INSTALASI 3: FIANCE

“Kau membawa semuanya pergi bersamamu.

Termasuk jiwaku.”

•••••

Kafe yang terletak di daerah Kebayoran Baru itu selalu ramai seperti biasanya. Kebanyakan yang datang adalah sepasang kekasih yang ingin berbincang santai ditemani secangkir kopi panas yang akan membuat matamu terjaga lebih lama.

Aku sibuk berlalu-lalang untuk melayani pelanggan yang terus bertambah seiring jamnya. Mencatat pesanan mereka yang bermacam-macam.

“Permisi, Mas, saya pesan dua pasta sama dua es teh manis,” pesan seorang pelanggan perempuan yang sedang duduk bersama pacarnya di meja paling pojok.

“Dua pasta sama es teh manis,” ulangku sambil mencatatnya di kertas mungil yang kuambil dari saku baju. “Baik, ditunggu sebentar, ya.” Aku tersenyum ramah sambil berjalan menuju pintu dapur. “A, pasta sama jus alpukat,” kataku kepada seorang pria yang sedang memegang panci sambil menaruh kertas pesanan tadi di meja.

“Ya ampun, Ay! Sudah saya bilang panggil saja Martha. MAR―THA!” protesnya sambil mengacung-acungkan panci itu ke arahku.

Aku menatap Martha lamat-lamat. “A Aldo Dante Laurenzo.”

“Ti ucciderὸ (Kubunuh kau), Dasar Bocah Sialan!” umpatnya kesal. Suaranya yang tadi lemah lembut berubah berat seperti preman pasar.

Aldo, atau Martha―begitu katanya setiap kali aku menyebut nama aslinya―adalah pria dewasa bertubuh besar dan kekar. Namun, dengan sikap dan gaya bicaranya yang feminim, dia lebih condong ke arah cucho daripada disebut macho.

Martha selalu memakai setelan pelayan dengan jas hitam berlengan pendek dan... rok pendek. Kakinya yang berotot dibalut dengan stoking berwarna hitam. Rambutnya selalu diikat ke belakang dan membiarkan beberapa helai rambut keritingnya bergelantungan di kening. Kumisnya yang tipis bergerak-gerak setiap kali ia bicara.

Kata Robi, rekan kerjaku, Aldo atau Martha adalah blasteran Indo-Italia. Ibunya asli Jakarta dan ayahnya dari Sisilia. Melihat tubuhnya yang besar, aku menjadi segan terhadapnya. Takut-takut dia akan menjadikanku samsak tinju saat mood-nya sedang kacau atau sedang gabut. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, aku merasa nyaman juga mengobrol dengan waria setengah Italia itu.

Robi, laki-laki seumuranku, berbadan gemuk dan pendek, serta selalu memakai kacamata yang entah minus berapa. Tidak banyak hal yang bisa dibanggakan darinya selain isi kepalanya yang hanya dipenuhi oleh perempuan cantik. Namun di balik otaknya yang playboy, Robi adalah sosok manusia yang bisa diandalkan disaat kita butuh bantuan.

Ada satu lagi karyawan di tempat ini. Namanya Risma, perempuan yang lima tahun lebih tua dariku dan Robi. Dia adalah perempuan yang selalu punya cadangan kotak tertawa dan stok senyuman tak terbatas untuk sepanjang hari. Saat senang, saat sedih, saat tegang, bahkan saat biasa saja dia selalu bersemangat dengan segalanya.

Kafe ini juga masih dibilang kecil. KUY. Begitulah kafe terbuka ini diberi nama. Bagian depan kafe dicat dengan warna hitam sehingga membuatnya lebih mencolok dari bangunan lain di sebelahnya. Di bagian atasnya, terpampang papan logo yang bersinar bertuliskan “KUY” berukuran besar dan bercahaya saat hari sudah gelap.

Untuk tembok bagian dalamnya juga dicat hitam. Atapnya terbuat dari kaca transparan sehingga pengunjung bisa menikmati langit malam indah, dipercantik oleh lampu berbentuk mangkok terbalik yang bergelantungan di langit-langitnya. Di sepanjang temboknya yang berwarna hitam, terdapat bermacam grafitti yang bisa dijadikan latar belakang untuk menambah nilai estetik jika ingin membuat story di sosial media. Meja dan kursi berwarna cokelat tersusun rapi dari ujung ke ujung ruangan dan bar dengan berbagai minuman yang tersedia. Kafe ini juga menyediakan wifi bagi orang-orang yang tidak mampu. Cocok untuk tempat berkumpul remaja-remaja jaman sekarang asalkan jangan cuma beli segelas air putih lalu nge-wifi sampai malam. Itu tidak lucu. Sumpah.

“Ini pesanannya.” Aku meletakkan pesanan beberapa pelanggan laki-laki di meja.

“Makasih, Mas. Emm... maaf, password wifi-nya apa?” tanyanya malu-malu.

Aku menatapi layar ponselnya yang memampangkan kolom masukan sandi. “Aku suka kamu, tanpa spasi,” jawabku setelah terdiam cukup lama untuk menyusun tiga kata barusan. Tiga kata yang cukup untuk membuatku malu seumur hidup.

“Maaf, kita temenan aja ya,” jawab laki-laki itu dengan wajah sedih.

“Ah... sayang sekali.” Aku berlalu pergi, meninggalkan dia dengan teman-temannya yang masih tertawa terbahak-bahak sampai terdengar ke belakang.

Harusnya dulu aku tidak merekomendasikan kalimat itu saat Martha memasang tower wifi dulu. Karena masalah itu, aku yang kena batunya. Yang nanya rata-rata laki-laki semua lagi. Bagaimana kalau semua pelanggan laki-laki pada lari sambil teriak-teriak, Toloooong... ada gaaayy....

“A, password wifi tuh, ganti napa!” ketusku sewaktu masuk ke dapur untuk melapor.

“Hah? Kan kau sendiri yang merekomendasikan itu password,” jawabnya santai, seolah itu bukanlah masalah besar. Seolah aku malah diuntungkan dan mendapat royalti dari setiap orang yang menanyaiku password wifi.

Sebenarnya, sudah dua puluh satu kali aku memintanya mengganti password itu tapi semuanya nihil. Martha tak pernah menggantinya dengan jawaban yang sama setiap kali. Aku sampai geram, ingin memukul jambulnya yang keriting itu pakai cangkul. Tapi takut.

“Tapi kan udah basi. Kali-kali ganti biar pelanggan gak bosen.” Aku masih belum menyerah.

“Udaahh... jangan banyak omong! Tuh anterin pesenan!” Dia menunjuk dua piring pasta yang baru saja ia buat lalu duduk bersantai di kursi khususnya karena belum ada pesanan lagi.

Aku kembali ke depan untuk mengantarkan pesanan terakhir itu dengan wajah bete. Setelah ini aku kapok mengarang password wifi lagi. Sumpah.

Robi sedang sibuk mengelap botol minuman sewaktu aku duduk di kursi bar dengan wajah lesu. “Ngomong-ngomong, gimana kabar tunanganmu?” Robi yang sedari tadi sibuk dengan botolnya, bertanya.

“Baik,” jawabku singkat.

“Kalian kapan nikah?” Robi meletakkan gelas di depanku dan mengisinya dengan air putih yang berwarna bening.

Kembali lagi. Topik yang paling kubenci untuk dibahas kembali ia ungkit dengan polosnya. Dengan malas aku meneguk air minum di depanku hingga tandas. “Entahlah. Mungkin tanggal 17 Agustus, biar ulang tahun pernikahanku bareng sama ulang tahun kemerdekaan,” jawabku asal.

“Keren juga,” Robi tertawa.

“Terus, orang lain panjat pinang, kau malah panjat pinggang,” ucap seseorang dari belakangku tiba-tiba. Pantatku melompat pindah ke kursi sebelah karena kaget.

Martha tertawa bahagia.

“Sejak kapan kamu di sana, A?” tanyaku sambil memegangi dada.

Martha tidak menjawab. Dia malah memberi Robi isyarat untuk meminta minuman yang langsung dilaksanakan Robi tanpa banyak tanya. “Ay, kalau kau serius dengannya, jangan buat dia menunggu terlalu lama. Kasian dia.”

Aku terdiam mendengar Martha yang tiba-tiba berubah ke mode bijak. Perkataannya memang benar dalam kurung untuk orang yang saling mencintai, bukan yang satu mencintai yang satunya lagi dicintai. Sudah berkali-kali aku menjelaskan kepada mereka tapi tetap aja mereka menganggapku sebagai tersangka.

Robi meletakkan sebotol bir dan gelas pesanan Martha di atas meja. Ia menuangkan bir itu ke dalam gelas tulip dan menyerahkannya kepada Martha yang langsung diminumnya dengan sekali teguk.

