PUING 1: SURAT ADUAN

Bogor, Agustus 2015

Hari itu merupakan hari pertamanya masuk SMA. Dengan otak yang ia punya dan juga kedisiplinan yang ia biasakan, Rean mampu mendapat juara satu berturut-turut sejak sekolah dasar. Alhasil, ia juga bisa mendapatkan beasiswa dari sekolah barunya itu.

Bukan hanya orang tuanya yang bangga dan bisa memamerkan anak emasnya ke tetangga, tapi juga Rean itu sendiri. Setidaknya ia bisa meringankan beban orang tuanya dari kekejaman uang SPP, batin Rean. Dan itu juga yang membuatnya tambah giat mempertahankan prestasinya.

“Aku berangkat dulu, Mah,” Rean pamit sambil mengecup tangan ibunya, “daahhh!”

“Hati-hati. Jangan lupa berdo’a.” Ibunya berseru dari kejauhan.

Sebuah angkot berhenti di depannya tepat sesaat setelah Rean berdiri di pinggir jalan. Tampak oleh Rean kalau angkot itu ramai penumpang. Tanpa banyak basa-basi Rean langsung naik. Angkot itu melaju, membawanya ke tempat tujuan dengan tempat duduk yang sesak.

...*****...

Tokyo, Agustus 2015

Suara ribut-ribut memenuhi rumah minimalis itu sejak tadi pagi. Belum ada satu pun dari mereka yang mau mengalah dan meminta maaf. Ego keduanya terlalu tinggi untuk mengucap dua kata sederhana itu. Tidak sebelum ada kalah.

Mala, anak dari kedua orang yang saling berbincang dengan urat itu hanya duduk mendengarkan di dalam kamar sambil menyantap cemilan yang ia bawa dari kulkas. Ia tidak ingin ambil pusing dengan keseharian baru mereka sebulan terakhir ini. Dia yakin, nanti juga mereka akan baikan seperti kemarin-kemarin. Namun, ia tidak sadar, bahwa hari inilah terakhir kali dia mendengar orang tuanya saling menghardik.

Dua jam setelah perang panas itu, kedua belah pihak memutuskan untuk genjatan senjata, mundur dari medan perang dan menandatangani kontrak penceraian. Mala yang mengetahui info terbaru itu sangat kaget. Ia tak menyangka orang tuanya akan berbuat sejauh itu tanpa berpikir panjang. Tanpa menenangkan diri dan bicara baik-baik. Akan tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa.

Hari itu juga, ibunya menyuruh Mala segera mengepak barang-barangnya. Ia akan pergi ke kampung halaman ibunya di Indonesia dan meneruskan pendidikannya di sana. Namun di saat bersamaan juga, ayahnya datang dan meminta Mala ikut bersamanya. Mala akan dimasukan ke sekolah paling mahal dan melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.

Mala sangat bingung. Ia sangat menyayangi kedua orang yang telah membesarkannya itu. sebisa mungkin ia tak ingin memilih. Ia tak mau memilih. Mala hanya ingin tinggal bersama keduanya. Dia hanya ingin keluarganya kembali seperti dulu.

Melihat Mala yang hanya diam menunduk, dengan geram ayahnya menarik lengan Mala dengan kasar, menyeretnya, membuatnya meringis kesakitan.

Ibunya yang melihat itu tidak tinggal diam. Dia langsung menghadang, melawan saat melihat anak yang dicintainya disakiti. Namun itu percuma. Karena dengan mudah laki-laki bertubuh besar itu mendorong tubuhnya hingga jatuh ke lantai.

“Jangan ikut campur, Raras!” hardik suaminya dalam bahasa Jepang. Suaranya menggema.

“Otou-san! (Ayah!)” bentak Mala yang sudah berlinang air mata. “Mala ingin tinggal sama ibu,” ucap Mala dengan lirih.

Mendengar itu, genggaman ayahnya melonggar. Dia menatap anak dan istrinya bergantian sebelum akhirnya pergi meninggalkan mereka berdua dengan murka. “Pergi kalian semua! Aku tak ingin ada parasit yang tinggal di rumahku! Dan jangan pernah menginjakkan kaki kotor kalian lagi di rumah ini!”

“Mama...,” panggil Mala seraya membantu ibunya berdiri.

“Iku yo, Da-rin, (Ayo, Darling) ” ajak ibunya lembut, “kita tinggalkan rumah terkutuk ini!”

...*****...

Tangan mungil itu terus menorehkan tinta di atas selembar kertas karton berwarna hijau stabilo. Baris demi baris ia tulis dengan hati yang berkecambuk. Tetes demi tetes air mengalir membasahi pipinya, jatuh ke atas kertas dan memecah tinta.

Belum pernah hatinya dibuat sesakit ini oleh seorang laki-laki yang paling ia percaya. Belum pernah perasaannya dibuat seremuk ini oleh laki-laki yang menjadi cinta pertamanya. Sedih, kecewa, getir yang sekarang ia rasa. Hatinya patah, hancur menghambur seperti kaca yang tergelincir dari genggaman.

Dengan semua unek-unek yang ia punya, Mala tumpahkan semuanya dengan sebuah surat yang akan ia terbangkan. Berharap aduannya dapat sampai kepada Tuhan. Ritual yang selalu ia jalankan sejak kecil. Sejak ia menangis karena diejek oleh teman sebayanya dan berlari pulang ke rumah.

Saat itu, kakaknya datang menenangkan dengan berkata, “Jika Mala merasa sedih, atau bahkan senang, tulis saja sebuah surat untuk Tuhan. Maka Tuhan pasti akan mendengarkan semua perkataan Mala.”

“Tapi, gimana cara Mala memberikan surat itu sama Tuhan?” tanya Mala polos.

Kakanya tampak berpikir keras. Ia tak menyangka adiknya akan menanyakan hal itu padanya. “Caranya....” Kakanya menulis sebuah kalimat di buku, lalu merobek kertas itu dan melipatnya menjadi sebuah pesawat kertas, yang kemudian ia terbangkan ke luar jendela, meliuk-liuk ditiup angin sampai benar-benar hilang dari pandangan.

Dan sejak itu, Mala tak pernah absen menulis surat untuk Tuhan. Seperti sekarang, saat dia ingin menghilang saja dari dunia ini rasanya saking rasa kecewanya terhadap manusia yang bernama laki-laki.

...Kami-sama (Tuhan), Dewa Amaterasu, Dewa Tsukuyomi, Izanagi, Izanami atau siapa pun, tolong dengarkan aku kali ini!...

...Hari ini, laki-laki yang paling kupercaya telah mematahkan rasa percaya itu, menyakiti perasaanku. Kini, aku tidak bisa lagi mempercayai manusia bernama laki-laki. Tak bisa lagi aku mempercayai mereka. Tidak setelah hari ini....

Note: Azab saja mereka, Tuhan, biar mereka kapok.

Mala melipak kertas itu dengan rapi sampai membentuk sebuah pesawat. Ia membuka jendela rumahnya yang berada di puncak bukit. Setelah memberi napas (atau mungkin jiwa) pada pesawat kertasnya, dengan sekali ayunan Mala menerbangkan pesawat itu, meliuk ditiup angin sampai benar-benar menghilang dari pandangan.

...*****...

Bogor, Agustus 2015

Terik matahari menyorot langsung sekumpulan orang-orang berpakaian putih abu yang sedang berjajar rapi sejak setengah jam yang lalu itu tanpa ada awan yang menghalangi.  Hampir semua siswa sudah mengeluhkan unek-unek mereka dengan pidato kepala sekolah yang seolah tak ada habisnya itu.

Rean, yang berdiri di barisan paling depan, harus setengah mati menahan rasa gatal di kepalanya yang kepanasan. Rasa gengsi mencegahnya untuk menggerakkan satu jari pun. Ia ingin dilihat sebagai orang yang disiplin dan kuat oleh orang lain. Terutama para guru yang sedang berbaris rapi di bagian yang teduh.

Barisan itu akhirnya bubar jalan lima belas menit kemudian. Dengan langkah cepat Rean langsung bergegas ke kantin. Setengah dari cairan tubuhnya sudah disedot habis keluar. Ia harus segera mengisinya kembali atau dia akan mati kering karena dehidrasi.

“Pagi, Teh,” sapa Rean kepada penjaga kantin.

“Pagi, De. Tumben masih pagi udah ke sini. Mau beli apa?” Dengan senyuman manisnya penjaga kantin itu bertanya.

Baru satu minggu sejak hari pertamanya bersekolah, namun murid satu ini sudah akrab dengan Widi, penjaga kantin yang baru berumur kepala dua itu. Mereka bahkan sering bercakap-cakap seru dan tertawa saat hanya ada beberapa orang yang pergi ke kantin, saat Widi sedang tidak sibuk melayani pembeli yang membeludak.

Rean menunjukkan seragamnya yang sudah basah kuyup karena keringat. “Kehujanan. Air mineral satu botol.” Rean tertawa pelan.

“Ha-ha-ha. Keliatannya Dede beda alam sendiri.” Sambil menyodorkan pesanan Rean, Widi tertawa.

“Beda dimensi,” tambah Rean. “Kalo gitu, saya ke kelas dulu.” Rean melesat pergi meninggalkan Widi yang masih melambai.

Bersamaan dengan tibanya Rean di depan pintu kelas, guru pelajaran matematikanya datang sambil menenteng buku-buku. Kemudian perhatian Rean teralihkan kepada seorang gadis yang berdiri di belakang gurunya. Wajahnya tidak seperti perempuan-perempuan lainnya. Lebih seperti... Dewi, batin Rean.

Rean tersenyum dan membungkuk sebelum masuk lebih dulu.

“Assalamu’alaikum,” ucap guru bernama Rani saat masuk ke dalam kelas.

“Wa’alaikumsalam warahmatullah,” serempak murid-murid menjawab.

“Hari ini kita kedatangan murid baru dari jauh. Ada yang bisa tebak dari mana?” tanya Rani itu dengan nada menggoda.

“Ciamis?” celetuk salah satu murid diikuti tawa terbahak dari semua orang.

“E, e, e,” Rani menggeleng, “kita kedatangan seorang murid dari... Jepaaang!” Rani membentangkan tangannya, seolah mendeklarasikan perang dunia ketiga.

Semua murid yang mendengar pernyataan guru kenes itu melohok tak percaya. Tak terkecuali Rean. Tak ada seorang pun yang pernah membayangkan mereka akan bertemu dengan perempuan yang berasal dari Jepang sebelumnya, apalagi sekelas. Semua tampak syok. Mereka termangu di kursi masing-masing.

Bukan cuma murid yang merasa girang, guru juga sama senangnya. Dengan adanya seorang murid yang berkewanegaraan luar, itu akan membuat nama sekolah mereka disorot oleh seluruh wilayah. Walau itu artinya guru-guru harus kembali belajar bahasa Inggris dan itu artinya, tugas berat menanti Wildan, guru pelajaran Bahasa Inggris itu sendiri.

Seorang murid bernama Faqih memecah keheningan. “Ikuzou, temeraaaa! (Ayo, semuanyaaaa!)”

“Horraaaa!” serentak, beberapa murid wibu lainnya menyahut.

“Sudah, sudah, semuanya harap tenang!” Rani menenangkan murid-muridnya yang tampak sangat bersemangat. “Come here, Honey!” Guru itu melambai-lambaikan tangannya ke arah pintu.

Tak lama, seorang perempuan berjalan masuk dengan malu-malu. Sontak semua murid kembali mematung, terpana menyaksikan manusia satu itu, seolah sedang memandangi tujuh keajaiban dunia yang kedelapan.

Namun selain Rean, tidak ada yang menyadari tatapan murid baru itu. Sorot mata yang redup akan harapan walau ia coba samarkan dengan sebuah senyuman. Rean menatap jauh ke dalam, ke sebuah dimensi kegelapan yang dibentengi tembok menjulang. Benteng yang tak mungkin tertembus oleh cinta sekali pun.

Saat itu juga, hati Rean terpikat. Dia ingin mengubah sorot mata itu kembali cerah, mengisinya kembali dengan harapan supaya wajah abu-abu itu kembali berwarna. Ia ingin mengukir senyuman di wajahnya yang cantik. Bukan senyuman palsu seperti yang dilihat semua orang sekarang, tapi senyuman tulus. Rean ingin melihatnya. Rean ingin menembus benteng itu. Melubanginya perlahan demi perlahan. Waktu demi waktu.

“Hallo, guys! My name is Mala. Nice to meet you. Thank you,” ucap perempuan bernama Mala itu dengan bahasa Inggris yang patah-patah.

“Hallo, Mala! Nice to meet you too,” jawab semua.

“Mala, how many your number whatsapp?” tanya Faqih dengan bahasa Inggris medok dan acak-acakan, diiringi sorak tawa yang lainnya.

“I’m sorry but, saya tidak punya nomor whatsapp. Saya tidak punya ponsel,” jawab Mala sambil kembali memperlihatkan senyuman.

“Nggak pa-pa deh. Liat senyumanmu aja udah membuatku bahagia,” lanjut Faqih diiringi sorakan yang lainnya.

“Sudah, sudah,” Rani kembali menenangkan, “Mala, you can sit now.” Rani mempersilakan.

“Berhubung tidak semua guru bisa berbahasa Inggris, apa ada murid yang mau sebangku dengan Mala dan menerjemahkan untuknya?” Rani kembali bertanya saat Mala sudah duduk di kursinya yang berada paling belakang.

Sebuah tangan terangkat dengan cepat.

“Rean?” tanya Rani diikuti bisik-bisik dari setiap penjuru kelas.

Tanpa menjawab, Rean langsung bangkit dari duduknya dan berjalan ke belakang kelas, duduk di meja yang sama dengan Mala. Mala menatapnya dengan penuh tanda tanya. Terlihat jelas keengganannya akan kehadiran Rean, tapi Rean tak mengindahkannya sama sekali. Bagi Mala, lelaki hanyalah kuman yang harus dibasmi dari sekitarnya. Bagi Mala, tak ada lagi ruang untuk laki-laki di dekatnya, apalagi di hatinya.

“I’m your traslator,” tanpa ditanya Rean menjawab.

“Baaka, (bodoh)” gumam Mala yang masih bisa didengar oleh kuping Rean. Dan tentu saja dimengerti olehnya.

“Bakanara gomen demo, boku wa tasukeyou to shite, (maaf jika aku bodoh tapi, aku hanya mencoba membantu) ” tutur Rean santai.

Mala terlonjak kaget saat mendengar orang asing di sampingnya mampu mengerti, bahkan bisa mengucapkan kalimat dalam bahasanya dengan pasih seolah dia memang berasal dari negeri yang sama.

“Mala? Ada apa?” tanya Rani dalam bahasa Inggris.

“Nothing, Mam. Saya hanya sedang berkenalan dengan teman sebangku saya.”

“Bagus kalau kalian langsung akrab. Semoga Rean tidak memanfaatkanmu untuk mengerjakan tugas-tugasnya,” kata Rani sambil tertawa kecil.

“Semoga nggak sebaliknya,” jawab Rean.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!