnya tersenyum manis seperti orang gila.

Margareth kenal betul pria itu. Marcus bisa berpindah dari saru wanita ke wanita lainnya. Tak peduli kondisinya yang dulu masih berstatus sebagai suaminya. Patah hati akibat kegagalan cintanya dengan sang kakak, membuat Marcus menjadi sosok yang dingin. Bahkan terhadap Margareth sekalipun.

Tanpa sadar, Margareth pun merasakan matanya panas. Ia hampir menangis lagi. Entah yang keberapa kalinya ia selalu menangis setiap kali membayangkan tentang Marcus. Padahal ia sudah berjanji untuk melupakannya sebisa mungkin. Kehamilannya bisa terganggu jika Margareth terus memikirkan tentang mantan suaminya itu.

Kali ini ia pasti bisa.

Tak lama terdengar suara Bel dari arah pintu depan. Margareth langsung mengusap kedua matanya yang panas. Ia tak bisa membiarkan orang lain untuk melihatnya menangis. Biarlah saat ini ia mengisi harinya dengan kebahagiaan. Itu akan lebih bermanfaat untuk bayinya nanti.

"Ya, Tunggu."

Margareth berjalan sedikit kesusahan, lantaran napasnya yang memendek semenjak kehamilan pertamanya ini. Ia tak perlu ketakutan untuk mengetahui siapa yang bertamu malam-malam seperti ini. Sejak awal membeli rumah ini, ia memang berniat untuk menyewakan satu kamar untuk pemasukannya. Ia sudah melakukan observasi pada tamu yang akan menyewa salah satu kamar di rumah ini. Setidaknya sosok itu tidak berbahaya untuk tinggal satu atap dengannya sampai ia menemukan seorang pembantu nanti.

Ketika Margareth membuka pintu, Ia pun disambut dengan senyuman seribu watt seorang pria berperawakan wajah cantik miliknya. Rambutnya yang berwarna almond tampak membuatnya semakin terlihat bak boneka porselen berjalan. Tak tampak aura maskulin khas laki-laki. Margareth pun tak perlu bertanya dua kali mengapa calon penyewanya berpenampilan demikian. Secara identitas ia sudah mengetahui siapa sosok pria ini.

"Hai, Aku Fabian, penyewa Baru. Senang berkenalan denganmu." Pria itu mengulurkan tangannya yang putih mulus. Dari pada seorang laki-laki, Margareth lebih suka menyebutnya sebagai adik laki-laki.

"Aku Margareth. Panggil Saja Retha." Balasnya sembari menyambut uluran tangan itu.

Dalam hati Margareth berharap ia dapat menemukan pembantu secepat mungkin. Meski pria ini tak berbahaya, tapi mengingat bahwa ia hanya sendiri di rumah ini memungkinkan apa saja terjadi. Ia juga agaknya mulai bertanya apakah pria ini benar-benar seperti yang dikatakan sebelumnya, atau kah hanya berpura-pura.

Ya, setidaknya ia harus menaruh percaya bahwa pria ini benar-benar GAY.

Pria itu bergeming sesaat. Tatapannya tertuju pada wajah Margareth yang sangat dikenalinya. Dalam benaknya, ia tak pernah menyangka jika hari ini akan tiba. Ia tak pernah menduga bahwa Tuhan berhasil mempertemukan mereka kembali setelah sekian lama. Namun, Fabian tahu jika wanita itu mungkin saja tak lagi mengingatnya. Setelah sekian tahun telah terlewati, pasti akan sulit bagi Margareth mengenang apa yang telah terlewati selama ini.

"Senang berkenalan denganmu, Retha." sahutnya.

Dan, Fabian dalam hati ingin bersuara jika dirinya begitu merindukan wanita ini.

"Masuklah. Biar kutunjukkan kamarmu."

Margareth mempersilahkan pria itu masuk ke dalam rumahnya. Ia melihat hanya satu koper kecil milik pria itu yang dibawa serta olehnya. Fabian sepertinya bukan orang yang rumit, pikirnya. Meski wajahnya jauh dari kesan jantan, tapi pria ini tak ubahnya seperti pria pada umumnya, Fleksible. Setidaknya untuk beberapa hari kedepan ia bisa melihat perkembangan pria itu dirumahnya. Ia yakin Fabian bukan orang yang berbahaya.

"Kau tinggal sendirian disini?" Tanya Fabian, saat kakinya sampai di ruang tamu.

Margareth pun menutup pintunya, sembari menyahutinya. "Ya, Seperti yang kau lihat. Hanya untuk beberapa hari saja. Aku akan segera mendapatkan pembantu rumah tangga."

Fabian mengangguk pelan. Pria itu sepertinya tak ingin bertanya apapun dengan kondisi Margareth yang tengah berbadan dua. Meski belum terlihat dengan jelas, siapa saja bisa menebak arti dari lekukan tubuhnya yang menonjol dibagian perut.

"Syukurlah." Gumamnya. Margareth menghentikan langkahnya mendekati pria itu. Dalam hati ia merasa sedikit gelisah. Mungkin pria ini enggan untuk berdekatan dengan wanita sepertinya. Banyak yang ia dengar jika kau Gay sedikit enggan untuk berdekatan dengan wanita. Mungkinkah pria ini juga merupakan tipe yang sama.

Fabian langsung menoleh. Ia segera meralat ucapannya saat melihat wanita itu tampak tertegun. "Ah, maksudku akan lebih baik jika kau ditemani oleh orang lain yang bisa mengurusmu nanti setelah melahirkan."

Ya, Fabian menyadarinya.

Margareth mengangguk pelan. Pria itu cukup jeli melihat perbedaan tubuhnya dengan wanita pada umumnya. Pasti sudah hampir kentara dengan bentuk tubuhnya yang sudah hampir memasuki bulan ke empat. Kehamilannya cukup besar untuk ukuran normal.

"Ya, aku sependapat denganmu." Sahutnya pelan.

Sepasang mata milit pria berwajah androgini itu tampak menilai dari atas kepala hingga ujung kaki. Selama sepuluh tahun, tidak banyak perubahan berarti dalam diri wanita itu. Margareth tetaplah wanita yang serampangan. Terlihat dari dasternya yang berantakan terkena parutan keju dan noda saus tomat pada bagian perutnya yang sedikit membuncit. Ia yakin Margareth tidak menyadarinya.

Dan lagi, Fabian menyayangkan tindakan wanita itu. Bagaimana bisa Margareth mempersilahkan orang asing, apalagi itu adalah seorang pria menyewa salah satu kamar di rumahnya. Wanita itu seolah tak pernah memikirkan resiko dari tindakannya untuk menyewakan salah satu kamar di rumah ini. Beruntung saat itu dirinya mengetahuinya lebih cepat dari orang suruhannya. Kalau tidak, mungkin Margareth berada dalam bahaya.

"Apa yang kau lihat?" Tanya Margareth yang menyadari tatapan pria itu. Ia pun mengikuti arah pandang pria bernama Fabian itu yang memandangi perutnya.

Fabian menggeleng cepat, namun pria itu tak bisa menahan kegeliannya. "Tidak. Kau tampak berantakan."

Margareth pun menyadari jika dirinya saat ini sanga berantakan. Ini adalah ulah anaknya yang memintanya untuk membuatkan makanan, meski ia juga merasa kelaparan. Wanita itu pun mengerucutkan bibirnya kesal.

"Aku sangat lapar."

Sedetik kemudian Margareth pun hampir menahan napasnya saat melihat pemandangan dihadapannya. Tangan asing yang mendekat ke arahnya seolah telah menyentakkan kekeliruannya. Fabian saat ini sedang berusaha membersihkan noda di dasternya dengan tangannya. Ia sendiri tak menolak gerakan pria itu dan hanya terdiam melihatnya.

"Kau sangat ceroboh." Sungutnya.

Margareth yang biasanya akan langsung meneriaki orang asing yang berusaha mengusik kehidupannya pun hanya bisa terdiam. Wanita itu sama sekali tak bergerak ditempatnya, seperti ia sudah sering mengalami hal yang sama.

Usai membersihkan noda di pakaian wanita itu, pria itu pun berdiri tak jauh dari Margareth. Jarak diantara mereka semakin terasa dekat. Hanya beberapa senti saja hingga Fabian bisa melihat itu tertunduk dengan wajah muram.

"Beruntung jika itu aku. Mungkin pria lain bisa mengambil keuntungan dari keadaanmu." Ucapnya. "Harus kau tahu bahwa tak semua pria itu baik."

"Harus kau ingat jika hampir semua pria itu tak baik, termasuk aku."

Ucapan itu berhasil membuat Margareth terdiam ditempatnya. Wanita itu bergeming seperti waktu telah menghentikan rotasi kehidupannya. Benaknya menunjukkan bagaimana suara pria yang tak ingin diingatnya itu terdengar jelas. Semakin ia mencoba untuk mengulanginya, Ia malah melihat bayangan wajah muram miliknya.

"Ya, Marcus ... Semua pria jahat, sama sepertimu." Balasnya tanpa sadar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!