Bunyi ah terdengar dari mulut Martha mengiringi bunyi kucuran air yang dituang ke gelasnya yang sudah kosong. “Udah berapa lama kalian bertunangan? Dua tahun?”

“Satu,” potongku sembari menyeruput air minumku.

“Perempuan itu nyari laki-laki yang serius, Ay,” Martha melanjutkan. “Kamu gantung terus dia seperti itu, jangan salahkan dia kalau suatu saat dia pergi bersama laki-laki yang mengajaknya ke jenjang hubungan yang lebih serius.”

Ingin sekali aku menyanggah argumentasinya yang hanya melihat dari satu sudut pandang. Sudut pandang orang ketiga. Namun aku memilih diam.

Kalau menilai dari apa yang Martha lihat, atau yang Robi dan Risma lihat, memang tidak ada yang salah dengan penuturan Martha barusan. Malah semua yang ia ucapkan itu benar. Satu tahun lamanya kami bertunangan dan aku masih belum juga menikahinya. Mau dilihat dari mana pun aku memang terlihat seolah mempermainkan.

Tetapi mari kita lihat dari sudut pandang orang pertama dan kedua. Sudut pandangku dan Nabilla. Dari sudut pandang kami, hubungan kami tak lebih dari sekadar hubungan palsu yang terpaksa kami jalani karena paksaan orang tua. Aku tak bisa memutus hubungan kami begitu saja karena janji yang harus kutepati. Begitu pun Nabilla. Ia tak bisa lepas dariku begitu saja karena orang tuanya. Kendati begitu ia bisa saja kabur dengan laki-laki lain seperti yang Martha bilang. Aku sendiri juga tidak tahu apa yang membuatnya bertahan sampai sekarang.

“Woi, kau denger apa yang saya bilang tidak?” Martha menepuk pundakku geram.

“Iya, A, iya. Aku dengerin kok cuman...,” aku terdiam sebentar, “kalian sama-sama tahu kalau dia gak ada perasaan sama sekali sama aku. Aku udah cerita gimana kronologis kami ketemu sampai bertunangan dalam kurun waktu satu hari itu kan?”

“Halaahh! Kau yakin dalam waktu setahun terakhir ini gak ada yang berubah, Ay?”

Aku kembali terdiam.

“Pasti ada yang berubah, bro,” Robi ikut menyuarakan pendapatnya.

“Apa yang berubah, Rob?” aku bertanya.

“Dia makin ga suka sama kamu,” jawabnya sambil terbahak.

“Pantek,” gumamku.

“Minum dulu, kalian berdua. Saya yang traktir,” ucap Martha serasa menenggak habis minumannya lagi.

“Gak, makasih. Aku gak minum alkohol,” jawabku.

“Kalo gitu biar kami aja yang ngabisin.” Robi mengambil satu gelas lagi untuk dirinya sendiri.

“Nanti kalo kau mau nikah, jangan lupa undang kami,” kata Martha lagi sambil menepuk pundakku kencang, membuatku hampir terjatuh ke belakang.

“Ya pasti lah. Kalo gak aku undang, siapa yang nyuci piring pas nanti beres prasmanan?” jawabku datar.

“Kalo gitu gue gak bakal datang!” dumel Robi kesal.

“Canda ganteng.” Giliran aku dan Martha yang tertawa.

“Becandanya jelek. Sleketep,” ketus Robi.

“Prikitiww―oh iya A, mulai bulan depan, kalo aku keterima kuliah, aku gak bakal bisa sering-sering ke sini. Maaf ya,” kataku murung. Bukan karena tidak bisa sering melihat mereka yang membuatku sedih, melainkan karena gajiku akan dipotong.

“Gak pa-pa. Lagian walaupun kau nggak kerja juga gak ngaruh. Kafe ini gak bakal bangkrut,” jawab Martha kalem.

“Hm, hatiku terluka.” Aku tersenyum hampa.

“Iya, yang bener kuliahnya. Biar bisa dapet kerjaan yang lebih layak dari ini.” Martha menepuk pundakku kencang, lagi.

“Iya, aku bakal serius nyari ayam kampusnya.” Aku mengangguk dengan mantap.

“Dasar buaya,” tuding Robi dan Martha berbarengan.

“EEHHHH...???” suara perempuan terdengar dari balik punggungku. Suara yang tidak asing. Aku membalikkan badan untuk melihat siapa pemilik suara itu dan aku cukup terkejut saat mengetahui siapa yang berdiri di belakangaku saat itu. Seorang perempuan, menatapku sama kagetnya.

“Ka-kamu... kamu yang waktu itu, kan?” tanyaku tak percaya seolah baru saja melihat bidadari yang tahu-tahu jatuh dari atap.

“Dan kamu pasti cowok pelupa itu,” ucapnya sambil tertawa ringan. “Aku Gissel.” Gissel menyodorkan tangannya.

Spontan, aku menjabat tangannya yang lembut itu. “Oh iya, namaku Aisaka. Ini Aldo dan ini Robi.” Aku menunjuk mereka satu per satu.

“Ekhem,” Martha berdehem. “Martha,” ralatnya sambil ikut menjabat tangan Gissel. Disusul oleh Robi yang tak mau ketinggalan menjabat tangan perempuan cantik di depan kami.

“Ah iya, Mbak Gissel mau pesan apa?” Aku mengeluarkan pulpen dan buku kecil dari saku baju. Bersiap mencatat nama makanan atau minuman yang akan terlontar dari mulutnya.

“Just Gissel, please. Pesen Jodoh satu, dibungkus,” jawabnya. Suaranya yang lembut terdengar seperti suara ibuku. Mengingatkanku pada berjuta kenangan yang masih kusimpan rapat-rapat dalam ingatan.

Aku tersenyum. “Maaf, pesanan Mbak tidak ada dalam menu. Kalo jodoh orang mah ada, tapi pake tanggal kadaluarsa. Mau?”

“Gak ah. Capucino aja.”

“Oke. Duduknya mau di mana? Nanti aku anterin pesanannya.”

“Di sini aja. Sekalian ngobrol,” Gissel menjawab sambil duduk di kursi bar bekas aku duduk tadi.

Wah-wah-wah! Ini mah namanya bokong bersentuhan secara tidak langsung.

Setelah mencatat pesanan Gissel, aku pergi ke dapur untuk mengambil secangkir capucino panas dari mesin otomatis yang anehnya, selalu mengisi sendiri tanpa aku sentuh. Beberapa saat kemudian aku sudah kembali dengan capucino hangat di tanganku dan menyajikannya kepada Gissel yang terus menatapku dengan lekat seperti anak kecil yang sedang nonton serial kartun kesukaannya.

Wajah cantik, imut, ramah, tubuhnya bagus ditambah ada yang menonjol tapi itu bukanlah bakat terpendam. Idaman laki-laki memang. Aku yakin setiap laki-laki yang melihatnya akan ngiler saking tergodanya. Robi contohnya. Laki-laki yang sedang jalan sama pacarnya, kalau lihat Gissel melintas, pasti langsung mencampakkan pacarnya saat itu juga. Seolah terkena mantra penghancur hubungan orang.

“Silakan.” Aku menyajikan capucino yang Gissel pesan lalu duduk di samping Robi dengan posisi duduk sempurna.

“Makasih, Mas.” Gissel tersenyum manis kepadaku. Aku terhuyung. Aku yakin aku terkena diabetes stadium akhir.

“Just Aisaka.” Aku balas tersenyum semanis mungkin. Walau aku tahu senyumanku lebih ke arah pahit daripada manis.

“Kamu daftar jurusan apa?” tanya Gissel lagi. Ia menempelkan sikunya di atas meja, dan menompangkan dagu di kedua tangannya.

Ya Tuhan, imut banget. “Sastra Inggris. Kalo kamu?” Boleh gak aku membuahinya?

“Kalo aku Akuntansi,” jawabnya sambil menyeruput capucinonya yang masih mengepulkan asap. Bibirnya yang terbalut lipstik berwarna merah cerah tampak semakin manis setelah membasuhnya dengan capucino.

“Kalo saya jurusan Surabaya dan Robi jurusan Bidan,” Martha ikut menimbrung.

“Lah kok bidan?” protes Robi tidak terima. “Lagian, lebih cocok Anda yang jadi bidan.” Mata Robi bergerak-gerak menyimak penampilan Martha dari ujung rambut sampai ujung kaki seperti sedang memindai barang.

“Dulunya dia mau masuk jurusan Polwan, tapi gak diterima,” sambungku.

“Ya iyalah gak diterima. Mana ada polwan berbatang?”

“Lah, karyawan cowok. Karyawati cewek.”

Robi berpikir lama sebelum akhirnya menjawab, “Lah? Iya, ya? Berarti polwan cowok, ceweknya... polwati?”

“Ha-ha-ha.”

Kami bertiga sontak terdiam saat melihat Gissel yang tertawa lepas. Terpana. Tawanya yang indah membuat kami semua terlongo, terhipnotis, bagai melihat barang dengan tulisan diskon 70% di mall yang menggiurkan isi dompet. Ditambah giginya yang gingsul, membuatku ingin merasakannya langsung. Gigi ke gigi.

Lama-lama aku merasa tidak nyaman ditatap oleh Gissel selama tiga jam tanpa berkedip. Ia sudah seperti singa betina yang dengan sabar menunggu mangsanya lengah untuk kemudian menerkamnya secara tiba-tiba. Aku merasa ada sesuatu yang bergerak-gerak memberontak dalam dadaku dan aku tak ingin membiarkannya tumbuh lebih besar lagi. Akhirnya aku izin ke belakang untuk cuci piring walau pun belum ada piring kotor untuk dicuci. Martha yang paham dengan keadaanku hanya diam mengizinkan. Sudah sehati memang.

Aku duduk di kursi sambil bengong, tenggelam dalam pikiranku sendiri yang tidak ada dasarnya.

Perasaan itu kembali menyerang tiba-tiba. Setiap aku kehabisan kegiatan yang bisa menyibukkan pikiranku, dialah yang selalu muncul pertama kali dalam kepalaku, menyedot segala fokus yang ku punya dan menjadikanku seperti mayat hidup yang sedang duduk di sofa. Zombie yang sedang galau.

Saking bengongnya, sepertinya kalau ada gempa bumi pun, aku akan tetap duduk tenang di saat orang-orang sibuk menyelamatkan TV mereka. Walaupun iya, aku masih tetap tenang saat terjadi gempa sekalipun. Dan sepertinya aku juga akan tetap tenang meskipun pacarku diambil teman sekalipun. Dan nyatanya itu juga pernah terjadi.

Ketika aku kembali ke depan karena ada pelanggan, Gissel sudah menghilang dari tempat duduknya. Mungkin dia lupa belum angkat jemuran.

Episodes
1 PROLOG
2 INSTALASI 1: AISAKA AIZEN
3 INSTALASI 2: RIVAL
4 INSTALASI 3: FIANCE
5 INSTALASI 4: FROM ME, FOR YOU
6 INSTALASI 5: KUY!
7 INSTALASI 6: DRAMA CLUB
8 INSTALASI 7: YOU SHOULD BE HERE
9 INSTALASI 8: NOSTALGIA
10 INSTALASI 9: MARTHA'S CONSULTING OFFICE
11 INSTALASI 10: MORE THAN WORDS
12 INSTALASI 11: SRIWIJAYA AIR
13 INSTALASI 12: FOOD DELIVERY
14 INSTALASI 13: MATARAM PARK
15 INSTALASI 14: JAKARTA-BALI
16 INSTALASI 15: CYCLE OF SUFFERING
17 INSTALASI 16: LOVE LETTER
18 INSTALASI 17: PETER PAN SYNDROM
19 INSTALASI 18: FLY AND SINK
20 INSTALASI 19: KID STORY
21 INSTALASI 20: UNDER MILKY WAY
22 INSTALASI 21: THE SUN OF MY LITTLE WORLD
23 INSTALASI 22: ROMUSHA AT SUNSET
24 INSTALASI 23: CAN I CALL YOU AA??
25 INSTALASI 24: CYBER WIZARD
26 INSTALASI 25: THE WORST
27 INSTALASI 26: EX
28 INSTALASI 27: UNWANTED MEETING
29 INSTALASI 28: WHEN YOU SAY NOTHING
30 INSTALASI 29: FUGITIVE CAUGHT
31 INSTALASI 30: SHORT STORY CONTEST
32 INSTALASI 31: TIMELESS LOVE
33 INSTALASI 32: ANCOL DREAM GARDEN
34 INSTALASI 33: HIDDEN WORLD HISTORY
35 INSTALASI 34: HISTORICAL PAINTING
36 INSTALASI 35: LIVE
37 INSTALASI 36: WORST SCENARIO
38 INSTALASI 37: BETWEEN LIFE AND DEATH
39 INSTALASI 38: SMILE AND SHADOW
40 INSTALASI 39: THE LIGHT OF LIFE
41 INSTALASI 40: FUCKING AMNESIA
42 INSTALASI 41: 3 YEARS FASTER
43 INSTALASI 42: SEEK THE TRUTH
44 INSTALASI 43: THE CENTER OF MY UNIVERSE
45 INSTALASI 44: KARMA
46 INSTALASI 45: FEVER, FLU, AND HEADACHE
47 INSTALASI 46: THE COLD WAR
48 INSTALASI 47: DESTINY GAME
49 INSTALASI 48: NATIONAL MONUMENT
50 INSTALASI 49: HARDEST TEST
51 INSTALASI 50: PINKY PROMISE, YUBIKIRI
52 INSTALASI 51: THIS IS GOOD BYE
53 INSTALASI 52: NABILLA AZ-ZAHRA
54 INSTALASI 53: JUST ME
55 INSTALASI 54: SCRIBBLES IN NOVELS
56 INSTALASI 55: PASIR PURUT HILL
57 INSTALASI 56: PAINFUL REALITY
58 INSTALASI 57: THIS IS REALITY
59 INSTALASI 58: DON'T SAY GOOD BYE
60 INSTALASI 59: WILL YOU MARRY ME?
61 EPILOG
Episodes

