“Apa cuma aku yang mengalami,
Satu per satu orang yang kukenal mulai pergi.
Meninggalkanku bersama teka-teka tentang apa penyebab semua itu terjadi.”
•••••
Aku masih terduduk sambil memandangi sosok perempuan cantik yang sedang berdiri di depanku. Tatapan galaknya lebih menusuk dari lemparan sepatunya tadi, menatapku nyalang seperti elang mengintai mangsa.
Kulitnya putih seolah rutin disablon. Matanya yang bundar kini menyempit. Tubuhnya yang indah bak gitar Spanyol terlihat semakin indah memakai kaos berwarna pink dan rok pendek, memperlihatkan pahanya yang putih dan mulus tanpa minus. Tingginya sekitar 165 cm. Selisih sepuluh senti denganku yang 175 cm. Tangannya yang panjang disilangkan di depan dada, membuatnya semakin terlihat seperti seorang adik yang sedang ngambek karena tidak dibelikan seblak oleh sang kakak.
Jodoh itu cerminan diri. Mungkin hanya aku tidak setuju dengan pribahasa itu. Kalau kubandingkan lagi, sifatku dengannya sangat berbanding terbalik. Berbanding terbalik dengan sifatku yang lemah lembut dan suka menabung ini.
Entah bagaimana caranya nasib membuat lelucon yang lucu seperti ini, aku selalu bertanya-tanya. Nabilla, yang perawakannya seperti bidadari yang jatuh dari pohon nangka di surga, bisa mendapatkan diriku yang dibandingkan dengan gelandangan pun lebih mending gelandangan―kalau good looking. Tubuh kurus, rambut acak-acakan dan baju yang itu-itu saja dari mulai Minggu sampai Sabtu membuatku lebih terlihat seperti Lucifer daripada Uriel.
Satu tahun sudah kami bersama. Selama itu juga kami telah melewati berbagai macam ujian yang mengetes seberapa kuat hubungan kami bisa bertahan. Sampai akhirnya sekarang, di sini, di ruangan ini, kami saling bertatap-tatapan penuh makna. Nabilla dengan pandangan ingin mengkremasiku hidup-hidup dan aku yang memandangnya penuh harap untuk membiarkanku tetap hidup.
“NABILLA SAYANGGG....” Aku berusaha merayunya, walau kutahu itu mustahil. “Ada apa? Jangan cemberut dong. Kamu jelek banget kalo lagi cemberut tahu gak? Apalagi sampe ngelempar sepatu ke muka orang.”
Aku bangkit dan merentangkan tangan, berniat memberi Nabilla kehangatan. Namun belum juga sampai, Nabilla telah lebih dulu melancarkan pukulan One Punch Woman-nya ke tepat ke perutku. Pukulan Saitama―Saitima―Sitima. Dengan wajah meringis menahan sakit, aku memeluk Nabilla dengan sebelah tangan memegangi perut.
Gila bener ni cewek. Belum juga nikah tapi sudah babak belur duluan. Gak kebayang bagaimana setelahnya nanti. Mungkin beberapa hari ke depan aku akan berakhir di rumah sakit terdekat dengan menderita gangguan mental. Atau lebih buruk, namaku akan berubah dari Aisaka menjadi almarhumah Aisaka dan fotoku akan terpampang di sampul depan buku Yaasin, gerutuku dalam hati.
“Billa kenapa sih? Cerita dulu dong baru nanti mukul.” Aku mendudukan Nabilla di kasur dengan hati-hati.
“Berarti nanti aku boleh mukul lagi?” tanyanya sambil menatapku dengan niat membunuh yang begitu kental.
“Yaa... gak gitu juga konsepnya..., Ijah! Emangnya kamu kenapa?” tanyaku lagi. Aku pergi mengambil air dari dispenser, lalu memberikan gelas berisi air putih―yang sempat kubacakan surat Al-Fatihah itu kepadanya.
“Gak pa-pa. Aku cuma lagi mens. Lagi pengen bunuh orang,” jawabnya ketus.
Ehh buset. Aku menatapnya ngeri. “Dahlah,” ucapku sambil bangkit, berniat pergi ke toilet namun baru satu langkah tiba-tiba kerah bajuku ditarik dari belakang.
“Eh, eh, mau kemana?”
Aku terjungkir ke belakang. Lagi. Sambil memegangi leher, aku terbatuk beberapa kali karena tenggorokanku terjepit baju. Emak... gini amat nasib anakmu.
“Iyah, Cintakuhhh... kamu mau apa, Adinda?” tanya Aisaka sambil tersenyum paksa. Sedikit sinis.
“Mamah tanya kapan mau ke rumah, katanya,” Nabilla bertanya. Pelan.
Aku tidak langsung menjawab. “Iya nanti, kalo ada waktu luang. Mungkin akhir pekan,” jawabku akhirnya.
“Oh, oke.”
Hari ini Nabilla tenang lebih cepat. Dua bulan sebelumnya, kejadian seperti ini juga pernah terjadi. Bahkan lebih parah lagi.
Saat itu, semua usahaku untuk membujuknya sia-sia. Tak ada satu pun dari strategiku yang cukup ampuh untuk melumpuhkan amukan Nabilla. Dimulai dari mengajaknya jalan-jalan sampai membelikannya seblak. Tak ada satu pun yang manjur. Tak ada yang bisa mengerti isi kepala wanita. Setidaknya isi kepala Nabilla. Karena tidak ada yang bisa menyumpal egonya, Nabilla mengamuk sampai sore di kosanku.
Pada akhirnya, dia luluh setelah melihat anak kucing yang kupungut dari pinggir jalan, berjalan terseret-seret dari bawah tempat tidur seperti bayi yang sedang belajar berjalan. Hari itu pun di tutup dengan berakhirnya kamarku seperti kapal pecah. Lebih parah dari itu. Kamarnya seperti kapal terbelah.
Kemudian mataku teralihkan oleh sebuah objek mencurigakan di atas meja belajar. Sebuah kotak besar yang dibungkus oleh kain berhasil menarik perhatiannya.
Lama aku menatapi bungkusan itu tanpa bersuara. “Sudah kubilang untuk tidak perlu mengirimiku makanan setiap hari,” aku akhirnya berkata. “Billa emangnya gak capek bolang-balik ke sana ke mari?” tambahku lagi.
“Ya, capeklah!” tukas Nabilla galak. Sifat kucing orennya kembali tampak.
“Ka-ka-kalau begitu, udah aja, gak pa-pa,” kataku gelagapan. “Aku juga udah gak lagi beli makan di pinggir jalan. Jadi Mamah gak perlu khawatir lagi, dan Billa gak perlu bolang-balik lagi.” Keringat dingin mengucur deras meringi ketakutanku pada Nabilla.
Beberapa kali dalam seminggu, Nabilla selalu mengantariku masakan ibunya dari rumah. Padahal aku sudah bilang berkali-kali untuk tidak melakukannya lagi karena sekarang aku sudah punya alat-alat masak sendiri. Jadi aku tak perlu lagi membeli masakan cepat saji seperti yang mereka khawatirkan. Mereka khawatir sakit perutku bakal kambuh seperti dulu karena keseringan mengonsumsi makanan cepat saji. Mereka di sini maksudnya ibu dan ayahnya Nabilla. Bukan Nabilla itu sendiri. Dia sepertinya takkan peduli meskipun aku lari bersama tetanggaku sekali pun.
“Untuk sekarang, karena terlanjur dibawa, ayok kita makan bareng,” aku mengajaknya.
Aku bangkit dan berjalan ke dapur untuk mengambil alat saji. Aku lalu mengambil kotak bekal tadi dan menghidangkannya kepada Nabilla yang malah melamun memandang ke luar jendela.
Hening seketika. Tidak ada suara yang terdengar selain bunyi lalu lalang kendaraan yang terdengar dari luar. Juga suara anak kucing yang sedang bermain-main dengan bola mainannya. Sesekali kucing itu berlari mengejar bolanya yang menggelinding jauh. Aku memberinya nama... Kanjut.
Terinspirasi dari warnanya yang abu-abu, Kanjut masih berumur empat bulan saat aku menemukannya dari dalam dus di pinggir jalan. Membuatku tak sampai hati meninggalkan anak kucing gelandangan itu sendirian. Aku masih trauma dengan kucingku dulu yang tewas mengenaskan. Ironisnya, Kitty, begitulah namanya, terlindas dan terselip di ban belakang truk milik majikan Kitty sebelumnya. Aku tidak melihat bangkainya secara langsung. Hanya mendengar kabar terakhir kucingku itu dari ibuku.
Aku menyentuh bahu Nabilla. Mengecek apakah orang di hadapanku itu masih hidup atau tidak.
“Kamu masih hidup, ‘kan? Aarrggghhh... ya, kamu masih hidup.” Pertanyaanku dijawab dengan gigitan di tangan.
Nabilla mengangkat kepalanya. Matanya menatapku sayu. “Apa kamu rindu Ibu sama Bapak sama Dede?” tanyanya pelan.
Jadi itu yang dari tadi ia pikirkan. Aku tersenyum simpul.
Aku tidak menyangka, di balik sikapnya yang kejam layaknya ibu kosan, dia benar-benar gadis baik yang peduli pada sekitar. Mungkin dia hanya tidak bisa berkomunikasi dengan benar. Aku ingin tahu, apakah dari dulu dia sudah seperti ini atau hanya setelah kami bertemu?
“Rindu lah,” Aku menjawab. “Billa juga rindu?” tanyaku sambil menahan emosi. Berusaha supaya tidak menangis di depan Nabilla walau kantong mataku sudah penuh dengan air yang terus mencoba mendobrak keluar. Mencari kebebasan.
Nabilla tidak menjawab. Pandanganya kembali menerawang, menatap ke luar jendela.
Sudah setahun sejak saat itu. Rasanya baru beberapa hari yang lalu, saat orang tua dan adikku pergi untuk selama-lamanya. Meninggalkanku seorang diri untuk menangis dan meratapi mereka sepanjang malam ketika aku tahu mereka takkan kembali pulang.
Aku selalu berandai, jika saja saat itu aku melarang mereka pergi, apakah mereka masih ada di sampingku saat ini? Aku selalu berpikir, kalau aku memaksa ikut dengan mereka dan masa bodo dengan sekolahku yang hampir tamat, mungkin saat ini aku sedang tertawa lepas tanpa beban bersama mereka di alam sana. Tetapi aku tahu itu mustahil terjadi.
Wajah cantiknya berkilau disiram cahaya langit yang mulai berubah senja. Hatiku bergejolak dan meluap-luap ingin mendekapnya, menciuminya. Namun tatapan tajam yang Nabilla beri menyayat keberaniannya seketika. Dia menatapku lama. Sampai kemudian suara “krebek-krebek” mengagetkan kami berdua. Wajah Nabilla yang merah terkena sinar mega, semakin merona karena suara unjuk rasa perutnya yang menuntut hak asasi warga cacing yang dibiarkan kelaparan begitu saja.
Aku tertawa renyah. “Udah, udah. Daripada mikirin itu, lebih baik kita kita meredam para cacing yang demo itu.” Aku menarik tangan Nabilla dan mendudukannya di hadapanku.
Tak ada meja makan di kamar indekosku ini. Jadi, dengan terpaksa aku harus membiarkan Nabilla makan sambil duduk di lantai setiap kami makan. Berada di ruang sempit saja pasti sudah membuatnya tidak nyaman, apalagi ditambah ada aku di antaranya. Aku jadi semakin merasa tidak enak.
“Billa...,” panggilku pelan. Nabilla yang sedang mengambil nasi berhenti dan menatapku dengan pandangan bertanya-tanya. “Kalo kamu mau, bagaimana kalo kita mengakhiri saja hubungan pura-pura ini sebelum tambah jauh akhirnya,” ucapku dengan hati-hati, seolah salah satu kata saja, nyawaku melayang sudah balon gas yang tidak dipegang erat-erat.
Dan benar saja. Ekspresi Nabilla berubah murka. Detik berikutnya dia sudah bangkit berdiri dengan gagah. Disusul dengan suara gesekan tas yang diseret dari atas kasur. Aku sudah pasrah, siap menerima ajal dengan lapang dada. Selamat tinggal, dan... aku datang menyusul kalian.
“Aku... pulang dulu....” Nabilla berkata dengan lirih dan berjalan ke arah pintu.
Aku terlongo mendenger hal baru itu.
Sulit dipercaya. Aku pikir dia akan kembali mengamuk dan menghancurkan kamar kosku dengan segala macam khodam yang ia punya. Namun nyatanya, dia malah berlalu pergi dengan wajah yang terlihat sedih.
“Makan dulu.” Aku mencoba menahannya.
“Aku tidak lapar. Kamu makan aja semua.” Dia membuka pintu dan benar-benar pergi, meninggalkanku sendiri bersama sekotak besar nasi.
“Apa yang sudah kulakukaaann...??”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments