Antara Mimpi atau Ingatan?

Hutan pinus yang sama. Cahaya senja. Hamparan mawar putih. Dan bayang misterius yang sama. Perlahan mata itu menunjukan sinarnya. Mata merah yang sepekat darah. Mendekat dan menatap semakin dalam kedalam mata itu. Ada banyak kepedihan tersimpan disana. Ada luka, kesedihan, kekhawatiran, dan penantian. Dibalik itu semua, ada kegelapan yang sangat kelam. Seakan menelan sosoknya secara perlahan, Ralin merasakan ngeri yang mendalam. Ketakutan menyerang Ralin dalam benaknya.

“ Kyaaa.. ” pekik Ralin kaget begitu melihat sang ibu tengah melotot dengan bibir manyunnya disamping Ralin yang sudah terjaga dari tidurnya.  “ Ibu!!. ” Ralin memeluk erat sosok sang ibu yang menatap anaknya dengan heran.

Tidak mengerti apakah dia senang karena tengah terbangun dari mimpi buruknya. Ataukah dia tengah merasa ketakutan karena mimpinya itu, Ralin merasa perasaannya begitu campur aduk pagi ini. Ada sesuatu yang seakan-akan menggelitik dan meremas bagian dalam perutnya secara bersamaan.

“ Apa? ” tanggap ibu santai. “ Anak ini! Dibangunin dari tadi malah mau narik selimut lagi.” celetuk sang ibu. “Emang mau kena hukuman lagi dari si abang? Bangun gih. ”

“ Ngg... ” jawab Ralin rasa malas. “ Nggak akh! Cape kena hukum si abang dan temannya itu, bu.” tambah Ralin.

Ingatannya kembali pada Andra si wakil ketua OSIS ex -si-pengendara-mobil- Mercedes-Bens- berwarna-hitam- yang memberinya hukuman membersihkan toilet ruang guru karena terlambat datang kesekolah tempo hari. Harus merapikan buku di perpustakaan sepulang sekolah selama seminggu hanya karena terlambat menyetor angket siswa ke bagian administrasi sekolah, dan lebih menjengkelkan lagi bagi Ralin adalah saat dihari terakhir hukumannya merapikan buku perpustakaan, dirinya harus berurusan dengan penjaga perpustakaan yang terkenal galak karena tidak sengaja merobek salah satu koleksi buku sekolah setelah dirinya diganggu oleh Andra yang berkunjung dihari itu.

Buru-buru Ralin membenamkan wajahnya pada tumpukan batal dihadapannya. “ Alin nggak mau sekolah!! ” rengek nya kesal mengingat semua kesialannya berurusan dengan sosok Andra.

“ Kalau gitu uang jajan ibu potong seminggu. ” ujar ibu dengan wajah yang begitu gembira karena bisa menghukum anak kesayangannya dan menghemat pengeluaran uang untuk putrinya itu.

“ Ibuuuuu… ” tampang Ralin cukup memelas melihat ekspresi sang ibu yang begitu senang. " Uangnya mana? Ralin siap-siap sekarang! "

Buru-buru Ralin bangun dan masuk kedalam kamar mandi pojok tanpa memastikan keadaan kamar mandi itu kosong atau sedang berpenghuni. Sempat diam, Ralin lagi-lagi berteriak histeris melihat sang kakak tengah berdiri dengan bertelanjang dada sambil mencukur sedikit bulu-bulu tipis yang sudah tumbuh disekitaran dagu dan atas bibirnya. Tergores dan mengeluarkan sedikit darah akibat ulah Ralin yang mengagetkannya, Rassya bergegas keluar dan mengusap darah segar yang mengalir perlahan menuju lehernya itu.

“ Apa-apaan sih lo, Lin? ” tegur Rassya setelah berhasil membersihkan darah yang mengalir dan menutupi bagian luka goresannya dengan tissue toilet.

“ Siapa suruh nggak kunci pintu! ” kilah Ralin mencoba mengalihkan pandangannya.

Entah melihat air keran berwarna merah yang mengalir bercampur darah Rassya di wastafel atau karena warna merah darah dari tissue yang digunakan Rassya untuk menutupi lukanya, Ralin merasakan haus seketika. Haus yang benar-benar membuatnya ingin segera meminum banyak air. Atau mungkin yang lainnya.

