Chapter 2 : Sebelum persidangan (Margareth)

Aku mencoba untuk memandang sekali lagi sosok pria tampan berjas putih yang kini tengah memandangku penuh senyuman yang lebar. Kalau saja kondisiku memungkinkan, aku bisa saja meneriakkan statusku yang sudah tak lagi menjadi milik siapapun. Pria tampan ini layak untuk menjadi salah satu kandidat calon suamiku.

Namun, apa yang bisa kulakukan selain mencoba untuk bersabar dan menerima kenyataan bahwa diatas meja milik pria bernama Adrian Aditama itu ada sebuah pigura yang menampilkan figur keluarga kecil yang bahagia. Istrinya yang cantik dengan tiga orang anak-anak yang sangat lucu membuat siapa saja terkesima. Entah berapa badai yang sudah dilewati oleh keluarga kecil pria itu. Yang jelas, untuk ukuran senyuman seorang wanita yang tengah hamil besar, bisa dikiranya bahwa istri dari Dokter Adrian adalah wanita yang paling bahagia diantara wanita mana pun di seluruh jagat raya ini.

Aku yang melihatnya hanya bisa tersenyum kecut. Betapa bahagianya keluarga itu seandainya saja akulah yang menjadi sosok wanita disana. Aku iri, bukan karena wanita itu merupakan istri Dokter tampan ini. Melainkan rasa iri yang memncak saat kusadari seumur hidupku nanti takkan pernah kualami nasib yang sama sepertinya.

Aku, wanita yang baru menikah dengan seorang pria setahun yang lalu harus merasakan kenyataan pahit kalau saat ini statusku adalah seorang Janda.

Aku adalah wanita yang baru saja menghadapi kursi pesakitan didepan pengadilan, didepan hakim yang telah memutuskan sampai dimana usia pernikahanku dengan pria berhati dingin itu.

"Aku sungguh tak menyangka jika Marcus bisa memiliki istri yang sangat cantik sepertimu." Ucap Dokter Adrian, yang langsung menyentak pikiranku.

Aku segera mengalihkan tatapanku pada pria itu. Yang kutahu, Adrian adalah sahabat lama mantan suamiku. Entah mengapa Marcus tega menyembunyikan sosok pria tampan seperti ini dariku. Aku sendiri sangat menyayangkan mengapa bukan sosok Adrian-lah yang menjadi suamiku.

"Terima kasih atas pujianmu, Dok. Aku rasa Marcus tak merasa seberuntung itu."

Ya, memang. Apa yang kuucapkan memanglah sebuah kenyataan yang harus kuhadapi. Sebanyak apapun pujian yang melayang atas kecantikan dan rupaku, jika itu bukanlah berasal dari mulut suamiku sendiri rasanya menyesakkan. Mungkin Dokter Adrian adalah satu dari banyaknya orang yang mengagumi fisikku. Tapi, sayangnya Marcus bukanlah salah satu dari para pengagum itu. Dihati pria itu hanya ada satu wanita yang tetap memiliki tempat istimewa dihatinya. Hanya ada satu wanita yang menduduki tahta di kerajaan hati pria itu.

Wanita itu adalah kakakku sendiri.

TOK TOK

Aku mendengar suara ketukan dari luar, yang diiringi dengan kegaduhan lainnya. Suara anak kecil yang sedikit bertikai kudengar menembus langsung ke dalam pintu yang membatasi ruangan ini dengan lorong rumah sakit diluar sana.

Dokter Adrian langsung menoleh ke arah pintu dan berjalan ke sana, sebelum meminta ijin terlebih dahulu kepadaku. Aku mempersilahkan.

Selama pernikahan, tak pernah sedikit pun ada niat untuk menumbuhkan benih didalam rahimku. Tawa anak-anak hanya akan menjadi anganku sampai kapan pun. Marcus tak pernah menginginkan seorang anak. Baginya pernikahan kami hanyalah sebuah perjanjian untuk menyenangkan hati sang seseorang yang dicintainya.

Entah mengapa setiap kali teringat oleh hal itu, hatiku selalu terasa nyeri. Tak ada yang lebih menyakitkan dibandingkan melihat suami yang dicintai lebih memilih wanita lain ketimbang istri sahnya sendiri.

"Oh, Halo Margareth!"

Ketika aku menoleh ke belakang, kulihat seorang wanita yang tengah hamil besar masuk bersama dua anak laki-lakinya yang mulai bertikai. Indah. Se-indah namanya wanita itu menebarkan senyumannya kepadaku. Wanita itu adalah panutan untukku menjadi seorang ibu. Meski terbilang tidak muda lagi, wanita itu menjadi kebanggaan Dokter Adrian. Pria itu selalu membanggakan istrinya di setiap kesempatan. Pada usia kehamilannya yang menginjak lima bulan, untuk ke empat kalinya wanita itu berhasil melahirkan keturunan keluarga Aditama dengan sempurna.

