“Kau membawa semuanya pergi bersamamu.
Termasuk jiwaku.”
•••••
Kafe yang terletak di daerah Kebayoran Baru itu selalu ramai seperti biasanya. Kebanyakan yang datang adalah sepasang kekasih yang ingin berbincang santai ditemani secangkir kopi panas yang akan membuat matamu terjaga lebih lama.
Aku sibuk berlalu-lalang untuk melayani pelanggan yang terus bertambah seiring jamnya. Mencatat pesanan mereka yang bermacam-macam.
“Permisi, Mas, saya pesan dua pasta sama dua es teh manis,” pesan seorang pelanggan perempuan yang sedang duduk bersama pacarnya di meja paling pojok.
“Dua pasta sama es teh manis,” ulangku sambil mencatatnya di kertas mungil yang kuambil dari saku baju. “Baik, ditunggu sebentar, ya.” Aku tersenyum ramah sambil berjalan menuju pintu dapur. “A, pasta sama jus alpukat,” kataku kepada seorang pria yang sedang memegang panci sambil menaruh kertas pesanan tadi di meja.
“Ya ampun, Ay! Sudah saya bilang panggil saja Martha. MAR―THA!” protesnya sambil mengacung-acungkan panci itu ke arahku.
Aku menatap Martha lamat-lamat. “A Aldo Dante Laurenzo.”
“Ti ucciderὸ (Kubunuh kau), Dasar Bocah Sialan!” umpatnya kesal. Suaranya yang tadi lemah lembut berubah berat seperti preman pasar.
Aldo, atau Martha―begitu katanya setiap kali aku menyebut nama aslinya―adalah pria dewasa bertubuh besar dan kekar. Namun, dengan sikap dan gaya bicaranya yang feminim, dia lebih condong ke arah cucho daripada disebut macho.
Martha selalu memakai setelan pelayan dengan jas hitam berlengan pendek dan... rok pendek. Kakinya yang berotot dibalut dengan stoking berwarna hitam. Rambutnya selalu diikat ke belakang dan membiarkan beberapa helai rambut keritingnya bergelantungan di kening. Kumisnya yang tipis bergerak-gerak setiap kali ia bicara.
Kata Robi, rekan kerjaku, Aldo atau Martha adalah blasteran Indo-Italia. Ibunya asli Jakarta dan ayahnya dari Sisilia. Melihat tubuhnya yang besar, aku menjadi segan terhadapnya. Takut-takut dia akan menjadikanku samsak tinju saat mood-nya sedang kacau atau sedang gabut. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, aku merasa nyaman juga mengobrol dengan waria setengah Italia itu.
Robi, laki-laki seumuranku, berbadan gemuk dan pendek, serta selalu memakai kacamata yang entah minus berapa. Tidak banyak hal yang bisa dibanggakan darinya selain isi kepalanya yang hanya dipenuhi oleh perempuan cantik. Namun di balik otaknya yang playboy, Robi adalah sosok manusia yang bisa diandalkan disaat kita butuh bantuan.
Ada satu lagi karyawan di tempat ini. Namanya Risma, perempuan yang lima tahun lebih tua dariku dan Robi. Dia adalah perempuan yang selalu punya cadangan kotak tertawa dan stok senyuman tak terbatas untuk sepanjang hari. Saat senang, saat sedih, saat tegang, bahkan saat biasa saja dia selalu bersemangat dengan segalanya.
Kafe ini juga masih dibilang kecil. KUY. Begitulah kafe terbuka ini diberi nama. Bagian depan kafe dicat dengan warna hitam sehingga membuatnya lebih mencolok dari bangunan lain di sebelahnya. Di bagian atasnya, terpampang papan logo yang bersinar bertuliskan “KUY” berukuran besar dan bercahaya saat hari sudah gelap.
Untuk tembok bagian dalamnya juga dicat hitam. Atapnya terbuat dari kaca transparan sehingga pengunjung bisa menikmati langit malam indah, dipercantik oleh lampu berbentuk mangkok terbalik yang bergelantungan di langit-langitnya. Di sepanjang temboknya yang berwarna hitam, terdapat bermacam grafitti yang bisa dijadikan latar belakang untuk menambah nilai estetik jika ingin membuat story di sosial media. Meja dan kursi berwarna cokelat tersusun rapi dari ujung ke ujung ruangan dan bar dengan berbagai minuman yang tersedia. Kafe ini juga menyediakan wifi bagi orang-orang yang tidak mampu. Cocok untuk tempat berkumpul remaja-remaja jaman sekarang asalkan jangan cuma beli segelas air putih lalu nge-wifi sampai malam. Itu tidak lucu. Sumpah.
“Ini pesanannya.” Aku meletakkan pesanan beberapa pelanggan laki-laki di meja.
“Makasih, Mas. Emm... maaf, password wifi-nya apa?” tanyanya malu-malu.
Aku menatapi layar ponselnya yang memampangkan kolom masukan sandi. “Aku suka kamu, tanpa spasi,” jawabku setelah terdiam cukup lama untuk menyusun tiga kata barusan. Tiga kata yang cukup untuk membuatku malu seumur hidup.
“Maaf, kita temenan aja ya,” jawab laki-laki itu dengan wajah sedih.
“Ah... sayang sekali.” Aku berlalu pergi, meninggalkan dia dengan teman-temannya yang masih tertawa terbahak-bahak sampai terdengar ke belakang.
Harusnya dulu aku tidak merekomendasikan kalimat itu saat Martha memasang tower wifi dulu. Karena masalah itu, aku yang kena batunya. Yang nanya rata-rata laki-laki semua lagi. Bagaimana kalau semua pelanggan laki-laki pada lari sambil teriak-teriak, Toloooong... ada gaaayy....
“A, password wifi tuh, ganti napa!” ketusku sewaktu masuk ke dapur untuk melapor.
“Hah? Kan kau sendiri yang merekomendasikan itu password,” jawabnya santai, seolah itu bukanlah masalah besar. Seolah aku malah diuntungkan dan mendapat royalti dari setiap orang yang menanyaiku password wifi.
Sebenarnya, sudah dua puluh satu kali aku memintanya mengganti password itu tapi semuanya nihil. Martha tak pernah menggantinya dengan jawaban yang sama setiap kali. Aku sampai geram, ingin memukul jambulnya yang keriting itu pakai cangkul. Tapi takut.
“Tapi kan udah basi. Kali-kali ganti biar pelanggan gak bosen.” Aku masih belum menyerah.
“Udaahh... jangan banyak omong! Tuh anterin pesenan!” Dia menunjuk dua piring pasta yang baru saja ia buat lalu duduk bersantai di kursi khususnya karena belum ada pesanan lagi.
Aku kembali ke depan untuk mengantarkan pesanan terakhir itu dengan wajah bete. Setelah ini aku kapok mengarang password wifi lagi. Sumpah.
Robi sedang sibuk mengelap botol minuman sewaktu aku duduk di kursi bar dengan wajah lesu. “Ngomong-ngomong, gimana kabar tunanganmu?” Robi yang sedari tadi sibuk dengan botolnya, bertanya.
“Baik,” jawabku singkat.
“Kalian kapan nikah?” Robi meletakkan gelas di depanku dan mengisinya dengan air putih yang berwarna bening.
Kembali lagi. Topik yang paling kubenci untuk dibahas kembali ia ungkit dengan polosnya. Dengan malas aku meneguk air minum di depanku hingga tandas. “Entahlah. Mungkin tanggal 17 Agustus, biar ulang tahun pernikahanku bareng sama ulang tahun kemerdekaan,” jawabku asal.
“Keren juga,” Robi tertawa.
“Terus, orang lain panjat pinang, kau malah panjat pinggang,” ucap seseorang dari belakangku tiba-tiba. Pantatku melompat pindah ke kursi sebelah karena kaget.
Martha tertawa bahagia.
“Sejak kapan kamu di sana, A?” tanyaku sambil memegangi dada.
Martha tidak menjawab. Dia malah memberi Robi isyarat untuk meminta minuman yang langsung dilaksanakan Robi tanpa banyak tanya. “Ay, kalau kau serius dengannya, jangan buat dia menunggu terlalu lama. Kasian dia.”
Aku terdiam mendengar Martha yang tiba-tiba berubah ke mode bijak. Perkataannya memang benar dalam kurung untuk orang yang saling mencintai, bukan yang satu mencintai yang satunya lagi dicintai. Sudah berkali-kali aku menjelaskan kepada mereka tapi tetap aja mereka menganggapku sebagai tersangka.
Robi meletakkan sebotol bir dan gelas pesanan Martha di atas meja. Ia menuangkan bir itu ke dalam gelas tulip dan menyerahkannya kepada Martha yang langsung diminumnya dengan sekali teguk.
Bunyi ah terdengar dari mulut Martha mengiringi bunyi kucuran air yang dituang ke gelasnya yang sudah kosong. “Udah berapa lama kalian bertunangan? Dua tahun?”
“Satu,” potongku sembari menyeruput air minumku.
“Perempuan itu nyari laki-laki yang serius, Ay,” Martha melanjutkan. “Kamu gantung terus dia seperti itu, jangan salahkan dia kalau suatu saat dia pergi bersama laki-laki yang mengajaknya ke jenjang hubungan yang lebih serius.”
Ingin sekali aku menyanggah argumentasinya yang hanya melihat dari satu sudut pandang. Sudut pandang orang ketiga. Namun aku memilih diam.
Kalau menilai dari apa yang Martha lihat, atau yang Robi dan Risma lihat, memang tidak ada yang salah dengan penuturan Martha barusan. Malah semua yang ia ucapkan itu benar. Satu tahun lamanya kami bertunangan dan aku masih belum juga menikahinya. Mau dilihat dari mana pun aku memang terlihat seolah mempermainkan.
Tetapi mari kita lihat dari sudut pandang orang pertama dan kedua. Sudut pandangku dan Nabilla. Dari sudut pandang kami, hubungan kami tak lebih dari sekadar hubungan palsu yang terpaksa kami jalani karena paksaan orang tua. Aku tak bisa memutus hubungan kami begitu saja karena janji yang harus kutepati. Begitu pun Nabilla. Ia tak bisa lepas dariku begitu saja karena orang tuanya. Kendati begitu ia bisa saja kabur dengan laki-laki lain seperti yang Martha bilang. Aku sendiri juga tidak tahu apa yang membuatnya bertahan sampai sekarang.
“Woi, kau denger apa yang saya bilang tidak?” Martha menepuk pundakku geram.
“Iya, A, iya. Aku dengerin kok cuman...,” aku terdiam sebentar, “kalian sama-sama tahu kalau dia gak ada perasaan sama sekali sama aku. Aku udah cerita gimana kronologis kami ketemu sampai bertunangan dalam kurun waktu satu hari itu kan?”
“Halaahh! Kau yakin dalam waktu setahun terakhir ini gak ada yang berubah, Ay?”
Aku kembali terdiam.
“Pasti ada yang berubah, bro,” Robi ikut menyuarakan pendapatnya.
“Apa yang berubah, Rob?” aku bertanya.
“Dia makin ga suka sama kamu,” jawabnya sambil terbahak.
“Pantek,” gumamku.
“Minum dulu, kalian berdua. Saya yang traktir,” ucap Martha serasa menenggak habis minumannya lagi.
“Gak, makasih. Aku gak minum alkohol,” jawabku.
“Kalo gitu biar kami aja yang ngabisin.” Robi mengambil satu gelas lagi untuk dirinya sendiri.
“Nanti kalo kau mau nikah, jangan lupa undang kami,” kata Martha lagi sambil menepuk pundakku kencang, membuatku hampir terjatuh ke belakang.
“Ya pasti lah. Kalo gak aku undang, siapa yang nyuci piring pas nanti beres prasmanan?” jawabku datar.
“Kalo gitu gue gak bakal datang!” dumel Robi kesal.
“Canda ganteng.” Giliran aku dan Martha yang tertawa.
“Becandanya jelek. Sleketep,” ketus Robi.
“Prikitiww―oh iya A, mulai bulan depan, kalo aku keterima kuliah, aku gak bakal bisa sering-sering ke sini. Maaf ya,” kataku murung. Bukan karena tidak bisa sering melihat mereka yang membuatku sedih, melainkan karena gajiku akan dipotong.
“Gak pa-pa. Lagian walaupun kau nggak kerja juga gak ngaruh. Kafe ini gak bakal bangkrut,” jawab Martha kalem.
“Hm, hatiku terluka.” Aku tersenyum hampa.
“Iya, yang bener kuliahnya. Biar bisa dapet kerjaan yang lebih layak dari ini.” Martha menepuk pundakku kencang, lagi.
“Iya, aku bakal serius nyari ayam kampusnya.” Aku mengangguk dengan mantap.
“Dasar buaya,” tuding Robi dan Martha berbarengan.
“EEHHHH...???” suara perempuan terdengar dari balik punggungku. Suara yang tidak asing. Aku membalikkan badan untuk melihat siapa pemilik suara itu dan aku cukup terkejut saat mengetahui siapa yang berdiri di belakangaku saat itu. Seorang perempuan, menatapku sama kagetnya.
“Ka-kamu... kamu yang waktu itu, kan?” tanyaku tak percaya seolah baru saja melihat bidadari yang tahu-tahu jatuh dari atap.
“Dan kamu pasti cowok pelupa itu,” ucapnya sambil tertawa ringan. “Aku Gissel.” Gissel menyodorkan tangannya.
Spontan, aku menjabat tangannya yang lembut itu. “Oh iya, namaku Aisaka. Ini Aldo dan ini Robi.” Aku menunjuk mereka satu per satu.
“Ekhem,” Martha berdehem. “Martha,” ralatnya sambil ikut menjabat tangan Gissel. Disusul oleh Robi yang tak mau ketinggalan menjabat tangan perempuan cantik di depan kami.
“Ah iya, Mbak Gissel mau pesan apa?” Aku mengeluarkan pulpen dan buku kecil dari saku baju. Bersiap mencatat nama makanan atau minuman yang akan terlontar dari mulutnya.
“Just Gissel, please. Pesen Jodoh satu, dibungkus,” jawabnya. Suaranya yang lembut terdengar seperti suara ibuku. Mengingatkanku pada berjuta kenangan yang masih kusimpan rapat-rapat dalam ingatan.
Aku tersenyum. “Maaf, pesanan Mbak tidak ada dalam menu. Kalo jodoh orang mah ada, tapi pake tanggal kadaluarsa. Mau?”
“Gak ah. Capucino aja.”
“Oke. Duduknya mau di mana? Nanti aku anterin pesanannya.”
“Di sini aja. Sekalian ngobrol,” Gissel menjawab sambil duduk di kursi bar bekas aku duduk tadi.
Wah-wah-wah! Ini mah namanya bokong bersentuhan secara tidak langsung.
Setelah mencatat pesanan Gissel, aku pergi ke dapur untuk mengambil secangkir capucino panas dari mesin otomatis yang anehnya, selalu mengisi sendiri tanpa aku sentuh. Beberapa saat kemudian aku sudah kembali dengan capucino hangat di tanganku dan menyajikannya kepada Gissel yang terus menatapku dengan lekat seperti anak kecil yang sedang nonton serial kartun kesukaannya.
Wajah cantik, imut, ramah, tubuhnya bagus ditambah ada yang menonjol tapi itu bukanlah bakat terpendam. Idaman laki-laki memang. Aku yakin setiap laki-laki yang melihatnya akan ngiler saking tergodanya. Robi contohnya. Laki-laki yang sedang jalan sama pacarnya, kalau lihat Gissel melintas, pasti langsung mencampakkan pacarnya saat itu juga. Seolah terkena mantra penghancur hubungan orang.
“Silakan.” Aku menyajikan capucino yang Gissel pesan lalu duduk di samping Robi dengan posisi duduk sempurna.
“Makasih, Mas.” Gissel tersenyum manis kepadaku. Aku terhuyung. Aku yakin aku terkena diabetes stadium akhir.
“Just Aisaka.” Aku balas tersenyum semanis mungkin. Walau aku tahu senyumanku lebih ke arah pahit daripada manis.
“Kamu daftar jurusan apa?” tanya Gissel lagi. Ia menempelkan sikunya di atas meja, dan menompangkan dagu di kedua tangannya.
Ya Tuhan, imut banget. “Sastra Inggris. Kalo kamu?” Boleh gak aku membuahinya?
“Kalo aku Akuntansi,” jawabnya sambil menyeruput capucinonya yang masih mengepulkan asap. Bibirnya yang terbalut lipstik berwarna merah cerah tampak semakin manis setelah membasuhnya dengan capucino.
“Kalo saya jurusan Surabaya dan Robi jurusan Bidan,” Martha ikut menimbrung.
“Lah kok bidan?” protes Robi tidak terima. “Lagian, lebih cocok Anda yang jadi bidan.” Mata Robi bergerak-gerak menyimak penampilan Martha dari ujung rambut sampai ujung kaki seperti sedang memindai barang.
“Dulunya dia mau masuk jurusan Polwan, tapi gak diterima,” sambungku.
“Ya iyalah gak diterima. Mana ada polwan berbatang?”
“Lah, karyawan cowok. Karyawati cewek.”
Robi berpikir lama sebelum akhirnya menjawab, “Lah? Iya, ya? Berarti polwan cowok, ceweknya... polwati?”
“Ha-ha-ha.”
Kami bertiga sontak terdiam saat melihat Gissel yang tertawa lepas. Terpana. Tawanya yang indah membuat kami semua terlongo, terhipnotis, bagai melihat barang dengan tulisan diskon 70% di mall yang menggiurkan isi dompet. Ditambah giginya yang gingsul, membuatku ingin merasakannya langsung. Gigi ke gigi.
Lama-lama aku merasa tidak nyaman ditatap oleh Gissel selama tiga jam tanpa berkedip. Ia sudah seperti singa betina yang dengan sabar menunggu mangsanya lengah untuk kemudian menerkamnya secara tiba-tiba. Aku merasa ada sesuatu yang bergerak-gerak memberontak dalam dadaku dan aku tak ingin membiarkannya tumbuh lebih besar lagi. Akhirnya aku izin ke belakang untuk cuci piring walau pun belum ada piring kotor untuk dicuci. Martha yang paham dengan keadaanku hanya diam mengizinkan. Sudah sehati memang.
Aku duduk di kursi sambil bengong, tenggelam dalam pikiranku sendiri yang tidak ada dasarnya.
Perasaan itu kembali menyerang tiba-tiba. Setiap aku kehabisan kegiatan yang bisa menyibukkan pikiranku, dialah yang selalu muncul pertama kali dalam kepalaku, menyedot segala fokus yang ku punya dan menjadikanku seperti mayat hidup yang sedang duduk di sofa. Zombie yang sedang galau.
Saking bengongnya, sepertinya kalau ada gempa bumi pun, aku akan tetap duduk tenang di saat orang-orang sibuk menyelamatkan TV mereka. Walaupun iya, aku masih tetap tenang saat terjadi gempa sekalipun. Dan sepertinya aku juga akan tetap tenang meskipun pacarku diambil teman sekalipun. Dan nyatanya itu juga pernah terjadi.
Ketika aku kembali ke depan karena ada pelanggan, Gissel sudah menghilang dari tempat duduknya. Mungkin dia lupa belum angkat jemuran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments