“PAGI, Abaaang!” Seorang perempuan mungil, berlari ke arah Rean sambil menenteng tas yang berukuran lebih besar dari tubuhnya sendiri.
Rean menatap perempuan itu dengan sudut matanya yang tajam sebelum berkata singkat. “Pagi, Leni”
“Apa sih, sok sindrom kulbet segala.” Leni tertawa sambil memukul lengan Rean kencang.
“Kan aku emang kulbet, Ai,” balas Rean sambil mengacak-acak rambut Leni.
“Jangan disentuuuhh...,” rengek Leni sambil menepis tangan Rean, lalu mengembungkan pipi dengan sebal. “Eh, btw, cewek Jepang itu mana?”
“Tuuhh!” Rean menjawab sambil mengacungkan jempolnya ke belakang.
Leni tersentak saat melihat orang yang dibicarakannya ternyata sedang berdiri di belakangnya dari tadi. Leni buru-buru memberi senyuman.
“Oh, maaf. Hai, aku Leni,” sapa Leni sambil menyodorkan tangannya untuk dijabat.
“Hai, Reni. Saya Mala,” ucapnya dalam bahasa Indonesia yang jelas.
Leni terkejut mendengar perubahan drastis itu. Leni sekelas dengan Rean dan Mala, tapi dia tidak masuk saat pertama kali Mala pindah. Namun karena Rean sering bersama Mala untuk membantunya menjadi translator, Leni harus memutar otaknya supaya bisa merangkai kata yang terbata dalam bahasa Inggris yang tidak begitu ia kuasai. Namun, ia sangat terkejut begitu menyaksikan kemajuan pesat yang dialami Mala saat ini.
Setelah lama tertegun, Leni baru menyadari sesuatu.
“Namaku Leni, by the way,” ralat Leni.
“Lidah Jepang memang tidak bisa mengucap ‘L’,” sambar Rean.
“Lah? Tapi barusan dia menyebut Mala dengan jelas,” balas Leni tak terima.
“Namanya sebuah pengecualian. Mungkin lidahnya sudah terlatih karena bertahun-tahun menyebut namanya sendiri,” jawab Rean lagi.
Sementara itu, Mala hanya memandangi mereka bergantian karena tidak mengerti arah pembicaraan. Kosakata yang sudah ia hafal masih sebatas kata yang sering digunakan sehari-hari. Sambil berjalan mengikuti mereka di belakang, ia hanya bisa menerka-nerka.
...******...
SUASANA kantin pada jam istirahat selalu dibanjiri orang-orang yang kelaparan. Lalu lalang siswa-siswa yang keluar-masuk kantin membuat empat siswa itu kesulitan bergerak. Terutama warung tempat Widi berdiri. Tempat satu itu memang selalu bengkak pembeli, membuat Widi terpaksa harus menyewa asisten supaya bisa menangani pembeli yang membludak.
Setelah bersusah payah menerobos kerumunan, akhirnya mereka sampai di tempat yang dituju. Tanpa berlama-lama Rean langsung memesan.
“Batagor sama es teh manis, Teh,” Rean memesan. Kemudian dia melirik Mala. “Kamu mau pesan apa?”
“Sama seperti pesanan kamu,” jawab Mala pelan.
“Yakin?” Rean memastikan. Mala mengangguk.
“Oke. Teh, batagor dua, es teh manis dua,” Rean mengulang pesanannya.
“Okey, De,” sahut Widi dengan senyuman khasnya.
“Kita nggak ditanya?” Laki-laki yang sedari tadi bersama Rean protes.
“Iya, tuh,” Leni menyahut ketus.
“Kalian tinggal bilang aja langsung kenapa, sih? Kebayang nggak kalo Mala pesen makanan? Pasti dia bakal bilang ‘pesan batagoru sama esu teh manisu’. Lo juga, Andre, manja amat jadi LAKIK,” jawab Rean sambil menarik tangan Mala pergi, mencari meja yang kosong untuk mereka duduk.
“Mereka lengket banget. Gue jadi cemburu,” Andre berkata kepada Leni setelah mereka sudah cukup jauh untuk mendengar.
Leni tidak menjawab. Tatapannya menerawang kosong. Tanpa sadar ia menggigit bibirnya yang merah.
