VIVIAN

Vivian menghentikan langkahnya dan sedikit mengatur nafasnya yang terengah-engah. Kedua matanya amsih awas menatap pada teman,temannya yang sudah semakin menjauh. Vivian harus segera menyusul mereka, meskipun kaki Vivian sudah tak bisa dijabarkan lagi rasanya. Ini kalo pertama Vivian ikut naik gunung, dan mungkin terakhir kali.

Huh!

Vivian menarik nafas panjang dan kembali menjejakkan kakinya saat tiba-tiba gadis itu terperosok ke sebuah lubang yang tertutup dedaunan kering.

"Aaaarrrrgh-" pekikan Vivian tertahan saat tangannya ditahan oleh seseorang yang entah datang darimana.

"Kau sedang apa?" Itu suara seorang pemuda yang sepertinya ikut dalam rombongan Vivian tadi. Atau mungkin rombongan yang lain?

Entahlah!

Vivian juga tak mengenal semua teman-teman mendakinya tadi karena semuanya ada dua belas orang dan mereka berasal dari empat SMA yang berbeda. Termasuk Vivian dan pemuda asing yang baru saja menolongnya dari lubang sialan tadi.

"Terima kasih," ucap Vivian pada pemuda asing berjaket abu-abu tersebut.

"Rombonganmu mana? Kau tidak mungkin mendaki sendirian, kan?" Tanya pemuda itu lagi.

"Mereka di depan." Vivian menunjuk ke arah rombongannya yang sudah semakin jauh.

"Aku akan menyusulnya. Lagipula, kami akan beristirahat di pos dua setelah ini." Sambung Vivian lagi sebelum meneguk air di botol minumnya. Gadis itu kembali lanjut melangkah.

Pemuda yang tadi menolong Vivian tidak bicara sepatah katapun dan hanya ikut berjalan di belakang Vivian.

"Kau mau ke pos dua juga?" Tanya Vivian yang akhirnya kembali buka suara.

"Ya." Singkat, padat, jelas dan hanya satu kata.

Baiklah, terserah!

"Kau duluan saja kalau ingin menyusul rombonganmu." Ujar Vivian lagi mempersilahkan.

"Rombonganku masih di belakang. Mereka lambat sepertimu," jawab pemuda itu lagi yang langsung membuat Vivian menghentikan langkahnya. Nafas gadis itu kembali ngos-ngosan.

"Kau bisa duluan jika menurutmu aku lambat. Aku tidak butuh kau temani! Aku punya peta dan aku tak akan tersesat!" Ucap Vivian tegas pada pemuda cuek dan menyebalkan di belakangnya tersebut.

"Yakin tak akan tersesat? Aku yakin ini kali pertama kau mendaki dan kau belum punya pengalaman. Lalu kau malah pergi bersama teman-teman yang tak setia kawan yang meninggalkanmu sendirian " Cerocos pemuda itu panjang lebar seraya menatap remeh pada Vivian.

"Kalau kau tersesat, kau akan semalaman berada di dalam hutan," lanjut pemuda itu lagi yang malah menakut-nakuti Vivian. Terang saja, hal itu langsung membuat Vivian merengut sekaligus kesal.

"Ini!" Pemuda itu tiba-tiba menyodorkan sebuah tongkat pada Vivian.

"Ini apa?" Tanya Vivian bingung.

"Tongkat untuk membantumu mendaki."

"Ayo jalan sebelum hari gelap!" Ajak pemuda asing itu seraya mengendikkan dagu dan memberikan kode pada Vivian agar berjalan di depan.

"Aku tak tahu jalannya," ujar Vivian jujur. Gadis itu sudah kembali melangkah.

"Nanti aku pandu," jaewab pemuda yang kini berjalan di belakang Vivian dan menjaga Vivian dari belakang.

"Ngomong-ngomong, aku Vivian," ucap Vivian lagi memperkenalkan dirinya sendiri.

"Dari SMA mana?" Bukannya balas menyebutkan nama, pemuda menyebalkan itu malah bertanya asal sekolah Vivian.

"SMA 8. Kau sendiri?" Vivian balik bertanya.

"SMA 5," jawabnya singkat dan padat seperti sebelumnya.

"Boleh aku tahu siapa namamu?" Vivian akhirnya tak tahan untuk tak bertanya. Gadis itu juga menoleh penasaran ke arah pemuda yang irit bicara tersebut.

"Rumi!"

****

"Vian!" Teguran Rumi menyentak lamunan Vivian tentang pertemuannya pertama kali dengan Rumi delapan tahun silam. Saat itu mereka sama-sama masih duduk di kelas sebelas namun di SMA yang berbeda. Dipertemukan secara tak sengaja saat sama-sama sedang mendaki gunung.

Lucu sekali!

"Vian! Berapa kali aku harus menegurmu?" Decak Rumi yang kembali harus membuat lamunan Vivian menjadi buyar.

"Eh, iya! Ada apa?" Tanya Vivian tergagap.

"Kita sudah sampai. Kau mau melamun sampai kapan lagi, hah? Sampai tahun depan? Atau sampai abad depan?" Cecar Rumi ketus dan pedas.

"Iya, maaf! Kita turun sekarang?" Tanya Vivian lagi seraya membuka sabuk pengamannya.

"Minggu depan!" Jawab Rumi ketus.

"Begitu saja masih harus bertanya! Kau membuat aku boros suara dan bicara karena harus terus mengomelimu," Rumi sudah mulai bercerocos panjang kali lebar. Sedangkan Vivian sudah turun mempersiapkan kursi roda untuk Rumi cerewet dan membuka pintu mobil dimana Rumi duduk.

"Berhentilah mengomel dan marah-marah lalau begitu agar suaramu tidak cepat habis dan wajahmu tak cepat keriput," Tukas Vivian santai. Gadis itu langsung dengan cekatan memindahkan tubuh Rumi ke atas kursi roda dan menutup pintu mobil dengan kakinya.

"Kau akan membuat mobilku lecet jika menutup pintu model begitu!" Omel Rumi lagi yang hanya membuat Vivian menghela nafas.

"Baiklah, aku minta maaf dan tak akan kuulangi lagi," jawab Vivian.

"Terlambat! Sudah lecet itu," ketus Rumi seraya menjalankan kursi rodanya sendiri dan lanjut masuk ke dalam toko. Vivian mengekori kursi roda Rumi dan ikut masuk ke dalam toko. Mereka langsung menuju ke ruangan Rumi di sudut belakang, bersebelahan dengan pintu masuk gudang.

****

"Halo, Abang Sandy!" Ucap Vivian setelah teleponnya diangkat oleh sang abang di kota seberang.

Kebetulan sedang jam makan siang, dan tadi Rumi pamit keluar sebentar, jadi Vivian memutuskan untuk menelepon Abang Sandy sekalian menanyakan kondisi Kak Vita dan bayi mereka.

Satu-satunya alasan Vivian bekerja jauh sebagai perawat Rumi adalah demi membantu biaya pengobatan bayi Bang Sandy dan Kak Vita yang memang lahir prematur dan memiliki kelainan jantung. Butuh biaya yang tak sedikit untuk operasi dan perawatan keponakan Vivian tersebut.

"Halo, Vi! Bagaimana kabarmu? Betah kerja disana?"

"Iya, betah, Bang. Kak Vita bagaimana? Sudah pulang dari rumah sakit?" Tanya Vivian khawatir.

"Sudah. Hanya tinggal Cio yang masih harus menunggu hingga kondisinya stabil."

"Semoga Cio juga bisa secepatnya pulang ke rumah, Bang!" Ucap Vivian penuh harap.

"Aamiin! Mau bicara dengan Archie?"

"Abang di rumah memang? Vivian kira sedang di kantor," Vivian sedikit terkekeh.

"Pulang makan siang tadi. Belum balik."

"Archie! Mom telepon!" Terdengar suara Abang Sandy yang sedang memanggil Archie.

"Mom!" Teriak Archie dari seberang telepon yang langsung membuat Vivian menjauhkan ponselnya dari telinga.

"Halo, Sayang! Sudah makan siang?" Tanya Vivian seraya tersenyum karena membayangkan wajah Archie yang sudah membuatnya rindu. Padahal baru sepekan mereka berpisah.

"Sudah, Mom! Tadi makan sama Ayah Sandy."

"Oh, begitu. Di sana baik-baik, ya! Jangan nakal!" Pesan Vivian selanjutnya pada sang putra.

"Siap, Mom!"

"Mom juga jaga kesehatan, ya! Jangan telat makan! Archie sayang Mom! Mmmuuuah!"

"Mmmuuuah!" Balas Vivian seraya mengulas senyum.

"Ayah Sandy mau balik ke kantor. Archie tutup teleponnya, ya, Mom! Bye!"

"Bye, Sayang!" Pungkas Vivian bersamaan dengan telepon yang terputus. Vivian baru saja menyimpan ponselnyq, saat pintu ruangan Rumi tiba-tiba menjeblak terbuka. Rumi masuk ke dalam ruangan dengan raut wajah ketus seakan sedang marah.

Ada apa?

Rumi marah pada siapa?

.

.

.

Maaf baru UP.

Terima kasih yang sudah mampir.

Jangan lupa like biar othornya bahagia.

Terpopuler

Comments

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

VIVIAN SDH PNY ANAK...???

2023-05-26

0

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

RUMI LH YG MNOLONG VIVIAN, MKANYA SAAT MLIHAT RUMI, VIVIAN SMPT MNYEBUT NAMA RUMI

2023-05-26

0

Anisatul Azizah

Anisatul Azizah

loh sudah punya anak ternyata

2022-08-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!