Semalam suntuk, Zahra tak bisa tidur. Meski matanya tertutup beberapa menit, nyatanya ia tak pulas. Sesekali meringkuk menahan rasa nyeri yang menghujam perut, sesekali melihat ponsel dan berusaha menghubungi Abram. Sampai menjelang subuh, sesudah ia menunaikan solat, matanya mulai berat, dan akhirnya tertidur.
“Bu, Zahra belum bangun?” tanya suster yang datang pagi-pagi buta.
“Sudah, tadi sempat solat, sekarang tidur lagi. Kenapa ya, Sus?” tanya Dania sembari melipat mukena.
“Nanti jam 7, kita USG ya. Setelah itu lanjut Thorax, dan CT scan. Ini saya kasih obat pereda nyeri lagi, ya.”
Dania mengangguk sambil menguap. Matanya masih cukup lelah meski sudah tidur beberapa jam. Alih-alih tidur, ia masih berusaha terjaga sembari terus menghubungi Abram. Namun, nomer Abram belum juga aktif, pesan Whatsapp juga tidak ada yang terkirim.
Waktu berjalan sedikit lambat bagi Dania. Beberapa perawat dan petugas hilir mudik memasuk ruangan secara bergantian. Mulai dari mengambil sampel darah, membawa sarapan, sampai menanyakan alergi makanan.
“Ibu, Zahra. Kita USG ya?” Suster datang sambil mendorong kursi roda.
Saat itu, dalam hati Zahra hanya ada perasaan kecewa. Untuk pertama kali, saat ia benar-benar rapuh, suami yang diharapkan justru tak ada. Keberadaannya bahkan tak dapat ia jangkau. Bahkan bayangannya seakan lenyap dari pandangan mata.
Zahra mengusap mata, seolah matanya gatal. Jelas-jelas dia sedang mengusap matanya yang mendadak pedih dan berair. Takut, jika Dania melihatnya menangis.
Di sisi lain rasa kecewa, tapi di sampingnya sekarang, berdiri sebuah keberuntungan. Zahra cukup bersyukur, setidaknya ia tidak sendiri. Ada seseorang yang tak mengeluh, menemaninya dengan sabar tanpa protes.
Dua jam lamanya Zahra menjalani beberapa rangkaian tes, dan akhirnya selesai. Suster dan Dania membawanya ke kamar. Tepat pada saat itu, mereka bertemu Mulan dan Intan di depan lift.
“Ra ....”
Zahra menoleh menatap Dania yang membuang muka. Melihat dua temannya datang, Zahra seperti bisa menebak jika semua itu perbuatan Dania. Jelas Dania yang memberitau mereka tentang keadaan Zahra.
“Gimana tadi, Sus? Dia ... gak kenapa-napa kan?”
“Nanti dijelasin sama dokternya aja ya, Mbak.”
Perawat segera pergi usai membantu Zahra naik ke atas ranjang. Cukup lama Zahra berbincang dengan tiga teman baiknya. Akhirnya, yang di tunggu-tunggu tiba. Seorang dokter pria yang terlihat masih muda, datang menghampiri mereka dengan membawa hasil pemeriksaan.
“Bu Zahra sudah sarapan?” tanyanya basa basi.
“Sedikit bubur, Dok.”
Dia mengangkat tangan dan memeriksa arloji. Lalu, memasang stetoskop dan memeriksanya. “Masih sakit, Bu?”
“Iya, Dok.”
“Suami atau orang tua, sudah bisa dihubungi?”
“Belum, Dok. Sepertinya suami saya sibuk.”
Dokter menghela napas panjang. “Jadi begini, hasilnya menunjukkan kalau usus buntunya sudah pecah, jadi harus cepat-cepat di atasi.”
Raut wajah Zahra semakin pucat mendengarnya. Ia kembali membayangkan saat berada di dalam ruang operasi sendirian. Belum lagi, setelah operasi, dia pasti akan merepotkan. Namun, Dania yang berdiri di sampingnya menepuk pundaknya.
Tindakannya seolah menjelaskan, jika dia akan selalu ada di samping Zahra dan siap kapan pun.
“Tenang aja, Bu. Alat zaman sekarang udah canggih. Sekarang sudah ada Laparoskopi, cuma buat sayatan kecil aja, pemulihannya juga cepat.”
Mendengar itu, Zahra sedikit sumringah. “Beneran itu, Dok?”
“Masa saya bohong?” Dokter terkekeh pelan untuk mencairkan suasana. “Hubungi suami atau orang tua dulu ya. Nanti kita tindakan jam 11. Kalau sudah tersambung, langsung datang ke ruang jaga.”
Dokter muda itu pun meninggalkan ruangan dengan senyum ramahnya. Kini, hanya sisa mereka berempat di dalam ruangan. Dania mencoba meyakinkan Zahra untuk menghubungi ayahnya saja, untuk jaga-jaga jika Abram belum juga menjawab panggilan.
“Nunggu apa sih, Ra? Biaya? Aku ada kok.” Lanjut Dania.
“Takutnya malah gak keburu juga, Ra. Kita-kita juga ada kok. Gak usah khawatir.”
Bukan biaya yang aku cemaskan. Aku hanya ingin jadi istri berbakti, menunggu dia memberi izinnya. Selain itu ... ini pertama kali aku sakit dan masuk ke ruang operasi. Siapa sih yang gak mau suaminya buat antar ke ruang operasi?
Mas Abram ...
Foto-foto itu ngak melukai hatiku cukup dalam, tapi saat ini, pada posisi ini, kamu menyakitiku.
Zahra tertunduk lesu, matanya tiba-tiba basah dan tergenang. Pertahanannya goyah, Zahra menangis sesengukan.
Perih di perutnya, ternyata tak lebih hebat dari rasa sakit di hatinya.
...🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀...
Jangan lupa untuk meninggalkan komentar yang baik dan bijak. Jika suka, jangan lupa like dan masukkan ke daftar Favorit. Jika tidak, Anda bisa langsung meninggalkannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
beby
sakit
2022-11-18
0
Henda Rina
zahra yg kuat ya🥺🥺
2022-02-01
1
🌷 ‘only_@g’🌷
jangan PHP-in aku lagi yah, thorrrr 😌 seperti my guide 😌
2022-01-01
3