Seandainya ...

"Mbak Indah." Aku pun berdiri menyambutnya. Beruntung tak ada rasa cemburu atas hubunganku dan Dokter Adrian yang merupakan dokter dan pasien. Indah merupakan wanita yang cukup pengertian atas profesi suaminya.

"Anak Ke empat, Mbak?" Tanyaku, yang langsung tertuju pada perut besar milik Mbak Indah yang begitu menonjol. Setelah memiliki dua anak laki-laki dan seorang anak perempuan, aku mulai menerka jenis kelamin anak ke empat mereka yang akan lahir ini.

"Kalau beruang besar ini sudah memiliki niat untuk menambah aliansinya, aku bisa apa."

Dokter Adrian merangkul pundak istrinya itu, seolah dunia milik mereka seorang.Dan aku, hanya mengontrak. "Tentu saja. Itu akan memungkinkan anjing lautku yang besar ini kesulitan berselingkuh."

"Bodoh!" Indah meninju bahu Dokter Adrian. Wanita itu tak memperdulikan aku yang kini memandangi keduanya. Ya, memang seharusnya beginilah sebuah pasangan suami istri. Tidak seperti yang telah aku alami. Semuanya jauh dari kata bahagia.

"Anak-Anak dimana? sepertinya aku mendengar suara mereka tadi."

Mbak Indah menoleh ke arah pintu. "Aku menyuruh Suster Melia membawa anak-anak ke ruang tunggu anak. Aku yakin mereka disana akan tenang selama ada banyak mainan."

"Dan juga para wanita cantik?" Timpal Dokter Adrian, yang langsung membelalakkan mataku.

"Wanita cantik?" Tanyaku terperangah.

Mbak Indah tampak melemparkan tatapan mematikan pada Dokter Adrian. Aku terkikik geli melihat kedua pasangan itu. "Kau ini! Jangan mengatakan yang tidak-tidak pada anakku."

"Oke, maaf sayang. Tidak lagi."

Sangat menyenangkan rasanya melihat sepasang suami istri yang saling menyayangi seperti itu. Andai aku memiliki kehidupan seperti itu, pasti aku takkan berakhir dengan nasib seperti ini. Rasanya aku benar-benar ingin melewati itu semua dan langsung bahagia dengan pasanganku sendiri. Tapi,  semua itu terdengar mustahil dengan kehidupanku yang sekarang ini.

"Saat sampai di rumah kau harus meminum semua vitamin yang telah aku resepkan, Margareth. Aku tak mau memberitahukanmu tentang hasilnya sekarang. Kau dan Marcus harus melihatnya bersama."  ucap pria itu kepadaku.

Andaikan saja aku bisa berteriak didepam wajahnya, aku akan meneriakkan bahwa hari ini aku telah resmi berpisah dengan laki-laki sialan itu. Aku sudah tidak lagi berhubungan dengan Marcus atau siapapun. Aku sudah bebas. Benar-benar bebas.

"Ya, Terima kasih. kalau begitu aku permisi."

Aku segera pamit keluar. Sebelum Dokter Adrian membiarkan pria itu mengetahui kondisiku ang tadi pingsan setelah sidang perceraian kami, aku harus menjadi orang pertama yang mengetahui kondisiku sendiri. Kertas putih yang ditangankulah yang akan menjamin itu semua. Aku pun duduk disalah satu deretan bangku tunggu didepan ruangan Dokter Adrian. Dengan tergesa-gesa, aku membuka lipatan kertas itu ditanganku.

Hanya membutuhkan waktu beberapa saat. Untaian kalimat yang tak kumengerti itu berhasil mencuri napasku ketika aku membaca bagian terakhir dari semuanya. Kini aku tahu mengapa Dokter Adrian memintaku untuk membuka kertas ini bersama pria itu. Aku mengerti mengapa senyum pria itu tak pernah lepas setelah memeriksakan keadaanku. Hanya membacanya saja semua pertanyaanku terjawab sudah.

Aku ...

Tanganku bergerak mengusap perut rataku. Permukaan ini akan rata, tapi hanya dalam waktu sementara. Dalam hitungan beberapa bulan lagi, semuanya akan berubah. Aku sudah tak memiliki kebebasan apapun. Kehidupan yang sudah aku rencanakan takkan lagi sama.

Aku ... hamil.

Terpopuler

Comments

Pink Lavenia

Pink Lavenia

mampir

2023-02-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!