PUING 2: GURU LES PRIVAT

Bogor, September 2015

Sebangkunya seorang juara umum dan siswi asal Jepang menggentarkan satu sekolah itu selama sebulan terakhir, terutama kelas 12 IPA-2. Di bangku yang berada di tempat paling belakang itu, seorang laki-laki dan perempuan tampak sedang bercakap singkat. Kadang dalam bahasa Inggris, kadang juga dalam bahasa Jepang. Semua mata tampak menatap ke arah yang sama. Mereka semua mendengarkan dengan khidmat walau tak tahu topik apa yang dibahas.

“Kalau soal bahasa Indonesia itu hanya soalnya saja yang panjang, tapi jawabannya hanya satu kata. Tidak perlu repot-repot baca dari atas sampai bawah. Cukup kamu baca langsung pertanyaannya, sisanya tinggal cari. Seperti soal nomor empat, di situ sangat jelas tertulis ide pokok alinea ketiga, ya berarti kamu cari di paragraf ketiga. Oh, iya, maaf, kamu tidak paham bahasa Indonesia,” cerocos Rean dalam bahasa Inggris tanpa memalingkan fokusnya dari buku.

“Omong-omong, tidak logis juga kamu yang orang Jepang malah belajar bahasa Indonesia,” Rean lanjut berkata.

“Believe me, saya juga menanyakan pertanyaan itu berulang kali sejak menginjakkan kaki di kelas ini,” balas Mala ketus.

“Oke, aku punya ide baik sekaligus buruk.”

“Nani sore? (Apa itu?)” Mala bertanya.

Rean memalingkan pandangannya dari buku yang ia baca, menatap langsung mata cokelat Mala.

Seketika Rean tertegun. Belum pernah ia melihat bola mata seindah itu. Iris yang seolah memiliki gravitasi supermasif, yang seolah menciptakan relativitas waktu sekaligus menyedotnya tanpa ampun.

“Oyy... Ree-kun?” Mala menepuk bahu Rean, menyadarkannya dari lamunan.

“Oh―apa?”

“What’s the idea?” Mala mengulangi.

“Oh, iya. Aku jadi patnermu belajar bahasa Indonesia,” Rean menegaskan.

“What?”

“Maksudku, kita bisa saling menguntungkan. Kamu bisa bahasa Indonesia selancar mungkin sampai tak seorang pun bisa membedakan, dan aku bisa bahasa Jepang agar aku bisa mengejek mereka dalam bahasa asing. Simbiosis mutualisme. Cukup menguntungkan, bukan?”

“Dan ide buruknya apa?” tanya Mala tak tahan.

“Kita akan lebih lama bersama.”

...*****...

KOTA Bogor pada malam itu terasa lebih dingin daripada sebelumnya. Pohon-pohon bergoyang hebat karena ditiup angin kencang. Namun Rean terasa gerah. Tubuhnya terus mengeluarkan keringat dingin saat memandangi rumah mewah di hadapannya. Rean bergeming di tempat.

Rumah bercat kuning gading itu berdiri dengan gagahnya di antara rumah-rumah lainnya. Menjadikannya tampak sangat mencolok karena ukurannya yang sangat besar. Pilar-pilar besar menancap kuat menopang pondasi. Pagar tinggi dengan kawat berduri bagai tembok kastel yang mengelilingi rumah itu dari seluruh penjuru, mencegah maling-maling masuk tanpa izin. Seketika Rean merasa menyesal telah mengajukkan diri menjadi guru les privat.

Gerbang di hadapannya perlahan terbuka dan seorang satpam menyilakannya untuk masuk. Dengan sama perlahannya, Rean menyeret langkah demi langkah menuju rumah Mala. kakinya tiba-tiba terasa berat. Rasanya seperti ada jangkar besar yang diikatkan di kedua kakinya.

Sebuah taman cukup luas menyambutnya. Berbagai macam bunga dengan berbagai macam warna menyejukkan matanya. Di pusat taman, sebuah air mancur bertingkat menyemburkan airnya ke luar. Langkah Rean semakin melambat. Ingin lebih lama menyaksikan semua itu.

Kemudian sudut matanya menangkap seseorang yang sedang berdiri di pintu. Mala, memakai kaus shinigami dan celana pendek. Memperlihatkan tungkai-tungkai kakinya yang panjang. Rambutnya dikucir ke belakang dengan poni yang menutupi dahi. Yang membuatnya semakin cantik adalah segurat senyuman yang tergarbar di wajahnya yang lugu. Walau bukan senyum tulus seperti yang diharapkannya. Rean mempercepat langkah. Ingin segera melihat semuanya lebih dekat dan lebih jelas.

“Hai, Re,” Mala menyapa.

“Hai. Bagaimana, sudah siap?”

“Hai, Sensei. (Iya, Pak Guru)”

...*****...

SUDAH dua jam sejak dia menginjakkan kaki ke rumah itu. Namun Rean masih belum menunjukkan tanda-tanda akan pulang. Dua orang yang baru kenal sebulan itu masih tenggelam dalam kamus masing-masing sambil sesekali bertanya.

“By the way, bagaimana caramu bisa bahasa Jepang?” tanya Mala yang sekarang sudah duduk tegak di atas tempat tidurnya.

Rean, yang sedari tadi tidur terlentang di sofa, menatap Mala lekat dari balik buku Kotoba yang ia baca.

“Sejak kecil aku suka anime,” Rean akhirnya berkata, “aku sering nonton video aslinya karena memang suka sama bahasa dan huruf Jepang. Setelah dipikir-pikir, aku ingin pergi ke Jepang. Jalan-jalan, mendatangi tempat-tempat yang kuinginkan, yang baru bisa kulihat lewat layar. Aku harap suatu hari nanti aku ingin tinggal di sana. Dan saat itu terjadi, maukah kamu menemaniku berkeliling?”

Mendengar itu ekspresi Mala berubah muram. “Jepang tidak seindah yang kamu lihat di anime-anime, Re.”

Kemudian Mala teringat kepada ayahnya. Teringat pada hari di mana hatinya dan hati ibunya dibuat terluka. Perasaan getir kembali merasuk tiba-tiba.

Rean menatap Mala nanar. Kini, terdapat tanda tanya besar yang muncul di kepalanya. Apa gerangan yang membuat gadis itu sebegitu benci dengan negaranya sendiri. Benci terhadap laki-laki. Kenapa Mala memilih pergi dari negara yang bagi Rean surga. Rean tahu kalau ibunya dari Indonesia. Tetapi kenapa ibunya lebih memilih menyekolahkan anaknya di tempat yang anaknya sendiri tidak bisa berbahasa negara tersebut.

Sungguh, kamu perempuan yang penuh dengan misteri, batin Rean.

“Listen to me, Re” lanjut Mala, “walau baru menginjakkan kaki di Bogor, bagiku Indonesia lebih indah dari Jepang. Indonesia adalah tempat paling indah yang pernah kukunjungi. Buat apa jauh-jauh pergi ke Fujiyama jika kamu bisa mendaki Gunung Ciremai? Buat apa capek-capek ke Kuil Inari jika kamu bisa mengunjungi Borobudur? Aku sempat searching tempat-tempat wisata sebelum berangkat ke sini,” tambah Mala cepat saat melihat ekspresi tak percaya Rean.

“Pokoknya, daripada buang-buang waktu pergi ke Jepang, lebih baik kamu kuliah di sini, terus sukses, menikah dengan orang yang kamu cintai dan hidup bahagia bersama anak-anakmu kelak,” Mala menanggaskan.

Rean tak menjawab. Hanya menatap Mala dalam diam. Sejak pertama mereka mengobrol, baru kali ini Mala berbicara lebih dari satu paragraf kepadanya. Sebelumnya dia hanya bicara jika Rean tanya dan bertanya hanya soal pelajaran di sekolah. Selain itu, mulutnya tertutup rapat.

Mendengar Mala yang rela mencerocos hanya untuk mencegahku pergi ke negara asalnya, itu berarti dia sangat trauma karenanya. Seperti ada sebuah tragedi di balik kepindahannya ke Bogor. Namun aku tak punya hak untuk mencampuri urusan pribadinya lebih jauh. Masih belum.

“I wanna make manga.”

Rean termangu mendengar pernyataan Mala yang tiba-tiba. Namun dengan cepat ia melempar senyum. Sebuah senyuman yang jarang sekali ia tunjukkan.

“Kalau begitu aku akan menjadi penulis naskahnya.”

Kini giliran Mala yang tertegun. Setiap kalimat yang meluncur dari mulut orang itu selalu saja memberi kejutan. Setidaknya bagi Mala. Setelah lama terdiam, barulah Mala kembali menemukan suaranya. “Memangnya kamu suka menulis?” tanya Mala ragu.

“Enggak juga,” jawab Rean santai seperti biasanya.

“Kalau begitu kena―”

“Karena...,” potong Rean, “I just wanna help you, Mala. Dan aku ingin mata itu terus berbinar seperti saat Mala menyebutkan manga tadi. Aku ingin sorot mata itu terus di sana. Bukan sorot mata hampa yang seakan-akan semua beban berat dunia ada di bahumu,” tutur Rean sambil menunjuk mata cokelat Mala.

“Kamu tidak tahu apa yang saya alami,” desis Mala.

“Aku memang tidak tahu. Dan apa pun masalahmu, aku tetap akan menjadi penulis naskahnya,” Rean menegaskan.

Ketegasan Rean membuat Mala bungkam. Mereka kembali terenyak dengan kamus masing-masing dalam hening.

“Saya benci laki-laki,” Mala berkata lirih, mencairkan kebekuan.

Rean sudah bisa menebaknya. Dia sudah menyiapkan berbagai kata untuk mengkonter pernyataan itu. namun setelah dihadapkan secara langsung, Rean kehilangan semua itu. Lidahnya kelu. Kata-kata yang hendak ia lontarkan tersangkut di tenggorokan.

“I know,” akhirnya, hanya itu yang bisa ia katakan. Dan aku akan mengubah pemikiranmu itu, Mala.

Hening kembali menyelimuti sampai Rean pamit untuk pulang. Les bahasa untuk hari itu ditutup. Dari teras depan, Mala menatapi punggung Rean yang berjalan menjauh.

Hari ini, Mala mengetahui lebih banyak hal tentang guru les privat gratisnya itu. Kata-kata yang diucapkan Rean tadi bergelantungan di benak Mala. Pembicaraannya dengan Rean hari ini menghasilkan satu kesimpulan, yaitu, dia wibu bodoh.

Tiba-tiba Rean membalikkan badan. Mala tersentak kaget karena mengira Rean bisa mendengar kata hatinya. Rean mengangkat sebelah tangannya, menyatukan jempol dan telunjuknya, membentuk hati. Mala mendelik benci. Beberapa saat kemudian, tangan Rean kembali terkepal, dan jari tengahnya mengacung tegak. Setelah itu dia kembali berbalik dan pergi sampai tak terlihat lagi.

Tanpa bisa ditahan, sudut bibir Mala terangkat. “Bakaa....”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!