“Aku ingin seperti matahari, yang dapat memberimu kehangatan.
Walau kutahu, mendekat hanya akan memanggangmu, menghanguskanmu tanpa sisa.
Aku ingin seperti purnama, yang menyinari kegelapanmu di setiap malam.
Walau kau tak pernah menyadariku sampai pagi menjelang.
Aku ingin seperti dia, yang bisa berada di sampingmu selalu.
Menghiburmu, menenangkanmu, tanpa ada atmorfer yang membatasi.
I just want you....”
•••••
Suara kicauan burung yang seolah sedang berpaduan suara membangunkanku lebih awal. Sinar matahari menyorot langsung ke wajahku dari sela-sela tirai jendela yang sedikit membuka. Dengan langkah gontai aku berjalan ke kamar mandi.
Sambil berkaca di cermin yang menempel di dinding kamar mandi, yang kudapatkan dari pedagang eceran yang suka menggelar tikar di samping jalan dengan harga lima ribu rupiah, aku terus kepikiran, bagaimana menderitanya Nabilla yang dipaksa bersama denganku yang burik ini, yang bahkan bayanganku di cermin pun jijik melihat wujudku yang tak karuan. Mengingat bahwa kami bertunangan karena terpaksa dan bukan keinginan kami sendiri membuatku tambah frustasi.
Dia memang tak pernah mengatakannya secara langsung. Wajahnya yang tidak pernah berekspresi dan judes selalu menutupi isi hatinya yang sebenarnya. Namun bagaimana jika di balik wajah tanpa ekspresinya, terdapat rasa sedih dan kesepian yang sangat mendalam? Bagaimana jika di balik sikapnya yang judes, tersimpan rasa penyeselan yang teramat sangat?
Aku tidak peduli dia jodohku atau bukan. Yang terpenting buatku, dia bahagia. Itu saja. Bahagia bersama pilihannya. Bersama orang yang benar-benar dia sayangi. Bukan terpaksa atau terbiasa. Karena aku mencintainya. Jauh dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku ingin dia jadi milikku sepenuhnya.
Saking melamunnya, aku hampir saja cuci muka, bukan pakai sabun muka, tapi pakai sampo anti ketombe.
Seperti yang kubilang di awal cerita, aku orangnya pelupa. Pelupa kronis lagi. Pernah waktu SMA, aku lupa atribut. Aku yang sudah sampai di sekolah terpaksa harus kembali ke rumah untuk mengambilnya. Sesampainya di rumah, yang kuambil malah baju kaus yang tidak ada hubungannya sama sekali. Setelah itu aku kembali ke sekolah dengan wajah tanpa dosa. Ketika sampai di sekolah, barulah aku sadar kalau aku ini memang bego. Akhirnya aku kembali ke rumah dan untungnya, atributnya kuambil setelah terus berkata dalam hati: atribut, atribut, atribut, seperti anak kecil yang disuruh ke warung oleh ibunya. Terasi sekilo, gula satu ons, bawang merah setengah kilo―eh tadi beli apa? Emaaaaaaakk!
Setengah jam kemudian agenda mandiku selesai. Setelah memakai pakaian, aku pergi ke dapur untuk memasak sarapan dan membuat teh hangat. Kubuka pintu kulkas dan mengambil dua buah telurku―maksudnya telur milikku―ya pokonya itu-ku yang aku beli dari warung terdekat, lalu mengocok mereka dengan sekuat tenaga.
Walau pun tampangku begini, tapi kalau soal masak telur ceplok dan nasi goreng, aku tidak kalah handal dengan chef kaki lima di pinggir jalan.
Untuk nasinya, bulan lalu aku beli rice cooker dan kompor portable dengan wajannya setelah berpuasa daud selama sebulan. Alhasil, perutku jadi sixpack, dengan tulang-tulang yang seolah ingin copot keluar, meninggalkan kulit sendirian untuk merayap karena tidak ada daging dalam tubuhku. Sedikit pun.
Lima menit kemudian itu-ku―matang. Sambil membawa segelas teh di tangan dan nasi goreng dengan topping telur di tangan satunya, aku berjalan kembali ke arah meja yang menjadi tempatku belajar sekaligus bersantai. Memutar-mutar gelas di telapak tangan seperti kebiasaan orang yang kedinginan. Atau... sedang gelisah.
Sambil menenggak teh manis, aku teringat kembali kejadian kemarin. Apa Nabilla benar-benar akan memutuskanku? Namun, dia pasti akan senang. Tak ada lagi manusia bernama Aisaka yang akan mengganggu hidupnya. Takkan ada orang yang akan membuatnya kesal dan marah setelah kami benar-benar sudah terpisah. Akan tetapi, ekspresinya kemarin tidak seperti orang yang senang. Malah sebaliknya, dia terlihat sedih. Mengapa demikian?
Aku memandangi gelas yang sedang kupegang. Gelas couple Mug Bunglon berwarna hitam, yang kalau diisi air akan muncul tulisan Mine. Hadiah pertama yang Nabilla berikan kepadaku waktu tidak sengaja menemukan gelas yang menurutnya cantik, namun saat dia mau membelinya, kata penjaga tokonya tidak bisa beli satu, harus dua-duanya. Dengan terpaksa dia memberikan satunya lagi padaku. Tapi tak apa. Aku bahagia.
Kutelan makananku dengan pikiran yang terbang ke mana-mana. Sistem limbik otakku tak henti-hentinya menampilkan kepingan-kepingan lamunan tanpa batas, bercabang, dan saling bergantian mengambil alih angan. Menyibukkan akal dengan berjuta khayalan tak berujung.
Karena tak ada lagi yang bisa kukerjakan, aku mengambil sapu dan kemoceng dari sudut ruangan. Sambil bersih-bersih, akan kuajak kalian melihat-lihat kosakan mungilku yang sempurna.
Tidak terlalu besar, tapi cukup untukku bisa tidur nyenyak tanpa takut kehujanan. Luasnya hanya 5 x 5 meter. 50 meter persegi. Fasilitas yang kudapatkan berupa ranjang, lemari pakaian mini, meja dan kamar mandi. Dispenser kubeli sendiri karena aku selalu membutuhkan air hangat setiap pagi, atau sakit perutku akan kambuh. Mungkin sindrom iritasi usus besar atau apalah. Yang pasti perutku selalu ngilu setiap bagian tubuhku―walau cuma telapak tangan―terkena angin sejuk di pagi hari.
Lupakan perutku yang baperan. Dinding di dalamnya dicat dengan warna abu-abu gelap. Satu lampu downlight bersinar redup tepat di tengah langit-langit, membuat suasana di dalam sedikit mencekam tapi nyaman. Lantainya hanya ditempeli keramik kotak-kotak berwarna putih seperti bangunan pada umunya. Dan di kamar mandinya, kita mendapat satu keran, satu ember besar dan satu kloset duduk yang masih mengkilat karena terawat.
Di pojok ruangan, terdapat sebuah meja berukuran 56 x 34 cm yang kugunakan untuk belajar. Dan sebuah laptop berwarna silver tergeletak di atasnya. Aku berjalan dan duduk di depan meja itu karena tak ada lagi yang bisa kubersihkan. Dengan hati-hati kubuka laptop itu perlahan, lalu dengan pelan kutekan tombol daya yang seketika itu juga layar laptop menyala. Tak lama sebuah gambar danau yang dikelilingi gunung-gunung hijau muncul dengan bulatan logo manusia di tengahnya. Kuklik bulatan itu, menampilkan layar utama laptop. Kemudian masuk ke explorer, lalu dokumen, lalu mengklik dua kali file yang kuberi nama Project Novel Aisaka 2 dan muncullah ribuan kata yang sudah kurangkai sebelumnya. Deretan kata yang berbaris rapi seperti pasukan pengibar bendera. Aku menggulir halaman sampai ke halaman terakhir, melanjutkan cerita yang sedang kukarang seenak jidatku.
Beberapa jam berlalu sejak kunyalakan laptop tadi. Namun tak ada satu kata pun yang bisa kurangkai sampai sekarang. Otakku macet tak bisa menciptakan khayalan. Pikiranku selek. Aku butuh asupan inspirasi dan imajinasi yang bergizi. Tak ada yang bisa kujadikan sebagai referensi. Tak ada ide. Tak ada apapun di dalam isi kepalaku sekarang. Kosong melompong seperti nasib dompetku yang malang.
Aku tak bisa berpikir..., Nabilla....
°°°°°
AKU terbangun karena gerah yang tiba-tiba menyerang, membalut tubuhku layaknya selimut berhawa panas. Dengan butiran keringat yang menyembul keluar dari setiap bagian tubuhku yang hanya memakai celana pendek, aku bangun, mencoba mencari jawaban atas alasan situasi yang tidak seperti biasanya ini.
Aku melirik kipas angin yang tidak perputar sama sekali. Jadi itu penyebabnya. Mati listrik, ketusku dalam hati. Namun, setelah mendengar musik yang menggaung kencang lewat speker dari kamar sebelah, aku sadar bukan mati listrik penyebab kenapa kipas anginku berhenti berputar.
Aku mendesah. “Tokenku habis lagi,” kataku datar.
Dengan malas aku bangkit, mengambil handuk yang menggantung di dinding dan masuk ke kamar mandi sebelum badanku kering karena keringatku terus diperas keluar. Sambil mengguyur kepala, beban pikiranku ikut terangkat ke permukaan.
Sebulan berlalu semenjak hari di mana aku membuat Nabilla pulang dengan perut keroncongan. Hasilnya, aku jadi galau seharian penuh sambil membayangkan apa yang akan terjadi setelahnya. Setelah menanam biji berupa kata-kata bodoh sebelumnya, buah kenyataan seperti apa yang akan kutuai? Buah yang busuk, atau segar? Atau malah... tak berbuah.
Aku tidak berani datang menemuinya langsung. Aku juga takut bertatap muka dengannya. Aku takut kehadiranku tidak diinginkan. Dan, aku tahu kehadiranku memang tidak diinginkan. Sejak dulu.
Sekuat apa pun aku berusaha mengenyahkan semua itu dari pikiranku, nyatanya bayangan itu jauh lebih kuat dan terus bersemayam di sana. Setiap hari semakin kuat, mencabang dan menyita fokusku lebih sering. Saat mengendarai motor, saat melakukan aktivitas, tak surutnya pikiran tentang dia merasuki kepalaku seperti parasit.
Sudah sedari dulu aku berusaha menekan perasaan ini. Mencoba bersikap senormal mungkin setiap berada di dekatnya. Akan tetapi semua usahaku sia-sia. Bukannya menyusut, perasaan itu malah semakin memuai seiring berjalannya waktu dan mengisi setiap celah dan rongga di tubuhku. Nabilla membuatku tergila-gila sekaligus tersiksa. Pada saat yang sama.
Dengan pikiran yang masih berkecambuk, aku sibuk bersiap-siap untuk pergi ke warnet terdekat. Kulirik jam di dinding. Hampir jam tiga. Pengumuman tes kuliahku sebentar lagi akan keluar. Dengan perasaan tak sabar dan deg-degan, aku mempercepat gerak.
Aku tak bisa mengeceknya dari laptop jadulku yang menyambungkan wifi tidak bisa. Alasanku mempertahankannya hanyalah karena laptopku masih menyala dan cukup buatku mengetik cerita.
Aku sampai di warnet lebih cepat dari dugaan. Masih tersisa lima belas menit lagi menuju waktu pengumunguman hasil tes yang telah ditentukan. Entah kenapa di saat seperti ini waktu terasa memuai. Lima belas menit serasa begitu lama. Setiap detik rasanya seperti berdetak sepuluh kali lebih lama.
Tinggal satu menit lagi. Jantungku semakin berdebar bagai menanti kejutan. Jemariku bergetar halus di atas papan ketik. Aku terus menatap layar komputer tanpa berkedip. Seolah tak ingin ketinggalan momen langka yang amat jarang dilihat. Napasku tertahan, mengantisipasi hasil akhir yang kunanti-nanti sebulan terakhir ini.
Mataku nyaris copot karena membelalak. Mulutku membuka seolah ingin mengatakan sesuatu tapi tak ada satu kata pun yang keluar. Setelah beberapa saat aku terdiam, mencoba mencerna apa yang kulihat dengan mata kepala sendiri yang hanya berjarak beberapa senti, aku tergugah dari lamunan. Aku berteriak kencang sampai membuat penjaga warnet yang sedang mengantuk di pojokan langsung berdiri karena kaget.
Aku berlari menghampiri penjaga warnet itu sambil berseri-seri. “Bang, saya keterima, Bang! Saya keterima di UNJ!” Aku melompat-lompat kegirangan.
“Emm... selamat ya,” jawabnya dengan wajah masih setengah linglung.
Aku menyalami penjaga warnet itu kemudian berlari kegirangan seperti orang yang baru menang lotre. Tak lama aku menyadari sesuatu. Aku kembali masuk ke warnet itu, mematikan komputer yang tadi kupakai lalu membayar uang sewa. Setelah itu aku kembali berlari, meninggalkan penjaga warnet yang masih terlongo di tempatnya. “Makasih, Bang!” teriakku setelah cukup jauh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments