PUING 4: PANGERAN DAN PUTRI TIDUR

Bogor, Oktober 2015

Suara gitar listrik dalam chord C mayor meraung dalam ruangan gelap dan kedap itu. Di salah satu kursi, tampak Rean yang sedang memeluk gitar listrik bersama Garry, anak kelas 12 IPS-1 yang memegang erat mikrofon.

Daun pintu berayun terbuka tepat bersamaan dengan saat gaung suara terakhir lenyap. Dari baliknya, seorang perempuan mungil yang nyaris mereka anggap bocah SD kesasar merengsek masuk tanpa membaca salam.

“Aku mau nyanyiii...,” seru bocah itu.

“Udah selesai padusnya? Mala mana?” Rean malah bertanya.

Leni mengembungkan pipi. “Dia masih di ruang ekskul. Lagi bantu beres-beres,” jawabnya ketus. “Eh, eh, mau ke mana?” tanyanya panik saat melihat Rean yang beranjak dari kursinya.

“Mau pulang lah,” jawab Rean polos.

“Nyanyi dulu bentar ayo.”

“Bareng Geri aja. Aku ada perlu sama dia. Gua duluan, Ger.” Rean tetap pada keputusannya dan berlalu meninggalkan mereka.

“Jadi nyanyi, Len?” tanya Geri kepada Leni yang terus menatapi pintu.

“Ah, maaf. Lain kali aja, Ger. Aku baru inget ada urusan juga di rumah. Dah, Geri!” Leni berlari ke luar ruangan, meninggalkan Geri sendirian untuk menggerutu sambil membereskan alat-alat musik yang mereka pakai.

“Abang, tunggu!” Leni berseru dari kejauhan, mencoba mengejar langkah panjang Rean dengan napas ngos-ngosan. “Cepet. Amat. Jalannya,” ujarnya terpenggal-penggal saat langkah mereka sudah sejajar.

“Lah? Katanya mau nyanyi?”

“Mwe-he-he. Lain kali aja.”

“Omong-omong, gimana suara Mala? Aku juga pengen dengar dia nyanyi.”

Mala lagi, Mala lagi. “Nggak tahu. Nggak kedengeran.”

“Oh.”

Tidak ada obrolan selama perjalanan mereka ke ruangan ekskul paduan suara. Hanya suara langkah kaki dan desir daun tertiup angin yang menemani perjalanan sunyi mereka.

Tidak lama mereka sampai di ruangan yang dituju. Rean mengetuk pintu pelan. Tak sampai satu detik pintu itu berayun terbuka, dan dari baliknya, keluarlah beberapa murid termasuk Mala.

Melihat kedatangan Rean yang seperti menjemput sang kekasih, semua pasang mata menatap ke arah Mala. Sorakan “cie, cie” terdengar dari setiap orang yang ada di sana. Tak lama sorakan itu menyusut dan kerumunan itu terurai. Menyisakan Rean, Mala dan Leni yang masih berdiri di depan ruangan.

“Ayo, pulang,” ajak Rean sambil berbalik badan dan berjalan pergi.

“Pulang?” Leni memotong. Nada suaranya berubah sinis. “Bukannya Abang udah janji kalo sore ini mau nemenin aku ke toko buku?”

“Benarkah? Maaf, Len. Aku bener-bener lupa. Dan hari ini aku udah janji mau ngajar les di rumah Mala,” Rean menjawab.

“Mala, Mala, Mala. Semuanya tentang Mala. Kamu juga udah janji sama aku, Bang. Apa kamu mau ngingkarin janjimu ke aku demi janjimu ke dia?” Suara Leni meninggi.

“Bukan gitu, Len. Aku nggak enak sama ibunya.”

“A-ano...,” Mala yang sedari tadi memperhatikan, ikut bersuara, “jika ini soal janji les privat di rumahku, maka kita bisa membatalkannya atau memindahkannya ke hari lain,” tutur Mala dengan hati-hati.

Leni memandangi dua orang di hadapannya bergatian sebelum pergi tanpa mengucap sepatah kata pun.

“Len!” Rean berlari dan memegangi lengan Leni. Cepat-cepat Leni menghempaskan tangan Rean.

“Pergi, Re. Aku gak peduli lagi mau kamu pacaran dengan Mala atau siapa pun.” Leni berkata lirih.

“Kenapa kamu begitu peduli aku berpacaran dengan siapa?” bentak Rean.

Leni terdiam. Tak bisa menjawab pertanyaan yang Rean lontarkan barusan.

“Kenapa kamu jadi lebay begini, sih? Rean bertanya lagi.

“Lebay?” gumam Leni. “Lebay, Re?” Suaranya berubah menghardik. “Lo baru saja nyakitin perasaan gue dan lo bilang gue lebay? Oke, fine. Gue emang lebay, Re. Gue emang baperan dan gue minta maaf karena itu. Jadi sekarang mending lo tinggalin aja cewek lebay kek gue dan pergi ke rumah Mala!”

“Maaf, Len. Aku nggak bermaksud begitu.”