Rean adalah sahabatnya sejak kelas 10. Sejak pertama kali mereka bertemu, dan sampai sekarang, Leni melihat Rean sebagai laki-laki yang cuek, yang tidak peduli apa pun selama itu tidak menyangkut dirinya.
Ketidakpedulian Rean menarik perhatiannya sebegitu kuat seperti magnet berbentuk manusia. Ketidakacuhannya mendorong hati Leni untuk berkenalan. Dan genggaman tangan Rean yang lembut dan halus, juga sorot matanya yang berubah hangat menjungkirbalikan persepsi Leni sebelumnya. Bahwa sikap Rean yang dingin dan cuek, adalah topeng untuk menutupi sosoknya yang ramah dan perhatian. Kepribadian ganda, pikir Leni.
Andre adalah teman Rean sejak kecil. Hampir ke mana pun pergi, mereka selalu bersama seperti sepasang kakak-adik yang tak terpisahkan. Kekonyolan Andre dan ketenangan Rean bak air dan minyak yang melarut menjadi satu. Mereka nyambung.
Rean tidak pernah menolak setiap kali Leni memintanya ditemani. Tanpa pikir panjang Rean langsung menuruti. Namun, setelah hadirnya sosok Mala di antara mereka, Leni melihat adanya jarak di antara dia dan Rean. Rean yang mulai berpikir dua kali, Rean yang bilang “Maaf”, menjadi hal yang baru bagi Leni. Rean yang baru. Detik demi detik, jarak itu semakin membentang lebar. Leni merasa kehilangan.
“WOY, LEN!” Andre menepuk jidat Leni yang bengong.
“Aaaww... sakit tahu, Dre,” protes Leni sambil mengelus-elus keningnya.
“Ya... lagian elu, gue panggil-panggil nggak nyahut. Lagi mikirin apa sih lu?” tanya Andre gemas.
“Nggak, kok. Aku lagi mikirin... mau pesen apa,” jawabnya akhirnya.
Andre menatap Leni curiga sebelum akhirnya menjawab pendek. “Oh.”
...*****...
SEBENARNYA Mala risih dengan kehadiran Rean di sampingnya. Ditambah dengan hadirnya Andre, teman Rean sejak kecil yang sering mengajaknya ngobrol dalam bahasa yang tidak ia pahami menggenapkan rasa kesalnya setiap hari. Kalau saja bukan karena ia harus menenangkan ususnya yang meronta-ronta minta dibelikan batagor, lebih baik Mala tidur di kelas, di bangku paling belakang dan tak mungkin diganggu orang.
Baru sebulan ia bersekolah di Bogor. Baru satu bulan juga ia kenal dengan makhluk bernama Rean. Namun selama empat minggu itu, makhluk itu telah sukses membuatnya hampir kena mental.
Menurutnya, Rean adalah laki-laki yang dingin, judes, dan seenaknya sendiri. Dengan lancangnya Rean masuk ke kehidupannya. Ikut campur tanpa meminta izinnya. Meskipun begitu, di samping itu semua, Mala butuh Rean. Mala butuh bantuan Rean.
Sementara itu, makhluk yang sedari tadi ia tatapi dan maki-maki dalam hati sedang asyik sendiri dengan ponsel yang ia pegang. Tetapi Mala tidak tahu, bahwa kendati jempolnya terus menarik ulur beranda dengan teratur, pikiran Rean terus sibuk memikirkan perempuan di depannya.
Rean belum pernah bertemu perempuan seperti Mala. Perempuan tercuek sekaligus terbaik yang pernah ia temui. Walau dengan trauma yang masih ia simpan dengan rapi terhadap lelaki, Mala masih bisa menghargai Rean sebagai orang yang berusaha membantu. Walau Mala masih belum bisa membuka lagi hati terhadap siapa pun.
Dan tanpa mereka sadari, begitu banyak persamaan yang mereka miliki. Mereka bagai langit dan bumi yang melebur menjadi satu, menghacurkan segala batasan status, sosial dan segala yang membatasi. Mereka terlihat serasi sekaligus terlihat tidak akur.
Rean mengangkat wajahnya dari ponsel, menatap langsung wajah Mala. Mata mereka bertemu. Mala yang terciduk menatapi Rean buru-buru memalingkan wajah. Suasana yang menglilingi mereka berubah canggung. Mala masih belum berani menatap balik Rean. Dan ketika mulut Rean membuka, berniat mengucap sesuatu, dua temannya datang bersama batagor pesanan mereka yang diantarkan oleh Nindy, asisten Widi.
Dua piring berisi aci dan tahu yang sudah digoreng dengan luberan bumbu kacang dihidangkan kepada Rean dan Mala bersama dua gelas teh manis. Setelah memberi sebuah senyuman dan kata-kata yang selalu ia katakan setiap kali menyajikan hidangan, Nindy beranjak pergi, kembali ke hadapan bosnya.
Rean tak pernah absen memesan batagor setiap jam istirahat. Bahkan sejak awal-awal masuk kelas 10 pun, yang ia pesan selalu sama. Batagor buatan Widi, dengan harga pas di kantong dan porsi yang lumayan mengenyangkan perut, menjadi salah satu faktor kenapa batagor dipilih. Dengan harapan perutnya bisa bertahan setidaknya sampai pulang untuk kemudian makan sepuasnya di rumah. Batagor harapan.
Bagi Rean, gaya tidak perlu, kenyang nomor satu. Jika perutnya tidak demo meminta dipuaskan, itu artinya uang jajannya bakal utuh sampai pulang. Dan itu yang selalu ia harapkan setiap istirahat.
“Buset,” ucap Andre saat mendaratkan bokongnya di kursi di samping Mala, “kalian ditatapi terus sama semua orang di kantin. Terutama lu, Re. Kalo gua jadi lu, gue bakal hati-hati,” cerocosnya diakhiri suapan batagor.
“Kenapa emang?” tanya Rean santai sambil ******* batagornya.
“Kenapa? Karena semua orang iri sama lu yang deket sama cewek paling cantik se-kabupaten. Bisa aja kan salah satu dari mereka ngirim santet sama lu.”
“Heh! Sembarangan!” Leni memukul lengan Andre. Sementara orang yang dimaksud malah menyantap batagor dengan tenang seolah kata santet bukanlah hal yang patut ditakutkan.
“Ya, kata gua juga bisa aja.” Andre membela diri.
“Inget! Kata-kata adalah do’a tahu!”
“Tahu tuh,” Rean ikut angkat suara.
“Pokoknya, gua siap gantiin posisi lu walau nyawa gua taruhannya,” lanjut Andre, mengumumkan niat aslinya.
“Gak, makasih.”
“Dahlah.”
“Omong-omong, Bang, tugas matematika udah belum?” tanya Leni kepada Rean.
“Udah.”
“Udah ngirit ngomong, nggak peka lagi,” gumam Leni. “Aku boleh nyontek nggak?” nadanya berubah manja seperti biasa.
“Buset. Izin nyontek kek izin malmingan ae,” timbrung Andre.
“Tumben izin? Biasanya juga tetep nyontek walau nggak kuizinin.”
“Mwe-he-he....”
Sementara itu Mala asyik memainkan batagornya tanpa menyimak obrolan yang entah apa konteksnya. Bagi Mala, mau membicarakannya di belakang atau di depan, selagi ia tidak tahu, ia tidak peduli. Ia tak mau pusing-pusing mencari tahu siapa saja yang membicarakannya sampai ke akar-akarnya. Serba tidak tahu ada enaknya juga. Ia bisa bisa hidup tenang.
“Mala, kamu juga pasti mau nyontek sama si Abang, kan?” tanya Leni.
Mala tidak menyahut. Ia masih sibuk dengan batagornya.
“Mala?”
“Eh? Nani? (Apa?)” Mala tersentak kaget.
“I say, Mala also want... to... nyontek bahasa Inggrisnya apa, sih?” tanyanya kepada Rean.
“Cheat.”
“Oh, iya. Mala also want to cheat on Abang, right?”
Mala tidak langsung menjawab. Ia menatap Rean, meminta jawaban sekaligus persetujuan. Namun orang yang ia tatap kembali sibuk dengan gadget-nya.
“Maybe.” Kata itu yang akhirnya terlontar.
“Oh, iya. I heard from Abang that you want to join the choir?”
Ragu, Mala mengangguk pelan.
“You know what? Aku juga ikut padus, loh!” Leni mendeklarasikan dengan senyum lebar.
“Really?” Mala tak kuasa menahan rasa senangnya.
“Ya!” seru mereka kegirangan.
“Oh, aku sudah nggak sabar nyanyi bareng kamu. Hey, Bang, yakin nggak mau masuk padus lagi?” tanya Leni diikuti lirikan penasaran Mala. “Oh, I forgot to say, bahwa Bang Rean juga pernah ikut ekskul padus,” Leni menjelaskan.
Mala menatap Rean. “Kenapa kamu keluar?”
Rean menatap Mala lama sebelum menjawab, “Aku tidak suka diatur saat nyanyi. Aku ingin menikmati tiap bernyanyi. Nada demi nada.”
Suasana meja itu kembali hening. Mereka semua kembali sibuk dengan piring dan pikiran masing-masing. Sibuk dengan batagor yang perlahan-lahan mulai habis.
Rean menatap lamat-lamat piringnya yang sudah kosong. Ia mengangkat piringnya, melihat ke bawah piring seperti sedang mencari sesuatu yang hilang.
“Ada apa?” Leni tak tahan untuk bertanya.
“Piringnya bolong.”
...*****...
SINAR oranye menyorot tepat ke pulupuk matanya. Bulir-bulir keringat yang menyembul di keningnya berkilau jingga diterpa sinar matahari senja. Langit mulai berubah merah saat dia menembakkan smash yang mengakhiri permainan sekaligus latihan ekskul voli hari ini.
Rean menghampiri Leni yang sedari tadi duduk menonton di pinggir lapangan. Leni tersenyum lebar sambil menggenggam sapu tangan di tangannya. Saat Rean sudah di hadapannya, dengan cepat ia bangkit dan mengelap wajah Rean yang berkeringat. Alih-alih menahan, Rean malah menikmati kebaikan yang Leni berikan.
“Keringat Abang banyak banget ihh. Ngucur terus nggak habis-habis.” Leni berkata sambil terus mengelap wajah Rean.
“Makanya aku isi ulang,” jawabnya sambil menenggak botol air mineral yang sudah Leni sediakan. “Omong-omong soal keringat, seluruh tubuhku keringetan, mau dielapin juga?”
“Heh! Buka!” ujarnya.
Tanpa memikirkan sedang di mana mereka berada, Rean hendak membuka bajunya.
“Eh, eh, eh!”
Rean berhenti. Mereka berpandangan. Detik berikutnya mereka tergelak.
Tanpa mereka sadari, seseorang sedang memperhatikan mereka sejak tadi. Melihat kedekatan Rean dan Leni, rahangnya mengeras. Matanya yang sejak tadi memperhatikan mulai memerah menahan emosi. Urat-uratnya menonjol seperti cacing-cacing berwarna hijau yang muncul ke permukaan kulit.
“Woi, bro!” Salah seorang temannya menepuk pundaknya kencang, menyadarkannya dari bayangan kekerasan yang ia ciptakan sendiri demi meredam emosi. “Ngeliatan apa lo?” tanyanya sambil melirik ke arah temannya menatap.
“Mereka deket banget, ya? Apa mereka pacaran?” tanyanya setelah cukup menganalisa. “Lu kenapa ngeliatin mereka terus? Lu cemburu apa iri? Vero... Vero...,” berondongnya sambil geleng-geleng kepala.
“Berisik lu, Rej!” desis Vero sambil berlalu meninggalkan Reja yang terus mencerocos tanpa jeda.
Namun Reja tidak mengindahkan. Sambil terus berjalan mengikuti di belakangnya, Vero terus melontarkan kata-kata yang membuat Vero semakin kesal.
“Please, deh, lu itu anak paling populer di sekolah. Lu itu udah ganteng, tajir, otak lu juga cair, cewek kek Leni nggak level buat lu. Mending lu terima salah satu dari tiga cewek yang nembak lu kemarin.”
“Gua gak tertarik sama cewek yang cuma mandang duit gua, Rej,” balas Vero sengit, “dan gua gak tertarik sama sasimo-sasimo itu. Gua bisa beri mereka duit berapa pun, tapi gua tetep gak bisa beri mereka hati gua. Kalo lu mau, ambil aja mereka.”
Perkataan Vero barusan berhasil membungkam mulut Reja. Selama perjalan mereka ke parkiran sampai mereka melesat pergi dengan motor sport masing-masing, tak ada lagi suara yang terlontar dari mulut keduanya.
Sambil memacu motornya, Vero membulatkan tekad.
Liat aja lu, Len. Gua bakal buat lu tergila-gila sama gua sampai lu rela bersujud di kaki gua demi meminta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments