Sepulang dari apartemen Lina, Cellyn langsung pulang ke rumah. Mengingat hari minggu ia hanya menerima temu janji, dan kebetulan hari ini ia tak memiliki temu janji. Jadi, ia memilih bersantai untuk mengabiskan waktu. Kapan lagi dirinya mampu bersantai?
Saat ini Cellyn tengah membuat teh hijau untuk menenangkan diri, dirinyq sangat suka menghirup aroma dari teh. Hal itu, mampu membuatnya lebih tenang. Dan, kebiasaan itu ia dapati dari mamanya. Dulu, mamanya sangat suka menghirup aroma teh, sama seperti dirinya.
Asik mengaduk teh, Cellyn tak sadar jika Darren berada di dapur. Entah sejak kapan Darren ada di sana, tetapi yang jelas kehadirannya membuat Cellyn terkejut. Cellyn menatap ayahnya dengan melas, Darren yang paham arti tatapan anaknya terkekeh. Ia mengecup sekilas puncak kepala Cellyn lembut.
Sejak dulu, Darren memang akan memilih cuti di hari minggu. Ia memilih menghabiskan waktu dengan anaknya begitu terus hingga sekarang. Jika, di pagi hari Cellyn menghabiskan waktu dengan Lina, berbeda jika di sore hari dan malam hari. Banyak yang berpikir Darren adalah kekasih Cellyn, itu dikarenakan wajah Cellyn cenderung mirip dengan mamanya. Ditambah mereka yang sangat dekat layaknya pasangan kekasih, tetapi tenang Cellyn tak menaruh hati pada ayahnya.
Ia melirik Darren sekilas. "Papa mau kopi, mungkin?" tawarnya.
"Boleh. Tumben kamu di rumah," ujar Darren sembari bersandar di kulkas.
Cellyn sibuk meracik kopi untuk Darren, sesekali menoleh kala Darren berbicara padanya. "Lina kayaknya kecapekan, soalnya belum bangun," jelas Cellyn.
Darren tak menjawab lagi membuat Cellyn menoleh ke belakang. Ternyata Darren menatap dirinya dengan intens, Ia memandang Darren penuh tanya. Risih? Sebenarnya tidak, tetapi ia tak bisa dipandang terlalu intens.
"Kenapa, Pa?"
Darren menggeleng sekilas. "Enggak papa, cuman gak nyangka aja kamu udah segede ini. Padahal dulu masih suka ngompol, makan belepotan, masih suka dipangku, digendong, dipeluk. Sekarang? Jangan mangku kamu, waktu sama kamu aja gak ada," ujarnya dengan senyuman.
Cellyn membisu mendengar ucapan Beliau. Dadanya berdenyut nyeri, sadar atau tidak ia dan Darren memang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Mereka hanya bertemu saat sarapan saja. Saat Cellyn tidur, Darren baru pulang dari kantor. Dan, hari minggu adalah hari terpanjang mereka saling bersitatap.
Cellyn memeluk Beliau dengan erat. "Maafin Cellyn yang terlalu sibuk, Pa," ujarnya dengan tangis yang berusaha kutahan.
Darren mengusap surai putrinya dengan lembut. Cellyn sendiri memejamkan matanya erat, menikmati usapan yang sudah jarang ia rasakan. Air mata yang sedari tadi dirinya tahan akhirnya turun juga membanjiri pipinya. Cellyn semakin mengeratkan pelukannya pada Darren, dibenamkan wajahnya di dada bidang Darren.
Cellyn merasa beruntung memiliki Darren, ia beruntung mendapatkan sosok Ayah seperti Darren. dirinya menghela nafas berat kala Darren melepaskan pelukannya, pria yang sudah tak muda lagi itu masih memasang senyum tulusnya. Tangan kasarnya menghapus air mata putrinya dengan lembut, ia menggeleng pelan. Seolah mengatakan untuk jangan menangis pada putrinya.
"Hey, anak Papa yang paling cantik kenapa nangis, hm? Jangan pernah merasa kamu bersalah atas kurangnya waktu kita bersama. Dulu, kita emang punya waktu, tapi itu semasa kamu kecil, Sayang. Kamu gak salah, saat kamu dewasa kamu sudah bukan tanggung jawab Papa dan Papa akan semakin lepas dari tanggung jawab Papa saat kamu menikah nanti, Cantik," jelas Darren lembut.
Bukannya berhenti menangis, tangis Cellyn justru semakin kencang. Sosok yang tak pernah menuntut banyak hal padanya, sosok yang selalu ada untuknya, dan hingga kini dirinya belum juga bisa membahagiakan Darren.
"Udah jangan nangis, nanti tambah jelek hahaha ...," ujarnya dengan tawa renyah.
Ia memberengut. "Papa!" rajuk Cellyn.
Darren terkekeh, ia mengecup kening anaknya sekilas. "Tetap jadi Cellyna Zxyoila Gautama yang Papa kenal, Sayang."
...***...
