Malam itu, langit cukup cerah bertabur banyak bintang. Mobil online yang di pesan Dania, melaju di lengangnya kota Malang dengan cepat, dan berhenti di sebuah IGD rumah sakit swasta.
Begitu turun, Dania berteriak kencang meminta pertolongan. Dua suster berlari tergopoh-gopoh sambil mendorong Brankar, membantu Zahra yang meringkuk kesakitan memegangi perut.
“Mbak, isi formulir pendaftaran dulu ya.” Petugas keamanan menunjuk ke arah meja yang berada di sudut IGD.
“Terima kasih, Pak.” Belum sempat ia menghela napas lega, Dania kembali berlari kecil menghampiri meja pendaftaran.
“Bisa tunjukan tanda pengenal pasiennya, Mbak?” tanya petugas tanpa basa basi.
Dania terlihat merogoh tas kecil yang ia bawa, kemudian mengeluarkan KTP milik Zahra. Perlu beberapa menit bagi petugas untuk mengisi data pasien, juga mengajukan beberapa pertanyaan remeh.
Mandiri atau asuransi?
Pasien memiliki riwayat operasi sebelumnya?
Ada alergi obat atau antibiotik?
Tak sampai sepuluh menit. Dania sudah meninggalkan meja pendaftaran dan berada di samping Zahra. Beberapa kali mengusap keringat di kening yang masih deras bercucuran. Nampaknya, AC di ruangan tak mampu mengeringkannya.
“Mbaknya ini, siapanya pasien?” tanya seorang perawat wanita yang datang sambil membawa infus dan peralatan.
“Temannya, Sus.”
Perawat menoleh melihat sekitar, kemudian menayakan keberadaan suami Zahra.
“Suaminya kemana, Mbak?”
“Dinas ke luar kota, Sus. Apa bisa aku yang jadi walinya?”
Perawat terdiam sejenak, dia lebih memilih untuk fokus saat memasukkan jarum ke dalam pembulu darah Zahra. Setelah memastikan jarum infusnya masuk dengan baik, perawat baru menjawab pertanyaan Dania.
“Di hubungi bisa ngak, Mbak? Atau saya tanya Dokter dulu, ya.”
Dania sedikit penasaran. Sepemahaman dia selama menemani temannya masuk IGD, dia selalu bisa menjadi wali dari pasien. Lantas, kenapa sekarang terdengar seperti ‘tidak bisa’?
“Saya beri obat penghilang nyeri dulu ya, Bu.”
Sembari memperhatikan sahabatnya mendapat obat, tangan Dania lincah memainkan ponsel. Mengirim pesan di grup, juga mengabari Abram. Setidaknya ada 30 kali panggilan yang ia coba. Mulai dari panggilan telepon biasa, sampai panggilan Whatsapp. Bahkan ia juga membrondong pesan, tetapi tak ada satu pun respon. Di tengah kepanikan Dania, dokter jaga yang menangani Zahra, datang menghampiri mereka.
“Suaminya sudah bisa dihubungi?” tanyanya.
Dania dan Zahra kompak menggeleng. Dokter terlihat menghela napas panjang, lalu mencoba bertanya tentang orang tua atau kerabat Zahra.
“Dia anak tunggal, Dok. Orang tuanya ada di pinggir kota, kalau kesini juga perlu dua jam.” Jelas Dania membatu Zahra berbicara.
“Di telpon saja udah cukup, yang penting kita dapat izin.”
Dania dan Zahra saling menoleh. Pada saat itu, mereka punya pemikiran yang sama. Mungkinkah Zahra mengalami suatu penyakit kronis? Atau sesuatu kondisi bahaya seperti ....?
“Teman saya ini gak bisa kah, Dok? Takut nanti orang tua saya cemas, mereka sudah tua.” Jelas Zahra berusaha mengumpulkan tenaga untuk berbicara.
“Begini, Bu. Saya mengindikasi adanya usus buntu, jika parah harus segera di operasi. Ini cuma formalitas aja kok, yang penting keluarga atau suami sudah oke.”
Degh
Jantung Zahra seperti berhenti sesaat.
Operasi?
Pikirannya buyar, dia bahkan tak bisa membayangkan perasaan takut yang sedang dia hadapi. Terlebih, dia harus melalui semuanya sendiri, tanpa suami yang mendampingi.
“Jangan khawatir dulu. Anda masih harus menjalani beberapa pemeriksaan untuk memastikan. Saya juga sudah menghubungi dokter penyakit bedah, jika sewaktu-waktu di butuhkan.”
Perasaan Zahra sedikit lega setelah mendapat penjelasan dari dokter. Sebelum pergi, dokter menyarankan Zahra untuk rawat inap sembari menunggu hasil pemeriksaan lebih lanjut. Tak lupa juga mengingatkan Dania untuk terus mencoba menghubungi Abram. Jika hasilnya benar-benar seperti dugaan, maka Zahra harus segera di operasi.
Dania sedikit lega, setidaknya, dia masih mendapat waktu untuk menghubungi Abram. Pemikiran Dania hampir sama dengan Zahra, dia juga tidak ingin memberatkan pikiran orang tua Zahra tentang kondisi anaknya. Mengingat, ibu Zahra punya penyakit hipertensi cukup parah.
...🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀...
Jangan lupa untuk meninggalkan komentar yang baik dan bijak. Jika suka, jangan lupa like dan masukkan ke daftar Favorit. Jika tidak, Anda bisa langsung meninggalkannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Amel Munthe
kayaknya abram suaminya lagi asik asik sama wanita lain
2022-12-06
0
Elisa Astuti
sebetulnye kalau cite bab pelakor2 ni tak suka.. tapi penasaran nak tau kelanjutannya
2022-08-12
0
Dede Rahmat
lanjut ja ah
2022-02-08
0