“Terus maksud lo gimana, hah? Maksud lo gue nggak penting dibanding Mala jadi lo bisa ingkarin janji lo sama gue kapan aja? Asal lo tau, Re! Selebay-lebaynya gue, gue gak pernah lupa sama janji yang gue buat apalagi sampe ingkar! Dan lo baru aja ngelakuin keduanya!”

“Aku minta maaf, Len. Besok aku janji temenin kamu ke toko buku, ya? Kalo hari ini aku bener-bener nggak bisa―”

“Percuma, Re. Nggak usah janji jika pada akhirnya lo ingkari! Gue paling benci sama cowok yang ingkar janji. Gue benci sama lo!” setelah mengucapkan kata terakhirnya itu, Leni pergi meninggalkan Rean yang diam mematung di tempat.

Rean tak mencegahnya lagi. Dia hanya diam mematung memandangi tubuh mungil itu menjauh pergi. Begitu pun Mala yang memandangi dua sahabat itu dengan perasaan bersalah.

Rean tertegun. Sejauh sejarah pertengkarannya dengan Leni, baru kali ini Leni menggunakan istilah lo-gue kepada Rean. Dan apa maksudnya dengan pernyataannya barusan. Seolah sebelum ini dia begitu peduli dengan siapa Rean pacaran. Rean tak bisa berpikir.

Sebelum Rean berhasil mencerna apa yang baru saja terjadi, sebuah deru motor melewati dan berhenti tepat di samping Leni berada. Bersamaan dengan itu, sebuah mobil mewah berhenti di depan Rean dan Mala. Leni menatap Rean yang sedang masuk ke dalam mobil mewah itu sebelum akhirnya naik ke jok belakang. Dan motor sport itu melesat sampai benar-benar tak terlihat lagi.

...*****...

”APA yang terjadi dengan lo dan si Rean? Apa kalian bertengkar?” tanya Vero sambil memberikan segelas es krim kepada Leni yang duduk di kursi sebuah restoran.

“Gak pa-pa,” jawab Leni singkat.

Dia sedang tak berselera untuk membicarakan laki-laki itu. Laki-laki yang tak bisa menempati janji yang dibuatnya sendiri. Khusus untuk hari ini, segala sesuatu yang berhubungan dengan Rean membuatnya enek. Tiap kali mengingatnya membuat perut Leni mulas seketika.

Vero tiba-tiba teringat sesuatu. Dia ingin mengklarifikasi hubungan Rean dan Leni. “Gua denger-denger katanya kalian pacaran. Soalnya kalian deket banget. Ke mana-mana bareng mulu?”

“Si Rean juga deket banget sama si Andre. Ke mana-mana suka bareng. Mereka pacaran? Dangkal banget pikiran kalian,” jawab Leni dingin. “Udah deh Ver, jangan bahas dia mulu. Enek gua dengernya.”

“Ya udah, iya. Maafin gua. Hari ini lo mau ke mana? Biar gua temenin.”

“Ke toko buku.”

“Oke.”

Di lain pihak, dari kaca mobil yang ia tumpangi, Rean dapat melihat sekilas pemandangan yang membuatnya semakin sedih. Walau selintas, ia dapat melihat dua orang yang sedang duduk tepat di samping kaca restoran yang menghadap ke jalan. Dan dalam waktu yang sangat singkat itu, Rean dapat mengenali siapa sosok perempuan mungil yang sedang menyantap es krim. Leni.

“Re?” panggil perempuan di sampingnya.

Rean berbalik. “Iya? Ada apa?”

Walau suaranya terdengar tenang dan ramah, Mala tahu kalau Rean memaksakan diri untuk tetap terlihat tidak terpengaruh oleh apa yang dialaminya beberapa menit lalu. Di sini Mala merasa dialah pihak yang harusnya bertanggung jawab. Kendati demikian, Ia tak punya keberanian untuk bertanggung jawab. Mala tak tahu harus melakukan apa.

Karena metode yang diajarkan Rean berhasil membuat skill berbahasa Indonesianya meningkat dari hari ke hari, Mala meminta Rean untuk menambah jam mengajarnya. Dan di balik itu semua, ia merasa telah ketergantungan kepada Rean. Bagai dicekoki pil adiktif, Mala kecanduan akan bantuan Rean. Dan Mala merasa tidak bisa melakukan apa pun tanpa bantuannya.

Baru dua bulan dia mengenal Rean. Namun selama dua bulan itu, dia telah berhasil memisahkan dua orang yang telah bersahabat selama dua tahun.

Mala kembali teringat ke masa ia masih kecil. Ke masa dia menangis karena diejek teman-temannya karena hal yang sama. Tak bisa dipungkiri, bahwa dia terlalu manja untuk melakukan semuanya sendiri. Dia selalu butuh bantuan orang lain. Mala selalu butuh orang lain untuk bersikap seperti tuan putri yang selalu diimpikannya sejak kecil.

“Ada apa, Mala?” ulang Rean.

“Gomen, (Maaf,)” ucapnya lirih.

“Kenapa kamu minta maaf?”

“Karena saya, kamu jadi bertengkar dengan sahabatmu.”

“Itu bukan salahmu. Itu bukan salah siapa pun. Mungkin dia sedang PMS, makanya dia emosi begitu. Besok juga pasti kembali seperti sedia kala.” Rean mencoba menenangkan walau saat ini dialah yang butuh penenang.

“Apa kamu bilang kepadanya kalau―”

“Nggak.”

“Saya minta maaf,” Mala berkata lirih lagi, “demi saya, kamu rela menjadi sosok yang bersalah. Terima kasih karena telah merahasiakannya.”

“Sudah kubilang aku hanya ingin membantu.” Rean tersenyum.

Hening kembali menyelimuti mobil mewah yang mereka tumpangi. Rean sedang tak berselera untuk membahas Leni sekarang. Ia hanya ingin segera sampai tujuan.

“I want to be princess.” Mala memecah keheningan.

“Ohhh. Princess yang mana?” tanyanya antusias.

“Putri tidur.”

Rean teringat cerita asli putri tidur yang jauh dari film disney-nya. Di mana, bukan happy ending yang menanti putri itu ketika bangun dari tidur panjangnya, melainkan sebuah anak. Menurut artikel yang Rean baca, putri tidur tidak terbangun oleh ciuman sejati seperti di film kartunnya. Dia terbangun dengan sendirinya. Namun sang pangeran tetap ada. Hanya saja, sang pangeran tidak hanya mencium. Lebih dari itu.

“Kenapa kamu ingin menjadi putri tidur?” Semua pernyataan yang ingin ia lontarkan berubah menjadi sebuah pertanyaan.

“Aku ingin tertidur, sampai akhirnya seorang pangeran membangunkanku dari penantian tidur panjang,” jawab Mala.

Sayangnya ini bukan dunia disney, Mala. “Suatu hari nanti, seorang pangeran yang kamu nanti-nanti akan datang. Tapi, bukannya pangeran itu laki-laki? Dan seingatku, kamu pernah bilang kalau kamu benci laki-laki.”

“Benar juga.” Mungkin pangeran itu telah datang, Re.

“Mungkin kamu harus mulai tidur,” ucap Rean diikuti gelak tawa.

Melihat Rean tertawa, entah kenapa hati Mala menjadi damai. Tawa Rean menghadirkan secercah cahaya yang menyingkap awan-awan gelap dalam pikirannya. Tawa yang seolah menghempaskan angin sejuk yang menenangkan hatinya. Setidaknya bagi Mala.

...*****...

“TAPI menurutku bagusan anak SMA. Kenapa? Soalnya SMA masa paling indah dan penuh warna. Pada masa itu kita mulai mengenal jati diri. Cinta bukan lagi cinta monyet, juga teman-teman yang menyenangkan, sebelum kita melangkah ke tahap berikutnya yang lebih kejam. Berkenalan dengan dunia yang kejam.” Rean menuturkan.

“A... naruhodo, (Begitu, ya....)” Mala mengangguk-angguk tanda setuju.

“Sekarang, tokohnya mau seperti apa?” lanjut Rean.

“Yang dingin,” sahut Mala cepat, “cuek, judes, tapi baik hati dan tidak sombong. Itu untuk laki-lakinya.”

“Wait a minute, kamu tidak sedang membicarakanku kan?” sela Rean tidak terima.

Mala tidak menggubris dan melanjutkan, “Untuk perempuannya ada dua, yang pertama murid pindahan yang benci laki-laki dan sialnya, dia malah diganggu karakter utama tadi sejak hari pertama masuk. Satu lagi, perempuan ceria, lucu dan manja yang juga teman masa kecil tokoh pria.”

“Wait a minute, entah kenapa aku merasa mengenal mereka semua,” komentar Rean.

Mala tetap tidak menggubris dan kembali melanjutkan, “Latarnya saya ingin buat di Bogor. Saya akan menjadi mangaka pertama yang membuat latar manga di luar Jepang. Dan itu berarti... kamu harus menemani saya berkeliling Bogor untuk membuat sketsa.”

“Wherever and whenever,” jawab Rean mantap.

Mala tersenyum. Rean kembali tertegun. Senyuman yang terbit di wajah Mala kini terlihat tulus. Bukan lagi senyuman hambar yang terpaksa ia pampangkan demi menyenangkan hati tamu. Senyuman yang membuatnya terlihat berkali-kali lipat tambah cantik.

“Oh, iya,” Rean tersadar dari lamunan, “kalau diingat-ingat, aku belum pernah melihat gambarmu.”

“Gambar saya jelek,” balas Mala lirih.

“Bukankah kamu harus mulai berlatih menerima kritik dan saran? Dan sejelek apa pun gambarmu menurut orang lain, bagiku gambarmu akan menjadi gambar terindah yang pernah kulihat.”

Kata-kata Rean membuat Mala merasa jengkel dan tersanjung secara bersamaan. Cuma Rean yang berani terang-terangan berkata jujur kepadanya. Lidahnya yang lembut sekaligus tajam selalu membuatnya bingung harus merasa senang atau kesal. Rean selalu bisa membuatnya merasakan keduanya sekaligus.

“Arigatou.... (Terima kasih....)” Akhirnya, hanya itu yang bisa ia katakan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!