Untuk kali ini Margareth harus menyiapkan rencananya matang-matang. Di dalam rumah kecilnya yang baru saja ditempati olehnya belum lama ini, Margareth akan menyusun berbagai rencana untuk masa depannya. Hal pertama yang harus dilakukannya adalah mencegah orang terdekatnya mengetahui kehamilannya. Tapi, rasanya itu sangat sulit menyimpannya dari Arnetta. Wanita itu bersedia untuk mengacaukan hidupnya lebih parah jika dirinya sampai nekad untuk menyembunyikan rahasia ini darinya.
Lihat saja, baru beberapa saat dirinya menginjakkan kaki dirumahnya wanita itu sudah menduduki salah satu kursi di ruang televisinya sambil bersedekap. Wanita yang telah melahirkan tiga orang anak itu tampak lebih muda dari pada usia sebenarnya. Wajahnya terlihat masam ketika melihat ke arah Margareth yang baru saja memasuki rumahnya itu.
"Aku menunggu, Retha." Tangan wanita itu mengibas-ngibas diantara wajahnya. Sebuah kertas putih yang sengaja diperlihatkannya pada Margareth pasti menjadi kunci dari kemarahan wanita itu.
Margareth hanya bisa memutar bola matanya malas. Kalau sudah begini, siapa yang berani membalas amarah itu. Bahkan, suami tuanya yang terlampau mencintainya itu tak sanggup melawan seorang wanita yang tengah emosi ini.
"Oke, aku mengaku. Aku hamil, Arnetta. Aku hamil. Si janda tengah hamil." Ya, itu terdengar seperti sebuah desisan tajam pada Arnetta. Anehnya, wanita itu sama sekali tak merasa terganggu. Malah wajah Arnetta yang semula tampak suram menjadi begitu terpuaskan atas jawabannya.
"Hamil? Wah ... duduk sini. Sepertinya wanita tua ini sangat dibutuhkan untuk menasihati si janda hamil." Arnetta menepukkan sisi kosong pada sofa ruang televisi itu dan membiarkan Margareth mengisinya. "Jadi, apakah pria itu sudah mengetahuinya?"
Margareth tak kuasa menyembunyikan raut kekecewaannya. Memangnya siapa yang akan ia beritahu? Marcus tentu takkan menyukai kabar menyedihkan ini. Pria itu akan sangat senang meninggalkannya tanpa beban, agar bisa melanjutkan kehidupannya yang memuja sang kakak.
"Oh, hentikan itu. Aku tahu wajah-wajah ini." Arnetta berusaha sebisa mungkin memelankan nada bicaranya. Bukanlah hal mudah bagi adik kecilnya ini melewati semuanya. Pertama kali mengenal Margareth di kantor suaminya, Arnetta tahu bahwa wanita ini memiliki kehidupan yang menyedihkan. Ia pernah merasakan hal yang sama terhadapnya. Dan, lebih menyedihkannya lagi keluarga wanita itu tak menginginkannya sebesar apa yang semestinya.
Arnetta berucap terima kasih pada mendiang ibunya yang sangat mencintainya. Bagaimana pun peringainya dulu, mendiang Ratih sangat mencintainya melebihi hidupnya. Perasaan kekurangan kasih sayang dari ayahnya terkalahkan oleh cinta yang diberikan oleh wanita itu. Namun, apa yang disaksikannya ketika melihat Margareth lebih menyedihkan.
Bagaimana tidak? ibu yang diharapkannya dapat mendukung semua langkahnya justru hanya berjasa membiarkannya hidup. Wanita yang seharusnya dijadikan Margareth sebagai tumpuannya lebih memilih mengurus sang kakak dari pada si bungsu. Bukan menjadi rahasia diantara mereka lagi, jika saat ini tak ada satu pun orang yang ingin mendengar bagaimana kondisi wanita itu. Hidup didalam rumah yang kecil dan sempit serta serba kekurangan itu menjadikan Margareth sebagai sosok yang tersisihkan.
Kalau saja Arnetta mengenal mantan suami adik kecilnya ini, ia akan meminta Jullian untuk mengirimkan orang suruhannya untuk memukuli pria itu. Suaminya pasti akan selalu mengabulkan semua permintaannya dengan baik tanpa bertanya lagi.
"Arnetta, Bagaimana aku bisa membesarkan anak ini nanti? sepulang dari dokter kemarin, aku telah memikirkan langkah untuk menghilang sementara dari rumah ini. Aku ingin mencari kehidupan yang lain bersama bayiku." Margareth berhenti untuk menoleh ke arah perutnya yang masih rata. Hatinya menghangat mengingat bagaimana dirinya kini yang telah menjadi seorang calon ibu. Ia takkan meminta lebih selain kesehatan untuk calon bayinya.
Arnetta ikut memandangi wanita itu. Meski usia mereka terpaut cukup jauh, nyatanya itu bukanlah penghalang. Ia bisa selalu menjadi orang paling nyaman di dunia saat bersama Margareth. Kesamaan nasib yang menimpa mereka menjadikan dasar dari kedekatan keduanya. Bekerja sebagai pegawai di kantor suami tuanya itu, membuat Arnetta nyaris setiap hari bertemu dengannya. Namun, hari ini ia mendengar dari Jullian bahwa Margareth telah mengundurkan diri secara mendadak. Hal itu yang menjadi alasan kedatangannya hari ini.
Wanita itu pun membelai rambut Margareth dengan lembut. Ia berharap jika wanita ini bisa hidup bahagia dengan bayinya. Ia sendiri cukup senang mendengarkan kabar menggembirakan ini. Setidaknya Arif, Rasya dan Mikaela akan mendapatkan teman baru. "Kau adalah wanita yang kuat. Aku yakin kau pasti bisa mengurus anak ini dengan baik, karena kau ibunya."
Margareth melihat kembali ke arah Arnetta. Ia bersyukur istri mantan atasannya ini begitu pengertian. Ia tak pernah menyangka jika hubungannya dengan Arnetta bisa berjalan sejauh ini. Ia sudah menganggap wanita itu seperti kakak kandungnya sendiri. Ia begitu menyayangi Arnetta. Dengan segala perhatian dan kasih sayang yang diberikan, Margareth yakin anaknya akan bangga memiliki seorang bibi seperti Arnetta.
"Kau tahu, terkadang orang lain bisa lebih dekat, terasa dekat seperti keluarga dari pada keluarga itu sendiri." Ucap Margareth dengan mata berkaca.
Arnetta mengulurkan tangannya, membawa wanita itu masuk ke dalam pelukannya. Margareth yang malang. Selalu menutupi semuanya dengan senyuman. "Kau tidak perlu memberitahukannya. Hiduplah berdua dengan anakmu dan berbahagialah."
"Kalau kau membutuhkan rumah, kami memilikinya satu."
Dari arah kamar mandi, seorang pria berperawakan tinggi besar keluar sambil membenarkan rambutnya yang sedikit memanjang di dahi. Pria dengan wajah tegas itu tersenyum kala melihat keakraban diantara istrinya dan mantan pegawainya.
Arnetta menoleh dengan binar bahagia mendengar usulan suaminya. Wanita itu melepaskan pelukannya pada Margareth dan membiarkan wanita itu memandang suami tuanya.
"Pak Jullian?"
Jullian memilih untuk mengambil tempat duduk diatas sandaran tangan sofa didekat Arnetta. Sudah menjadi rahasia umum jika pria itu takkan pernah bisa menjauhkan tangannya dari sang istri. Dimana ada Arnetta, maka disanalah ada Jullian yang siap mengurung wanita itu kemana pun dirinya pergi.
"Ah, suami tuaku benar. Kami memilikinya satu."
Jullian tampak sangat terganggu dengan sebutan yang dialamatkan sang istri kepadanya. Ia belum begitu tua. 45 tahun bukanlah sesuatu yang bisa dikatakan tua. Apalagi belum tumbuh uban di rambutnya.
"Perkataanmu menyakitiku, sayang." dan, dibalas ringisan oleh Arnetta.
Margareth tak bisa menyembunyikan rasa irinya melihat keharmonisan kedua pasangan itu. Rasanya sangat menyenangkan memiliki pasangan yang juga mencintaimu apa adanya, seperti Jullian. Ia begitu mendambakan pasangan yang ideal seperti yang didapatkan Arnetta dan juga Mbak Indah.
"Aku sungguh iri pada kalian." Sahutnya tanpa sadar.
Kedua orang itu langsung menoleh ke arah Margareth. Mereka tiba-tiba saja tertegun melihat wajah muram itu kembali terpasang diwajahnya.
"Retha, ..."
Wanita itu tersenyum pedih. Pikiranya terus melayang pada sang suami yang tak pernah melakukan itu kepadanya. Marcus adalah sosok yang dingin. Hanya berperan sebagai suami yang baik didepan kakak perempuannya yang sangat dipujanya. Selebihnya sikap pria itu akan kembali ketus terhadapnya.
"Percayalah, apa yang kau lihat ini bukanlah perjalanan yang mudah. sudah begitu banyak kesakitan yang kami lewati bersama." Ucap Arnetta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Kaizar Kaizar
, bagus thor
2022-08-26
0