Pandangan mata milik pria itu terpaku pada sebuah cairan berwarna kuning yang berada di dalam gelas kaca pendek dihadapannya. Keheningan menyelimuti ruangan yang biasa digunakannya untuk menyambut tamu yang datang ke rumah mereka.
Tidak, rumahnya.
Sejak dua bulan yang lalu, ketukan palu hakim telah mengabulkan permintaannya dan juga wanita itu untuk berpisah. Ia sendiri tak sadar kapan itu terjadi. Hingga detik ini dirinya hanya bisa menghitung beberapa waktu yang telah ia jalani seorang diri. Entah mungkin ia sudah terbiasa hidup berdua dengan wanita itu.
Ck ...
Ia tak tahu apakah ini yang disebut sebagai perasaan kehilangan. Hatinya kebas begitu menyadari ketika dirinya kembali ke rumah, menginjakkan kedua kakinya di lantai ini ia hanya akan berakhir seorang diri. Tak ada lagi lampu pijar mungkin yang selalu dibawa wanita itu kemana pun ia pergi. Rumahnya sudah biasa tertinggal dalam keadaan gelap. Namun, wanita itu akan selalu berkeliling menggunakan lampu pijar yang bertopang pada sepasang baterai.
"Aku suka menyendiri dalam keadaan gelap. Rasanya seperti kembali bernolstagia."
Pria itu baru sadar bahwa dirinya masih mampu mengingat perkataan yang sering ia abaikan. Istri mungilnya yang tak pernah mengeluh menghadapi sikapnya. Wanita yang setia menunggunya kembali bekerja dengan sebuah buku dipangkuannya. Sosok yang biasa menawarinya makan malam meski pada akhirnya akan dibalas dengan keketusannya.
Astaga ... Seorang Marcus pada akhirnya merindukan sikap yang selalu dikatainya menyebalkan itu. Entah ia selalu menerka pada setiap malam apa yang dilakukan wanita itu. Dalam tidurnya, ia mampu menembus waktu dimana ia bisa melihat wanita itu berdiri tegak dihadapannya. Tapi, yang paling parah adalah ingatan mengerikan saat wanita itu menangis.
Gelimang air mata yang masih mampu melekat dalam pikirannya saat wanita itu menuntut sebuah kepastian. Tidak, tidak pernah ada kepastian dalam pernikahan paksaan ini. Marcus sudah mengingatkan wanita itu sejak awal. Mereka bersatu hanya karena permintaan Angelica, sekaligus kakak perempuan wanita itu.
Sejak awal harusnya wanita itu mampu mengerti bahwa perasaannya untuk seseorang yang paling berarti itu takkan berhenti hanya karena sebuah pernikahan telah menghalangi keduanya. Marcuss tak pernah peduli status yang disandang oleh orang itu, perasaannya takkan pernah bisa berhenti.
Namun, entah mengapa setiap kali ia mengingat hal itu, hatinya ikut pedih. Bayangan wajah wanita itu menghantuinya dan bahkan menjadi pengantar tidur yang buruk untuknya. Ia sendiri takjub dengan hidupnya yang masih bisa melihat dengan jelas pasien-pasien yang datang hari ini. Lantaran, semalaman matanya sulit untuk terpejam. Kebimbangan luar biasa ini mungkin akan bertahan untuk waktu yang sangat lama.
Sangat lama.
'Drrrrt'
Sebuah getaran menghentakkan dirinya. Marcuss yang semula duduk didepan meja bar, pada akhirnya menapakkan kakinya ke lantai. Ia merogoh benda yang bergetar itu didalam saku celananya. Ketika melihat siapa yang menghubunginya tengah malam seperti ini, Ia pun tak bisa menyamarkan kerutan di keningnya. Melihat nama siapa yang tertera disana, ia sendiri heran dengan si penelepon yang 'tak biasa' itu. Alih-alih mengabaikannya, Marcus justru merasa sedikit tegang. Rasa lilitan yang menyesakkan mulai mencengkram otot perutnya.
"Ah, Ian ..."
["Waw, aku terkejut kau masih bangun malam ini. Kukira kau terlalu gembira sampai bisa menyimpan beberapa energi untuk terus bangun."]
Marcus ingin mengabaikan perkataan pria itu. Ia sudah terbiasa mendengarkan ocehan kurang produktif dari dokter yang satu ini. Semakin bertambahnya anak dalam silsilah keluarga pria itu, Adrian semakin terdengar aneh.
"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan. Tapi, aku berani bertaruh kau memiliki alasan yang cukup kuat untuk mengganggu jam malamku, Ian."
Marcus bisa mendengar cekikikan pelan milik sahabatnya itu. Sebagai sesama rekan dokter, Marcus lebih menyarankan sahabatnya itu memilih spesialisasi kejiwaan dari pada kandungan. Sama sekali tidak cocok dengan kepribadiannya yang menurut Marcuss aneh.
["Baiklah. Kau benar. Aku memang memiliki pesan untukmu, sebagai seorang dokter kepada kerabat pasiennya. Kau pasti kelelahan menghadapi jam malammu. Trimester pertama memang sangat melelahkan."]
Trimester pertama?
Tidak ada yang hamil disini. Apakah pria ini sudah gila? PIkir Marcuss.
"Sepertinya kau perlu memeriksakan kesehatan kejiwaanmu pada salah satu dokter di rumah sakit kita. Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan. Kalau itu tentangku, aku akan bersumpah untuk menyunatmu kembali, Ian"
["Wah ... kau sudah bertindak seperti Algojo, Bung. Indah akan menangis darah jika sampai kau melakukannya. Lagipula, kau ini bodoh atau pura-pura tidak tahu? Aku jelas membicarakannya tentangmu. Sebagai seorang calon ayah, kau terdengar payah"]
Apa? ayah?
["Sebagai dokter yang mengeluarkan diagnosa untuknya, aku ingatkan padamu bahwa kandungan istrimu itu masih sangat rentan. Kondisinya masih sangat lemah. Dan lagi, Kukira istrimu terlalu tegang pada masa kehamilannya. Kusarankan kau segera membawanya untuk kontrol pertamanya ke tempatku. Tidak baik membiarkan istrimu yang sedang hamil lebih dari trisemester pertama melewatkan pemeriksaan rutinnya."]
Marcus masih terdiam ditempatnya. Apa yang dikatakan oleh Adrian terdengar seperti gaungan tak berarti yang sampai ke telinganya. Ia sampai tak habis pikir apa yang diucapkan Adrian hingga detik dimana ia mendengar pria itu memanggilnya. PIkirannya masih tak stabil untuk mencernanya. Rasanya seperti petir yang baru saja menyambarnya. Ketenangannya yang sudah goyah, kini telah benar-benar terusik dengan hadirnya berita mengejutkan ini.
"Apakah yang kau maksud ... ?"
["Kalau kau merasa cukup mampu untuk mengandung dan melahirkan, silahkan saja kau berpikir sebaliknya. Tapi, jangan harap aku akan menjadi doktermu saat persalinan nanti. Sudah, aku mau tidur. Aku hanya ingin menyampaikan itu saja. Masih banyak ronde yang harus kuselesaikan dengan Indah malam ini."]
Hingga sambungan mereka terputus, Marcus masih tetap berada ditempatnya. Udara yang harusnya tak terdengar, kini tampak jelas bunyinya melewati telinganya. Pandangannya pun entah mengarah kemana, meski tak menoleh kemana pun. Kepalanya mendadak pusing. Perkataan Adrian seperti benang kusut yang kini menyumbat seluruh lubang dalam hidupnya. Ia tak tahu apakah dirinya harus berteriak senang atau marah atas tersampaikannya berita ini dari mulut orang lain. Marcus tak menyukai gagasan orang lain menyentuh ruang dalam hidupnya. Bahkan, ... Ia menjadi orang yang entah keberapa yang mengetahui berita ini.
Hanya ada satu orang yang harus menjelaskan sejelas-jelasnya masalah ini. Ia tak bisa menemui siapapun sebelum bisa menemui wanita itu. Hanya wanita itu yang bisa menjelaskan semuanya, sedetilnya sampai ia merasa puas.
"Sialan kau, Margareth." Umpatnya, dengan perasaan mengambang.
***
"Mau sampai kapan kau terus berjalan kesana-kemari tak jelas, sayang?"
Wanita berambut pirang itu menggigiti kukunya. Parasnya yang cantik teraram sinar rembulan yang masuk dari sela-sela tira jendela kamar itu, tak mempersulit pria yang duduk diatas tempat tidur mereka itu untuk memandanginya. Wajahnya yang cantik dan anggun akan membawa ingatan siapa saja pada sosok Angelica yang anggun.
"Aku takut terjadi sesuatu padanya, sayang." ucapnya cemas. Rasa itu tak lebih buruk dari pada ketika ia mendengar berita mengejutkan hari ini.
Dua bulan yang lalu, Margareth dan Marcus telah resmi bercerai. Dunianya gemetar ketika mendengar berita itu dari ayag mertua adiknya itu. Ia tak pernah menyangka jika kehidupan rumah tangga adiknya berjalan sesingkat ini. Tak pernah terbayang olehnya bagaimana hancurnya Margareth atas semuanya yang terjadi. Ia tahu benar bahwa adiknya begitu memuja Marcus. Bagi adiknya, pria itu bagaikan segalanya yang sempurna dalam hidup ini.
"Aku yakin mereka bisa menghadapinya bersama. Marcus dan Margareth bukan lagi anak kecil." Sosok pria bertubuh tegap yang bertelanjang dada itu berjalan menghampiri sang istri. Direngkuhnya wanita itu dari belakang. Diusapnya lengan kecil milik Angelica. Wanita itu pasti membutuhkan dukungan darinya.
Tak lama suara berdering dari benda yang terletak diatas meja nakas disamping tempat tidur pasangan itu berhasil menjadi pengalih. Kedua pasang mata itu saling berpandangan ketika suara itu nyaring terdengar didalam kamar mereka. Dengan segera, Angelica berjalan menghampiri benda itu. Ia sudah tak lagi melihat siapa yang tertera disana. Ia tak peduli dan tak mau tahu.
"Halo?"
["Katakan dimana adikmu?"]
"Apa katamu?"
Angelica menoleh ke belakang menatap sang suami dengan tatapan tak mengerti.
["Ah, .. atau lebih tepatnya, kemana Margareth membawa anakku pergi?"]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Ratna_1729
kalu gak cinta kenapa sampai ada anak?
2022-07-30
0
Sifana Cahaya Exstrada
sedih 😭 😭😭 banget,tp bagus banget ceritanya thour
2022-05-08
1
Sifana Cahaya Exstrada
sedih 😭 😭😭 banget
2022-05-08
0