Rumi sudah selesai dengan urusannya dan hendak masuk kembali ke dalam ruangannya, saat pria itu tak sengaja mendengar Vivian yang sepertinya sedang menelepon seseorang.
"Halo, Sayang! Sudah makan siang?"
Sayang?
Siapa memangnya yang Vivian telepon? Pacarnya?
Rumi yang penasaran kembali mencuri dengar.
"Oh, begitu. Di sana baik-baik, ya! Jangan nakal!"
Jangan nakal?
Cih!
Dimana-mana, pria pasti akan nakal jika berjauhan dari pacarnya. Kadang yang statusnya sudah suami istri saja rawan selingkuh, apalagi yang cuma pacar.
"Mmmuuuah!"
Suara Vivian yang sedang membalas ciuman jauh dari seseorang di seberang telepon mendadak membuat hati Rumi memanas. Lagipula, apa bagusnya orang telepon pakai muah muah segala? Mau sok-sokan pamer kemesraan? Dasar lebay!
"Bye, Sayang!"
Rumi yang sudah tak tahan dengan obrolan mesra Vivian dan seorang pria asing yang Rumi yakini adalah pacar gadis itu, segera mendorong pintu ruangannya hingga menjeblak terbuka. Rumi menatap marah pada Vivian yang hanya berdiri santai seolah tanpa dosa.
Rumi tak tahu kenapa Vivian selalu bisa bersikap santai, saat dirinya sedang marah atau mengomel. Vivian seakan tak punya rasa takut pada Rumi. Atau jangan-jangan gadis ini sedang menantang Rumi?
"Hai, urusanmu sudah selesai?" Tanya Vivian tetap pada sikap santainya.
Kurang ajar!
"Sudah!" Jawab Rumi ketus.
"Kau barusan telepon siapa?" Tanya Rumi penuh selidik. Raut wajah pria itu tetap ketus dan galak. Sepertinya memang sudah bawaan bayi.
"Abangku," jawab Vivian jujur.
Rumi berdecak,
"Abang?"
"Abang beda ibu dan bapak, ya?" Decak Rumi sinis.
"Abang kandung!" Sergah Vivian cepat.
"Jadi ibu dan bapak kami sama," sambung Vivian lagi.
"Siapa?" Rumi mendelik pada Vivian.
"Siapa? Aku dan abangku. Kami saudara kandung," jawab Vivian sedikit bingung dengan maksud pertanyaan Rumi.
"Siapa yang tanya?" Rumi akhirnya melengkapi kalimat tanyanya. Vivian langsung mencibir dan menggerutu dalam hati
"Kau yang tanya, Pak Rumi amnesia!" Teriak Vivian dalam hati.
"Aku tak peduli kau sedang menelepon abang kandungmu atau abang jadi-jadianmu!" Lanjut Rumi lagi.
"Jadi tak usah cerita sampai sedetail itu!" Pungkas Rumi seraya berdecak berulang kali.
"Baiklah, maaf!" Ucap Vivian akhirnya.
"Jangan hanya minta maaf! Bereskan meja kerjaku! Lalu kita pergi ke rumah sakit setelah ini!" Ujar Rumi memberikan perintah untuk Vivian.
"Ke rumah sakit? Kau mau bertemu dokter?" Tanya Vivian memastikan.
"Menjenguk Ethan!" Koreksi Rumi tegas. Vivian hanya membulatkan bibirnya membentuk huruf O.
"Dan aku benci dokter jika kau mau tahu," lanjut Rumi lagi yang langsung membuat Vivian mengernyitkan kedua alisnya.
"Kenapa?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Vivian.
"Mereka menyebalkan!" Jawab Rumi kembali ketus. Sepertinya nada bicara Rumi memang sudah disetting ke mode ketus.
"Bukankah Ethan juga seorang dokter? Dan kau tidak membencinya," tanya Vivian bingung.
"Itu sebuah pengecualian!" Sahut Rumi dengan nada bicara yang sudah naik tujuh oktaf.
"Berhentilah bawel dan bertanya-tanya! Cepat bereskan ruangan ini, lalu kita berangkat ke rumah sakit!" Perintah Rumi tegas pada Vivian yang sejak tadi bawel sekali.
"Baiklah!" Jawab Vivian patuh. Wanita itu langsung bergerak cepat membereskan ruang kerja Rumi. Tepat pukul dua siang, Rumi dan Vivian sudah meninggalkan rumah dan meluncur menuju ke rumah sakit.
****
Tok tok tok!
Vivian mengetuk pintu kamar perawatan Dokter Ethan. Tak berselang lama, pintu sudah dibuka oleh Ruby yang wajahnya sembab dan sepertinya juga kurang tidur.
"Ethan sudah bangun?" Tanya Rumi pada saudara kembarnya tersebut.
"Belum," jawab Ruby lirih.
"Vian, kau temani Ruby ke kantin dulu untuk makan siang! Aku akan menjaga Ethan disini," titah Rumi pad Vivian.
"Aku sudah makan, Rumi!" Ujar Vivian menolak perintah Rumi.
"Jangan bohong! Kalau kau sakit, kau tidak akan bisa menjaga Ethan lagi!" Ujar Rumi yang sepertinya sok tahu sekali dengan apa yang dirasakan oleh Ruby.
Ruby hanya berdecak dan akhirnya bangkit dari kursinya.
"Kau menyebalkan!" Gerutu Ruby pada Rumi.
"Tebakanku benar, kan?" Rumi berucap dengan sombong.
"Telepon aku jika Ethan bangun!" Pesan Ruby sebelum wanita itu keluar dari kamar perawatan Ethan bersama Vivian. Tak ada jawaban dari Rumi dan Ruby akan menganggap Rumi menjawab iya.
"Bagaimana?" Tanya Ruby membuka obrolan saat ia dan Vivian berjalan ke arah kantin rumah sakit.
"Betah menjadi perawat Rumi menyebalkan?" Ruby melanjutkan pertanyaannya.
"Betah, Nona," jawab Vivian cepat.
"Panggil Ruby saja. Seperti kau memanggil Rumi," titah Ruby yang hanya membuat Vivian mengangguk.
"Kau sudah lama kenal Marcell?" tanya Ruby selanjutnya.
Vivian menggeleng.
"Kami bertemu dan berkenalan secara tak sengaja, setelah saya menolong Dokter Brigita, istri Dokter Marcell yang waktu itu hampir kecopetan. Lalu malamnya kakak saya dilarikan ke rumah sakit karena ketuban pecah dini, dan saat itulah saya bertemu Dokter Marcell lagi yang kebetulan sedang berjaga di UGD," cerita Vivi seraya mengenang kembali pertemuannya dengan Dokter Marcell yang akhirnya membuatnya bisa pergi ke kota ini untuk bekerja pada keluarga Attala.
"Bagaimana kondisi Kak Vita, Bang?" Tanya Vivian saat baru tiba di rumah sakit. Vivian menatap prihatin pada Abang Sandy yang wajahnya terlihat lesu.
"Bayi kami terpaksa dilahirkan lebih awal, karena kehamilan Vita beresiko tinggi," cerita Abang Sandi.
"Tapi Kak Vita dan bayinya sehat, kan?" Tanya Vivian lagi penuh harap. Namun gelengan dari Abang Sandy seolah meruntuhkan harapan Vivian.
"Vita belum melewati masa kritisnya. Lalu bayi kami mengalami kelainan jantung dan harus dirawat secara intensif," jawab Abang Sandy yang kembali menundukkan wajahnya.
"Apa?" Vivian terbelalak tak percaya dengan cerita Abang Sandy.
Kehamilan Kak Vita memang beresiko tinggi sejak awal, karena Kak Vita yang hamil di usia yang hampir menginjak kepala empat. Hal itu sebenarnya bukan tanpa alasan, karena selama hampir dua belas tahun Kak Vita dan Abang Sandy berjuang untuk mendapatkan keturunan. Bahkan mereka sampai memaksa untuk merawat Archie sejak Archie baru lahir, saking rindunya mereka akan kehadiran seorang anak.
Dan kini, saat mereka sudah dikaruniai seorang bayi, lagi-lagi sebuah cobaan harus mereka hadapi.
"Bang," Vivian menatap prihatin pada Abang Sandy yang wajahnya terlihat sendu.
"Pasti masih ada harapan," ujar Vivian memberikan keyakinan pada sang Abang.
"Biayanya tak akan sedikit, Vi!" Ucap Abang Sandy lirih yang hanya membuat Vivian terdiam.
Tentu saja Abang Sandy merasa sedih. Bertahun-tahun menantikan momongan dan kini saat kebahagiaan itu sudah di depan mata, mereka malah dihadapkan pada cobaan seberat ini.
"Nanti Vivian bantu cari biayanya, ya, Bang! Sekarang yang terpenting,Abang fokus dulu pada Kak Vita dan bayi Abang."
"Abang sudah memberikannya nama?" Tanya Vivian lagi berusaha menenangkan sang Abang.
"Cio," jawab Abang Sandy seraya menyeka butir bening di pelupuk matanya.
"Nama yang bagus," puji Vivian seraya menepuk punggung sang Abang.
"Kau akan mencari biaya kemana, Vi? Abang benar-benar tak mau merepotkan-"
"Jangan bilang begitu, Bang!" Sela Vivian memotong kalimat Abang Sandy.
"Vivian sudah merepotkan Abang Sandy dan Kak Vita selama hampir tujuh tahun kemarin. Jadi sekarang saatnya gantian," ujar Vivian yang sudah ganti merangkul sang Abang.
"Jika maksudmu tentang merawat Archie, itu sama sekali bukan sebuah kerepotan," ujar Abang Sandy yang sudah mulai tenang.
"Archie akan tetap menjadi putra sulung untukku dan Vita," sambung Abang Sandy.
"Kalau begitu biarkan Vivian menjadi Mom untuk Bayi Cio juga." Pinta Vivian pada sang abang. Wanita itu sudah bangkit berdiri dan sepertinya hendak pergi.
"Vivian akan beli minum untuk Abang dulu," pamit Vivian selanjutnya, sebelum wanita itu berlalu dari hadapan Abang Sandy.
****
"Saya butuh pekerjaan dengan gaji di atas rata-rata, Dokter Marcell!" Ucap Vivian to the point setelah ia menceritakan tentang kondisi kakak ipar dan keponakannya.
"Maaf jika permintaan saya konyol dan lancang, tapi saat ini saya hanya ingin menyelamatkan keponakan dan kakak ipar saya, Dok! Mereka segalanya bagi saya."
"Dan Dokter Marcell juga waktu itu pernah berkata pada saya agar kapanpun saya butuh bantuan, Dokter akan membantu saya," tutur Vivian panjang lebar menagih janji dokter Marcell.
"Saya tak keberatan melakukan dua atau tiga pekerjaan dalam sehari, asal saya bisa mengumpulkan uang untuk operasi keponakan saya." Sambung Vivian lagi.
"Tolong saya, Dokter Marcell!" Pinta Vivian sekali lagi.
"Aku belum bisa memberimu kepastian, Vi! Tapi akun berjanji akan secepatnya mencarikan pekerjaan untukmu," janji Dokter Marcell pada Vivian.
Vivian mengulas senyum.
"Terima kasih sebelumnya, Dokter! Terima kasih banyak!" Ucap Vivian tulus
****
"Vivian, aku sudah selesai makan," ujar Ruby pada Vivian yang sejak tadi melamun.
"Eh, iya!" Vivian sedikit tergagap dan segera menyesap minumannya hingga habis.
"Ayo kembali ke kamar perawatan Ethan!" Ajak Ruby selanjutnya pada Vivian yang hanya mengangguk. Dua wanita tersebut segera meninggalkan kantin rumah sakit dan kembali menuju ke kamar perawatan Ethan.
.
.
.
Alurnya jadi mundur maju gaje, ya?
Maaf masih slow update. Belum selesai beres-beres rumah baru dan bongkarin barang-barang pindahan😴
Terima kasih yang tetap setia menunggu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Fi Fin
jangan2 arcie anak vivian sama rumi waktu ketenu di gunung mungkin terjadi hubungan badan vivian n rumi
2025-01-31
0
Sulaiman Efendy
ARCHIE ANAK VIVIAN DGN SIAPA...???
2023-05-26
0
Rhenii RA
Typonya banyak thor
2022-06-13
0