Menahan dahaga di tenggorokannya, Ralin langsung memasuki kamar mandi tanpa permisi. Disiramnya langsung seluruh tubuh itu dengan air shower. Masih memakai piyama tidurnya, Ralin membiarkan seluruh badannya basah kuyup bersama pakaian yang dikenakannya. Setiap air yang membasahi wajah dan masuk kedalam mulutnya, semakin membuat Ralin merasakan hal aneh yang selalu terjadi beberapa bulan terakhir ini.

Haus dan dahaga yang berkepanjangan.

Pikirannya semakin larut. Bayangan mimpi yang selalu sama. Hawa aneh disudut parkiran sekolah dan keanehan keanehan lainnya. Ralin menatap dirinya pada cermin yang ada didalam kamar mandinya. Ditatapnya

bayang dirinya lekat-lekat. Mata itu bersinar. Dan ada senyum lain tersirat dibalik wajah Ralin yang ceria itu.

“ Lain kali hati-hati, Sya? ” tegur ibu. Diujung lorong yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat Ralin berdiri kini. Terlihat sang ibu sedang membicarakan hal serius dengan Rassya. Ayahnya sendiri tengah menepuk pundak sang kakak.

“ Besok-besok jangan sampai terulang lagi ya? ”

Berusaha mencuri dengar, Ralin hanya bisa tersenyum kaku begitu ibu mengalihkan tatapan aneh itu pada dirinya. Ada ketakutan bersamaan dengan tatapan penuh pengertian dari sang ibu untuk dirinya.

“ Kamu juga Alin. ” tegus sang ibu dengan nada yang sedikit ketus. “ Besok-besok lebih berhati-hati lagi yah?! ”

Ralin tersenyum simpul lalu mengangguk mengerti. Rassya pun menatapnya masam setelah berhasil menempel lukanya itu dengan plaster luka yang diberikan sang ibu padanya.

" Gantengnya gue bisa berkurang gara-gara ulah lo, Lin! " gerutunya melewati Ralin untuk bersiap berangkat sekolah. Memandang adiknya yang bengong dengan teguran sang ibu dan tatapan sang ayah yang nampak berbeda dari biasanya, Rassya menghentikan langkahnya diujung lorong ruangan. " Mau berangkat sekolah bareng gue nggak Lin? "

***

“ Abang. ” panggil Ralin dari balik punggung Rassya.

“ Hmm.. ”

“ Ini luka yang tadi ya bang? ” tanyanya rada menerawang. Dalam pikiran Ralin, yang terlintas hanyalah darah yang mengalir dari dagu Rassya. Warna yang begitu menggairahkan. Terasa begitu menyegarkan. “ Nggak sakit apa, bang? ” Ralin memencet-mencet dagu Rassya yang terbungkus oleh plaster luka dengan warna kulit itu.

“ Sakit, Lin! ” bentak Rassya menghentikan laju motornya dengan mendadak. Hal itu membuat Ralin cukup kaget dan sedikit menyeruduk punggung sang kakak. “ Turun lo!! ” tambahnya rada jengkel.

“ Turun disini?! Tega amat lo turunin gue ditengah jalan gini! ” Ralin mendelik sembari menepuk kasar pundak Rassya karena tidak terima dengan cara sang kakak meluapkan kemarahannya.

“ Ya, turun Lin. Ini udah sampai di sekolah. ” jawab Rassya sedikit geram dengan tingkah laku adiknya. “ Emang lo mau gue antar sampai kelas pakai motor? ” gerutunya lagi.

“ Hehe... udah sampai yah? ”

Salah tingkah, Ralin akhirnya turun dari motor sang kakak dengan sedikit rasa canggung dengan kehebohan yang barusan dilakukannya.

Rassya baru akan memasuki area parkir dan dari arah belakangnya, laju motor Rassya diikuti oleh mobil hitam para pengurus OSIS yang lainnya.

Lagi-lagi mereka. Batin Ralin jengkel.

***

Langkah Ralin pasti menuju gedung utama sekolah saat melihat mobil Mercedes Bens berwarna hitam milik para pengurus Osis itu melintas disampingnya. Semakin dekat dengan ujung jalan masuk, Ralin mempercepat langkahnya karena Andra si wakil ketua OSIS tengah menurunkan kaca mobilnya dan menatap aneh ke arah Ralin. Tatapan yang seakan memastikan sesuatu. Atau menginginkan sesuatu.

Jengkel.

Tepat diujung jalan, Ralin menghentikan langkahnya. Dia menoleh dan membalas  menatap langsung Andra si wakil ketua OSIS. “ Aneh! ” umpat Ralin ketika kesekian kalinya tatapan yang sama diberikan Andra si wakil ketua OSIS kepada dirinya.

“ Siapa yang aneh? ” Atlas tahu-tahu saja sudah menyapa dengan senyum khasnya yang entah datang dari arah mana. Hal seperti ini sudah terjadi untuk yang kesekian kalinya dalam beberapa minggu terakhir ini.

Ralin berpaling santai. “ Ya elo! ” jawab Ralin sekenannya. Tatapannya semakin dibuat jengkel. Diingatnya tempo hari ketika Ralin menyadari kalau Atlas tengah menyembunyikan sesuatu dari dirinya. Hari dimana harusnya mereka terlambat dan mendapat hukuman bersama.

*Masih sekitar dua ratus meter dari gerbang utama sekolah, Ralin yang diantar sang ayah melihat Atlas masih berjalan dengan santai jauh dibelakangnya. Padahal bel tanda masuk sudah berbunyi dari tadi. Menyadari dirinya tidak ingin kena hukum seorang diri, Ralin memilih menunggu Atlas didepan gerbang sekolah. Dia melihat dan menunggu Atlas yang berjalan dengan santainya. Di telinganya menempel headset putih yang selalu terlihat dibawanya kemanapun ia pergi.*Hanya sekejap mata, sosok Atlas yang seharusnya masih berada jauh dari lingkungan sekolah menghilang dari pandangan Ralin. Sosok Atlas sudah tidak ada lagi di satu-satunya jalan utama menuju halaman sekolahnya. Padahal Ralin hanya memalingkan sejenak pandangannya pada Andra si wakil ketua Osis yang memanggilnya untuk bersiap memberi hukuman,

Ralin tertegun dengan apa yang dialami pagi itu.

Begitu tersadar saat menjalani hukumannya, Ralin melihat Atlas tengah terduduk santai disudut balkon kelas IPA 1 dilantai dua yang merupakan kelasnya. Saat itu, Atlas hanya menatap dan memberikan senyum khasnya pada Ralin yang tengah menyapu halaman utama sekolah seorang diri sebagai hukuman atas keterlambatannya.

Kembali dari ingatannya akan hari kemarin, Ralin mendapati tatapan serius dari Atlas yang tidak juga pergi dari hadapannya setelah Ralin mengatakan kalau “ Dirinya itu aneh.”

“ Aneh kenapa? ” tanya Atlas antusias.

Ralin menatap balik. Dan seketika perasaan aneh muncul dan mendera perasaan Ralin. Sangat dekat dan dalam. Ditatap seserius itu oleh Atlas, jantung Ralin berdebar dengan kencang. Ralin pun merasa ada desir yang mengalir begitu cepat dalam setiap nadinya. Ada bayang lain muncul dalam benaknya. Sepotong ingatan atau bayangan mimpi yang beberapa kali sempat dimimpikannya.

“ Atlas! ” panggil sosok Ralin yang dalam bayangan dirinya tengah mengenakan gaun hitam selutut dengan membawa sekeranjang bunga mawar putih. Dari sebuah teras rumah yang nampak begitu teduh, sosok Atlas yang dipanggil Ralin hanya menampakan wajah dengan senyum yang misterius. Sosok wajah yang selalu muncul dalam mimpinya.

Ralin memanggil sosok Atlas. Sosok yang seharusnya berdiri dihadapannya kini. Tapi sosok seorang yang melintas dibenaknya bukanlah orang yang sama dengan Atlas yang kini tengah menatap lekat pada dirinya. Ralin mengalihkan pandangannya pada para pengurus Osis lainnya. Terutama ke sosok Andra si wakil ketua Osis.

Ada apa denganku? Dan kenapa juga dengan dua orang yang selalu mengganggu pikiranku  belakangan ini?

Ralin mengalihkan lagi pandangannya dari sosok Andra ke sosok Atlas yang tersenyum penuh makna dihadapannya.

" Kita sudah sampai. " ujar Atlas ditengah lamunan Ralin yang terus saja melangkah dalam kediaman menuju ruang kelasnya.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!