"Woi anak Bapak Gautama!"
Panggilan itu membuat Cellyn mendengus kesal. Tanpa melihatnya saja dirinya sudah tahu siapa pelakunya, hanya satu orang yang berani berujar demikian padaknya. Cellyn menatap tajam Lina yang dibalas dengan cengiran khas seorang Lina. Iya, pelakunya Lina— sahabat terbaik Cellyn.
Dia terkekeh pelan. Tanpa mengucapkan maaf, dia langsung duduk di hadapan Cellyn. Yeah, mereka memutuskan bertemu di coffee shop langganan mereka. Mengingat tadi pagi ia dan Lina tak jadi bertemu, jadilah mereka disini sekarang. Menghabiskan sore hari kami dengan secangkir kopi tentunya.
Cellyn menatap Lina heran. Baru kali ini dirinya melihat leher sahabatnya bersih dari tanda merah. Apa dia sudah tobat? Sepertinya, itu hampir tidak mungkin. Lina yang sadar Cellyn memperhatikan lehernya, mendongakkan kepalanya sembari menatap sahabatnya heran. Selesai memesan pesanannya, ia menatap Cellyn penuh tanya.
"Kenapa sih?" tanyanya heran.
Cellyn menggeleng pelan. "Enggak, tumben aja bersih," tuturnya sembari meminum ice coffee milikku.
Lina cengegesan tidak jelas membuat Cellyn memutar malas bola matanya. "Kemarin, 'kan aku gak mantep-mantep, Cell."
"Otak kamu tuh kudu di musnahkan," ujar Cellyn sinis.
"Enggak punya otak dong? Kalau aku jadi bodo gimana?"
"Lho, sejak kapan kamu punya otak, Lin?"
Lina mendelik kesal mendengar ucapan Cellyn, sedangkan Cellyn mengedikkan bahu acuh, tak peduli dengan respon sahabatnya. Orang seperti Lina memang harus diberi tahu secara sarkas bukan lembut. Dia tidak akan paham jika Cellyn bertutur lembut.
"Apa yang kamu lakukan itu hajat, Bu Dokter!"
"Who care, Baby?" sahut Cellyn sembari menaikkan sebelah alisnya.
"Pantas aja kamu single sampe sekarang," dengus Lina.
Ia kembali mengedikkan bahu acuh. "It's okay, setidaknya aku belum terjamah tangan nakal pria hidung belang."
Lina mendengus kesal, karena kalah debat dengannya. Dalam hati Cellyn tertawa, ia hanya mau sahabatnya sadar. Sadar bahwa apa yang selama ini dirinya lakukan itu salah, karena sama saja seperti menjual diri. Cellyn tak mau sahabatku larut dan tenggelam pada jalan yang salah.
Berteman dengan Lina sejak menduduki bangku SMP membuat dirinya tahu betul tabiat Lina. Lina melakukan ini untuk menyalurkan perasaannya yang dikecewakan dulu. Dan, pada akhirnya ia tenggelam dalam kegelapan itu.
Mereka saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Cellyn melirik Lina yang nampak asik dengan ponselnya, entah apa yang dirinya kerjakan. Dirinya berdehem pelan untuk mengalihkan atensi Lina, dan itu berhasil. Lina dengan cepat mengalihkan perhatiannya dari benda persegi itu.
"Why?" tanyanya.
"Enggak papa, sih. Btw, gimana butik kamu?"
"Lumayan baik dan makin berkembang, ta—"
Bruk!
Ucapan Lina harus terpotong karena seorang anak yang tak sengaja menabrak kakinya. Lina sontak menunduk guna menatap anak yang menabrak kakinya. Aku terus memandanginya, Cellyn penasaran dengan anak yang tak hati-hati tersebut, tetapi dirinya tetap memilih diam.
"Hallo, Cantik!" sapa Lina.
Gadis kecil tersebut tersenyum kikuk, sangat manis dan imut. Lina membawa gadis itu ke dalam pangkuannya, Cellyn terus saja memperhatikan interaksi keduanya. Bukan, bukan interaksi mereka, tetapi wajah anak tersebut! Dirinya seperti tak asing dengan wajah anak tersebut.
"Maaf, Aunty. Yana ndak sengaja nablak, Aunty," ujarnya sembari menunduk.
Cellyn menggigit bibir bawahnya menahan gemas, sedangkan Lina, dia sudah terkekeh kecil. Dirinya dan Lina saling pandang seolah berkata 'ini anak siapa?', mereka kompak menggeleng. Atensi Lina kembali beralih pada gadis kecil yang berada di pangkuannya.
"Nama kamu siapa, Sayang?" tanya Lina.
"Kayana Clarea Brawirya."
Deg!
"Jadi, dia anak Om Devan? Astaga pantas saja seperti tak asing, Tuhan!" Cellyn segera menatap Kayana, memperhatikan setiap inci wajahnya. Dan, ya, dia sangat mirip dengan Devan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Imas Maela
lanjut..
2022-09-27
0