Updated 61 Episodes

1
PROLOG
2
INSTALASI 1: AISAKA AIZEN
3
INSTALASI 2: RIVAL
4
INSTALASI 3: FIANCE
5
INSTALASI 4: FROM ME, FOR YOU
6
INSTALASI 5: KUY!
7
INSTALASI 6: DRAMA CLUB
8
INSTALASI 7: YOU SHOULD BE HERE
9
INSTALASI 8: NOSTALGIA
10
INSTALASI 9: MARTHA'S CONSULTING OFFICE
11
INSTALASI 10: MORE THAN WORDS
12
INSTALASI 11: SRIWIJAYA AIR
13
INSTALASI 12: FOOD DELIVERY
14
INSTALASI 13: MATARAM PARK
15
INSTALASI 14: JAKARTA-BALI
16
INSTALASI 15: CYCLE OF SUFFERING
17
INSTALASI 16: LOVE LETTER
18
INSTALASI 17: PETER PAN SYNDROM
19
INSTALASI 18: FLY AND SINK
20
INSTALASI 19: KID STORY
21
INSTALASI 20: UNDER MILKY WAY
22
INSTALASI 21: THE SUN OF MY LITTLE WORLD
23
INSTALASI 22: ROMUSHA AT SUNSET
24
INSTALASI 23: CAN I CALL YOU AA??
25
INSTALASI 24: CYBER WIZARD
26
INSTALASI 25: THE WORST
27
INSTALASI 26: EX
28
INSTALASI 27: UNWANTED MEETING
29
INSTALASI 28: WHEN YOU SAY NOTHING
30
INSTALASI 29: FUGITIVE CAUGHT
31
INSTALASI 30: SHORT STORY CONTEST
32
INSTALASI 31: TIMELESS LOVE
33
INSTALASI 32: ANCOL DREAM GARDEN
34
INSTALASI 33: HIDDEN WORLD HISTORY
35
INSTALASI 34: HISTORICAL PAINTING
36
INSTALASI 35: LIVE
37
INSTALASI 36: WORST SCENARIO
38
INSTALASI 37: BETWEEN LIFE AND DEATH
39
INSTALASI 38: SMILE AND SHADOW
40
INSTALASI 39: THE LIGHT OF LIFE
41
INSTALASI 40: FUCKING AMNESIA
42
INSTALASI 41: 3 YEARS FASTER
43
INSTALASI 42: SEEK THE TRUTH
44
INSTALASI 43: THE CENTER OF MY UNIVERSE
45
INSTALASI 44: KARMA
46
INSTALASI 45: FEVER, FLU, AND HEADACHE
47
INSTALASI 46: THE COLD WAR
48
INSTALASI 47: DESTINY GAME
49
INSTALASI 48: NATIONAL MONUMENT
50
INSTALASI 49: HARDEST TEST
51
INSTALASI 50: PINKY PROMISE, YUBIKIRI
52
INSTALASI 51: THIS IS GOOD BYE
53
INSTALASI 52: NABILLA AZ-ZAHRA
54
INSTALASI 53: JUST ME
55
INSTALASI 54: SCRIBBLES IN NOVELS
56
INSTALASI 55: PASIR PURUT HILL
57
INSTALASI 56: PAINFUL REALITY
58
INSTALASI 57: THIS IS REALITY
59
INSTALASI 58: DON'T SAY GOOD BYE
60
INSTALASI 59: WILL YOU MARRY ME?
61
EPILOG

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!