Siang itu, Erina, Via dan Ameera keluar dari kedai ice cream dengan wajah yang berseri-seri. Pasalnya, cuaca terik siang ini melebur begitu saja setelah lelehan ice cream yang lembut masuk melalui mulut mereka. Namun mereka harus kembali berjibaku dengan teriknya sinar matahari untuk pulang ke rumah masing-masing.
Setelah mengantar Ameera ke kostannya, Via kali ini giliran mengantar Erina ke rumahnya.
"Thanks ya beb. Ini duit buat beli bensin." Erina menyodorkan uang 20 ribu pada Via.
"Loe pikir gue tukang ojek apa?" Via terkekeh saat Erina memberinya uang.
Via memang begitu, orangnya terlampau baik. Erina merasa beruntung mempunyai sahabat seperti Via ini. Dia selalu menolak uang pemberian Erina ataupun Ameera hanya untuk sekedar membeli bensin. Padahal kan Erina masih punya muka dan juga rasa malu, karena hampir setiap hari dirinya di antar jemput oleh Via.
"Ya udah, gue cabut sekarang ya, nenek gue kasian sendirian dirumah." Via kembali menstarter motornya. Bunyi mesinpun kembali terdengar.
"Oke deh. Salam ya buat nenek loe." Erina melambaikan tangan ke arah Via.
Tiba-tiba saja sebuah mobil Avanza memasuki perkarang rumah besar Erina. Kedua perempuan itu sontak menoleh dengan dahi yang mengerut.
Itu kan mobil papanya Erina. Kenapa dia pulang sesiang ini ? Padahal waktu masih menunjukkan pukul 14: 50.
Setelah mobil berhenti, barulah si pengemudi keluar dari dalamnya. Erina dan Via bisa melihat papa Erina berjalan sambil terpincang-pincang. Melihat itu, Erina bergesas menghampiri papanya yang sepertinya sedang menahan kesakitan.
"Pa, papa kenapa?" Panik Erina merangkul sang papa.
"Papa tadi ke serempet motor waktu mengejar seseorang." Papa menjawab sambil menunjuk kakinya.
"Astaga! Kenapa bisa? Emangnya siapa yang mau papa kejar?" Erina menodong sang papa dengan pertanyaan-pertanyaannya.
Erina tak suka saat melihat orang terdekatnya kesakitan. Dia begitu menyayangi semua orang di sekitarnya. Baik itu keluarganya, maupun sahabat-sahabatnya. Bagi Erina, mereka adalah sumber kehidupan, seperti udara yang memberinya oksigen untuk bernafas.
"Nanti papa ceritakan ya. Sekarang tolong papa dulu untuk masuk." Ucap papa Heri.
"Iya, iya."
"Astaga papa. Papa kenapa? Kenapa kakinya bisa seperti ini?" Baru saja keluar dari rumah, mama Sofi sudah panik setengah mati, bahkan kepanikannya melebihi Erina. Tentu saja, istri mana yang tidak akan merasa khawatir saat melihat suaminya terluka.
"Nanti papa ceritakan ma. Papa tidak kuat. Papa ingin cepat rebahan." Ucap papa Heri dengan sabar meladeni kepanikan istri dan anaknya. Padahal ia sudah tak tahan dengan rasa sakit di kakinya.
"Ya udah, ayo kita kedalam." Mama Sofi mengambil alih untuk memapah papa.
"Kasian banget bokap loe Er." Ucap Via sambil menatap kepergian kedua orang tua Erina itu dengan sendu.
"Iya duh, ada aja cobaannya." Erina memgikuti arah pandangan Via.
"Ya udah deh Er, gue do'a in biar bokap loe cepet sembuh. Nanti gue kesini lagi buat liat keadaan bokap loe. Sekarang gue harus buru-buru pulang." Ucap Via.
"Ya udah, hati-hati ya beb. Daaah!" Erina melambaikan tangan ke arah Via dengan nada tidak senang. Dia sedang tidak senang karena kondisi ayahnya.
"By."
Setelah Via benar-benar tak terlihat lagi, Erina bergegas masuk ke dalam rumah untuk melihat keadaan papanya.
***
Mama Sofi dan Erina muncul dari dua arah yang berlawanan, sama-sama menghampiri papa yang sedang terbaring di atas sofa ruang tengah. Mama Sofi terlihat membawa baskom berisikan air hangat dan handuk kecil, untuk mengompres luka papa.
"Gimana pa? Masih sakit?" Tanya Erina.
Eh, kemana celana panjang yang tadi papanya itu gunakan? Kenapa sekarang sudah berganti jadi memakai boxer?
"Iya Er, luka papa tidak akan sembuh dalam satu kedipan mata." Sedang sakit aja papa Heri bisa bicara menyebalkan seperti itu. Erina tak menjawab, dia langsung saja menjatuhkan diri ke bagian sofa yang kosong.
Sedangkan mama Sofi sudah berjongkok untuk mengompres luka papa. Erina memperhatikan gerak gerik mamanya, dengan telaten dia mengobati kaki papa yang nampak lebam di beberapa bagian.
Mamanya itu memang yang terbaik. Dia selalu siaga, menjaga dan merawat keluarganya dengan penuh kasih sayang. Pasti luka papanya akan sembuh dalam waktu yang cepat karena di rawat dengan sungguh-sungguh oleh mama.
Ahh, beruntungnya Erina bisa terlahir di tengah-tengah keluarga ini. Bahkan Erina selalu bermimpi untuk membangun rumah tangga harmonis seperti yang di jalani mama dan papanya ini. Bersama Devan. Ya, pangeran impiannya itu. Betapa bahagianya hati Erina jika angan-angannya bisa jadi kenyataan. Erina pasti dengan segenap cintanya akan merawat dan mengurus kebutuhan Devan dalam segala hal.
Plak!
Erina menampar pipinya sendiri saat pikirannya jelalatan kemana-mana.
Sadar Er! Devan sukanya sama Ameera, kalau loe di bandingkan sama Ameera, loe itu nggak apa-apanya. Jadi stop berpikir untuk memiliki laki-laki tampan itu.
Begitu Erina menyadarkan dirinya sendiri, meskipun hati dan pikirannya selalu saja berbeda pendapat, namun akal sehat Erina beusaha untuk bersikap netral.
Papa mengerang kesakitan saat mama menekan lukanya cukup kuat.
"Aww, pelan-pelan dong ma!" Papa protes.
"Iya, iya." Mama memgurangi tekanan pada luka papa.
"...sebenarnya, kenapa papa bisa sampai keserempet sih? Memangnya papa habis dari mana?" Tanya mama Sofi sambil memeras handuk kecil di tangannya.
Erina memasang telinga baik-baik untuk mendengarkan jawaban dari sang papa, karena dia sendiri merasa penasaran.
Papa Heri nampak membuang nafas asal saat mendapat pertanyaan yang sedari tadi telah di lontarkan istri dan anaknya itu.
Sejurus memudian, ia menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa.
"Waktu papa selesai meeting di restoran tadi, papa melihat Sari. Tapi waktu papa sapa dia, dia malah lari. Papa mengejarnya, papa ingin bertanya dimana anak papa sekarang?" Wajah papa Heri yang tadinya kusut, sekarang terlihat semakin berantakan.
Tapi, tunggu dulu. Siapa Sari? Lalu, siapa anak papa? Bukankah anaknya papa itu hanya Erina dan juga Baim ya?
Mama tertunduk lesu, entah apa yang ia pikirkan setelah suaminya itu berkata jujur. Karena bagaimanapun juga, perasaan bersalah selalu saja menghantui dirinya meskipun kejadian itu telah berlalu lebih dari 18 tahun lamanya.
"Kalau papa mau, carilah anak papa sampai dapat. Dia berhak tau siapa ayah kandungnya yang sebenarnya. Apalgi jika dia ternyata adalah seorang perempuan, dia akan menikah dan papa yang harus menjadi walinya." Perkataan mama terdengar bijak di telinga papa.
"Terimakasih ma, mama selalu mendukung papa dalam segala hal. Itulah salah satu alasan kenapa papa lebih memilih bersama mama." Papa tersenyum ke arah mama Sofi, mama Sofi balik membalas senyum itu.
Erina sudah tak tahan lagi, sebenarnya apa yang sedang orang tuanya itu bicarakan? Diapun memberanikan diri untuk bertanya.
"Maksudnya apa ini? Anak siapa? Sari siapa sih pa?" Tanya Erina bertubi-tubi.
Mama dan papa saling menatap satu sama lain, mereka tak sadar jika sedari tadi ada Erina disana. Mama kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain. Papa terlihat gelagapan menjawab. Namun begitu, papa Heri merasa jika Erina memang harus tau agar kelak tidak ada kesalahpahaman lagi diantara keluarganya.
"Tapi berjanjilah, jangan sampai kamu membenci papa jika papa menceritakan semua tentang masalalu papa." Papa menjawab.
"Ya nggak akanlah pa. Memangnya masalalu papa kayak gimana? Kenapa Erina harus benci sama papa?" Tanya Erina semakin penasaran.
Papa Heri menoleh ke arah istrinya, mama Sofi terlihat menganggukan kepala pertanda setuju. Setelah mendapat izin dari sang istri, papa mulai menceritakan tentang masalalunya pada putri sulung mereka itu.
________________
Hai semua, tetap dukung novel ini ya meskipun updatenya terlampau selow...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
zaenatun
kira2 q ada apa ya
2022-03-10
0
Areum
next kak 🥰
2022-03-06
0
Youni Tea
Thor aq suka ❤️❤️❤️ ceritanya
2022-03-06
0